Selasa, 11 Januari 2011

Pasien Lumpuh Layu

Biaya Berobat Besar, Butuh Uluran Tangan

Amanda Putri. Nama yang begitu indah dan tentu saja seindah wajahnya nan masih kecil. Namun bocah berusia 7 tahun itu mempunyai nasib tak seindah namanya itu. Anak pertama yang menjadi harapan keluarga Ekman, 33 ini tergolek lemas di rumahnya tanpa bisa menggerakkan badannya. Lumpuh layu yang ia alami merampas kebebasannya dalam bergerak.
Laporan—Marisa Elsera
Bukan salah Putri (biasa dipanggil),7 terlahir dalam keluarga miskin di perkampungan Tampat Durian, Kandang Kabuo, Korong Gadang, Kecamatan Kuranji. Bocah yang awalnya terlahir normal dari rahim Gusmayenti ini tiba-tiba menderita lumpuh layu sejak masih bayi. Putri yang lahir 27 November 2003 lalu tiba-tiba menunjukkan gejala kelumpuhan sejak umur empat bulan dan hingga sekarang masih hidup dengan kelumpuhan. 
Gejalanya, otot kaki dan tangan Amanda mulai tak bisa digerakkan. Ketika itu, ia masih bisa membalikkan badannya, namun disaat usia 6 bulan dikala bocah seusianya mulai belajar merangkak, Putri bahkan tak bisa menegakkan kepalanya karena kelumpuhan mulai menggerogoti seluruh tubuhnya. Leher putri pertama dari pasangan Gusmayenti dan Ekman ini mengeriput dan kedua tangan serta kakinya mengecil.

Bayangkan saja, untuk anak seusianya, berat badan Putri hanya sekitar 15 kg. Tak mengherankan jika tubuhnya kurus kering tinggal kulit pembalut tulang. Padahal menurut pengakuan ibunya, Putri bisa menghabiskan makanan dua piring jika dibuatkan makanan favoritnya yaitu ayam kecap.

“Kalau makan sih banyak, tapi nggak nambah ke badan. Itulah yang membuat Putri makin kurus seperti ini. Saat diperiksakan ke dokter, tapi dokter nggak tahu jenis penyakit Putri,”tuturnya.

Jangankan untuk mengajaknya berkomunikasi, untuk kontak mata pun sulit. Tatapan mata Putri nanar, tak pernah bisa memandang focus pada orang-orang yang menegurnya.
Sesekali dia mendelik dan melirik kea rah Padang Ekspres yang memanggil namanya. Kemudian ia tersenyum simpul dan tak lama setelah itu kembali sibuk menggerakkan jari-jarinya lagi.

Meskipun Putri tak bisa mengkomunikasikan apa yang ia rasakan dengan kata-kata, tapi Putri bisa berkomunikasi dengan mimik wajahnya. Jika hatinya sedang senang, maka matanya akan berbinar-binar, tapi jika hatinya sedang risau atau kesal sorot matanya akan menatap tajam.

“Nggak boleh nakal,nak. Ayo tegakkan kepalanya. Putri anak ibu yang nakal, ibu tinggal ya. Ibu pergi mau ke pasar. Dadah Putri,”tutur Gusmayenti pura-pura memarahi anaknya.

Serta merta sorot mata Putri menajam, ia menatap panjang pada sosok wanita kurus berjilbab di depannya itu. Bibirnya mulai gemetaran, sesekali tampak ia menggigit bibirnya persis seperti anak normal yang tengah geram. Tapi tak ada kata-kata yang terucap atau tangisan yang terdengar dari bibirnya. Merasa iba, sang Ibu pun kembali memeluk anaknya yang tadi di senderkan paksa di sebuah sofa. Sambil tersenyum dan menciumi putrinya itu, ia berucap lirih.

“Ibu bercanda,sayang. Ibu kan sayang sama Putri. Anak ibu paling cantik itu ya Putri,”hiburnya.

Serta merta sorot mata yang tajam itu kembali berbinar. Putri pun tersenyum riang. Ketika hendak di potret Koran ini, tanpa diberikan isyarat pun Putri memasang senyum manisnya. Tampak sederet gigi yang tidak tumbuh rapi dari wajah manis gadis yang tumbuh ditengah keluarga miskin itu.

“Sejak tujuh tahun lalu kami sudah membawa Putri ke dokter spesialis saraf. Sudah delapan kali di terapi tapi belum tampak kemajuan yang cukup berarti. Padahal biaya terapi sangat mahal,”tutur Ekman, ayah Putri yang bekerja sebagai penjual kacang rebus keliling.

Ekman menguraikan peluang sembuh Putri cukup besar asalkan terapi dilakukan dengan teratur. Namun sayangnya kepala keluarga itu tak mampu lagi membayarkan biaya terapi Putri yang menelan uang hingga ratusan ribu rupiah itu. Jangankan untuk membeli obat-obatan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun ia sudah bersyukur.

Kesembuhan Putri sangat bergantung pada terapi yang harus ia jalani. Namun apa daya, mungkin gadis itu harus tetap menjalani hidupnya dengan segala keterbatasan karena minimnya uang untuk biaya pengobatan.

"Sebenarnya kami butuh biaya, tapi nggak tahu harus minta tolong siapa," ujarnya lirih dengan airmata yang membasahi pipinya. (m)


Tidak ada komentar: