Senin, 31 Desember 2012

Bangkitkan Kesadaran Sosial untuk Atasi Kemiskinan


Seiring kemajuan zaman, semakin kompleks pula persoalan yang dialami masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya persoalan yang tengah membelit masyarakat dari berbagai elemen. Khusus bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, maka persoalan kemiskinan menjadi salah satu masalah yang tengah mengakar selama ini.
Seperti halnya faktor penyebab kemiskinan yang beragam, maka faktor penyebab kegagalan strategi pengentasan kemiskinan pun beragam. Namun uniknya, meski program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah belum cukup mampu mengurangi kemiskinan yang membelenggu kalangan bawah, nyatanya pemerintah terus ngotot bahwa kemiskinan menurun dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari perbedaan angka dan saling lempar statmen antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Asian Development Bank (ADB).
Berdasarkan data dari ADB, penduduk miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7 juta orang sejak 2008 hingga 2010. Pada 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 40,4 juta orang, dan pada 2010 menjadi 43,1 juta. Survey ini menobatkan Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia yang meningkat angka kemiskinannya. Sementara itu, BPS mengklaim bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia turun sekitar 4 juta orang sejak 2008 hingga 2010 (dari 35 juta menjadi 31 juta orang) nyatanya secara kasat mata dapat kita lihat bagaimana masyarakat miskin di sekeliling kita menjadi makin melarat karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hariannya.
Kendati angka kemiskinan masih terus diperdebatkan dan masyarakat miskin pun semakin melarat, bukan berarti pemerintah Indonesia tidak melakukan upaya apapun untuk mengatasi krisis ini. Pemerintah telah menerapkan berbagai strategi pengentasan kemiskinan hanya saja masih belum mencapai hasil yang maksimal. Bahkan, ada banyak program yang hanya dicopy paste dari program kurang berhasil sebelumnya kemudian diganti dengan nama yang berbeda. Alhasil, sudah dapat ditebak bahwa gol (tujuan) pembangunan tidak dapat mensejahterakan masyarakat.
Persoalan kemiskinan di Indonesia tidak hanya melanda masyarakat di perkotaan saja seperti yang sering disebut-sebut para ahli sosial karena disebabkan oleh urbanisasi. Kemiskinan juga melanda perdesaan bahkan kemiskinan pun tak pernah luput dari daerah agraris sekalipun. Artinya, persoalan kemiskinan sudah menjadi persoalan universal bagi masyarakat Indonesia.
Tanpa mengecilkan upaya pemerintah dan elemen lainnya untuk pengentasan kemiskinan, toh pada kenyataanya strategi pengentasan kemiskinan belum lagi mujarab untuk menarik penduduk melewati garis kemiskinan. Sejak Indonesia merdeka 66 tahun yang lalu, pemerintah dan pihak swasta sudah berupaya mengimplementasikan program pengentasan kemiskinan ini. Tapi hasilnya, kemiskinan masih membayang-bayangi masyarakat.
Bila dilihat dari sudut pandang para ekonom Indonesia yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi penduduk miskin sangatlah bertolak belakang jika dibanding dengan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyebutkan bahwa Presentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yakni sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Jomplangnya data yang dipublish tersebut, disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Maksudnya, ekonomi yang tumbuh di Indonesia beberapa tahun terakhir ini hanya meningkat untuk pengusaha kelas atas, sementara para pengusaha kecil atau industry rumah tangga tidak mengalami pertumbuhan yang menggembirakan.
Tak hanya para ekonom yang menemukan konsep kemiskinan kemudian mengusulkan strategi pengentaskan kemiskinan di Indonesia, para ahli sosial seperti sosiolog pun tak mau ketinggalan untuk melakukan penelitian tentang kemiskinan ini. Perbedaan perspektif dalam memandang kemiskinan menyebabkan strategi pengentasan kemiskinan yang dilakukan menjadi beragam pula.
Sebenarnya, pemerintah sudah memiliki kebijakan dan rencana kerja baik untuk penanganan kemiskinan ini. Terbukti dengan banyaknya program-program pengentasan kemiskinan di masing-masing kementrian dan lembaga. Namun, implementasinya memang kurang optimal. Tidak sedikit program pengentasan kemiskinan tidak tepat sasaran sehingga masih banyak warga miskin yang tidak terpenuhi hak sosial dan ekonominya. Bahkan berdasarkan laporan BPK Semester I tahun 2011, ada dana bantuan sosial sebesar Rp 2,2 triliun yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak tepat sasaran.
Sejak masa orde baru hingga masa reformasi beragam program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia cenderung memberikan bantuan semata. Pemberian BLT, JPS, PPK, sampai PNPM memperlihatkan bahwa program hanyalah memberikan bantuan tanpa menciptakan wirausahawan sosial yang menyertainya. Akibatnya, bantuan tak dapat mengatasi persoalan kemiskinan karena tida membawa perubahan dalam masyarakat yang signifikan. Demikian juga dengan perusahaan baik itu BUMN maupun swasta dengan program CSR maupun PKBL lebih cenderung untuk memenuhi ketentuan UU.
Upaya Pengentasan Kemiskinan
Belajar dari program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah mulai dari Jaminan Pengaman Sosial (JPS) hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT) maka dapat dijelaskan kekurangan dari pelaksanaan program tersebut. Salah satunya, karena program tidak melibatkan masyarakat. Progra-program tersebut hanya digerakkan oleh pemerintah sementara masyarakat tidak diikut sertakan. Program itu tidak berupaya untuk membangun kesadaran masyarakat untuk mengatasi pengentasan kemiskinan.
Seharusnya, pemerintah mencoba mebangkitkan kesadaran masyarakat akan masalah yang dihadapinya serta mencoba memberikan solusi dengan mengucurkan kredit tanpa agunan maupun syarat yang memberatkan. Selama ini, program pengentasan kemiskinan justru berupa sedekah. Hal ini malah merampas insentif orang miskin, mengerdilkan kreatvitasnya dan merampas harga diri mereka. Maka dari itu, masyarakat miskin tidak boleh diberi bantuan materi semata, akan tetapi juga harus disadarkan bahwa mereka berada dalam masalah, serta memberikan solusi utnuk mengatasi masalah kemiskinan.
Penyebab Kemiskinan
Sedikitnya ada dua jenis kemiskinan, yakni kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural (budaya). Nah, untuk kemiskinan structural ini (kemiskinan yang hadir dan muncul bukan karena takdir, kemalasan, atau keturanan) timbul dari suatu usaha pemiskinan yang dilakukan oleh sistem Negara. Maksudnya, kemiskinan terjadi akibat kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, dimana orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan.
Sementara kemiskinan cultural disebabkan oleh kebodohan, kemalasan dan keinginan berprestasi yang rendah. Kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan oleh kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya. Dalam konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada takdir. Orang-orang ini meyakini hal yang menimpanya sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima. Sehingga, tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak.
Kemiskinan structural dan cultural sama-sama sulit untuk dientaskan. Pengentasan kemiskinan ini pun harus sesuai dengan tipe kemiskinannya. Jika kemiskinan itu disebabkan oleh structural, maka kebijakan pemerintah harus dirubah lebih pro rakyat. Sementara itu, untuk kemiskinan cultural, maka budaya yang ada di masyarakat itu harus dirubah. Caranya, yakni dengan sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Empat Model Jaminan Sosial
Untuk mengentaskan persoalan kemiskinan di berbagai negara, menurut analis pembangunan, Edi Suharto dapat dilihat dalam 4 model, yakni model universal, institusional, residual dan minimal. Model universal, misalnya yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
Model kedua, institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).  Kemudian ada pula model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru yang memberikan jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.  Terakkhir, yakni model minimal yang dianut oleh Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Korsel, Filipina dan Srilanka. Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur. (*)

