Senin, 31 Desember 2012

Bangkitkan Kesadaran Sosial untuk Atasi Kemiskinan


Seiring kemajuan zaman, semakin kompleks pula persoalan yang dialami masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya persoalan yang tengah membelit masyarakat dari berbagai elemen. Khusus bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, maka persoalan kemiskinan menjadi salah satu masalah yang tengah mengakar selama ini.
Seperti halnya faktor penyebab kemiskinan yang beragam, maka faktor penyebab kegagalan strategi pengentasan kemiskinan pun beragam. Namun uniknya, meski program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah belum cukup mampu mengurangi kemiskinan yang membelenggu kalangan bawah, nyatanya pemerintah terus ngotot bahwa kemiskinan menurun dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari perbedaan angka dan saling lempar statmen antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Asian Development Bank (ADB).
Berdasarkan data dari ADB, penduduk miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7 juta orang sejak 2008 hingga 2010. Pada 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 40,4 juta orang, dan pada 2010 menjadi 43,1 juta. Survey ini menobatkan Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia yang meningkat angka kemiskinannya. Sementara itu, BPS mengklaim bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia turun sekitar 4 juta orang sejak 2008 hingga 2010 (dari 35 juta menjadi 31 juta orang) nyatanya secara kasat mata dapat kita lihat bagaimana masyarakat miskin di sekeliling kita menjadi makin melarat karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hariannya.
Kendati angka kemiskinan masih terus diperdebatkan dan masyarakat miskin pun semakin melarat, bukan berarti pemerintah Indonesia tidak melakukan upaya apapun untuk mengatasi krisis ini. Pemerintah telah menerapkan berbagai strategi pengentasan kemiskinan hanya saja masih belum mencapai hasil yang maksimal. Bahkan, ada banyak program yang hanya dicopy paste dari program kurang berhasil sebelumnya kemudian diganti dengan nama yang berbeda. Alhasil, sudah dapat ditebak bahwa gol (tujuan) pembangunan tidak dapat mensejahterakan masyarakat.
Persoalan kemiskinan di Indonesia tidak hanya melanda masyarakat di perkotaan saja seperti yang sering disebut-sebut para ahli sosial karena disebabkan oleh urbanisasi. Kemiskinan juga melanda perdesaan bahkan kemiskinan pun tak pernah luput dari daerah agraris sekalipun. Artinya, persoalan kemiskinan sudah menjadi persoalan universal bagi masyarakat Indonesia.
Tanpa mengecilkan upaya pemerintah dan elemen lainnya untuk pengentasan kemiskinan, toh pada kenyataanya strategi pengentasan kemiskinan belum lagi mujarab untuk menarik penduduk melewati garis kemiskinan. Sejak Indonesia merdeka 66 tahun yang lalu, pemerintah dan pihak swasta sudah berupaya mengimplementasikan program pengentasan kemiskinan ini. Tapi hasilnya, kemiskinan masih membayang-bayangi masyarakat.
Bila dilihat dari sudut pandang para ekonom Indonesia yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi penduduk miskin sangatlah bertolak belakang jika dibanding dengan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyebutkan bahwa Presentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yakni sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Jomplangnya data yang dipublish tersebut, disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Maksudnya, ekonomi yang tumbuh di Indonesia beberapa tahun terakhir ini hanya meningkat untuk pengusaha kelas atas, sementara para pengusaha kecil atau industry rumah tangga tidak mengalami pertumbuhan yang menggembirakan.
Tak hanya para ekonom yang menemukan konsep kemiskinan kemudian mengusulkan strategi pengentaskan kemiskinan di Indonesia, para ahli sosial seperti sosiolog pun tak mau ketinggalan untuk melakukan penelitian tentang kemiskinan ini. Perbedaan perspektif dalam memandang kemiskinan menyebabkan strategi pengentasan kemiskinan yang dilakukan menjadi beragam pula.
Sebenarnya, pemerintah sudah memiliki kebijakan dan rencana kerja baik untuk penanganan kemiskinan ini. Terbukti dengan banyaknya program-program pengentasan kemiskinan di masing-masing kementrian dan lembaga. Namun, implementasinya memang kurang optimal. Tidak sedikit program pengentasan kemiskinan tidak tepat sasaran sehingga masih banyak warga miskin yang tidak terpenuhi hak sosial dan ekonominya. Bahkan berdasarkan laporan BPK Semester I tahun 2011, ada dana bantuan sosial sebesar Rp 2,2 triliun yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak tepat sasaran.
Sejak masa orde baru hingga masa reformasi beragam program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia cenderung memberikan bantuan semata. Pemberian BLT, JPS, PPK, sampai PNPM memperlihatkan bahwa program hanyalah memberikan bantuan tanpa menciptakan wirausahawan sosial yang menyertainya. Akibatnya, bantuan tak dapat mengatasi persoalan kemiskinan karena tida membawa perubahan dalam masyarakat yang signifikan. Demikian juga dengan perusahaan baik itu BUMN maupun swasta dengan program CSR maupun PKBL lebih cenderung untuk memenuhi ketentuan UU.
Upaya Pengentasan Kemiskinan
Belajar dari program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah mulai dari Jaminan Pengaman Sosial (JPS) hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT) maka dapat dijelaskan kekurangan dari pelaksanaan program tersebut. Salah satunya, karena program tidak melibatkan masyarakat. Progra-program tersebut hanya digerakkan oleh pemerintah sementara masyarakat tidak diikut sertakan. Program itu tidak berupaya untuk membangun kesadaran masyarakat untuk mengatasi pengentasan kemiskinan.
Seharusnya, pemerintah mencoba mebangkitkan kesadaran masyarakat akan masalah yang dihadapinya serta mencoba memberikan solusi dengan mengucurkan kredit tanpa agunan maupun syarat yang memberatkan. Selama ini, program pengentasan kemiskinan justru berupa sedekah. Hal ini malah merampas insentif orang miskin, mengerdilkan kreatvitasnya dan merampas harga diri mereka. Maka dari itu, masyarakat miskin tidak boleh diberi bantuan materi semata, akan tetapi juga harus disadarkan bahwa mereka berada dalam masalah, serta memberikan solusi utnuk mengatasi masalah kemiskinan.
Penyebab Kemiskinan
Sedikitnya ada dua jenis kemiskinan, yakni kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural (budaya). Nah, untuk kemiskinan structural ini (kemiskinan yang hadir dan muncul bukan karena takdir, kemalasan, atau keturanan) timbul dari suatu usaha pemiskinan yang dilakukan oleh sistem Negara. Maksudnya, kemiskinan terjadi akibat kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, dimana orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan.
Sementara kemiskinan cultural disebabkan oleh kebodohan, kemalasan dan keinginan berprestasi yang rendah. Kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan oleh kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya. Dalam konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada takdir. Orang-orang ini meyakini hal yang menimpanya sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima. Sehingga, tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak.
Kemiskinan structural dan cultural sama-sama sulit untuk dientaskan. Pengentasan kemiskinan ini pun harus sesuai dengan tipe kemiskinannya. Jika kemiskinan itu disebabkan oleh structural, maka kebijakan pemerintah harus dirubah lebih pro rakyat. Sementara itu, untuk kemiskinan cultural, maka budaya yang ada di masyarakat itu harus dirubah. Caranya, yakni dengan sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Empat Model Jaminan Sosial
Untuk mengentaskan persoalan kemiskinan di berbagai negara, menurut analis pembangunan, Edi Suharto dapat dilihat dalam 4 model, yakni model universal, institusional, residual dan minimal. Model universal, misalnya yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
Model kedua, institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).  Kemudian ada pula model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru yang memberikan jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.  Terakkhir, yakni model minimal yang dianut oleh Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Korsel, Filipina dan Srilanka. Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur. (*)

Oleh:Djasman St Batuah

STOP STIGMA BURUK BAGI ODHA


HIV AIDS bukanlah penyakit kutukan yang timbul sebagai hukuman bagi penderitanya. Opini inilah yang harus dijelaskan kepada publik untuk menyelamatkan para penderita HIV AIDS dari penggucilan secara sosial. Umumnya Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dicabut dari komunitasnya karena mereka dipandang berbeda bahkan ada pula yang dianggap hina oleh sebagian besar masyarakat. Tak terkecuali pula bagi masyarakat pemeluk agama yang menganggap ODHA sebagai pendosa. Efek dari pengucilan secara social itu, para penderita HIV/AIDS merahasiakan penyakit mereka dari masyarakat sekitarnya agar bisa disetarakan dengan masyarakat lainnya yang bukan ODHA. Dampaknya, penanganan medis, psikologis dan sosial seringkali terlambat untuk dilakukan pada ODHA.
Stigma buruk yang melekat pada ODHA tidak dapat dilepaskan dari sosialisasi yang kurang sempurna dalam pelaksanaan penyuluhan HIV AIDS terdahulu. Perilaku seks bebas, penggunaan narkoba dengan jarum suntik, berhubungan seks sesame jenis dan beberapa tindakan asusila lainnya seringkali dikemukakan sebagai penyebab penularan narkoba yang utama. Padahal, terinfeksi HIV AIDS tidak hanya terjadi pada perilaku diatas, tapi juga dapat terjangkit pada mereka yang tidak pernah melakukan perbuatan tersebut. Misalnya, penularan melalui jarum suntik pada saat donor darah dan penularan yang terjadi akibat pasangan (suami-istri) yang suka melakukan hubungan seks berganti-ganti pasangan. Dengan demikian, penderita HIV/ AIDS ini bukanlah para pendosa seperti yang sering distigmakan oleh masyarakat awam, melainkan mereka adalah korban dari penularan virus tersebut.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai penelitian medis yang dilakukan di kota-kota di Indonesia. Misalnya pada 3 provinsi berikut ini, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta dan Sumatera Barat. Penyebaran HIV-AIDS di tiga daerah ini sudah merambah ke kalangan ibu rumah tangga dan remaja. Hal ini tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada daerah lainnya di Indonesia. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi DIY pada Juni 2012, jumlah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga menduduki ranking tertinggi kedua setelah wiraswasta yakni sebanyak 189 kasus. Hal serupa juga terjadi di DKI Jakarta dimana Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) DKI Jakarta mencatat pada tahun 2012 ini sebanyak 324 ibu rumah tangga di Jakarta terinfeksi HIV/AIDS. Fakta ini sangat mengejutkan, karena ibu rumah tangga bukan merupakan fokus utama pengawasan yang dilakukan KPA DKI Jakarta.
Sosialisasi atas HIV AIDS yang kurang sempurna sehingga menciptakan stigma buruk bagi ODHA tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga menjadi tanggungjawab media massa. Sebagai contoh, pemberitaan HIV/AIDS yang dimuat dalam sebuag media massa nasional pada 24 November 2012 lalu. Media tersebut mengungkapkan bahwa penularan AIDS tertinggi melalui seks bebas dengan angka 71 persen dari total ODHA, sebanyak 18,7 persen terkena dari jarum suntik narkoba dan sisanya penularan ibu ke bayinya. Angka-angka memilukan itu dijabarkan tanpa sedikitpun menyinggung bagaimana penularan itu dapat ditularkan kepada ibu rumah tangga dari suaminya yang sering jajan seks yang kemudian dapat juga ditularkan oleh ibu hamil kepada janinnya.
Seiring perkembangan dunia kedokteran di dunia, mulai ditemukan berbagai sebab penyebaran virus mematikan ini ke dalam tubuh manusia. Misalnya, berhubungan seksual sesama jenis, hubungan seksual yang tidak aman (seperti gonta-ganti pasangan atau berhubungan dengan ODHA), penggunaan jarum suntik bergantian dan akibat diwariskan oleh ibu pada bayinya menyebabkan seseorang terjangkit HIV AIDS. Penemuan ini secara tidak langsung telah mendeskreditkan ODHA. Pasalnya, hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS dilakukan dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV.
Secara tidak langsung, masyarakat telah menghakimi pengidap HIV sehingga mereka terbuang dari komunitasnya. Alhasil, karena kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV dan berusaha untuk tidak memperoleh perawatan agar penyakitnya tidak diketahui orang lain. Akibatnya sudah dapat ditebak, ODHA akan semakin kronis hingga berujung kematian. Bahkan tidak terelakkan penyebaran HIV yang semakin meluas di berbagai belahan dunia. Cukup dimengerti jika para ODHA ini dicabut dari komunitasnya karena mereka dipandang hina oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan bagi masyarakat pemeluk agama sekalipun para ODHA ini sering dianggap sebagai pendosa. Kenyataan ini terjadi karena agama sangat membenci dan menghakimi para pendosa kendati di sisi lain agama juga memerintahkan umatnya untuk memberikan kasih sayang, mengunjungi, bahkan memberikan perhatian bagi yang sakit.
Penyakit HIV AIDS memang berbahaya, akan tetapi masyarakat tentu tidak boleh menghakimi mereka yang menderita HIV AIDS. Jika masyarakat tetap memandang miring dan mencampakka ODHA dari masyarakat maka hal ini akan menjadi bom waktu dikemudian hari. Maka dari itu, perlu adanya strategi yang tepat dan berkesinambungan dalam hal menahan laju epidemi virus mematikan itu. Tidak hanya strategi secara medis, tapi juga psikis dan social.
Dalam menentukan strategi menekan angka pengidap HIV AIDS tidak boleh hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja tapi juga harus didukung oleh pemerintah daerah, pihak sekolah dan perguruan tinggi, LSM dan semua elemen dalam masyarakat. Sebab, persoalan HIV AIDS tidak hanya persoalan sekelompok masyarakat tapi sudah mendunia. Untuk itulah, perlu koordinasi antar elemen untuk menekan penyebaran HIV AIDS. Pihak medis bisa membantu dengan berbagai penemuan obat atau imun untuk pengidap HIV serta melakukan penyuluhan kesehatan hingga ke pelosok negeri. Sementara itu, para akademisi pun bisa berperan melalui sosialisasi akan bahaya hingga mengajarkan cara bergaul dengan ODHA. Begitupun dengan pemerintah yang merupakan pelayan masyarakat juga harus giat melakukan sosialisasi dan mengimplementasikan strategi penanggulangan HIV AIDS.
           Hingga saat ini rehabilitiasi masih menjadi cara ampuh mengobati para penderita AIDS. Cara tersebut bisa mengurangi tekanan jiwa yang dialami penderita AIDS. Selain mengobati, cara lain untuk mengurangi populasi penderita HIV AIDS tentu saja akan lebih efektif jika dilakukan dengan cara preventif (pencegahan). Salah satu cara yang mungkin akan efektif adalam meminimalisir kaum wanita terjangkit HIV AIDS, yakni dengan melakukan tes HIV sebelum menikah. Mengingat berbagai survey di dunia terlebih di Indonesia yang menyebutkan bahwa ada banyak wanita (ibu rumah tangga) yang tertular HIV AIDS akibat ditularkan oleh suaminya, maka tentu hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah mesti cepat menyelamatkan para wanita dari virus mematikan ini agar kelak tidak tertularkan pada anak-anak mereka.
Agar terhindar dari penyakit ini, tidak ada salahnya jika calon pengantin memeriksakan diri dan pasangannya ke dokter untuk cek HIV/AIDS. Sebelum menikah, biasanya banyak tes kesehatan yang harus dilakukan oleh kedua calon mempelai, termasuk tes kesehatan reproduksi. Nah, ketika tes reproduksi dilakukan, calon pengantin pun dianjurkan untuk melakukan cek HIV AIDS. Tes HIV AIDS yang penulis sarankan bukanlah tes yang akan membawa sebuah bencana bagi orang terinfeksi HIV di Indonesia. Tes ini bukanlah ditujukan untuk merampas hak-hak ODHA sebagai manusia utuh yang membutuhkan pernikahan diusia produktifnya. Tes ini juga bukanlah intervensi kedalam ranah privat warga negaranya, maupun bentuk usaha untuk menghancurkan fondasi program penanggulangan AIDS melainkan upaya menyelematkan generasi penerus dan masyarakat yang tidak terjangkit virus HIV AIDS.
Kendati calon pengantin melakukan tes dan salah satu diantara mereka terjangkit HIV, pernikahan pun tetap bisa dilakukan asalkan kedua belah pihak setuju untuk menikah. Hal ini dirasa cukup adil untuk ODHA dan untuk calon suami/istri. Justru jika tes tidak dilakukan dan akhirnya salah satu pasangan tertular penyakit ini maka akan menjadi tidak adil baginya karena tidak mengetahui bahwa pasangannya terjangkit HIV. Memang pesimistis sebagian orang akan keberhasilan tes HIV prapernikahan tidak dapat dielakkan, akan tetapi tidak ada salahnya mengantisipasi terlebih dahulu ketimbang hanya berdiam diri dan berharap tidak akan tertular. Strategi ini tentu tidak serta merta menghapus penularan HIV AIDS, karena tertular bisa saja terjadi setelah masa pernikahan meskipun di awal pernikahan belum terjangkit. Kendati demikian, kita selaku manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk menghindari agar tidak terjangkit HIV.
       Jika cara diatas dianggap belum lazim oleh Negara-negara yang sedang berkembang terutama Indonesia, maka cara lain yang bisa digunakan untuk mencegah virus HIV AIDS menyebar adalah dengan menghindari hubungan sex yang tidak aman. Maksudnya, masyarakat dihimbau untuk setia dalam berhubungan sex. Hal ini dilakukan agar meminimalisir terjangkitnya virus dari pasangan yang berganti. Mengkonsumsi narkoba (suntik) pun membuka peluang besar terinveksi HIV. Pasalnya, melalui jarum suntik yang dipakai bersama dapat menularkan virus HIV.(*)