Suci Refika Wulan Sari, Korban Gempa
Tertimbun 48 Jam, Selamat Berkat Mukjizat
Setelah terkurung selama 48 jam di reruntuhan gedung kuliah STBA Prayoga, September 2009 lalu, Suci Refika Wulan Sari, 26 berhasil diselamatkan. Dia menjadi salah satu dari dua orang yang selamat dari goncangan gempa yang menewaskan puluhan mahasiswa dan tim pengajar. Menjadi ibu rumah tangga dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kerinci ia jalani dengan suka cita meskipun harus kehilangan sebelah kakinya.
Laporan—Marisa Elsera
Meski harus menjalani sisa umurnya tanpa kedua kakinya, Suci tetap bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarganya. Kecintaan dan pengabdiannya pada keluarga kecilnya itu ia buktikan dengan memberikan perhatian dan ketulusan pada orang-orang yang ia cintai.
Bukan tak menghargai profesi sebagai ibu rumah tangga, hanya saja ia masih sering berkeinginan untuk tetap mengajar. maklum saja, sejak kecil ibunda dari Muhammad Fakih Afgani itu sudah bercita-cita menjadi pengajar. Namun, sejak gempa yang melanda Sumbar itu, Suci tak pernah mengajar kembali,
“Kangen mengajar lagi. Masih ada ga ya yang mau terima? Rasanya hidup lagi kalau kembali ke dunia pendidikan. Oh god, help me please,” tutur Suci yang kini memutuskan untuk tinggal di kampung halamannya, di kerinci bersama suami dan anaknya.
Bagi wanita berlesung pipit itu, mengajar dan mengurus keluarga merupakan jiwanya. Kehilangan kesempatan mengajar sempat membuatnya patah arang, namun untunglah ia dikuatkan oleh keluarga yang tiada henti memberikan dukungan padanya. Hingga kini, ia masih berharap agar suatu saat, akan ada lembaga atau sekolah yang bersedia menerimanya sebagai salah satu tim pengajar sehinga ia bisa membagi ilmu bahasa inggris yang ia kuasai kepada muridnya.
Semenjak kecil ia sudah menyenangi dengan dunia mengajar. Suci kecil sering melakonkan peran sebagai guru ketika bermain bersama teman-temannya. Bakatnya mengajar tumbuh sejak kecil menjadi alasan Suci untuk melanjutkan kuliah ke Universitas Negeri Padang (UNP). Di matanya, menjadi guru atau dosen memegang tugas dan tanggung jawab mulia. Tapi sayang, sejak gempa itu, Suci tak pernah lagi mengajar atau pun ditawari mengajar di yayasan, sekolah ataupun perguruan tinggi.
Suci jadi teringat kala sore itu, gedung kuliah STBA Prayoga tengah dipadati oleh mahasiswa yang wara-wiri dan menjalani perkuliah tiba-tiba digoncang gempa. Suci yang kala itu tengah mengajar di labor bahasa lantai 3, segera keluar dari ruang kelas dan bergandengan dengan murid-muridnya menuju lantai satu.
Namun, baru tiba di tangga lantai dua, bangunan di lantai tiga ambruk dan menimpa lantai dua dan lantai satu. Suci, Ridho, Rully dan Sari terjepit diantara reruntuhan itu. Serta merta suasana menjadi gelap dan pengap. Saat itu, Suci bisa merasakan suasana sunyi, sepi, gelap, panas, pengap,bau, dan sakit yang luar biasa ia rasakan.
Saat tertimbun, Suci berada dengan posisi kaki diatas kepala dibawah. Kaki ibu satu anak itu terhimpit oleh puing-puing beton dan mayat mahasiswanya yg telah meninngal dunia. Kakinya yang luka sobek bercampur dengan darah dan nanah dari mayat-mayat korban gempa lainnya yang menghimpit kakinya.
“Pada awal tertimbun beton, ada 4 orang yg masih hidup, yakni Suci, sari, rully dan ridho. Namun ridho hanya mampu bertahan hidup 15 menit. Hanya nafasnya yg terdengar sesak. Tak lama kemudian nafasnya pun tidak terdengar lagi.,”tuturnya.
Setelah kematian Ridho, di dalam reruntuhan itu hanya tinggal Suci, Sari dan Rulli yg masih hidup. Namun karena terlalu lama menunggu tim evakuasi, Rully harus dipanggil oleh Yang Maha Kuasa setelah satu malam bertahan dibawah reruntuhan. Tak banyak yang bisa Suci lakukan selama tertimbun dalam reruntuhan. Hanya doa dan terus berteriak meminta pertolongan. Tapi, teriakan Suci bagaikan si bisu barasian. Tidak seorang pun diluar sana yang mendengar teriakannya.
