Senin, 12 September 2011

Sonya


Singgalang, Minggu (10/9/2011)

Cerpen by: Marisa Elsera

Gemericik air sungai terdengar jelas dari balik dinding kamar yang kini ditempati Sonya. Suara itu serasa menghipnotisnya sehingga dia pun semakin larut dalam lamunannya. Hingga subuh itu, matanya tak jua mampu terpejam. Semakin ia paksa memejamkan mata, semakin jauh angannya terbang. Akhirnya, Sonya pun membuka lebar jendela kamarnya hingga udara dingin di pagi buta di suatu dusun di Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan pun menerpa wajahnya.

Meski saat itu mentari pagi belum menyapa, tapi Sonya dapat melihat rerumputan yang dibasahi embun pagi melalui lampu strongkeng yang di pasang di teras rumah. Rerumputan itu pun bergoyang mengikuti arah angin yang berhembus tak karuan. Terkadang bergoyang ke Selatan, terkadang juga bergoyang ke Barat. Sama halnya dengan Sonya yang merasa hidupnya tak jauh beda dengan rerumputan itu. Merasa perasaanya semakin tak karuan, Sonya mulai mengalihkan pandangan pada serangga terbang yang mengitari lampu kamarnya. Sedikitnya ada 5 serangga yang berterbangan disana dengan lihainya, tampak seperti anak-anak yang bermain di taman bermain bersama teman-temannya. Sangat bahagia, seolah-olah tak ada duka yang dia simpan di hati.

Sonya pun berkhayal jika dia terlahir sebagai serangga itu. Barangkali akan sangat menyengangkan jika tak memiliki akal pikiran dan perasaan. Tentunya tak ada hal yang perlu dia khawatirkan dan tak perlu merasa tersakiti. Sayangnya dia terlahir sebagai manusia yang hidup di keluarga broken home. Meski secara ekonomi tergolong mapan dengan status social yang cukup disegani, toh hal itu tak mampu membuat Sonya merasa bahagia. Ada kekosongan yang dia rasakan di batinnya. Tapi entah apa itu, dia pun tak mengerti hingga kini.
Puncaknya, sehari setelah sidang perceraian kedua orang tuanya, Sonya pun kabur dari rumah. Beragam perasaan berbaur dan berkecamuk dalam hatinya. Terkadang dia merasa begitu marah hingga mampu menyakiti dirinya sendiri, terkadang pula dia merasa sangat sensitive sehingga menganggap dirinya tak berguna di dunia ini. Perceraian orang tuanya yang dinilai mendadak itulah yang membuat gadis bermata indah itu tak bisa menerima dan memilih meninggalkan kota Padang tempat kelahirannya.

Tiba-tiba lamunan Sonya buyar ketika Rista menepuk pundaknya. Tampaknya anak kedua dari tiga bersaudara itu terbangun karena udara dingin yang masuk ke dalam kamar. Dengan mata masih setengah terbuka, Rista memeluk sahabatnya itu dengan erat. Tak ada kata-kata yang ia ucapkan, hanya pelukan dan usapan di pundak Sonya yang dapat dia lakukan untuk menenangkan kegalauan Sonya. Tampaknya Rista begitu paham dengan apa yang dipikirkan sahabatnya itu. Akhirnya, dua sahabat itu pun duduk di pinggir jendela hingga adzan subuh berkumandang sambil berpelukan.

“Yuk, shalat Subuh dulu biar perasaan kita jadi tenang,” bujuk Rista sambil menepuk lembut tangan Sonya.

Tapi Sonya tetap tak bergeming, tanpa membuka suara gadis itu menggelengkan kepalanya. Artinya, dia menolak untuk Shalat Subuh dan lebih memilih melanjutkan lamunannya. Rista masih berusaha membujuk Sonya, tapi sayang gadis itu bersikeras tidak ikut shalat Subuh. Karena tak ingin Sonya marah-marah lagi, Rista pun mengalah. Dia melangkah ke kamar mandi terlebih dahulu dan menunaikan kewajibannya sebagai umat Islam.

Usai mengucapkan salam, Rista mendapati tubuh Sonya terbaring di atas sajadah bersebelahan dengan tempat Rista Shalat Subuh. Sambil memainkan pinggiran sajadah itu, Sonya terus menangis. Bahkan kali ini dia terisak cukup kuat hingga membangunkan adik Rista yang tertidur di kamar sebelah ruang shalat. Merasa kasihan, Rista pun kembali memeluk sahabatnya itu untuk menenangkannya. Namun isak Sonya semakin keras, airmata yang menetes pun semakin deras. Kini gadis manis yang banyak diidolakan mahasiswa di kampusnya itu pun tampak seperti anak kecil yang tengah menangis di pangkuan ibunya.

Kekecewaan Sonya pada keluarganya bukan saja karena perceraian itu, tapi juga karena penyebab keretakan keluarga itu. Karena kesibukan, Papa Sonya sampai jarang pulang ke rumah. Lebih banyak melakukan perjalanan dinas ketimbang berada di samping keluarga. Karena itu, Mama Sonya kerap merasa was-was dan merasa Papa Sonya punya istri atau simpanan lain. Dua tahun belakangan pun mereka sering cek-cok. Puncaknya, Mama melayangkan surat cerai karena ingin menikah lagi dengan teman kuliahnya dulu.
Pengkhianatan dan ketidakharmonisan keluarganya itulah yang membuat Sonya merasa begitu terpukul atas perceraian kedua orangtuanya. Sonya selalu berpikiran, bahwa kedua orangtuanya begitu egois. Mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri dan mengabaikan kepentingan Sonya, anak sulung mereka. Disaat Sonya butuh teman bicara, butuh bantuan dan butuh kasih sayang keluarga, dia tak bisa mendapatkan itu semua. Akhirnya, dia berubah menjadi anak yang introvert dan cenderung berprilaku menyimpang. Mabuk-mabukan hampir setiap malam sudah jadi agenda hariannya. Dia benar-benar terpuruk, dan beberapa kali sempat ketahuan hendak bunuh diri oleh pembantu dan sahabatnya, Rista.

Menyadari rapuhnya iman sahabatnya itulah, maka Rista tak mau meninggalkan Sonya . Dia bahkan rela pindah ke rumah Sonya guna mengontrol prilaku Sonya. Sebab, di sadar betul bahwa tidak ada seorang pun yang peduli pada Sonya selain dia.
“Nggak ada masalah yang nggak bisa diselesaikan. Ini cobaan, satu step yang membawa kita pada kedewasaan. Sabar ya, ambil hikmahnya,” ujar Rista sambil menyeka airmata Sonya.
“Rasanya ingin mati saja, hidup ini nggak adil. Onya benci Mama, Papa juga, Tuhan juga. Onya benci diri sendiri, benci dengan hidup ini. Nggak adil,” umpat Onya.
Adik Rista, Suci yang sedari tadi menguping pembicaraan kedua mahasiswi jurusan Sosiologi itu pun memberanikan diri menjumpai Sonya dan Rista yang masih berada di ruang shalat. Kemunculan Gadis berusia 11 tahun itu menghentikan isak Sonya beberapa waktu. Sembari tertatih-tatih, Suci mendekat dan mengusap pipi Sonya.
“Kakak jangan bilang Allah itu nggak adil. Nanti Dia murka dan mendatangkan azab pada kita loh. Tuhan itu punya cara tertentu untuk menyayang umatnya,”tutur Suci.
“Kamu terlalu kecil buat tau gimana perasaan orang dewasa,dek. Kamu enak, punya kedua orang tua yang lengkap. Tapi kakak?,” sahut Sonya.
“Gimana dengan aku yang cuma punya satu kaki?. Disaat anak seusiaku bermain dengan bebas di halaman, aku malah tertarih berjalan dengan tongkat ini. Apa menurut kakak, aku ini orang yang nggak beruntung?,” timpal Suci.

Serta merta Sonya terdiam. Dia baru tersadar bahwa Suci ternyata bunting. Padahal, dia sudah bertemu Suci sore kemarin ketika baru saja sampai di kampung. Ketika itu, dia melihat Suci tengah mengambil jemuran di halaman tapi dia tidak memperhatikan ada tongkat penyangga yang diapi Suci diketiaknya. Karena begitu larut dalam kesedihan, Sonya tak lagi peduli sekelilingnya. Sontak saja Sonya memeluk gadis kecil itu begitu erat.

Dipandanginya kondisi kaki kanan Suci yang masih terbungkus perban itu. Kemudian diliriknya wajah Suci diam-diam. Tak ada guratan kesedihan yang tampak diwajah Suci. Bahkan, dalam kondisi semiris itu pun Suci masih tetap ceria dan selalu ramah jika bertemu kenalan. Tiba-tiba saja Sonya merasa tubuhnya gemetar kencang sekali. Persis seperti habis tersengat listrik. Dia juga merasakan hatinya seperti mengerucut, lidahnya pun kelu hingga tak tahu hendak berkata apa.

“ Allah Swt masih saya sama ayah dan ibu. Makanya dia nggak mau cepat-cepat ngambil aku dari kecelakaan mobil saat itu. Allah Cuma ambil sebelah kaki ku, itu artinya Allah beri kesempatan aku buat berbakti sama kedua orangtuaku,” jelas Suci sambil tersenyum simpul.

Ah, Sonya pun tak tahu harus menjawab apa. Dia pun hanya membalas dengan senyum, meski kecut. Dia yang dewasa secara usia ternyata masih terlalu kekanak-kanakan dalam menghadapi hidup ini. Sementara Suci yang masih anak-anak sudah begitu dewasa dan mampu menerima kondisinya dengan bijak. Sempat terbayang oleh Sonya jika dia menjadi Suci, mungkin dia akan memilih kematian. Dia tidak akan sanggup hidup tanpa anggota tubuh yang lengkap.

Setelah merasa sedikit tenang, Sonya dan Suci menunaikan shalat Subuh. Usai shalat, Sonya kembali ke kamar dan merenung. Nasibnya ternyata jauh lebih beruntung dari Suci. Meski perceraian kedua orangtuanya membuat Sonya harus hidup terpisah dari Mamanya, tapi toh dia masih bisa bertemu Mama setiap waktu. Sebab, mereka hanya terpisah jarak bukan terpisah dunia. Sonya menyadari betul dia masih beruntung jika dibandingkan orang lain yang bernasib lebih malang darinya.

Ada banyak hal yang didapatkan Sonya selama berlibur 2 hari di kampung Rista. Keramahan dan kehangatan anggota keluarga Rista membuat Sonya merasa betah disana. Meski mereka tinggal di dusun yang tidak mengenal listrik dan kemewahan, toh mereka punya harta yang paling berharga yakni keharmonisan keluarga yang tidak dapat ditebus dengan apapun juga. ***



Tradisi Berhutang Demi Berlebaran


by: Marisa Elsera

Tak ada uang bukan alasan untuk tidak bermewah-mewah saat lebaran idul fitri. Perasaan gengsi yang berlebihan membuat sebagian masyarakat rela berhutang dan menggadaikan barangnya demi mendapatkan biaya berlebaran. Tak tanggung-tanggung, pakaian dan sepatu baru itu pun dibeli dengan duit berhutang demi menumpahkan hasrat berbelanja. Akhirnya, hakekat berpuasa yang dijalani selama 1 bulan terkikis oleh rasa gengsi yang membutakan mata hati.
Nah, fenomena lebaran yang penuh eforia ini merupakan wujud dari kemenangan, setelah satu bulan penuh melawan hantaman godaan. Masyarakat yang berlomba dalam kecukupan pada waktu lebaran, merupakan suatu kewajaran, karena di dalamnya mengandung makna keberkahan. Meski begitu, perilaku itu juga wujud dari tuntutan budaya yang bersifat memaksa. Masyarakat seolah tidak ada alasan untuk berkata tidak ada karena mereka terbawa dalam satu tuntutan keadaan lingkungan.
Animo masyarakat itu adalah tuntutan antara tradisi dengan religi. Sebab, dalam fenomena ini juga terdapat nilai-nilai silaturahmi yang membentuk peradaban manusia dengan perdamaian dan penuh kasih. Namun, perayaan lebaran itu akan menjadi berlebihan jika telah melanggar ajaran agama Islam.
Karena itu, seharusnya masyarakat merayakan kebiasaan berlebaran itu dengan batas-batas kewajaran saja. Toh, lebaran pada intinya memaknai sesuatu yang kembali. Ibarat mudik atau pulang kampung diartikan sebagai kembali sesuatu pada asalnya. Begitu pun lebaran harus diartikan sebagai pengembalian manusia pada fitrahnya.
Nyatanya, toh lebaran, bagi sebagian besar masyarakat, terasa lebih meriah dengan riuh konsumsi. Harga kebutuhan pokok melambung seiring naiknya permintaan. Ramadan yang disusul Idul Fitri bukan sekedar serangkaian ibadah yang di dalamnya penuh dengan nilai-nilai religius. Namun, juga ajang untuk memamerkan dan promosi produk konsumsi. Ramadan dan Idul Fitri bukan hanya disambut oleh masjid dengan berbagai rangkaian ibadah, namun pasar juga sibuk memersiapkan diri. Berbagai diskon dan potongan harga digelar demi menarik minat konsumen. Mulai dari busana muslim sebagai simbol religiusitas, sampai sembako untuk kebutuhan sehari-hari.

Timbullah kesan, tak lengkap rasanya kalau lebaran tidak memakai baju muslim baru. Atau kurang afdol rasanya kalau menu makanan yang disajikan saat lebaran sama dengan hari-hari bukan lebaran. Seolah Idul Fitri benar-benar pesta kemenangan setelah sebulan penuh menahan lapar dan dahaga. Ataukah lebih sebagai ajang balas dendam karena di bulan sebelumnya hampir segala sesuatu dilarang?

Meskipun dengan kondisi yang sedikit dipaksakan, masyarakat dari segala lapisan tak mau ketinggalan. Termasuk mereka dari kelompok masyarakat miskin. Mereka rela hutang kesana-kemari untuk memenuhi kebutuhan lebaran. Dengan mengikuti apa yang terjadi di masyarakat umum, orang akan merasa mereka adalah bagian dari masyarakat tersebut.

Kemudian keinginan untuk sama dengan orang lain sebagai simbol identitas, seperti kue lebaran, baju muslim baru, atau parcel ini direspon oleh pasar dan produsen. Direkayasa melalui iklan dan brand image suatu produk. Rekayasa tersebut selanjutnya secara tak sadar masuk di alam kognisi masyarakat. Bentuk kesadaran ini kemudian menjadi tradisi, dan berlaku di hampir seluruh pelosok masyarakat. Coba kita telisik, hampir semua orang akan mengiyakan bahwa lebaran dekat dengan kue, parcel, baju baru dan simbol fisik lain.

Tradisi baju baru dan kue yang berkelindan dengan tradisi silaturahmi dalam lebaran, yang merupakan usaha menjalin (kembali) relasi sosial justru bias menjadi ajang “unjuk gigi”. “Ini lho saya dengan baju dari mall anu.” Ajang pameran simbol status sosial. Pasar yang masuk dalam wilayah religius dan tradisi tersebut justru menciptakan diferensiasi sosial dan mereduksi nilai religiusitas itu sendiri. Jadilah Idul Fitri bukan hanya perayaan ibadah, namun juga perayaan pasar dan konsumsi.

Di kampung pada masa Lebaran orang dapat menemukan banyak hal yang tidak mereka temukan di kota yang sistem kehidupannya amat kompetitif dengan gaya kehidupan yang sudah mulai mengarah kepada individualisme. Mereka dapat menikmati –meskipun hanya sesaat– suasana perkampungan yang masih diselimuti gairah persaudaraan yang belum terjamah oleh gaya individualistis.
Budaya kita yang senantiasa menganjurkan sikap hormat dan menjunjung tinggi orang tua juga ikut menciptakan semangat mudik ini. Dengan pulang kampung mereka bisa menemukan kehangatan berjumpa dengan keluarga, terutama bagi yang masih mempunyai orang tua. Sedang bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia mereka akan berziarah ke makam orang tua dan leluhurnya, serta bersilaturahmi dengan sanak keluarganya.
Bagi orang-orang kecil yang sepanjang kehidupannya dihimpit berbagai tekanan, lebaran di kampung memberi makna kembali kehadirannya sebagai manusia. Eksistensinya sebagai manusia seakan mereka temukan kembali walaupun itu hanya beberapa hari. Demi menemukan eksistensi diri yang hilang itulah mereka rela berebut dan berdesakan dalam kendaraan umum. Tak lupa pula baju baru dan oleh-oleh yang cukup banyak juga menjadi “suatu kewajiban” bagi mereka yang mudik lebaran. Nampaknya hal itu juga akan menunjukkan eksistensi diri bagi mereka karena akan menjadi simbol kesuksesan mereka di kota. Dan semua itu harus dibayar dengan harga yang tidak murah.
Ironisnya tidak semua orang bisa mewujudkan hal tersebut dengan mudah terutama bagi yang elit (ekonomi sulit). Di antara mereka tidak sedikit yang tetap memaksakan diri untuk bisa memenuhi “kewajiban” itu. Sehingga demi mendapatkan uang dalam tempo singkat mereka menempuh alternatif dengan cara mencari pinjaman (hutang) atau pergi ke pegadaian (baik yang resmi maupun yang gelap) untuk menggadaikan barang berharga yang masih dimilikinya agar dapat mudik di waktu lebaran. Namun begitu lebaran telah usai, sekian banyak tanggungan hutang akan menghantui kehidupannya.
Mudik waktu lebaran memang telah menjadi tradisi yang tidak begitu saja bisa diubah. Atau barangkali memang tidak perlu diubah dan tidak perlu dihilangkan, karena memang sudah merupakan hak setiap orang untuk pulang kampung. Yang perlu dihilangkan adalah dampak negatif yang timbul dari mudik di waktu lebaran itu sendiri. Setuju?

Tebusan TKI Belum Memecahkan Solusi


By: Marisa Elsera

Lagi-lagi pemerintah melakukan cara instan dalam menangani masalah. Seperti biasanya, demi menjaga citra dan seolah hendak menebus kesalahan terdahulu, pemerintah pusat pun mengambil jalan cepat dalam menyelesaikan persoalan TKI. Agar tak lagi disalahkan karena lalai melindungi TKI dari jerat hukuman mati, pemerintah rela merogoh kocek hingga jutaan dolar. Sayang, cara ini bukan langkah tepat menyelesaikan benangkusut persoalan TKI yang telah mengakar.

Publik jangan terkecoh dengan solusi instan yang dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Luar Negeri dalam “menyelamatkan” TKI dari hukuman mati. Tebusan ini hanya akan dilakukan hingga suasana panas karena pemberitaan gencar media soal nasib TKI mereda. Tapi, setelah kasus ini diabaikan, TKI pun akan kembali mengalami nasib nahas. Pemerintah pun mulai abai kembali pada keselamatan dan kesejahteraan TKI di negeri orang.

Secara logika, tidak mungkin pemerintah menalangi semua TKI yang terjerat hukuman mati. Bayangkan saja, untuk menebus Darsem binti Dawud, tenaga kerja wanita (TKW) yang membunuh majikannya karena hendak diperkosa saja, Kemenlu harus merogoh kocek hingga Rp 4,7 miliar. Sementara itu, untuk membayar diyat 7 TKI lainnya yang juga sedang diujung tanduk, pemerintah juga harus  membayar 1,2 juta dolar. Nah, apa mungkin pemerintah mampu membayar diyat yang akan diambil dari APBN untuk sekitar 300 TKI lainnya yang juga dijerat hukuman mati?  Jelaslah bahwa membayar diyat TKI hanyalah upaya menyelesaikan masalah sementara waktu.

Sekedar informasi, tercatat ada 303 WNI di luar negeri terancam hukuman mati. Data itu dibeberkan Dirjen Protokol dan Konsuler Kementrian Luar Negeri, Lutfi Rauf. Sepanjang tahun 1999-2011, 303 WNI di luar negeri divonis hukuman mati yang tersebar di 7 negara dan terkait dengan berbagai kasus. Media massa melansir, angka yang paling tinggi ada di Malaysia, yakni 233 WNI. Kemudian diikuti Republik Rakyat China dengan 29 kasus. Sedangkan WNI bermasalah di Arab Saudi yang terancam hukuman mati justru berada peringkat ketiga, yakni dengan 28 kasus. Selanjutnya di posisi keempat adalah WNI bermasalah di Singapura dengan 10 kasus. Sementara di Mesir, Suriah dan Uni Emirat Arab, masing-masing satu kasus.
Keberhasilan Kemenlu membawa pulang Darsem memang patut diacungi jempol. Tapi jangan lupa, kepulangan Darsem itu merupakan upaya pemerintah membayar kelaliannya terhadap Ruyati yang terlebih dahulu dihukum pancung. Jadi, belum dapat dikatakan bahwa instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat tegas terhadap banyaknya kasus yang menimpa warga negara Indonesia di luar negeri (seperti yang dijelaskan Menlu Marty Natalegawa) mampu menyelesaikan persoalan TKI.
Tapi tampaknya public tak begitu hirau dengan upaya penyelesaian konflik sementara yang dilakukan pemerintah pusat. Sekedar mengingatkan, langkah instan pun pernah diambil pemerintah yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam menangani persoalan penganiayaan terhadap TKI beberapa tahun silam. Ketika itu, pemerintah Indonesia telah mewajibkan aturan pemberian handphone pada setiap TKI yang bekerja di luar negeri. Namun hasilnya, tetap nihil. Para TKI banyak yang tidak mendapatkan haknya untuk berkomunikasi dengan keluarga di kampung halaman karena majikan tidak mengizinkan mereka menggunakan alat komunikasi itu.

Ini artinya, Kedutaan Besar Indonesia dan perusahaan pengirim TKI di negara tetangga tidak benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik untuk mengawasi dan menjamin keselamatan TKI selama di luar negeri. Aturan tinggal aturan, padahal ketika itu SBY begitu yakin cara ini dapat menyelesaikan persoalan TKI. Inilah yang saya maksud dengan cara instan yang diambil pemerintah dalam menyelesaikan persoalan TKI.

Jika tidak begitu, tentu muncul pertanyaan kenapa pemerintah bertindak instan seperti itu. Jawabannya pun klasik, pemerintah hendak menjawab kegamangan public terhadap hak TKI mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Sebab, belakangan ini media begitu gencar menuding pemerintah lalai dalam melindungi warganya. Untuk meredam isu miring itulah, pemerintah berupaya melakukan langkah yang dianggapnya dapat mengalihkan isu miring. Mereka hendak membangun opini public bahwa nyatanya pemerintah tengah berupaya menebus kelalaiannya melindungi TKI Ruyati asal Bekasi yang telah dipancung Juni lalu tanpa terendus Kemenlu maupun Kemenakertrans.

Persoalan mendasar tentang TKI bukan hanya menanti hukuman mati, tapi lebih jauh dari itu, yakni tentang perlindungan pemerintah dan kekuatan hukum yang melindungi TKI selama berada dinegeri orang. Jika saja pemerintah segera merealisasikan perjanjian (MoU) dengan seluruh negara tujuan TKI, maka upaya perlindungan TKI dapat direalisasikan.

Hal ini penting, jika pemerintah tidak diingatkan dan didesak untuk segera menjamin perlindungan hukum  bagi TKI, maka dapat diprediksi akan lebih banyak TKI yang terjerat hukum. Pemerintah Indonesia mau tak mau harus mempercepat pelaksanaan MoU dengan negara tujuan TKI yang belum ada perjanjian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan perlindungan hukum bagi warga Indonesia disana. Sehingga, ketidak adilan tak lagi dirasakan para TKI.
Secara sosial, langkah yang dapat dilakukan guna menekan angka kekerasan terhadap TKI di Indonesia yakni dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah harus melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama untuk mensosialisasikan kehidupan di negara asing terutama nasib TKI di negara-negara yang kerap tidak memihak HAM.
Karena belum ada perlindungan yang jelas dari pemerintah bagi para TKI yang bekerja di luar negeri, maka pemerintah harus mampu meningkatkan kualitas para TKI sehingga mendapat perlakuan baik. Jadi, pemerintah harus meningkatkan kualitas TKI sehingga tak mendapat perlakuan buruk. Karena yang namanya penyiksaan di mana pun selalu ada termasuk di Indonesia.
Kisah tragis TKI selama ini menunjukkan bahwa rakyat jadi korban. Padahal negara yang dibiayai oleh pajak, retribusi dan penghasilan lainya dibentuk untuk melindungi warganya. Belum lagi devisa yang dihasilkan oleh keberangkatan ribuan TKI. Keberangkatan para TKI toh tidak hanya sekedar memperjuangkan kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi juga bagian perjuangan meringankan beban negara. Sebab, TKI itu pun pastinya sadar bahwa semanis-manisnya bekerja di luar negeri, tetaplah penuh resiko. Menjadi TKI, bagi yang sudah berkeluarga, berarti meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang tercinta. Tidak sedikit keluarga TKI yang berantakan. Seperti, suami kawin lagi dan anak–anak yang tidak terurus.
Percepatan MoU yang dilakukan pemerintah, diharapkan dapat mewujudkan pembentukan joint working group (JWG) atau tim kerja gabungan mewakili kedua negara. Sebab, pembentukan tim kerja gabungan antar kedua negara diharapkan bisa memetakan permasalahan perlindungan TKI di Arab Saudi. Tim ini diharapkan juga membenahi berbagai permasalahan TKI.

Pemerintah tidak boleh cepat berpuas diri mengingat masih ada warga Indonesia di berbagai negara yang telah dijatuhi hukuman mati. Pemulangan Darsem hendaknya disikapi sebagai titik balik pemerintah meningkatkan kinerjanya dalam melindungi warganya. Pemerintah tidak sepatutnya sekedar membantah kritikan dalam negeri, tetapi bertindak dan menjawab kritikan dengan tindakan nyata.

Perlu diingat, banyaknya persoalan yang membelit TKI umumnya dialami oleh TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka ini adalah orang-orang yang tersubordinat. Mereka tidak memiliki daya tawar yang tinggi di mata masyarakat sehingga tak mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Maksudnya, yakni pekerjaan yang membuat pekerjanya dapat perlakuan manusiawi, gaji atau upah yang memadai serta fasilitas kerja yang baik.
Untuk itu, maka calon TKI harus mempersiapkan keterampilan, pengetahuan bahasa dan budaya negara tujuan penempatan, serta kelengkapan dokumen keberangkatan utamanya Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri agar saat TKI bekerja di luar negeri tidak menghadapi permasalahan yang merugikan dirinya, di samping terhindar dari risiko yang mungkin terjadi akibat kesalahan majikan atau pengguna. Sebab, kalau TKI sudah siap maka dia akan mampu bekerja secara berkualitas dan bermartabat. Hal itu otomatis membuat TKI mampu melindungi diri sendiri.
Selain perlindungan oleh dirinya, pemerintah melalui Perwakilan RI di luar negeri juga harus mengambil peran langsung dalam melindungi TKI. Sementara perlindungan BNP2TKI terhadap TKI dilakukan bekerjasama semua unsur stakeholder (pemangku kepentingan) TKI mulai pemerintah daerah, pihak swasta, antar pemerintah pusat, serta Perwakilan RI yang ada di masing-masing negara penempatan TKI.

Penanganan Merapi Harus Sesuai SOP


Oleh : Marisa Elsera

Kondisi gunung merapi di Sumbar kembali menjadi sorotan. Baru-baru ini pemerintah mengumumkan status waspada setelah gunung setinggi 2.891 meter itu meletus sembilan kali dan mengeluarkan banyak debu vulkanik. Dengan status waspada ini maka perlu dilakukan penyuluhan/sosialisasi, penilaian bahaya, pengecekan sarana dan pelaksanaan piket terbatas. Sebab, sesuai dengan tingkatan status waspada pada Gunung Merapi, berarti menandakan adanya peningkatan aktivitas yang meliputi peningkatan level normal, seismik dan kejadian vulkanis lainnya dan magma, tektonik serta hidrotermal.
Kendati baru berstatus waspada, namun pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus tetap siaga menghadapi ancaman bencana yang datang. Pengawasan terhadap aktivitas Merapi juga harus dilakukan secara intensif agar setiap perubahan aktivitas yang terjadi dapat diketahui sehingga penanggulangan bencana dapat dilakukan. Jika tidak diawasi, maka status Merapi dari waspada dapat seketika meningkat menjadi siaga bahkan awas sementara persiapan mitigasi bencana belum sempurna dilaksanakan.
Perlu diketahui, jika status waspada meningkat menjadi awas, tentunya telah terjadi peningkatan intensif kegiatan seismic, aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana. Nah, jika tren peningkatan berlanjut, letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu. Peningkatan status dari siaga ke awas pun terjadi begitu cepat. Dalam beberapa hari saja, letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap. Jika sudah begini, maka tindakan yang harus dilakukan yakni mengosongkan wilayah, koordinasi dilakukan secara harian dan piket penuh.
Meski status Merapi masih waspada, tidak ada salahnya pemerintah dan masyarakat mempersiapkan upaya mitigasi bencana agar saat Merapi meletus, tidak ada korban jiwa yang jatuh. Kendati kita menyadari keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan menghadapi bencana, tapi toh masyarakat terus berharap pemerintah serius menanggulangi bencana ini.

Dalam penanganan bencana, tentu tidak mengenal ketidak siapan. Terlebih bagi daerah Sumatera Barat yang merupakan swalayan bencana alam, tentunya jauh hari sudah memiliki persiapan matang dalam menghadapi bencana alam. Khusus untuk bencana letusan gunung berapi, tidak hanya Merapi yang perlu dikhawatirkan, sebab Sumbar juga memiliki 2 gunung api aktif lainnya yang menyimpan ancaman bahaya, yakni Talang dan Tandikat.

 Enam tahun lalu, aktifitas Gunung Talang yang meningkat telah menyedot perhatian nasional walaupun tidak sampai menimbulkan bencana yang besar. Namun dengan keberadaan aktifitas kehidupan di Sumatera Barat yang berada disekitar gunung berapi, maka risiko bencana yang ditimbulkan akan sangat besar.

Bahkan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementrian Sumber Daya Energi dan Mineral, Surono pernah mengungkapkan pengawasan terhadap Talang dan Merapi memang ditingkatkan. Sebab itu, ditambah alat untuk memantau aktifitas gunung tersebut. Selain dua gunung di Sumbar itu, ada juga tiga gunung lainnya yang saat ini berstatus waspada pasca gempa di Mentawai yaitu Seulawah Agam (NAD), Anak Krakatau (Lampung) dan Kerinci (Jambi).

Secara keseluruhan, Indonesia memiliki lima gunung api bawah laut. Status kelima gunung api itu perlu diwaspadai sebab masih berpotensi untuk meletus. Indonesia hanya punya lima gunung api bawah laut. Belum ada penemuan baru lagi tentang gunung api bawah laut. Kelima gunung api bawah laut itu terletak di perairan Sulawesi Utara, Perairan Laut Banda dan Perairan Nusa Tenggara Timur.

Misalnya, di Sulawasi Utara, terdapat Gunung Sub Marine yang meletus tahun 1922 dan Banuawalu meletus pada 1919. Begitu juga di Perairan Laut Banda terdapat Niuwewerker yang meletus pada 1927 dan Emperor of China. Lalu satu gunung api di bawah laut lainnya ialah Hobal yang meletus pada 1999, dan berada di Perairan Nusa Tenggara Timur. Aktivitas kelimanya sampai saat ini tidak berbahaya. Namun saat aktif biasanya hanya menimbulkan buih air berasap.

Menghadapi kondisi geografis Sumbar yang demikian, maka tentu pemerintah daerah tidak boleh bersikap lamban apalagi lalai dalam menangani ancaman bencana. Pemerintah harus berbuat lebih cepat untuk mengatasi segala bentuk dampak bencana alam yang terjadi di negeri ini, sebab pada prinsipnya persoalan dampak bencana alam itu bersifat darurat.

Segala permasalahan akibat dampak bencana harus cepat, tanggap, dan sigap, dalam penanggulangan bencana, agar tidak banyak korban jiwa dan mengatasi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat.  Keterlambatan penanganan bencana jelas akan menimbulkan dampak besar terhadap kondisi sosial di tengah masyarakat.
Berdasarkan evaluasi penanganan bencana di Sumbar, nyatanya, pemerintah daerah masih terbilang lamban dalam menangani persoalan mengatasi dampak bencana karena harus melalui berbagai mekanisme yang rumit. Sebab itu perlu pembenahan metode penangananan bencana agar memiliki regulasi yang lebih baik sehingga penangangan dampak bencana ini lebih cepat lebih baik.

Berkaca dari penanggulangan bencana di Gunung Merapi, Yogyakarta lalu, dimana dampak meletusnya Gunung Merapi menimpa hingga lebih 15 km, maka perlu Standar Operasi Prosedur (SOP) pengungsian dan penyaluran bantuan yang baik. Setidaknya harus ada cadangan batas evakuasi. Jika misalnya diminta masyarakat yang berada di kawasan 15 km untuk dievakuasi, maka setidaknya harus ada cadangan kawasan 5 km yang perlu dievakuasi. Sebab, peristiwa di Gunung Merapi Yogyakarta lalu bisa dijadikan pelajaran agar tidak terjadi kejadian serupa.


Upaya Penanganan
Letusan gunung berapi dapat berakibat buruk bagi kehidupan sekitar baik manusia, tumbuhan, maupun hewan. Jika gunung berapi meletus maka magma yang ada di dalam gunung berapi meletus keluar sebagai lahar atau lava. Selain dari aliran lahar, dampak lain akibat gunung berapi meletus antara lain adanya aliran lumpur, hujan debu, kebakaran hutan, gas beracun, gelombang tsunami (jika gunung tersebut berada di dasar laut), dan gempa bumi. Karena itu, perlu usaha mitigasi dengan cara mengevakuasi penduduk yang ada di sekitar gunung berapi.
Terkadang usaha evakuasi ini menghadapi suatu dilema, misalnya ketika para ahli vulkanologi harus mengambil keputusan apakah gunung berapi yang dipantaunya akan meletus atau tidak. Jika gejala awal letusan gunung berapi begitu meyakinkan maka para ahli vulkanologi memutuskan untuk segera menginformasikan pada aparat pemerintah daerah untuk mengungsikan penduduk.
Ada kalanya, dengan gejala awal yang begitu meyakinkan sekalipun, ternyata gunung berapi tidak jadi meletus. Banyak penduduk yang tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari karena berada di pengungsian. Tetapi ketika gunung berapi menunjukkan ketenangannya dan para penduduk kembali dari pengungsian tiba-tiba terjadi letusan hebat dan menelan banyak korban. Peristiwa seperti itu merupakan bukti bahwa gejala awal suatu bencana alam sulit untuk diramalkan.
Sebab itu, pemerintah tidak boleh tinggal diam melihat situasi seperti ini. Masyarakat harus dilatih dan disosialisasikan tentang isyarat-isyarat gunung berapi.
Evakuasi yang dilakukan pemerintah daerah dalam meminimalisir jatuhnya korban jiwa saat bencana bisa saja mengalami penolakan dari masyarakat. Karena umumnya masyarakat pedesaan di sekitar gunung merapi hanya memiliki satu mata pencaharian yakni pertanian, tentunya mereka tak punya pilihan lain untuk bertahan hidup sehingga memutuskan untuk tetap tinggal dan berladang di wilayah rawan bencana. Maka akan sangat tidak bijak jika pemerintah memerintahkan mereka untuk pindah sementara mereka tidak disediakan penghidupan yang layak dan matapencaharian untuk menghidupi keluarganya secara mandiri selama berada di pengungsian.
Hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam siaga bencana, yakni kemampuan untuk saling berkoodinasi antar instansi dan ketersediaan dana yang cukup penanggulangan bencana alam. Sehingga, tidak ada istilah keterlambatan bantuan, mengingat masyarakat sangat membutuhkan bantuan saat aktivitas masyarakat dihentikan prabencana dan pasca bencana.
Selain melakukan evakuasi, usaha mitigasi dapat dilakukan pemerintah adalah dengan membelokkan aliran lava atau membuat jalur mengalirnya lava menjauh dari permukiman penduduk. Namun, meskipun berbahaya banyak orang yang tinggal dan berkebun di lereng gunung berapi. Hal ini disebabkan abu vulkanis mengandung mineral-mineral yang menyuburkan tanah, sehingga bagus untuk pertanian.

TKI “Mewek”, Pemerintah Tetap Cuek


by: MARISA ELSERA

Dari sekian Kementerian di Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi merupakan salah satu yang paling disorot belakangan ini. Kemenakertrans disebut-sebut abai pada keselamatan, keamanan dan kesejahteraan Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Tak hanya sekali dua kali, tapi lalainya kinerja Kemenakertrans telah diketahui publik sejak lama. Tepatnya, sejak persoalan TKI yang disiksa dan menderita di negeri orang muncul ke media massa. Sejak saat itu pula, issu TKI menjadi perbincangan hangat yang tak ada habisnya.

Kasus Ruyati, TKI asal Bekasi yang dipancung karena terbukti membunuh majikan yang mempekerjakannya dibelakangan ini makin memperkuat opini public bahwa Kemenakertrans memang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Sebab, ketika Ruyati dipancung, Kemenakertrans sama sekali tidak mengetahui kabar itu. Kenyataan ini menjadi tamparan bagi Kemenakertrans yang tidak melaksanakan monitoring dan pengawasan terhadap keselamatan pahlawan devisa itu.

Belakangan mulai  terungkap masih ada 303 WNI di luar negeri terancam hukuman mati. Data itu dibeberkan Dirjen Protokol dan Konsuler Kementrian Luar Negeri, Lutfi Rauf. Sepanjang tahun 1999-2011, terdapat 303 WNI di luar negeri divonis hukuman mati yang tersebar di 7 negara dan terkait dengan berbagai kasus. Media massa melansir, angka yang paling tinggi ada di Malaysia, yakni 233 WNI. Kemudian diikuti Republik Rakyat China dengan 29 kasus. Sedangkan WNI bermasalah di Arab Saudi yang terancam hukuman mati justru berada peringkat ketiga, yakni dengan 28 kasus. Selanjutnya di posisi keempat adalah WNI bermasalah di Singapura dengan 10 kasus. Sementara di Mesir, Suriah dan Uni Emirat Arab, masing-masing satu kasus.
Serentetan kasus penyiksaan hingga ancaman hukuman mati yang ditimpakan negeri tetangga pada TKI, tetap saja masyarakat Indonesia masih gencar hendak berburu emas di negeri orang. Hal ini membuktikan bahwa mereka masih begitu berharap pada negeri seberang mampu mensejahterakan kehidupannya. Sebab, dari kabar yang mereka dapatkan atas kesuksesan TKI yang pulang ke kampungnya (gaji besar dan hidup layak di perantauan) membuat masyarakat Indonesia yang umumnya berasal dari keluarga miskin tergerak untuk bekerja pula di negeri orang.
Kenyataannya, masyarakat lapisan bawah memang mengalami kemiskinan akut. Lapangan kerja merupakan barang langka. Sementara dunia usaha (khususnya dalam sekala kecil dan menengah) juga mengalami persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Akses ke sumber-sumber strategis hanya dimiliki segelintir orang dan satu dua pihak saja. Sementara rakyat kebanyakan hidup dalam kondisi pas-pasan. Kendati negara ini sudah krisis, nyatanya dalam menghadapi ini negara malah terlihat pesimis. Pesimisme pemerintah adalah bukti kegamangan atas ketidakmampuan menata ekonomi negeri ini. Angka penggangguran yang tinggi seperti yang disebutkan adalah konkretnya, betapa terbatasnya lapangan pekerjaan di negeri ini
Menghadapi tingginya biaya hidup sementara angka pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia inilah, maka menjadi buruh migran (TKI) merupakan alternatif yang dipilih sebagian angkatan kerja kita. Disamping fenomena keluarga miskin yang terus bertambah akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi di Indonesia saat ini, maka mau tidak mau, secara alami mereka akan berusaha untuk menyerbu pusat-pusat aktifitas perekonomian sebagai solusi untuk keluar dari himpitan kemiskinan yang menimpa mereka.
Dalam benak para buruh migran hanya satu, mereka ingin mengubah nasib. Alasan ekonomi, kerap lebih dominan. Himpitan ekonomi yang tak berkesudahan membuat mereka, diantaranya, memilih menjadi buruh migran. Usulan agar pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman buruh migrant ke luar negeri nyatanya disambut pesimis oleh lembaga eksekutif itu. Menurut mereka, dengan menghentikan migrasi TKI sama halnya dengan membunuh mereka. Sebab, pemerintah tidak mampu menanggulangi kebutuhan masyarakat. Jika mereka tidak bekerja, tentunya mereka tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Itu artinya, akan menambah beban negara.
Ketidakmampuan negara dalam menciptakan kesejahteraan rakyat khususnya masyarakat miskin untuk menyediakan penghidupan layak menyebabkan para TKI harus berkorban guna memenuhi kebutuhan itu. Tapi, walaupun dijuluki pahlawan devisa, perjuangan mereka tak diberi penghargaan yang layak, seperti perlindungan hukum dan hak-hak mereka. Kenyataannya, para TKI “mewek” (baca: menangis) di negeri orang, sementara pemerintah malah cuek bebek. Bukankah ini namanya air susu dibalas air tuba?.
Kisah tragis TKI selama ini menunjukkan bahwa rakyat jadi korban. Padahal negara yang dibiayai oleh pajak, retribusi dan penghasilan lainya dibentuk untuk melindungi warganya. Belum lagi devisa yang dihasilkan oleh keberangkatan ribuan TKI. Keberangkatan para TKI toh tidak hanya sekedar memperjuangkan kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi juga bagian perjuangan meringankan beban negara. Sebab, TKI itu pun pastinya sadar bahwa semanis-manisnya bekerja di luar negeri, tetaplah penuh resiko. Menjadi TKI, bagi yang sudah berkeluarga, berarti meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang tercinta. Tidak sedikit keluarga TKI yang berantakan. Seperti, suami kawin lagi dan anak–anak yang tidak terurus.
Berdasarkan data Depnakertrans, buruh migran Indoesia yang resmi secara prosedural mencapai 400.000 jiwa, sementara TKI yang tak resmi bahkan diprediksi mencapai beberapakali lipat dari yang resmi. Upaya buruh migran ini dalam mengejar hujan emas di negri orang menguras perhatian. Baik dari proses perekrutan, karantina, penempatan, perlindungannya dan proses kembali ke tanah air. Mungkin cerita tentang buruh migran sudah banyak dikedepankan.
Jika ingin mencari kesalahan, memang Kemenakertrans bisa dikambing hitamkan. Sebab, seharusnya pemerintah Indonesia harus berusaha membantu para WNI, termasuk yang ada di Arab Saudi agar hukumannya diringankan. Namun, nasi telah jadi bubur. Kita tak boleh saling tuding dan lempar tanggungjawab. Kedepan, langkah yang harus dilakukan yakni dengan mencari solusi agar keberadaan TKI di luar negeri bisa terjamin dari aspek hukum, kesehatan, pendidikan dan sosial.

Untuk mewujudkan hal itu, maka perlu peningkatan perlindungan terhadap TKI. Salah satu dasarnya adalah perlindungan HAM yang tentu menyangkut harkat dan martabat TKI. Selama ini, untuk beberapa negara yang belum ada kesepakatan perlindungan hukum terhadap TKI, salah satunya Arabsaudi maka pemerintah Indonesia hanya melakukan soft moratorium. Yakni, dengan cara mengetatkan penempatan TKI ke Arab Saudi.
Pemerintah Indonesia mau tak mau harus mempercepat pelaksanaan MoU dengan negara tujuan TKI yang belum ada perjanjian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan perlindungan hukum bagi warga Indonesia disana. Sehingga, ketidak adilan tak lagi dirasakan para TKI.
Secara sosial, langkah yang dapat dilakukan guna menekan angka kekerasan terhadap TKI di Indonesia yakni dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah harus melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama untuk mensosialisasikan kehidupan di negara asing terutama nasib TKI di negara-negara yang kerap tidak memihak HAM.
Pengetatan pengiriman TKI juga dapat menjadi solusi. Hanya TKI yang memiliki soft skill dan berpendidikan lah yang boleh bekerja ke luar negeri. Artinya, TKI yang hanya menjajakan jasa pelayanan rumah tangga (seperti pembantu rumah tangga) tidak boleh lagi dikirimkan. Sebab, berdasarkan pantauan kasus sejak beberapa tahun silam TKI yang menjadi bulan-bulanan majikan adalah pembantu rumah tangga. Sementara TKI yang punya soft skill dan berpendidikan tinggi nyatanya tak pernah mengalami kekerasan fisik dan mental.

Karena belum ada perlindungan yang jelas dari pemerintah bagi para TKI yang bekerja di luar negeri, maka pemerintah harus mampu meningkatkan kualitas para TKI sehingga mendapat perlakuan baik. Jadi, pemerintah harus meningkatkan kualitas TKI sehingga tak mendapat perlakuan buruk. Karena yang namanya penyiksaan di mana pun selalu ada termasuk di Indonesia.
Menghentikan pengiriman TKI tentu bukan solusi bijak. Karena, pemerintah Indonesia toh belum bisa memberi alternatif pilihan yang lebih baik. Namun yang perlu dilakukan adalah pemerintah memberikan bimbingan agar mereka menjadi pembantu yang berkualitas. Pemerintah harus berikan bimbingan agar mereka jadi pembantu yang berkualitas sehingga tak dikurangajari oleh orang.
Calon TKI harus mempersiapkan keterampilan, pengetahuan bahasa dan budaya negara tujuan penempatan, serta kelengkapan dokumen keberangkatan utamanya Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri agar saat TKI bekerja di luar negeri tidak menghadapi permasalahan yang merugikan dirinya, di samping terhindar dari risiko yang mungkin terjadi akibat kesalahan majikan atau pengguna. Sebab, kalau TKI sudah siap maka dia akan mampu bekerja secara berkualitas dan bermartabat. Hal itu otomatis membuat TKI mampu melindungi diri sendiri.
Selain perlindungan oleh dirinya, pemerintah melalui Perwakilan RI di luar negeri juga harus mengambil peran langsung dalam melindungi TKI. Sementara perlindungan BNP2TKI terhadap TKI dilakukan bekerjasama semua unsur stakeholder (pemangku kepentingan) TKI mulai pemerintah daerah, pihak swasta, antar pemerintah pusat, serta Perwakilan RI yang ada di masing-masing negara penempatan TKI.

Tawuran Mahasiswa Akumulatif Konflik yang Diredam


by: Marisa Elsera

Mahasiswa Universitas Andalas (Unand) kembali memberikan hadiah untuk kampus hijau yang konon termegah se-Asia Tenggara itu. Tapi sayang, kado yang diberikan para mahasiswa bukanlah prestasi bidang akademik, kewirausahaan ataupun organisasi. Sekelompok mahasiswa ini mencoreng nama baik kampus tertua di luar pulau jawa itu dengan aksi baku hantamnya. Apa hendak dikata, nasi telah jadi bubur. Kabar memalukan ini pun telah sampai ke seantero nusantara. Media massa pun telah menyampaikan betapa bobroknya mental calon intelektual itu.

Penyerangan yang dilakukan kepada mahasiswa Fisip Unand itu tak hanya sekali ini terjadi. Bulan April lalu, penyerangan juga dilakukan oleh puluhan orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi. Ketika itu, pemicu konflik juga kalah dalam pertandingan bola dalam Liga Unand (Liguna). Tidak terima kekalahan, kedua kubu pun saling ejek. Akhirnya, berujung pada penyerangan dekanat. Bayangkan saja, gedung dekanat dilempari batu hingga sarana dan prasarananya rusak parah.

Nah, kemarin juga terjadi hal yang sama. Pemicu pun sama, yakni pertandingan sepakbola dalam Liguna. Hanya saja, actor yang bermain sedikit berubah. Memang masih mahasiswa FISIP yang menderita penyerangan, tapi lawan mainnya bukan lagi mahasiswa Fakultas Ekonomi berganti menjadi Mahasiswa Fakultas Peternakan. Entah esok siapa lagi pemeran aksi bentrokan antarfakultas di kampus hijau itu.

Usut punya usut, kisruh Liguna ini bukan saja terjadi pada musim ini. Beberapa tahun sebelumnya, sempat terjadi tawuran yang dipicu oleh pertandingan bola. Sebab itulah, Rektor Unand memutuskan untuk menghentikan Liguna guna meredam konflik yang bisa saja terjadi usai pertandingan digelar. Tapi karena mempertimbangkan banyak faedah positif yang dapat dipetik dari  pertandingan antarfakultas ini, akhirnya Rektor Unand pun mencabut pembekuan Liguna.

Sayangnya, amanah penyelenggaraan Liguna yang diberikan tidak mampu diemban mahasiswa Unand dengan baik. Mereka justru saling mencemooh skill lawan tandingnya dan berakhir bentrokan.

Dalam sosiologi, tawuran merupakan bentuk penyimpangan sekunder. Yakni suatu perbuatan yang oleh masyarakat diidentiļ¬kasikan sebagai perbuatan menyimpang. Penyimpang (orang yang melakukan perbuatan menyimpang) tidak akan diberikan toleransi. Malah, masyarakat akan menyingkirkan si penyimpang dari kelompoknya
yang taat pada nilai dan norma (konformis).

Penyimpangan negatif yang dilakoni mahasiswa merupakan pelanggaran terhadap nilai dan norma yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat yang mengakibatkan dampak buruk bagi pelaku dan masyarakat. Sebab, perilaku menyimpang itu mengancam ketertiban masyarakat.

Dalam kasus ini, pihak rektorat tentu saja akan melakukan tindakan represif dengan memberikan sanksi tegas berupa skorsing atau drop out terhadap mahasiswa yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin seperti tawuran. Namun, sayangnya cara ini justru tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab, berdasarkan pengalaman sebelumnya persoalan tawuran di kampus tidak hanya melibatkan individu dengan individu lainnya tapi juga antara sistem yang menghubungkan mereka. Artinya, jikalau rektorat mengeluarkan sanksi DO pada beberapa mahasiswa, tidak otomatis memberikan efek jera pada mahasiswa lainnya. Karena, sanksi itu hanya bersifat meredam konflik untuk sementara waktu. Sementara, akar dari persoalan itu tidak diselesaikan dengan baik.

Dari hasil analisis saya, perlawanan yang dilakukan mahasiswa FISIP atas mahasiswa Perternakan disebabkan karena tidak tegasnya sanksi yang diberikan fakultas dan rektorat atas tindak penyerangan yang dilakukan Fakultas Ekonomi pada April lalu. Ketika itu, pelaku penyerangan tidak diberikan sanksi tegas sehingga mahasiswa fisip pun menjadi permisif.

Pemicu baku hantam ini bukanlah Liguna seperti yang diklaim rektorat. Tapi, ada beberapa poin yang menyebabkan pecahnya konflik ke permukaan, yakni perbedaan kepentingan, rasa tidak percaya, ketidakadilan, kesalahpahaman, arogansi dan egosentris. Penyebab konflik yang cukup kompleks ini memang sulit untuk dipecahkan dengan cara represif seperti yang diambil rektorat. Kalaupun cara itu dipaksakan, maka konflik hanya diredam tapi tidak bisa diselesaikan. Suatu saat konflik itu pun akan muncul kembali dengan persoalan yang makin besar.

Penangan kasus ini harus dilakukan secara sistematis. Aktor dalam konflik ini yakni mahasiswa dari dua fakultas harus dimediasi. Namun, dalam melakukan mediasi tentu mediator haruslah dipilih orang yang netral dan dilakukan mediasi di tempat yang netral pula. Mediator pun harus memperhatikan penyebab terjadinya konflik dengan benar. Misalnya, cara pengambilan keputusan yang diambil pemimpin Unand ketika terjadi persoalan di kampus.

Ketika mengambil keputusan, bisa saja pemimpin Unand mengkesampingkan kepentingan salah satu kubu. Sehingga, keputusan itu dinilai telah merugikan kubunya. Oleh sebab itu, mahasiswa merasa tidak tertampung aspirasinya. Ketika komunikasi tidak berjalan lancar sehingga persoalan terus diredam, maka sesuai dengan teori konflik Cosser, maka konflik itu lambat laun akan meluap ke permukaan. Mahasiswa yang merasa dirugikan oleh keputusan dan kebijakan kampus, lambat laun akan depensif. Mereka akan berupaya mempertahankan diri dari kebijakan yang dianggap telah merugikan mereka.

Kemampuan pemimpin Unand dalam menyelesaikan persoalan di kampus tentu patut dipertanyakan usai baku hantam antar mahasiswa. Seharusnya, pihak Unand sudah mampu membaca gelagat akan terjadi kerusuhan  sehari sebelum kisruh terjadi. Ketika itu, kisruh sudah terjadi di lapangan bola. Tapi sayangnya, pihak fakultas kedua kubu yang berkonflik abai dalam membaca risiko itu. Sehingga, pecahlah konflik yang berujung pada kerusakan dan pertumpahan darah itu.

Perilaku menyimpang ini memang tidak selamanya menjadi ancaman yang akan menghancurkan individu atau masyarakat. Namun demikian, perilaku penyimpangan tetap harus memiliki standar nilai dan kaidah yang umum sesuai dengan nilai dan kaidah
yang dianut oleh masyarakat. Sekarang coba bayangkan jika setiap
tawuran mendapatkan toleransi dari masyarakat, maka perilaku yang bersifat negatif ini akan berdampak negatif pula bagi masyarakat.

Oleh karena itu diperlukan cara-cara preventif untuk mencegah terjadinya perilaku penyimpangan, diantaranya yaitu dengan mengefektifkan fungsi dan peranan lembaga-lembaga sosial yakni polisi, pengadilan, rektorat dan akademisi. Lembaga-lembaga sosial ini berfungsi mengawasi setiap tindakan masyarakat agar senantiasa sesuia
dengan nilai dan norma.

Pendidikan formal berbentuk perguruan tinggi, hendaknya menjadi bagian integral dari masyarakat sekitarnya. Seseuai dengan asas pendidikan seumur hidup, sekolah hendaknya memiliki dwifungsi yaitu mampu memberikan formal dan pendidikan nonformal yang berorientasikan pada pembangunan dan kemajuan sehingga dapat
menyiapkan generasi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
sebagai bekal hidupnya.

Tak kalah pentingnya, akademisi meningkatkan pendidikan moral dan etika. Pendidikan moral tujuannya yaitu untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma baik yang dianut secara kelompok ataupun secara masyarakat. Dengan begitu, kita akan mencetak kaum intelektual yang memiliki moral, etika dan spiritual yang baik. Tentunya, stigma miring tentang mahasiswa urakan, apatis dan masa depan suram seperti yang kerap didengar sekara ini akan memudar seiring perbaikan mental dan etika mahasiswa.