Oleh:Djasman St Batuah

STOP STIGMA BURUK BAGI ODHA


HIV AIDS bukanlah penyakit kutukan yang timbul sebagai hukuman bagi penderitanya. Opini inilah yang harus dijelaskan kepada publik untuk menyelamatkan para penderita HIV AIDS dari penggucilan secara sosial. Umumnya Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dicabut dari komunitasnya karena mereka dipandang berbeda bahkan ada pula yang dianggap hina oleh sebagian besar masyarakat. Tak terkecuali pula bagi masyarakat pemeluk agama yang menganggap ODHA sebagai pendosa. Efek dari pengucilan secara social itu, para penderita HIV/AIDS merahasiakan penyakit mereka dari masyarakat sekitarnya agar bisa disetarakan dengan masyarakat lainnya yang bukan ODHA. Dampaknya, penanganan medis, psikologis dan sosial seringkali terlambat untuk dilakukan pada ODHA.
Stigma buruk yang melekat pada ODHA tidak dapat dilepaskan dari sosialisasi yang kurang sempurna dalam pelaksanaan penyuluhan HIV AIDS terdahulu. Perilaku seks bebas, penggunaan narkoba dengan jarum suntik, berhubungan seks sesame jenis dan beberapa tindakan asusila lainnya seringkali dikemukakan sebagai penyebab penularan narkoba yang utama. Padahal, terinfeksi HIV AIDS tidak hanya terjadi pada perilaku diatas, tapi juga dapat terjangkit pada mereka yang tidak pernah melakukan perbuatan tersebut. Misalnya, penularan melalui jarum suntik pada saat donor darah dan penularan yang terjadi akibat pasangan (suami-istri) yang suka melakukan hubungan seks berganti-ganti pasangan. Dengan demikian, penderita HIV/ AIDS ini bukanlah para pendosa seperti yang sering distigmakan oleh masyarakat awam, melainkan mereka adalah korban dari penularan virus tersebut.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai penelitian medis yang dilakukan di kota-kota di Indonesia. Misalnya pada 3 provinsi berikut ini, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta dan Sumatera Barat. Penyebaran HIV-AIDS di tiga daerah ini sudah merambah ke kalangan ibu rumah tangga dan remaja. Hal ini tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada daerah lainnya di Indonesia. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi DIY pada Juni 2012, jumlah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga menduduki ranking tertinggi kedua setelah wiraswasta yakni sebanyak 189 kasus. Hal serupa juga terjadi di DKI Jakarta dimana Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) DKI Jakarta mencatat pada tahun 2012 ini sebanyak 324 ibu rumah tangga di Jakarta terinfeksi HIV/AIDS. Fakta ini sangat mengejutkan, karena ibu rumah tangga bukan merupakan fokus utama pengawasan yang dilakukan KPA DKI Jakarta.
Sosialisasi atas HIV AIDS yang kurang sempurna sehingga menciptakan stigma buruk bagi ODHA tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga menjadi tanggungjawab media massa. Sebagai contoh, pemberitaan HIV/AIDS yang dimuat dalam sebuag media massa nasional pada 24 November 2012 lalu. Media tersebut mengungkapkan bahwa penularan AIDS tertinggi melalui seks bebas dengan angka 71 persen dari total ODHA, sebanyak 18,7 persen terkena dari jarum suntik narkoba dan sisanya penularan ibu ke bayinya. Angka-angka memilukan itu dijabarkan tanpa sedikitpun menyinggung bagaimana penularan itu dapat ditularkan kepada ibu rumah tangga dari suaminya yang sering jajan seks yang kemudian dapat juga ditularkan oleh ibu hamil kepada janinnya.
Seiring perkembangan dunia kedokteran di dunia, mulai ditemukan berbagai sebab penyebaran virus mematikan ini ke dalam tubuh manusia. Misalnya, berhubungan seksual sesama jenis, hubungan seksual yang tidak aman (seperti gonta-ganti pasangan atau berhubungan dengan ODHA), penggunaan jarum suntik bergantian dan akibat diwariskan oleh ibu pada bayinya menyebabkan seseorang terjangkit HIV AIDS. Penemuan ini secara tidak langsung telah mendeskreditkan ODHA. Pasalnya, hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS dilakukan dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV.
Secara tidak langsung, masyarakat telah menghakimi pengidap HIV sehingga mereka terbuang dari komunitasnya. Alhasil, karena kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV dan berusaha untuk tidak memperoleh perawatan agar penyakitnya tidak diketahui orang lain. Akibatnya sudah dapat ditebak, ODHA akan semakin kronis hingga berujung kematian. Bahkan tidak terelakkan penyebaran HIV yang semakin meluas di berbagai belahan dunia. Cukup dimengerti jika para ODHA ini dicabut dari komunitasnya karena mereka dipandang hina oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan bagi masyarakat pemeluk agama sekalipun para ODHA ini sering dianggap sebagai pendosa. Kenyataan ini terjadi karena agama sangat membenci dan menghakimi para pendosa kendati di sisi lain agama juga memerintahkan umatnya untuk memberikan kasih sayang, mengunjungi, bahkan memberikan perhatian bagi yang sakit.
Penyakit HIV AIDS memang berbahaya, akan tetapi masyarakat tentu tidak boleh menghakimi mereka yang menderita HIV AIDS. Jika masyarakat tetap memandang miring dan mencampakka ODHA dari masyarakat maka hal ini akan menjadi bom waktu dikemudian hari. Maka dari itu, perlu adanya strategi yang tepat dan berkesinambungan dalam hal menahan laju epidemi virus mematikan itu. Tidak hanya strategi secara medis, tapi juga psikis dan social.
Dalam menentukan strategi menekan angka pengidap HIV AIDS tidak boleh hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja tapi juga harus didukung oleh pemerintah daerah, pihak sekolah dan perguruan tinggi, LSM dan semua elemen dalam masyarakat. Sebab, persoalan HIV AIDS tidak hanya persoalan sekelompok masyarakat tapi sudah mendunia. Untuk itulah, perlu koordinasi antar elemen untuk menekan penyebaran HIV AIDS. Pihak medis bisa membantu dengan berbagai penemuan obat atau imun untuk pengidap HIV serta melakukan penyuluhan kesehatan hingga ke pelosok negeri. Sementara itu, para akademisi pun bisa berperan melalui sosialisasi akan bahaya hingga mengajarkan cara bergaul dengan ODHA. Begitupun dengan pemerintah yang merupakan pelayan masyarakat juga harus giat melakukan sosialisasi dan mengimplementasikan strategi penanggulangan HIV AIDS.
           Hingga saat ini rehabilitiasi masih menjadi cara ampuh mengobati para penderita AIDS. Cara tersebut bisa mengurangi tekanan jiwa yang dialami penderita AIDS. Selain mengobati, cara lain untuk mengurangi populasi penderita HIV AIDS tentu saja akan lebih efektif jika dilakukan dengan cara preventif (pencegahan). Salah satu cara yang mungkin akan efektif adalam meminimalisir kaum wanita terjangkit HIV AIDS, yakni dengan melakukan tes HIV sebelum menikah. Mengingat berbagai survey di dunia terlebih di Indonesia yang menyebutkan bahwa ada banyak wanita (ibu rumah tangga) yang tertular HIV AIDS akibat ditularkan oleh suaminya, maka tentu hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah mesti cepat menyelamatkan para wanita dari virus mematikan ini agar kelak tidak tertularkan pada anak-anak mereka.
Agar terhindar dari penyakit ini, tidak ada salahnya jika calon pengantin memeriksakan diri dan pasangannya ke dokter untuk cek HIV/AIDS. Sebelum menikah, biasanya banyak tes kesehatan yang harus dilakukan oleh kedua calon mempelai, termasuk tes kesehatan reproduksi. Nah, ketika tes reproduksi dilakukan, calon pengantin pun dianjurkan untuk melakukan cek HIV AIDS. Tes HIV AIDS yang penulis sarankan bukanlah tes yang akan membawa sebuah bencana bagi orang terinfeksi HIV di Indonesia. Tes ini bukanlah ditujukan untuk merampas hak-hak ODHA sebagai manusia utuh yang membutuhkan pernikahan diusia produktifnya. Tes ini juga bukanlah intervensi kedalam ranah privat warga negaranya, maupun bentuk usaha untuk menghancurkan fondasi program penanggulangan AIDS melainkan upaya menyelematkan generasi penerus dan masyarakat yang tidak terjangkit virus HIV AIDS.
Kendati calon pengantin melakukan tes dan salah satu diantara mereka terjangkit HIV, pernikahan pun tetap bisa dilakukan asalkan kedua belah pihak setuju untuk menikah. Hal ini dirasa cukup adil untuk ODHA dan untuk calon suami/istri. Justru jika tes tidak dilakukan dan akhirnya salah satu pasangan tertular penyakit ini maka akan menjadi tidak adil baginya karena tidak mengetahui bahwa pasangannya terjangkit HIV. Memang pesimistis sebagian orang akan keberhasilan tes HIV prapernikahan tidak dapat dielakkan, akan tetapi tidak ada salahnya mengantisipasi terlebih dahulu ketimbang hanya berdiam diri dan berharap tidak akan tertular. Strategi ini tentu tidak serta merta menghapus penularan HIV AIDS, karena tertular bisa saja terjadi setelah masa pernikahan meskipun di awal pernikahan belum terjangkit. Kendati demikian, kita selaku manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk menghindari agar tidak terjangkit HIV.
       Jika cara diatas dianggap belum lazim oleh Negara-negara yang sedang berkembang terutama Indonesia, maka cara lain yang bisa digunakan untuk mencegah virus HIV AIDS menyebar adalah dengan menghindari hubungan sex yang tidak aman. Maksudnya, masyarakat dihimbau untuk setia dalam berhubungan sex. Hal ini dilakukan agar meminimalisir terjangkitnya virus dari pasangan yang berganti. Mengkonsumsi narkoba (suntik) pun membuka peluang besar terinveksi HIV. Pasalnya, melalui jarum suntik yang dipakai bersama dapat menularkan virus HIV.(*)

Rabu, 13 Juni 2012

Analisis Konflik Dahrendorf

(Sebagian Teori dalam Tesisku :D)

Istilah konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan [1] Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antaranggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya.
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan merupakan teori dalam paradigma fakta sosial. Konflik mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan konflik. Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai sarana untuk meningkatkan integrasi sosial maka kalangan penganut teori konflik justru melihat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan “power” dan mengontrol bahkan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok lainnya.
Adapun asumsi yang mendasari teori sosial nonMarxian dibawa oleh Dahrendorf. Ralf Dahrendorf mempunyai pandangan lain dalam melihat konflik sosial. Bagi Dahrendorf, konflik di masyarakat disebabkan oleh berbagai aspek sosial. Bukan melulu persoalan ekonomi sebagaimana menurut Karl Marx. Aspek-aspek sosial yang ada di masyarakat ini kemudian terwujud dalam bentuk teratur dalam organisasi sosial. Konflik sosial merupakan sesuatu yang endemik dalam pandangan Dahrendorf.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik Dahrendorf dimana manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi yang menguasai orang atau kelompok yang tidak mendominasi.[2] Teori konflik memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. [3]
Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Dia menyebut otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi. Sumber struktur konflik harus dicari dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Karena memusatkan perhatian kepada struktur berskala luas seperti peran otoritas  itu, Dahrendorf ditentang para peneliti yang memusatkan perhatian pada tingkat individual.
Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci adalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka, bukan karena ciri-cri psikologis mereka sendiri. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol ditentukan di dalam masyarakat. Terakhir, karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain.

Konflik yang terjadi antara pedagang Pasar Raya dengan Pemko Padang jika merujuk pada teori otoritas Dahrendorf, maka dapat disimpulkan bahwa Pemko Padang merupakan pihak pemegang otoritas sementara para pedagang adalah pihak yang tidak memegang otoritas. Dalam hal ini, pedagang berada pada posisi ketidakbebasan yang dipaksakan. Sementara itu, Pemko Padang didelegasikan kekuasaan dan otoritas. Maka dari itu, Pemko Padang memiliki kewenangan untuk mengelola pasar yang merupakan asset Negara.
Berdasarkan kasus konflik pedagang Pasar Raya Padang dengan Pemko Padang, peneliti melihat adanya pemaksaan perlakuan yang dilakukan Pemko Padang terhadap para pedagang. Misalnya, ketika para pedagang inpres II, III dan IV menolak rekonstruksi bangunan, Pemko mengambil keputusan pemutusan sarana dan prasarana pasar seperti listrik (PLN) dan air (PDAM). Tak hanya itu, dalam rencana pemagaran bangunan inpres II, III dan IV, 30 Agustus 2011 pun Pemko melibatkan kepolisian dan Satpol PP. Bahkan para aparat pun diberi izin untuk melakukan tindak kekerasan bagi pedagang yang masih melawan hal ini dapat dibuktikan dalam bentrokan yang terjadi saat pemagaran Inpres II, III dan Pasar Raya Padang, 31 Agustus 2011 lalu.
Proses sosial yang ditekankan dalam model konflik berlaku untuk hubungan sosial antara kelompok dalam (ingroup) dan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam (in-group) akan bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar (out-group) bertambah besar. Dengan adanya 2 sisi tersebut terjadi suatu bentuk integrasi yang kuat antara kelompok pedagang sebagai kelompok yang merasa dirugikan dengan pembuat kebijakan yaitu Dinas Pasar. Kelompok pedagang ini melakukan perlawanan dengan cara memperkuat in groupnya agar dapat melawan kebijakan dari Dinas Pasar.
 Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap pendekatan yang pernah dominan dalam sosiologi, yaitu kegagalan dalam menganalisa masalah konflik sosial. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial itu merupakan kunci bagi struktur sosial. Dahrendorf telah berperan sebagai corong teoritis utama yang menganjurkan agar perspektif konflik dipergunakan dalam rangka memahami dengan lebih baik fenomena sosial.
Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu menjadi dua tipe. Kelompok semu (quasi group) merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Tipe yang kedua adalah kelompok kepentingan (interest group), terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas.[4] Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.
Pada konflik pedagang Pasar Raya Padang dengan Pemko Padang ini, terjadi harapan peran yang disadari (kepentingan tersembunyi telah disadari). Kelompok kepentingan ini telah memiliki struktur organisasi dan tujuan yang jelas. Para pedagang yang terdiri dalam Asosiasi Pedagang Pasar menyadari kepentingan yang ia perjuangkan yakni mendapatkan tempat yang layak dan representative untuk berdagang dengan gratis.

Penyebab Konflik
Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagain besar atau semua pihak yang terlibat. Penyebab konflik menurut Dahrendorf adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam. Jadi, konflik bukan hanya materi (ekonomi saja).
Dahrendorf memandang bahwa konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat konflik. Maka dari itu, unit analisis konflik adalah keterpaksaan yang menciptakan organisasi-organisasi sosial bisa bersama sebagai sistem sosial. Dahrendorf menyimpulkan bahwa konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu. Contohnya, kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya serta kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan dan kejahatan. Masing-masing tingkat tersebut saling berkaitan membentuk sebuah rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan perubahan, baik yang konstruktif maupun yang destruktif. 
Dahrendorf memahami relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Ia mendefinisikan kekuasaan menjadi penyebab timbulnya perlawanan. Esensi kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga memungkinkan mereka yang memiliki kekuasaan memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari mereka yang tidak  memiliki kekuasaan. Jadi, konfik kepentingan menjadi fakta tidak terhindarkan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kekuasaan.
Dahrendorf menjelaskan penyebab konflik dalam 6 teori utama. Teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Teori negosiasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak yang mengalami konflik. Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik fisik, mental maupun sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan dalam konflik.
Sementara itu, teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan. Teori kesalahpahaman antarbudaya berpandangan berbeda, teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dakan cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda. Teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Dinamika konflik menurut Dahrendorf akan muncul karena adanya suatu isu tertentu yang memunculkan dua kelompok untuk berkonflik. Dasar pembentukan kelompok adalah otoritas yang dimiliki oleh setiap kelompok yaitu kelompok yang berkuasa dan kelompok yang dikuasai. Kepentingan kelompok yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaanya sedangkan kelompok yang dikuasai adalah menentang legitimasi otoritas yang ada.
Dahrendorf memandang wewenang dalam masyarakat modern dan industrial sebagai kekuasaan. Relasi wewenang yaitu selalu relasi antara super dan subordinasi. Dimana ada relasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu diharapkan mengontrol perilaku kelompok subordinasi melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan. Berbagai harapan tertanam relative permanent dalam posisi sosial pada karakter individual. Saat kekuasaan merupakan tekanan satu sama lain, maka kekuasaan dalam hubungan kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimasi.
Konflik yang terjadi bersumber pada perbedaan pendapat mengenai pembangunan kembali Pasar Raya Padang Inpres II, III dan IV setelah rusak pascagempa tanggal 30 September 2009. Perbedaan kepentingan menjadi latar belakang munculnya konflik pasar. Berbagai permasalahan dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, terjadinya konflik antar warga Pasar Raya dengan Pemerintah disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan alternatif pembangunan Pasar Raya. Walikota sebagai pemimpin Pemko Padang, pertama kali melontarkan ide untuk membangun kembali Pasar Raya menjadi bangunan pasar yang modern (mall). Tujuan dari pembangunan tersebut agar bangunan Pasar Raya lebih nyaman untuk dijadikan tempat jual-beli. Sebab, pascagempa 2009 lalu Pasar Raya Padang semakin semrawut, saluran drainase tersumbat yang menyebabkan becek, sampah-sampah menumpuk, tata ruang pasar tidak terurus dan sebagainya.
 Isu kedua, bahwa pasar akan dibangun oleh investor. Kata investor merupakan sosok yang ditakuti oleh para pedagang. Mekanisme pasar sebagai pasar tradisional kemungkinan akan diganti dengan mekanisme bisnis dengan untung yang sebesar besarnya. Isu yang dibangun investor ditambah lagi dengan isu kurangnya ruang di dalam pasar. Para pedagang takut jika mereka tidak mendapatkan tempat berdagang setelah pasar modern dibangun. 
Ketiga, perbedaan kepentingan tersebut telah melahirkan konflik yang nyata antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dengan warga pasar sebagai pihak yang dikuasai. Pemerintah ingin menggunakan otoritasnya sebagai pemegang kekuasaan dalam menentukan bentuk bangunan Pasar Raya. Alasan Kota Padang dimasa depan dan untuk menambah pemasukan PAD menjadikan landasan untuk menjadikan Pasar Raya menjadi pasar modern. Tragedi Sentral Pasar Raya (SPR) yang dibangun diatas terminal angkutan kota beberapa tahun lalu nyatanya telah menyingkirkan pedagang kecil. Para pedagang tidak ingin hal itu terulang lagi. Para pedagang takut jika pedagang besar dengan modal besar masuk dan membeli lahan di pasar yang baru. Pedagang pasar sebagai pihak yang dikuasai oleh pemda tidak lagi punya otoritas untuk menentangnya terlebih lagi untuk menagih janji. Warga pasar sebagai yang dikuasai berusaha untuk melawan pemegang kekuasaan. Konflik pun muncul ketika pemegang kekuasaan bertahan dalam menggunakan kekuasaannya.


[1] Pruit&Rubin dalam Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik  Kontemporer.
     (Jakarta:Kencana.2010)
[2] George Ritzer. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. (Jakarta: Rajawali Press. 2003), 153
[3] Ibid, 154
[4] Dahrendorf "Class and Class Conflict in Industrial Society." dalam  www.google.com/ teori-konflik-ralf-dahrendorf-sosiologi.html

Selasa, 08 Mei 2012

Regulasi Lemah, BBM Eceran Tak Terkontrol


Terkait Kebakaran PERTAMINI di Batusangkar, Sumbar
 
Izin penjualan eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) tiba-tiba menjadi topik hangat di beberapa media massa lokal pascakebakaran yang melukai sekitar 60 orang di kawasan Pertamini (tempat berjualan BBM eceran), Batusangkar pada Senin (7/5) kemarin. Seperti yang dikabarkan, Harian Haluan Selasa, (8/5) kemarin, kebakaran yang disertai ledakan mobil pemadam kebakaran itu menyedot perhatian publik tidak hanya karena menimbulkan banyak korban luka, tapi juga karena penjualan volatine (bensin) ketengan yang sejak lama sudah meresahkan masyarakat itu kini disangkut pautkan dengan lemahnya kontrol dari Pemkab Tanah Datar. Sayangnya kelalaian pada pengawasan penjualan bensin eceran ini baru mulai dihebohkan setelah menelan korban.

Bicara tentang larangan membeli bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menggunakan jeriken sebenarnya sudah tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2012 dan Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, kegiatan usaha hilir migas harus dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Dengan dikeluarkannya Perpres itu, maka Kabupaten/Kota harus melakukan pengawasan dan menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam memberikan izin pada pengecer bensin.

Izin penjualan bensin eceran ini dikeluarkan oleh Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten/Kota. Izin yang permohonannya harus dilengkapi dengan KTP dan surat keterangan dari desa setempat tersebut menurutnya bisa digunakan di seluruh SPBU di Kabupaten/Kota tempat dikeluarkannya perizinan tersebut. Jadi, izin tidak lagi dikeluarkan oleh kelurahan maupun kecamatan masing-masing seperti yang pernah terjadi belasan tahun silam. Harapan dengan surat izin pengecer,  pemantauan dan pembimbingan bisa dilakukan dengan mudah sehingga tidak ada lagi tindakan yang merugikan masyarakat. Regulasi yang diterapkan harusnya disertai kontrol di lapangan.

Terkait dengan pemberitaan media massa lokal yang menyatakan bahwa Bupati Tanahdatar, M. Shadiq Pasadigoe mengatakan dirinya tidak tahu perizinan penjualan bahan bakar eceran di tingkat masyarakat dan baru akan melakukan pengawasan ditingkat pengecer dikemudian hari, tentu bukan pernyataan yang diharapkan publik keluar dari mulut Bupati Tanah Datar itu. Pasalnya, fenomena menjamurnya penjualan bensin eceran sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu dan telah dikeluarkan Perpres agar mengatur penjualan bensin eceran tersebut.

Persoalan penjualan bensin eceran sangat penting, terlepas dari tragedi terbakarnya Pertamini di Jorong Padang Datar, Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanahdatar, Sumbar. Jika regulasi penjualan bahan bakar eceran ini tidak dilakukan, maka akan merugikan masyarakat. Persoalan yang akan terjadi terkait tidak berjalannya regulasi ini adalah penimbunan BBM, kebakaran, penyalahgunaan BBM dan sebagainya.

Perlu diketahui, bensin yang berbahan dasar volatine merupakan cairan yang mudah disulut api. Saat bensin atau volatine berubah bentuk dari cair ke gas hanya perlu sedikit kalor. Saat bensin tersulut api, hanya sebagian kecil panas dari api digunakan untuk perubahan bentuk (cair ke gas), selebihnya panas dipakai untuk menyalakan gas tersebut. Sebab itulah, volatine mudah untuk terbakar jika tidak dilakukan penyimpanan yang tepat dan benar. Begitu mudah bensin tersulut api, menyebabkan banyak terjadi kebakaran di tempat penyimpanan bensin. Sepanjang 2012 ini, beberapa daerah telah tercatat mengalami kebakaran akibat BBM tersulut api mulai dari SPBU hingga ke kios pedagang eceran.

Pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan yang ketat atas penjualan bensin eceran di daerahnya masing-masing. Sebab keselamatan masyarakat baik sebagai konsumen maupun distributor minyak ketengan itu penting. Regulasi penjualan minyak ketengan harus dikontrol sedemikian rupa agar tidak lagi terjadi kejadian kebakaran serupa di kios-kios legal demi menjaga keselamatan masyarakat. Pengawasan terhadap pembatasan pembelian BBM subsidi jenis premium menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pembatasan pembelian premium harusnya menjadi kesepakatan bersama antara pemprov, Pertamina, dan Hiswanamigas.

Larangan Pedagang BBM Eceran

BBM bersubsidi memang kerapkali disalahgunakan. Terbukti dengan maraknya penjualan BBM ketengan (eceran) di Sumbar. Biang keladinya bukan hanya pedagang eceran tapi juga petugas SPBU yang tetap melayani pembelian BBM dengan mengunakan jerigen yang akhirnya dijual kembali dengan ketengan. Padahal sesuai dengan Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, kegiatan usaha hilir migas harus dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Artinya, keberadaan pedagang eceran tanpa izin telah dilarang dan harus ditertibkan, Kewenangan untuk itu diserahkan kepada penegak hukum. Bagi pelanggar, akan dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar.

Namun nyatanya UU tersebut tak berjalan di Sumbar, terbukti dari maraknya pedagang minyak eceran yang memperdagangkan BBM bersubsidi disepanjang jalan. Cara mendapatkan BBM (biasanya premium) pun mudah, cukup membawa jerigen dalam ukuran menengah hingga besar ke SPBU terdekat kemudian membayar dengan harga bersubsidi yakni Rp 4.500 untuk premium kemudian puluhan liter minyak pun berhasil diangkut dan diecerkan dengan harga Rp 5000 per litenya.

Sebatas Wacana Pelarangan Pembelian BBM Jerigen

Pemprov Sumbar beberapa waktu lalu pernah mengakui SPBU di wilayah Sumbar memang masih melayani pembelian jerigen. Padahal sesuai aturannya, penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen telah lama dilarang. Tapi, SPBU seolah melegalkan hal itu sehingga BBM bersubsidi kini diperjual belikan. Pemprov Sumbar sudah memikirkan rencana penerapan UU larangan penjualan BBM melalui jerigen ukuran sedang hingga besar sejak 2011 yang lalu, namun hinngga 2012 ini tampaknya masih sebatas wacana.  

Dalam wacana itu, meskipun Pemprov akan melarang pembelian dengan jerigen nantinya industri kecil akan tetap bisa menikmati pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen tapi dengan syarat memperlihatkan kartu atau surat izin pembelian BBM dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pertambangan dan Energi (Disperindag Tamben) atau Pemkab/Pemko masing-masing daerah. Jadi, hanya industri kecil yang boleh mendapatkan BBM bersubsidi dengan jerigen. Aturan ini bisa meminimalisir  penjualan BBM ketengan.

Bagaimana pun pro dan kontra larangan pembelian BBM bersubsidi, namun aturan harus ditegakkan. Sebab, pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan aturan tersebut. Jika untuk hal ini masih ada pengecualian yang seolah melegalkan penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen maka untuk aturan lainnya tak menutup kemungkinan akan terjadi pelanggaran juga.

Karena pemerintah pusat dan provinsi belum juga menentukan kebijakan untuk meminimalisir penyalahgunaan BBM bersubsidi, maka tak mengherankan jika setiap tahunnya ada saja persoalan yang ditimbulkan dari penjualan bensin ketengan ini. Mulai dari stok BBM bersubsidi yang habis di pertengahan tahun, kebakaran kios pengecer bensin hingga mafia BBM. Bagaimanapun pro dan kontra larangan pembelian BBM bersubsidi, tapi aturan harus ditegakkan. Sebab, pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan aturan tersebut. Jika untuk hal ini masih ada pengecualian yang seolah melegalkan penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen maka untuk aturan lainnya tak menutup kemungkinan akan terjadi pelanggaran juga.

Inilah realita yang terjadi di SPBU di Sumbar. Akibatnya, pelanggaran aturan terus terjadi. Seharusnya, pihak terkait memantau pengawasan dengan cermat. Termasuk juga petugas SPBU, mereka harus tahu mana kendaraan yang boleh menggunakan BBM subsidi dan mana yang tidak.

Pertamina dan Masyarakat Awasi Penjualan BBM Eceran
Namun, tak hanya pemerintah daerah yang bertanggungjawab untuk melakukan pembatasan penjualan minyak eceran, Pertamina juga memiliki kewajiban dalam melakukan pengawasan ke SPBU untuk tidak menjual BBM secara eceran kepada mereka yang tidak memiliki surat izin dari Disperindagtamben Kabupaten/Kota masing-masing. Hal ini harus dilakukan demi memberi pelayanan prima dan menjaga kepuasan pelanggan, Akan lebih baik lagi jika PT Pertamina melarang Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) melayani pembelian atau pengisian bahan bakar menggunakan dirigen karena pembelian BBM menggunakan dirigen dapat memicu kebakaran.
Peran serta masyarakat khususnya konsumen juga dituntut. Masyarakat selayaknya mau melaporkan langsung atau dengan suara layanan konsumen jika ada temuan penjualan atau pembelian bahan bakar menggunakan dirigen di SPBU. Bagaimanapun, aparat pemerintah, Pertamina dan penegak hukum dalam personil yang terbatas. Jika masyarakat turut andil menjaga daerahnya dari penyalahgunaan BBM, maka persoalan-persoalan yang telah disampaikan diatas dapat diminimalisir. (*)