Dari balik reruntuhan itu, melalui lampu handphone, Suci melihat mayat-mayat yang saling berhimpitan dan bertebaran. Tampak mayat-mayat mahasiswanya dan rekan sekerjanya dengan kondisi yang sangat miris. Kepalanya hancur, perutnya pecah, dagingnya keluar persis seperti kornet dan berbagai macam bentuk yg mengerikan. Serta merta Suci merasakan ketakutan yg teramat sangat. Ia mulai berfikir bahwa hidupnya harus berakhir sampai disitu bersama puluhan mayat yang turut terkubur dalam reruntuhan gedung.
Tak lama kemudian terbersit dibenaknya wajah anak sematawayangnya, Muhammad Fakih Afgani yang saat itu baru berusia 15 bulan. Semangat untuk bertahan hidup kembali bergelora. Ia tak henti-hentinya berdoa agar diselamatkan dari reruntuhan itu dan bisa bertemu dengan suami dan buah hatinya.
Ia kemudian mendengar seolah-olah anaknya tengah memberikan semangat dari luar reruntuhan untuknya. Dorongan semangat itulah yang membuat Suci semakin kuat untuk bertahan hidup.
"Mami pasti bisa, mami harus bisa keluar, mami harus kuat. Karena itu aku bisa bertahan selama 48 jam lamanya,”cerita wanita kelahiran 13 Juni 1984 itu.
Setelah 24 jam berteriak minta tolong tanpa makan dan minum, barulah orang-orang diluar sana menyadari bahwa ternyata masih ada org yg hidup didalam sana. Evakuasi penyelamatan mulai dilakukan. Cukup sulit untuk mengeluarkan Sari dari reruntuhan itu karena posisi kakinya yg terhimpit tepat dibawah perut mayat mahasiswanya yg pecah. Dari pengakuan suaminya, perlu 5kg minyak gorengpun untuk mengeluarkan kaki nya dari reruntuhan.
Setelah 24 jam berteriak minta tolong tanpa makan dan minum, barulah orang-orang diluar sana menyadari bahwa ternyata masih ada org yg hidup didalam sana. Evakuasi penyelamatan mulai dilakukan. Cukup sulit untuk mengeluarkan Sari dari reruntuhan itu karena posisi kakinya yg terhimpit tepat dibawah perut mayat mahasiswanya yg pecah. Dari pengakuan suaminya, perlu 5kg minyak gorengpun untuk mengeluarkan kaki nya dari reruntuhan.
Dua hari setelah itu, tim sar berhasil mengeluarkan Suci dari reruntuhan gedung. sekitar jam 17.16 WIB dan dibawa ke RS Tentara Ganting, Padang. Tak lama, keluarga Suci berdatangan ke rumah sakit. Meski sudah terkurung dua hari, Suci masih sadarkan diri. Bahkan selama proses evakuasi, dia sempat berbicara dengan suami dan papanya. Pihak keluarganya itu selalu memberikan dorongan untuk tegar.
Magrib itu juga Suci dioperasi dan diamputasi. Kedua kaki Suci yang mengalami luka-luka dan bercampur dengan darah mayat menyebabkan kaki Suci terinfeksi dan harus dipotong agar infeksi tidak menjalar ke bagian tubuhnya yang lain. Menurut pengakuan suaminya, Tommy Erwinsyah Suci sempat mengalami 2 kali masa kritis. Lepas dari masa kritis, trauma hebat yang membekas pascagempa menjadi masalah baru. Setiap malam ia berteriak ketakutan. Tak hanya itu, ia pun kerap takut akan bunyi dentuman keras dan kegelapan.
“Setelah sadar, aku baru melihat tubuh ku yang penuh akan selang, jarum infus, menghabiskan 7 kantong darah dan menghabiskan begitu banyak obat-obatan, serta harus disuntik beberapa kali dalam sehari.. tidak bisa di ungkapkan betapa sakitnya pada waktu itu,”ulasnya.
Masa penyembuhan ia lalui di RS Tentara Ganting selama satu bulan lebih. Setelah melalui 7 kali operasi dan mengalami trauma hebat akhirnya Suci pun diperbolehkan pulang dan berkumpul kembali dengan keluarganya di Kompleks Singgalang, Kecamatan Koto Tangah.
Ia percaya, tiga buah doa yg ia panjatkan sesaat setelah bangunan runtuh telah menolongnya dari maut yang mengintipnya. Ia terus memohon agar Allah tidak mengambil nyawanya dan mengizinkannya untuk membesarkan anaknya. Doa keduanyanya, ia memohon agar tuhan mengizinkannya untuk berbakti kepada suami dan kedua orang tuanya, serta berikan kesempatan untuk bertobat.
Tragedi itu menjadi sebuah pelajaran yang tak ternilai harganya yg tidak dapat ia lupakan. Ia percaya bahwa tuhan tidak akan memberikan cobaan yang lebih dahsyat untuk umatnya yang tidak mampu menjalaninya. Tuhan punya jalan terbaik untuk umat yang diberi Nya cobaan, karena tuhan tidak sia-sia menciptakan manusia. (cr18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar