Selasa, 29 November 2011

Masyarakat Ciptakan Stigma bagi ODHA

By: Marisa Elsera
Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi Unand

Menjadi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) memang tidak mudah. Selain terkendala dengan kondisi kesehatan yang semakin buruk, ODHA juga menuai cemoohan dari masyarakat. Pasalnya, orang awam seringkali terjebak oleh anggapan bahwa penyakit mematikan ini berasal dari orang-orang berdosa yang telah melakukan tindakan diluar norma sosial. Informasi yang mereka (masyarakat) dapatkan, penyakit ini berpindah melalui hubungan sex yang tidak aman atau penggunaan jarum suntik yang umumnya mengancam junkies.
Beberapa lembaga survey di dunia mengungkapkan, ada banyak ibu rumah tangga yang terjangkit HIV AIDS. Hal ini disebabkan oleh Tingginya angka ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS ini sebagian besar ditularkan oleh pasangannya yang sebelum menikah atau bahkan saat sedang menikah masih sering membeli seks. Pria yang kerap membeli seks ini disebut sebagai high risk man (HRM).  Tak hanya ibu rumah tangga saja, anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang terinsfeksi HIV AIDS pun akan menderita penyakit yang sama. Jika ODHA dijatuhi stigma buruk sebagai pelaku tindakan menyimpang, tentunya hal ini tidak akan adil bagi para ibu rumah tangga dan anak-anak balita bukan?
Sementara itu, untuk skop Sumbar, Dinas Kesehatan Sumbar mengungkapkan bahwa hingga akhir 2010 lalu, penderita HIV/AIDS paling banyak diderita oleh pekerja wiraswasta sebanyak 28 orang, disusul oleh ibu rumah tangga, 13 orang. Sedangkan faktor resiko yang paling banyak menyebabkan penyakit HIV/AIDS terjangkit pada pasangan heteroseksual sebanyak 37 orang, pengguna jarum suntik sebanyak 26 irang dan akibat transfuse darah sebanyak 4 orang.
Stigma buruk tentang ODHA memang tidak hanya menempel dewasa ini saja, sebab sejak penyakit ini diakui tahun 1981 oleh Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat. Ketika itu, ditemukan adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles. Terjangkitnya penyakit ini pada awalnya disebabkan oleh hubungan seksual sesama jenis (homoseks) dan akibat kontak dengan primata (misalnya: berburu atau memotong daging hewan yang terkena virus ini).
Seiring perkembangan dunia kedokteran di dunia, mulai ditemukan sebab penyebaran virus mematikan ini ke dalam tubuh manusia. Tidak hanya berhubungan seksual sesama jenis saja yang menyebabkan seseorang terjangkit HIV AIDS tapi juga bisa disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak aman (seperti gonta-ganti pasangan atau berhubungan dengan ODHA), penggunaan jarum suntik bergantian dan akibat diwariskan oleh ibu pada bayinya.
Penemuan ini secara tidak langsung telah mendeskreditkan ODHA. Pasalnya, hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS dilakukan dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV. Secara tidak langsung, masyarakat telah menghakimi pengidap HIV sehingga mereka terbuang dari komunitasnya. Alhasil, karena kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV dan berusaha untuk tidak memperoleh perawatan agar penyakitnya tidak diketahui orang lain. Akibatnya sudah dapat ditebak, ODHA akan semakin kronis hingga berujung kematian. Bahkan tidak terelakkan penyebaran HIV yang semakin meluas di berbagai belahan dunia.
Cukup dimengerti jika para ODHA ini dicabut dari komunitasnya karena mereka dipandang hina oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan bagi masyarakat pemeluk agama sekalipun para ODHA ini sering dianggap sebagai pendosa. Kenyataan ini terjadi karena agama sangat membenci dan menghakimi para pendosa kendati di sisi lain agama juga memerintahkan umatnya untuk memberikan kasih sayang, mengunjungi, bahkan memberikan perhatian bagi yang sakit.
Sosiolog asal Amerika Serikat, Mark R Kowalewski pernah melakukan riset tentang penyakit HIV AIDS pada tahun 1990. Dia menemukan bahwa ada kekaburan moralitas agama dalam konteks AIDS. Kowaleski melakukan observasi atas sikap gereja-gereja di Amerika, melahirkan tipologi tiga jenis respons Kristen HIV & AIDS dan ODHA. Hasil penelitiannya kala itu menyebutkan bahwa ada tiga tanggapan masyarakat terhadap ODHA, yakni menyalahkan dan mengutuk ODHA dengan memahami AIDS sebagai hukuman Tuhan, merangkul dan bersimpati terhadap ODHA, dengan memahami AIDS sebagai sebuah penyakit biasa dan menolong ODHA tetapi tetap memelihara kesakralan gagasan-gagasan agama tentang moralitas.
Tipologi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan kaum muslim terhadap HIV & AIDS yang cenderung menyalahkan ODHA dan memahami AIDS sebagai hukuman Tuhan atas perilaku dosa dan kemaksiatan. Kendati demikian, masih ada pula kaum muslim yang lebih memilih untuk memahami HIV & AIDS sebagai krisis global yang erat kaitannya dengan ketimpangan-ketimpangan sosial daripada melihatnya sebagai masalah moral individu. Sehingga, para ODHA dianggap sebagai korban atas ketidakadilan sistem bukan orang asusila.
Penyakit HIV AIDS memang berbahaya, akan tetapi masyarakat tentu tidak boleh menghakimi mereka yang menderita HIV AIDS. Jika masyarakat tetap memandang miring dan mencampakka ODHA dari masyarakat maka hal ini akan menjadi bom waktu dikemudian hari. Maka dari itu, perlu adanya strategi yang tepat dan berkesinambungan dalam hal menahan laju epidemi virus mematikan itu. Tidak hanya strategi secara medis, tapi juga psikis dan social.
Dalam menentukan strategi menekan angka pengidap HIV AIDS tidak boleh hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja tapi juga harus didukung oleh pemerintah daerah, pihak sekolah dan perguruan tinggi, LSM dan semua elemen dalam masyarakat. Sebab, persoalan HIV AIDS tidak hanya persoalan sekelompok masyarakat tapi sudah mendunia. Untuk itulah, perlu koordinasi antar elemen untuk menekan penyebaran HIV AIDS.
Pihak medis bisa membantu dengan berbagai penemuan obat atau imun untuk pengidap HIV serta melakukan penyuluhan kesehatan hingga ke pelosok negeri. Sementara itu, para akademisi pun bisa berperan melalui sosialisasi akan bahaya hingga mengajarkan cara bergaul dengan ODHA. Begitupun dengan pemerintah yang merupakan pelayan masyarakat juga harus giat melakukan sosialisasi dan mengimplementasikan strategi penanggulangan HIV AIDS.
Meminimalisir Wanita Terjangkit HIV AIDS
Tes HIV Sebelum Menikah
Menilik berbagai survey di dunia terlebih di Indonesia yang menyebutkan bahwa ada banyak wanita (ibu rumah tangga) yang tertular HIV AIDS akibat ditularkan oleh suaminya, maka tentu hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah mesti cepat menyelamatkan para wanita dari virus mematikan ini agar kelak tidak tertularkan pada anak-anak mereka.
Agar terhindar dari penyakit ini, tidak ada salahnya jika calon pengantin memeriksakan diri dan pasangannya ke dokter untuk cek HIV/AIDS. Sebelum menikah, biasanya banyak tes kesehatan yang harus dilakukan oleh kedua calon mempelai, termasuk tes kesehatan reproduksi. Nah, ketika tes reproduksi dilakukan, calon pengantin pun dianjurkan untuk melakukan cek HIV AIDS.
Tes HIV AIDS yang penulis sarankan bukanlah tes yang akan membawa sebuah bencana bagi orang terinfeksi HIV di Indonesia. Tes ini bukanlah ditujukan untuk merampas hak-hak ODHA sebagai manusia utuh yang membutuhkan pernikahan diusia produktifnya. Tes ini juga bukanlah intervensi kedalam ranah privat warga negaranya, maupun bentuk usaha untuk menghancurkan fondasi program penanggulangan AIDS melainkan upaya menyelematkan generasi penerus dan masyarakat yang tidak terjangkit virus HIV AIDS.

Kendati calon pengantin melakukan tes dan salah satu diantara mereka terjangkit HIV, pernikahan pun tetap bisa dilakukan asalkan kedua belah pihak setuju untuk menikah. Hal ini dirasa cukup adil untuk ODHA dan untuk calon suami/istri. Justru jika tes tidak dilakukan dan akhirnya salah satu pasangan tertular penyakit ini maka akan menjadi tidak adil baginya karena tidak mengetahui bahwa pasangannya terjangkit HIV.
Memang pesimistis sebagian orang akan keberhasilan tes HIV prapernikahan tidak dapat dielakkan, akan tetapi tidak ada salahnya mengantisipasi terlebih dahulu ketimbang hanya berdiam diri dan berharap tidak akan tertular. Strategi ini tentu tidak serta merta menghapus penularan HIV AIDS, karena tertular bisa saja terjadi setelah masa pernikahan meskipun di awal pernikahan belum terjangkit. Kendati demikian, kita selaku manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk menghindari agar tidak terjangkit HIV.
Hindari Sex Bebas dan Narkoba
Guna menghindari terjangkit HIV AIDS, dihimbau masyarakat untuk setia dalam berhubungan sex. Artinya, sangat dilarang untuk berhubungan dengan bergonta-ganti pasangan. Hal ini dilakukan agar meminimalisir terjangkitnya virus dari pasangan yang berganti. Mengkonsumsi narkoba (suntik) pun membuka peluang besar terinveksi HIV. Pasalnya, melalui jarum suntik yang dipakai bersama dapat menularkan virus HIV. (*)

Sumpah Pemuda dan Pengaruh Hedonisme

Marisa Elsera
Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Unand
Bulan Oktober identik dengan bulannya pemuda, karena setiap 28 Oktober, Indonesia memperingati sebagai hari Sumpah Pemuda. Momen yang pertama kali menyatukan bangsa Indonesia dalam keberagamannya sekaligus merupakan bukti yang sangat nyata dimana bangsa Indonesia pertama kali dilahirkan. Tahun 2011 ini, merupakan tahun ke-83 setelah dikumandangkannya Sumpah Pemuda. Meski begitu, perpecahan dan konflik masih sering timbul dimana-mana yang kadangkala bermula dari perselisihan pemuda dan berakhir jadi kerusahan besar.

Inilah wajah Indonesia setelah puluhan tahun Sumpah Pemuda.  Jika pada awalnya semua elemen pemuda Indonesia mulai Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dll bersatu mengikrarkan sumpah pemuda untuk pemersatu bangsa, tapi lain halnya dengan sekarang. Sebagian pemuda kerap mementingkan ego sendiri dan tak sungkan untuk membuat kerusuhan. Sungguh miris jika meliat keadaan sebagian pemuda Indonesia belakangan ini. Ikrar dan kebulatan tekad untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia seperti yang dilakukan para pendahulu nyatanya perlahan mulai terkikis.
Semangat persatuan para pemuda dulu harus diikuti pemuda masa kini, yaitu dengan mengisi kemerdekaan. Semangat mengisi kemerdekaan yang sangat kecil itulah yang justu merusak bangsa. Tak jarang hanya karena sedikit salah paham, para pemuda melakukan tawuran, mulai dari tawuran antarpemuda desa, antar sekolah dan antaruniversitas. Tindakan ini tentunya telah menghancurkan semangat Sumpah Pemuda. Tak hanya emosional yang menjadi persoalan pemuda Indonesia, sifat egois dan individual pun menyulap mereka menjadi apatis dan abai pada lingkungan. Bahkan, tak ayal para pemuda-pemudi Indonesia terjerumus ke dalam narkoba, hura-hura, dan pesta-pora.
Fenomena ini merupakan dampak dari modernisasi yang semakin pesat. Bahkan dengan bangganya para pemuda menjalani gaya hidup yang hedonis, dimana hidup hanya diisi untuk mencari kesenangan semata. Misalnya, senang di tempat keramaian, senang membeli barang-barang mahal yang kadang tidak bermanfaat, lebih banyak bermain dan selalu ingin jadi pusat perhatian. Gaya hidup hedonis ini telah menghipnotis generasi muda dan membuat mereka menjadi makhluk yang emosional, egois dan individual. Tak mengherankan bila sebagian generasi muda kita menjadi apatis dan gampang terpengaruh pergaulan buruk. Sebab, mereka ini tidak memiliki jati diri yang kuat.
Pada akhirnya, adat dan tradisi masa lalu menjadi tergeser dengan adanya perkembangan dunia yang semakin pesat. Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi industrialism, bangsa Barat berhasil merangsak bangsa timur denagn produk-produkya yang ditumpangi oleh warna-warna westernisasi yang sangat kontras dengan moralitas dan religiusitas bangsa timur. Budaya yang dipromisikan secara missal itu merupakan bentuk neo-kolonisme. Ironisnya, para remaja dengan gaya hidup hedonis tidak menyadari ancaman moralitas dan martabat dari invasi tersebut. Mereka justru takluk bahkan menghambakan diri pada budaya hedonis yang merupakan manipulasi westernisasi.
Pengaruh gaya hidup yang demikian tentu tidak terlepas dari peran media massa dalam mensosialisasikannya. Kebanyakan dari media massa hanya mempublikasi eksistensi remaja yang bersifat sementara. Misalnya, seorang remaja dianggap eksistensinya ada jika remaja tersebut masuk menjadi anggota geng motor, menggunakan baju-baju bermerek, menggunakan ponsel Blackberry. Dengan kata lain, eksistensi remaja hanya dihargai sebatas kepemilikan dan status semata. Inilah yang disebut sebagai pendangkalan pemikiran. Jika hal ini terus dipelihara dan dibudidayakan, makna dan penghargaan akan makin jauh. Hasilnya, seperti yang sering terjadi belakangan ini, yakni tawuran, pemerkosaan, komersialisasi organ tubuh, dan trafficking. Inilah indikasi kehancuran kebudayaan yang dimulai dari pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan pemuda.
Untuk membangun kembali semangat persatuan dan kesatuan dikalangan pemuda, dibutuhkan Internalisasi atau proses memaknai kembali makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, hendaknya digali dan diselami. Untuk itu, kita perlu membasmi budaya hedonis dan menggantinya menjadi budaya refleksi. Refleksi adalah usaha melihat kembali sesuatu secara mendalam dengan menggunakan pikiran dan afeksi hingga mendapati nilai yang mulia yang dapat digunakan sebagai bekal hidup.  
Budaya refleksi diharapkan kesan-kesan budaya pop atau budaya hedonis tersebut dapat diendapkan. Segala pengalaman negatif maupun positif dapat dianalisis dan akhirnya diendapkan dalam nurani. Proses inilah yang membuat kaum muda remaja dapat menyadari baik dan buruknya suatu sikap. Diharapkan, kaum muda remaja dapat menindaklanjuti pengalaman yang didapat, sehingga muncul nilai-nilai dari setiap kejadian yang dialami dan menjadi bekal hidup kemudian hari.
Sumpah Pemuda memiliki makna yang mendalam bagi bangsa Indonesia karena berisi ikrar bersatunya tunas-tunas bangsa oleh tanah air, bangsa dan bahasa. Hal ini mengingatkan pada jati diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang senantiasa mempertahankan NKRI dari tantangan, ancaman maupun krisis. Untuk itu, sudah selayaknya kita bersatu dan memperkuat ikatan bangsa dan bertahan dari krisis global yang mengancam ekonomi Indonesia.

Tudingan Pelecehan Tersangka Striptis oleh Oknum Satpol PP

by: Marisa Elsera
Mahasiswi Pascasarjana Unand

Membaca berita haluan, Selasa (8/11) perihal rencana penari striptis yang melaporkan Satpol PP Kota Padang karena tuduhan pelecehan, sama sekali tak membuat saya terkejut. Pasalnya, seminggu setelah penggerebekan Kafe Fellas oleh Satpol PP Kota Padang yang berujung pada penyegelan Kafe, saya diperlihatkan sebuah foto yang menunjukkan dua wanita tanpa pakaian sedang diperiksa oleh Satpol PP.  Secara kasat mata, foto itu tampak asli karena tidak tampak bekas editan yang kentara. Foto itu kemudian di zoom (diperbesar), dan tampak jelas sebuah nama yang terpampang di seragam Satpol PP itu. Namun demi menjaga praduga tak bersalah, saya tak dapat menyebutkan siapa sosok yang sedang memeriksa penari striptis yang tanpa busana itu.
Dari foto yang diperlihatkan seorang teman pada saya, tampak ada beberapa orang lagi yang sedang melihat ke arah dua wanita bugil itu. Dari kacamata masyarakat awam yang memang tidak berada di tempat kejadian, tampak pemandangan yag tidak biasa. Tentunya mereka yang melihat foto itu terkejut karena tak biasa melihat seseorang diintrogasi dalam keadaan tidak mengenakan busana.
Foto itu jadi mengingatkan saya pada kasus pemaksaan bugil seorang tersangka yang dilakukan oleh oknum Kepolisian Yunani, Oktober 2008 lalu.  Ketika itu, media massa di Yunani menyebut insiden tersebut sebagai kasus rasisme luar biasa. Insiden ini telah mencoreng citra polisi Yunani yang sedang berupaya memerangi kejahatan dan kekerasan di ibukota Athena.
Interpretasi saya pada foto yang pernah saya lihat itu nyatanya tak jauh berbeda dengan yang diberitakan Harian Haluan. Dua orang wanita itu yakni SS (21) war­ga Tanah Baroyo, Padang dan NA (21) warga be­lakang pool ALS, Keca­matan Lubeg, Kota Padang oleh Jajaran Polresta Padang me­ngaku akan mem­buat laporan terkait pe­lece­­han seksual yang dilakukan oleh beberapa oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Padang, saat mela­ku­kan penangkapan.
Koran ini menyebutkan, saat berada di dalam ruangan kafe tersebut para penari langsung mengenakan busana. Namun saat itu, sekitar tiga atau empat orang oknum petugas Sat Pol PP memaksa kami untuk membuka baju dan mengambil gambar. Selain itu mereka juga memaksa penari untuk melepaskan pakaian saat akan dibawa keluar ruangan, tapi permintaan itu kami tolak.
Terlepas dari kebenaran asli atau tidak aslinya foto itu serta benar atau tidaknya pengakuan dari penari striptis tersebut, tentunya sudah berdampak pada opini publik. Tak dapat dipungkiri citra Satpol PP pun akan tercoreng jika benar tuduhan dan foto yang terpublikasi ke masyarakat itu benar. Pasalnya, Satpol PP memiliki tugas untuk penegakan berbagai kebijakan daerah serta menjaga ketertiban dan ketenteraman umum justru melakukan tindakan pelecehan seperti yang dituduhkan tersangka striptis itu.
Sebab itulah, kasus ini harus diusut tuntas oleh kepolisian. Jika memang terbukti telah terjadi tindak pelecehan seperti yang dijelaskan oleh tersangka striptis itu, maka oknum Satpol PP tersebut harus ditindak. Namun, jika ternyata tuduhan dan foto itu tidak menjelaskan kebenaran, maka nama Satpol PP pun harus dipulihkan. Sebab, jika sebuah kabar sudah diberitakan di media massa maka ada banyak masyarakat yang akan membaca dan memiliki interpretasi yang berbeda-beda.
Diluar kasus tuduhan pelecehan terhadap tersangka striptis, Satpol PP pun harus tetap berbenah diri ke arah yang lebih baik. Pasalnya, mereka merupakan salah satu mata rantai dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara pada skala lokal dan regional. Satpol PP memiliki kontribusi yang sama besar dengan perangkat daerah lainnya.
Namun tak dapat dipungkiri, bahwa belakangan ini masih terdapat pandangan yang menyudutkan posisi Satpol sebagai penegak kebijakan daerah. Hal ini tidak terplepas dari tugas-tugas Satpol yang sering harus berhadapan langsung dengan masyarakat. Di sinilah dibutuhkan kearifan dan strategi jitu untuk “menjinakkan” masyarakat. Pendekatan dialogis dan manusiawi nampaknya akan lebih baik daripada pendekatan represif yang cenderung memicu konfrontasi langsung dan perlawanan dari masyarakat. Maka dari itu, dituntut kepiawaian untuk membangun citra positif (image building) Satpol di mata masyarakat. Memang untuk melaksanakan hal tersebut masih terdapat kendala.
Kondisi SDM saat ini nampaknya masih kurang mermadai untuk membangun jajaran Satpol PP yang professional. Idealnya anggota Satpol PP berpendidikan minimal SLTA, sehingga diharapkan dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melaksanakan tugas mengamankan berbagai kebijakan daerah. Untuk itu diperlukan berbagai upaya bagi peningkatan keterampilan dan profesionalisme semua anggota.
Dalam hal perhatian dari pemerintah pusat, berbagai upaya senantiasa dilakukan pemerintah untuk memberikan landasan untuk peningkatan kinerja Satpol PP. Salah satunya adalah pembentukan jabatan fungsional Satpol PP yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan kesejahteraan serta pengembangan karier dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara professional.
Kasus Striptis
Kasus pertunjukan striptis di Kafe Fellas, Rabu (28/9) lalu cukup menyentak publik. Masyarakat dari berbagai kalangan mengutuk kejadian itu karena  dianggap telah mencoreng nama baik orang Minang. Selain mencoreng nama baik urang awak, pertunjukan striptis jika dikaji dari segi agama dapat merusak akidah dan secara hukum melanggar  Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Untuk itu, tak mengherankan jika ada banyak pihak yang menghendaki tindakan amoral itu segera diberantas. Pertujukan amoral  yang digelar di Kota Padang jelas mencoreng Ranah Minang yang selama ini menjunjung adat  basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Peristiwa ini juga membuktikan lemahnya pengawasan dari instansi terkait. Bahkan ada isu sumir yang menye­butkan bahwa aparat kepolisian pun turut andil dalam terselenggaranya pertunjukan tersebut.

Upaya pengawasan operasional tempat hiburan malam pun dinilai lemah. Sebab, aparat masih saja terkecoh dengan pertunjukan tari striptis yang digelar. Padahal, jika pengawasan bila berjalan optimal tentu tidak akan terjadi pertunjukan amoral tersebut di kota bingkuang ini.   Sebagai orang timur, pertun­jukan tari telanjang merupakan bentuk degradasi moral atau lebih ekstrimnya penyimpangan moral. Meski demikian, faktanya streaptease (striptis) menjadi sebuah suguhan yang luar biasa untuk memikat pengunjung. Pekerjaan tersebut dilakoni wanita penghibur dan seakan pekerjan tersebut menjadi profesi resmi, karena dikelola pihak tertentu. Kegiatan tersebut banyak ditemui dipusat tempat hiburan seperti diskotik dan hotel di kota-kota besar di Indonesia. Umumnya, suguhan striptis dikelola rapi dan merupakan jaringan terselubung.

Dalam Sosiologi, penyimpangan muncul dari konflik normatif di mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu. Menurut teori control, penyebab kejahatan dapat ditemukan dari lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat atau macetnya integrasi sosial. Kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misal­nya kelas bawah) cenderung melang­gar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konven­sional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan me­nyim­pang dari aturan-aturan kelom­poknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang.

Untuk menyelesaikan serentetan kasus yang diawali dari penangkapan penari striptis hingga berujung pada tudingan pelecehan yang dilakukan Satpol PP Padang pada tersangka, maka Polresta Padang harus menindaklanjuti kasus ini tanpa tebang pilih (diskriminasi). Proses hukum tidak boleh hanya dikenakan terhadap dua wanita penari, tapi juga pemilik kafe dan tiga pria hidung belang penikmat pertunjukan ilegal. Tak hanya itu, jika tersangka striptis benar melaporkan tindak pelecehan itu, maka kepolisian pun harus mengusutnya tanpa pandang bulu pula.
Sebab, semua yang terlibat harus mendapatkan penindakan yang sama. Mereka juga harus ditangkap dan dijadikan saksi. Jika terbukti bersalah harus dijadikan tersangka dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. (*)

Pemerintah Perlu Tingkatkan Kemampuan Penanganan Marapi

Marisa Elsera
Mahasiswi Sosiologi Pascasarjana Unand

Kenyataan bahwa Sumatera Barat merupakan daerah rawan bencana, itu benar. Secara geografis, ada banyak potensi bencana yang selalu membuntuti masyarakat. Belum hilang trauma gempa 2009 dan ancaman tsunami untuk daerah pesisir pantai barat, kini ada bencana baru yang patut diwaspadai. Sejak dua bulan lalu, aktivitas Gunung Marapi memang sedikit meningkat dari normal. Bahkan belakangan Harian Haluan, Sabtu (8/10) melansir Gunung yang terletak di Kabupaten Tanah Datar itu sudah mengeluarkan abu vulkanik yang cukup mengganggu aktivitas masyarakat.
Bicara soal bencana tentu tidak akan ada habisnya. Begitupun soal konsep dan SOP penanganan bencana juga terus menjadi perdebatan dan penyempurnaan hingga saat ini. Sejak awal, Negara kita memang tidak siap dalam menghadapi potensi bencana yang ada. Tak hanya pemerintah pusat yang masih tertatih-tatih dalam penanganan bencana, pemerintah daerah pun belum menemukan konsep pas untuk penanganan bencana.
Kondisi Indonesia yang rawan bencana ini hampir mirip dengan kondisi Jepang. Negara Sakura itu telah cukup puas dengan bencana yang datang bertubi-tubi. Namun yang menjadi pembeda, Jepang banyak belajar dari kesalahan dan pengalaman dalam penanganan bencana. Tapi Indonesia masih terjebak dalam teori sementara untuk praktek masih belum siap.
Negara kita, mengakui ketangguhan Jepang dalam menangani bencana alam. Tak hanya bencana gempa dan tsunami saja, tapi Negara matahari terbit itu juga dinilai mampu menangani persoalan bencana seperti letusan gunung berapi. Nah, sebagai negara yang memiliki gunung berapi terbanyak di dunia tentu menghendaki agar penanganan bencana Jepang dapat ditiru oleh negara ini. Tapi sayang, itu baru sekedar komitmen tapi belum ada implikasinya.
Melalui beberapa sumber yang saya himpun, penanganan bencana alam gunung berapi di Jepang memang terlihat sangat handal. Pemerintah Jepang umumnya menempatkan sedikitnya 1 orang profesor dan 3-5 orang doktor untuk memantau pergerakan gunung berapi. Para pengamat ini biasanya dibekali oleh sejumlah sistem dan peralatan penunjang yang sudah canggih dan lengkap.
Sementara untuk Indonesia, seperti yang diungkap Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono, pengamatan gunung berapi umumnya ditangani oleh sedikit ahli. Diketahui dari 5 gunung berapi yang ada di Indonesia, hanya ada 1 orang ahli yang ditempatkan. Padahal saat ini, PVMBG mencatat setidaknya ada 18 gunung berapi yang sudah berstatus diatas normal. Sebanyak 2 gunung berapi berstatus siaga dan 16 lainnya berstatus waspada.
Tidak hanya dari segi sumber daya manusia (SDM), namun dari segi anggaran yang dikeluarkan pemerintah Jepang untuk penanganan bencana jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. Untuk satu gunung saja, Jepang menganggarkan sedikitnya 30 juta Yen untuk pemasangan alat pemantau aktivitas gunung berapi. Di setiap gunung, setidaknya dipasang alat seismik sebanyak 20-30 unit.
Bandingkan dengan Indonesia (pada kasus letusan Gunung Merapi lalu), pemerintah hanya menyediakan alat seismik sebanyak 4 unit dan 1 unit alat berupa laser. Terlihat bahwa kemampuan Jepang untuk mengadakan peralatan dan SDM memang membutuhkan anggaran yang sangat besar. Jepang banyak menggunakan alat yang canggih dan terkomputerisasi karena gaji pegawai disana sangat mahal. Untungnya Indonesia memiliki pengamat yang murah. Saat ini, staf PVMBG kurang dari 400 orang. Dari jumlah itu, sebagian ada yang diperbantukan untuk penanganan bencana di luar gunung berapi seperti longsor, gempa bumi, dan jenis bencana alam lainnya.
Begitulah kondisi penanganan bencana di Indonesia. Potensi bencana begitu banyak, tapi upaya mitigasi masih minim. Pemerintah baik pusat maupun daerah masih semampunya melakukan penanganan bencana. Tampak seperti tidak serius dalam mencari solusi untuk memperkecil jatuhnya korban dalam bencana.
Upaya pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dalam pengawasan aktivitas gunung Marapi memang patut didukung. Terlebih baru-baru ini ada upaya sigap dengan memberikan masker pada warga sekitar gunung karena dikhawatirkan asap yang mengepul akibat aktivitas gunung Marapi akan mengganggu pernafasan tentunya ini merupakan tindakan tepat. Hanya saja, tak cukup sampai disitu, kita butuh SOP yang jelas dan tenaga ahli lebih banyak dalam memantau aktivitas gunung Marapi.
Menghadapi kondisi geo­grafis Sumbar yang demikian, maka tentu pemerintah daerah tidak boleh bersikap lamban apalagi lalai dalam menangani ancaman bencana. Pemerintah harus berbuat lebih cepat untuk mengatasi segala ben­tuk dam­pak bencana alam yang terjadi di negeri ini, sebab pada prinsipnya per­soalan dampak bencana alam itu bersifat darurat. Segala permasalahan aki­bat dampak bencana harus cepat, tanggap, dan sigap, dalam penanggulangan benca­na, agar tidak banyak korban jiwa dan mengatasi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Keterlambatan penanganan bencana jelas akan menim­bulkan dampak besar terhadap kondisi sosial di tengah masya­rakat.
Surono pernah meng­ungkapkan Sumbar perlu memperketat pengawasan terhadap Gunung Talang dan Marapi. Setidaknya, kita perlu menambah alat untuk memantau aktifitas gunung tersebut. Sebab, selain dua gunung di Sumbar itu, ada juga tiga gunung lainnya yang saat ini berstatus waspada pasca gem­pa di Mentawai yaitu Seu­lawah Agam (NAD), Anak Krakatau (Lampung) dan Kerinci (Jambi).
Secara keseluruhan, In­donesia memiliki lima gunung api bawah laut. Status kelima gunung api itu perlu diwas­padai sebab masih berpotensi untuk meletus. Meski status Marapi ma­sih waspada, tidak ada salah­nya pemerintah dan masya­rakat mempersiapkan upaya mitigasi bencana agar saat Marapi meletus, tidak ada korban jiwa yang jatuh. Ken­dati kita menya­dari keter­batasan sumber daya manusia dan peralatan meng­hadapi bencana, tapi toh masya­rakat terus berharap pemerintah serius menanggulangi bencana ini.
Sebab, dalam penanganan benca­na tidak mengenal ke­tidak­siapan. Terlebih bagi daerah Sumatera Barat yang merupakan swalayan bencana alam, tentunya jauh hari sudah memiliki persiapan matang dalam menghadapi bencana alam. Khusus untuk bencana letusan gunung be­rapi, tidak hanya Marapi yang perlu dikhawatirkan, sebab Sumbar juga memiliki 2 gunung api aktif lainnya yang menyimpan ancaman bahaya, yakni Talang dan Tandikat. Dengan kebera­daan aktifitas kehidupan di Sumatera Barat yang berada disekitar gunung berapi, maka risiko bencana yang ditim­bulkan akan sangat besar.
Dengan status waspada ini, maka perlu dilakukan penyu­lu­han/sosialisasi, penilaian ba­haya, pengecekan sarana dan pe­laksanaan piket terbatas. Se­bab, sesuai dengan tingkatan sta­tus waspada pada Gunung Ma­rapi, berarti menandakan adanya peningkatan aktivitas yang meliputi peningkatan level normal, seismik dan kejadian vulkanis lainnya dan magma, tektonik serta hidro­termal.
Kendati baru berstatus waspada, namun pemerintah dan seluruh elemen masya­rakat harus tetap siaga meng­hadapi ancaman bencana yang datang. Pengawasan terhadap aktivitas Marapi juga harus dilakukan secara intensif agar setiap perubahan aktivitas yang terjadi dapat diketahui se­hingga pe­nang­gulangan ben­cana dapat dilakukan. Jika tidak diawasi, maka status Marapi dari waspa­da dapat seketika meningkat menjadi siaga bahkan awas sementara persiapan mitigasi bencana belum sempurna dilak­sanakan.
Perlu diketahui, jika status waspada meningkat menjadi awas, tentunya telah terjadi peningkatan intensif kegiatan seismic, aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana. Nah, jika tren peningkatan berlanjut, letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu. Pe­ningkatan status dari siaga ke awas pun terjadi begitu cepat. Dalam beberapa hari saja, letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap. Jika sudah begini, maka tindakan yang harus dilakukan yakni mengosongkan wilayah, koor­dinasi dilakukan secara harian dan piket penuh.
Guna meminimalisir jatuhnya korban jiwa, maka pemerintah daerah harus sigap mengambil keputusan untuk mengungsikan warga. Begitu aktivitas Marapi dan frekuensi semburan meningkat, saat itulah warga harus diungsikan ketempat yang aman. Meski secara keilmuwan dapat diperkirakan dampak semburan akan menimpa sekian kilometer, tapi pemda tetap harus mempersiapkan kemungkinan terburuk dari bencana yang akan datang.
Seperti yang terjadi di Merapi, Jawa Tengah tahun lalu dima­na dampak meletusnya Gu­nung Marapi menimpa hingga lebih 15 km, maka dari itu perlu Standar Operasi Pro­sedur (SOP) pengungsian dan penya­luran bantuan yang baik. Se­tidaknya harus ada ca­dangan batas evakuasi. Jika misalnya di­minta masyarakat yang berada di kawasan 15 km untuk di­evakuasi, maka setidaknya harus ada cadangan kawasan 5 km yang perlu dievakuasi. Peristiwa di Gunung Marapi Yog­ya­karta lalu bisa dijadikan pelajaran agar tidak terjadi kejadian serupa.
Hal yang perlu diperha­tikan pemerintah dalam siaga ben­cana, yakni kemampuan untuk saling berkoodinasi antar instansi dan ketersediaan dana yang cukup penang­gulangan bencana alam. Se­hingga, tidak ada istilah keterlambatan bantuan, me­ngingat masyarakat sangat membutuhkan bantuan saat aktivitas masyarakat dihen­tikan prabencana dan pasca bencana.
Selain melakukan evakuasi, usaha mitigasi dapat dila­kukan pemerintah adalah dengan membelokkan aliran lava atau membuat jalur mengalirnya lava menjauh dari permukiman penduduk.
Ketika pemda memutuskan untuk mengungsikan warga, tentu harus ada persiapan yang memadai. Setidaknya semua kebutuhan pokok warga sudah disediakan di pengungsian. Tidak hanya itu, pemerintah pun harus mempersiapkan matapencaharian untuk warga selama berada di pengungsian hingga kembali ke perkampungan pascameletusnya Marapi kelak.
Jika hal itu tidak dilakukan, maka warga tentu tidak akan mau untuk diungsikan dan akan bertahan di kawasan rawan bencana. Pasalnya, matapencaharian dan harta benda mereka ada di kawasan itu, tentu akan sulit untuk berpindah ke tempat asing tanpa kepastian pemenuhan kebutuhan mereka. Jika banyak warga yang bertahan di daerah rawan lalu terjadi bencana, maka pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal ini. (*)

BBM Jerigen Masih Dilegalkan SPBU


By: Marisa Elsera

Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bukan kabar baru lagi. Hampir setiap hari masyarakat terpekik karena bahan bakar kendaraan bermotor ini menghilang di pasaran. Penyebab kelangkaan sebetulnya sudah terendus, hanya saja penegakan hukum terhadap pelanggaran belum bisa dilakukan. Penyebabnya pun beragam, ada disebabkan peraturan yang dapat diakal-akali, pengawasan lemah hingga kongkalikong pihak terkait.

Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi kerapkali disalahgunakan. Terbukti dengan maraknya penjualan BBM ketengan (eceran) di Sumbar. Biang keladinya bukan hanya pedagang eceran tapi juga petugas SPBU yang tetap melayani pembelian BBM dengan mengunakan jerigen yang akhirnya dijual kembali dengan ketengan. Kelangkaan BBM di Sumatera Barat terjadi disejumlah daerah, seperti Kabupaten Pasaman Barat, Pasaman, Dharmasra, Sjunjung dan Pesisir Selatan serta Kota Payakumbuh. Kelangkaan itu terjadi sejak pertengahan bulan Mei lalu.

Padahal sesuai dengan Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, kegiatan usaha hilir migas harus dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Artinya, keberadaan pedagang eceran tanpa izin telah dilarang dan harus ditertibkan, Kewenangan untuk itu diserahkan kepada penegak hukum. Bagi pelanggar, akan dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar.

Namun nyatanya UU tersebut tak berjalan di Sumbar, terbukti dari maraknya pedagang minyak eceran yang memperdagangkan BBM bersubsidi disepanjang jalan. Cara mendapatkan BBM (biasanya premium) pun mudah, cukup membawa jerigen dalam ukuran menengah hingga besar ke SPBU terdekat kemudian membayar dengan harga bersubsidi yakni Rp 4.500 untuk premium kemudian puluhan liter minyak pun berhasil diangkut dan diecerkan dengan harga Rp 5000 per litenya.

Persoalan ini nyatanya tidak dianggap serius oleh pemprov Sumbar. Pasalnya, meski mengetahui adanya pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen dalam jumlah besar, tapi tidak ada larangan tegas bagi SPBU di wilayah Sumbar untuk tidak melayani pembelian jerigen. Padahal sesuai aturannya, penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen telah lama dilarang. Tapi seolah SPBU melegalkan hal itu sehingga BBM bersubsidi kini diperjual belikan.

Pemprov Sumbar masih sebatas memikirkan rencana penerapan UU larangan penjualan BBM melalui jerigen ukuran sedang hingga besar. Tapi, untuk pengawasannya justru diserahkan penuh pada instansi terkait seperti BPH Migas, Pertamina dan Pemkab/Pemko untuk mengawasi SPBU diwilayahnya. Jika sudah begitu, instansi ini punya kewenangan khusus untuk mengawasi suplay BBM.

Idealnya, untuk mengatasi persoalan pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen dapat dilakukan dengan pelarangan pembelian dengan jerigen dalam jumlah besar. Bagi industri kecil, pemprov bisa memberikan pengecualian. Mereka dibolehkan menikmati pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen tapi dengan syarat memperlihatkan kartu atau surat izin pembelian BBM dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pertambangan dan Energi (Disperindag Tamben) atau Pemkab/Pemko masing-masing daerah. Jadi, hanya industri kecil yang boleh mendapatkan BBM bersubsidi dengan jerigen. Aturan ini bisa meminimalisir  penjualan BBM ketengan.

Karena pemerintah pusat dan provinsi belum juga menentukan kebijakan untuk meminimalisir penyalahgunaan BBM bersubsidi, maka tak mengherankan jika setiap tahunnya pemerintah terpekik karena stok BBM bersubsidi habis di pertengahan tahun.  Bagaimanapun pro dan kontra larangan pembelian BBM bersubsidi, tapi aturan harus ditegakkan. Sebab, pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan aturan tersebut. Jika untuk hal ini masih ada pengecualian yang seolah melegalkan penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen maka untuk aturan lainnya tak menutup kemungkinan akan terjadi pelanggaran juga.

Kelangkaan BBM bersubsidi di Sumbar juga diakibatkan akibat lemahnya pengawasan. Inilah realita yang terjadi di SPBU Sumbar. Akibatnya, pelanggaran aturan terus terjadi, seharusnya, pihak terkait memantau pengawasan dengan cermat. Termasuk juga petugas SPBU, mereka harus tahu mana kendaraan yang boleh menggunakan BBM subsidi dan mana yang tidak. Selama ini, di beberapa SPBU terjadi pembelian BBM bersubsidi oleh kendaran perusahaan bahkan menggunakan jerigen dan drum.

Selain itu, kuota BBM untuk Provinsi Sumbar juga kurang untuk saat ini. Pasalnya bertambahnya permintaan perusahaan mengakibatkan jumlah pasokan BBM tidak memadai. Berbicara tentang pengawasan BBM bersubsidi yang belum maksimal, menyebabkan  masih ada  celah terjadi  pembiaran  terhadap pelanggaran. Bentuk pelanggaran   tersebut   lebih parah  kurang memperoleh perhatian  lalu memunculkan   permainan  berujung  pada  pembocoran rahasia. Kerap kali   pada setiap  digelar razia pasti  bocor. Jelas  kondisi  kurang baik dan menjadi pertanda buruknya  peran serta warga mendukung penertiban  distribusi  BBM.

Selain itu, kelangkaan BBM di Sumbar diduga diselundupkan ke luar daerah Sumatera Barat. Penyelundupan ke luar daerah dilakukan dengan menggunakan mobil boks, travel dan bus serta mobil pribadi. Untuk itulah, pemprov Sumbar harusnya tegas meminta Pertamina agar memberikan data penggunaan premium dan solar non subsidi kepada industri dan perusahaan serta perkebunan kepada ESDM. Jadi, pemprov pun bisa mengetahui berapa kebutuhan premium dan solar serta BBM yang diberikan pertamina serta sisanya diperoleh darimana.
 
Faktor lainnya yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan BBM adalah tidak mematuhi sistem. Penambahan kuota BBM dan armana misalnya, harus membuat lagi reskedul untuk penambahan-penambahan berikutnya. Sejumlah SPBU di Payakumbuh terjadi kekosongan premium dan solar dan BBM masuk ke daerah itu dilakukan pada malam hari.
Secara nasional, pemerintah pusat telah mengakui jebolnya kuota BBM bersubsidi yang dipatok DPR dalam APBN 2011 bukan hanya dikarenakan terjadinya disparitas harga antara BBM subsidi dan non subsidi. Namun, juga oleh ulah para industri tambang yang dengan sengaja membeli BBM subsidi tersebut. Meski sudah kita beri informasi bahwa mereka tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi, mereka tetap saja menggunakannya. Padahal dalam peraturannya jelas tidak boleh. Selain itu, mereka juga sudah ada SPBU khusus yang memang disediakan untuk mereka. Bahkan SPBU itu sudah memiliki tangki atau truk khusus.

Namun di Sumbar sendiri, janji BPH Migas untuk meningkatkan pengawasan, baik dengan menggandeng pihak kepolisan maupun pemerintah daerah setempat nyatanya belum menampakkan perubahan. Pemakaian BBM bersubsidi tetap saja overload per triwulannya. Tentunya ini disebabkan oleh industri dan tambang yang kerap menyalahgunakan penggunaan BBM subsidi. Oleh karena permintaan BBM subsidi yang terus meningkat, dalam APBNP 2011 kuota BBM subsidi naik. Bahkan pihak terkait dalam pengawasan penebusan BBM nonsubsidi untuk industri yakni Pertamina dan BPH Migas bahkan tidak mampu memberikan daftar penebusan. Karena tidak transparan itulah, asumsi miring lemahnya pengawasan hingga kongkalikong makin diyakini publik.
Jika ada kemungkinan terjadinya hal-hal tak wajar menyoal distribusi BBM bersubsidi ini, apakah itu di level SPBU, pendistribusian, harus diatasi. Pertamina juga diminta lebih baik melakukan pengawasan BBM bersubsidi ini. Nah, apabila ada indikasi kecurangan pada tingkat SPBU, maka SPBU itu dapat ditindak tegas. Sebab, distribusi BBM subsisi harus diawasi betul-betul, agar BBM bersubsidi itu benar-benar dinikmati masyarakat. Jangan sampai BBM bersubsidi diselewengkan.

Disinilah peran BPH Migas dan Pertamina dalam mengawasi banyaknya tangki-tangki BBM siluman pada kendaraan roda empat khususnya truk. Karena, ada indikasi satu mobil memiliki tangki ganda. Dalam penertiban, tidak boleh pandang bulu. Siapa pun yang melanggar, harus ditangkap serta beri sanksi yang tegas. Bila ada oknum SPBU atau karyawan terbukti kerjasama memberikan porsi tidak sesuai dengan kapasitasan kendaraan layaknya, harus ditindak. (*)