Selasa, 11 Januari 2011

Penambang Pasir Batang Kuranji

Himpitan ekonomi membuat mereka terpaksa menekuni pekerjaan sebagai penambang galian C illegal. Apadaya keahlian tiada, pendidikan pun seadanya. Hanya tenaga yang bisa diandalkan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Beginilah nasib penambang pasir, tubuh dibakar sengatan mentari sedangkan kaki mengkerut kedinginan karena menapaki dasar sungai Kuranji.

Laporan—Marisa Elsera

Profesi penambang pasir dan kerikil sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Jadi, bukan pemandangan baru melihat puluhan pria berkulit hitam legam mengisi benen yang dijadikan keranjang pasir dari atas jembatan Lambuang Bukik. Menambang bahan galian C menjadi matapencaharian mereka secara turun-temurun, seolah pekerjaan itu menjadi warisan dari kakek dan ayahnya.
Benen yang diberikan seng didasarnya, dijadikan keranjang guna mengangkut pasir dari tengah sungai hingga kepinggir. Seulas tali kemudian dikaitkan pada pinggang penambang dan perlahan si penambang mulai ketengah sungai. Sebuah skop yang tadinya ditaruh di atas benen kemudian disodok ke dalam sungai, beberapa detik kemudian skop pun diangkat dan sudah berisi pasir. Setelah pasir dituangkan ke dalam benen, penambang pun melakukan hal serupa hingga benen yang dibawanya terisi oleh gunungan pasir.
Pasir-pasir itu pun kemudian dituangkan kembali ke pinggir sungai hingga mobil bak terbuka datang dan penambangpun menyodok kembali pasir-pasir itu ke dalam mobil. Sekilas mungkin pekerjaan ini terasa mudah, tapi ketika dijalani pekerjaan ini terasa sangat menguras tenaga. Tak mengherankan jika tubuh puluhan pria itu tampak kekar karena kerasnya pekerjaan yang harus dijalani.
Bian, 50 sudah menekuni profesi ini sejak 20 tahun lebih. Pekerjaan sebagai penambang pasir terpaksa ia lakukan demi menghidupi keluarga kecilnya. Ayah dari dua anak itu tak memiliki keahlian lain, karena itu ia terpaksa menjalani profesi sebagai penambang galian C di kampung halamannya.
“Ambo lai punyo sapetak sawah, tapi orang nan mangarajoan. Hasilnyo dibagi duo. Gadang manambang kasiak pado batani lai (Saya punya sebidang sawah, tapi orang lain yang menggarapnya. Hasilnya dibagi dua. Bertani tidak cukup menjanjikan dibandingkan menambang pasir),”tuturnya saat ditemui Padang Ekspres tengah memindahkan pasir ke pinggir sungai, Senin (18/10).
Diuraikan ayah dari dua anak itu, dirinya dalam sehari bisa mengumpulkan pasir satu mobil bak terbuka yang dijual seharga Rp 50ribu per mobil. Sedangkan upah untuk mengangkat pasir dari pinggir sungai kedalam mobil ia mendapat upah Rp 10ribu. Sehingga penghasilannya bisa mencapai Rp 60ribu per hari untuk keluarga.
Sementara itu, Itos, 30 mengaku bisa mengumpulkan pasir hingga dua mobil sehari jika kesehatannya vit, cuaca cerah dan pasir yang akan ditambang banyak. Akhir-akhir ini, ia dan teman seprofesinya cukup sulit menambang pasir di batang kuranji karena ketersediaan pasir yang minim.
“Biasanya kalau hujan, banyak pasir dari hulu. Tapi sekarang nggak begitu. Paling kalau air besar dari hulu, baru banyak pasir yang mengendap,”tutur Itos, pria yang mengaku bekerja dari 08.00Wib hingga 17.00Wib itu.
Tak jauh dari penambang pasir, Kiri, 75 baru saja mengumpulkan batu kali yang dia angkut dari tengah sungai dengan menggunakan benen. Ayah dari 10 anak itu masih kuat menjalani pekerjaan keras itu meskipun usianya sudah senja. Batu-batu kali itu kemudian ia tumpuk dipinggir sungai untuk kemudian dipecahkan menjadi batu ukuran 57 yang bisa dijual per kubiknya dengan harga Rp 95ribu.
“Dengan pekerjaan ini saya menghidupi orang rumah dan 10 anak saya. Kini, anak lekaki saya turut mewarisi profesi ini. Kecuali satu orang yang kini menjadi dosen di Unand,”tuturnya dengan bangga sambil mengelap peluh di dahinya.
Dengan bertelanjang dada, pria renta ini tak segan turun ke sungai mengumpulkan batu kali. Setelah batu ditaruh di tepi sungai, dua orang remaja usia belasan tahun segera memecahkan onggokan batu kali itu. Sebuah palu pun dipukulkan pada batu-batu itu hingga pecah menjadi cukup kecil, ukuran 57.
Sebagai pengumpul batu kali, Kiri mendapat keuntungan bersih hingga Rp65ribu. Satu kubik batu kali yang telah dipecah-pecah, ia jual seharga Rp 95 ribu pada toko bangunan. Kemudian, ia harus mengeluarkan Rp 30 ribu untuk upah pemecah batu. Keuntungan yang cukup besar itulah yang ia gunakan untuk membesarkan anak-anaknya.
Sehingga tak mengherankan jika lengan remaja bertubuh kecil dan kurus seperti Habibi memiliki lengan yang berotot karena setiap harinya harus mengayun palu dan memukulnya dengan kencang hingga batu kali itu pecah. Dari pekerjaan memecah batu itu, Habibi mendapat upah Rp 30ribu per kubiknya.
Namun, biasanya bocah yang mengaku tamatan Madrasah Aliah Negeri itu hanya bisa memecahkan batu hingga setengah kubik saja dan untuk mencukupkan satu kubik harus digabungkan dengan pecahan batu teman seprofesinya yang lain. Waktu bekerjanya, dari 08.00wib hingga 13.00WIB. Setalah itu, ia istirahat ke rumahnya untuk melepas penat. (m)


Tidak ada komentar: