Rabu, 09 Oktober 2013

TEORI LABELING


Matakuliah Patologi Sosial
A.    Konsepsi Teori Labeling
Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan kontrol sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang dengan pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi. Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya.
Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan.
Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
            Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompok, tetapi dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentang tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971) memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
1.   Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.
2.Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka 
   yang memiliki kekuasaan.
3.Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia 
   ditetapkan demikan oleh penguasa.
4.Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak 
  berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan 
  non-kriminal.
5.Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling. 
6.Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari 
  pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7.Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang 
   menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana.
8.Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan 
   penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9.Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai  
  deviant(orang yang menyimpang) dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector”
  (penolakan dari penolakan) (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)

Edwin Lemert (1950)  memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis(pandangan banyak orang). Dalam perspektif itu dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar. Hal ini selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain terhadap benar atau tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena adanya proses interaksi diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada proses labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.
Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu yang baru keluar dari  penjara tersebut dengan masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas. Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya sebagai penjahat.

B.     Lahirnya Teori Labeling
Salah satu penyebab kebingungan identitas remaja adalah labeling. Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain”  “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.
Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Bagi remaja sangat penting untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon orang-orang disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar si anak tersebut, tidak dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon-respon negatif seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya. Terutama dalam pembentukan identitas si anak tersebut.
Abad 21 merupakan abad perkembangan yang sangat pesat, dengan globalisasi sebagai subjek utamanya. Konsep globalisasi yang mengaburkan batas-batas negara di dunia membawa homogenisasi di seluruh dunia, baik homogenisasi secara material maupun non material. Selain itu, modernisasi dan westernisasi sebagai induk dari globalisasi mulai terlihat dampaknya khususnya bagi bangsa Indonesia sebagai objek dari globalisasi. Westernisasi sebagai proses peniruan gaya hidup orang barat (Eropa) dan diterapkan di Indonesia sebagai negara timur kian lama kian meresahkan. Nilai dan norma sebagai pegangan hidup yang berkembang di masyarakat tidak lagi menjadi pedoman karena dirasa terlalu ligit dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ketidakpatuhan terhadap nilai dan norma sebagai control social menimbulkan masalah. Khususnya bagi generasi muda yang memang sedang berada pada tahap pencarian jati diri dan riskan terhadap “masukan-masukan” dari luar dengan kurangnya nilai dan norma sebagai filter.
Masalah generasi muda pada umumnya ditandai oleh 2 ciri yang berlawanan yakni keinginan untuk melawan (misalnya dalam bentuk radikalisme, delinkuensi, dan lain-lain) dan sikap yang apatis (misalnya penyesuaian yang membabi buta terhadap ukuran moral generasi tua). Generasi muda biasanya menghadapi masalah social dan biologis. Apabila seseorang mencapai usia remaja, secara fisik dia telah matang. Tetapi untuk dapat dikatakan dewasa dalam arti social masih diperlukan factor-faktor lainnya. Dari masalah-masalah yang timbul pada generasi muda, ketika kemudian masalah tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan menimbulkan penyimpangan social yang dilakukan sebagai wujud kekecewaan dan karena tidak ada norma yang menjadi pegangan hidup misalnya pergaulan bebas, homoseksual, perampokan, pencurian dan lain-lain bahkan menjurus pada perilaku kejahatan.
Adanya perilaku menyimpang yang dilakukan remaja sebagai generasi penerus bangsa, tentunya harus mendapat perhatian khusus dalam mengatasinya. Sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji tentang masyarakat dan fenomena social yang ada didalamnya sedikit banyak dapat membantu mengatasi dan mencari tahu tentang perilaku menyimpang yang terjadi dengan berbagai kajian sub disiplin ilmunya, karena sosiologi tidak akan membahas tentang baik buruk dan benar salahnya suatu kejadian, melainkan akan membahas tentang fakta social dari kejadian tersebut.
Menurut Ronald A Hordert , perilaku menyimpang adalah sikap tindakan yang melanggar keinginan-keinginan bersama sehingga dianggap menodai kepribadian kelompok yang akhirnya si pelaku dikenai sanksi. Keinginan bersama yang dimaksud adalah system nilai dan norma yang berlaku.
Teori dan Pandangan terhadap Kehidupan Remaja :

1. Teori Differential Association
Teori ini dikembangkan oleh E. Sutherland, menurut perilakunya menyimpang yang dilakukan remaja sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Selanjutnya, menurut Sutherland perilaku menyimpang dapat ditinjau melalui sejumlah proporsi guna mencari akar permasalahan dan memahami dinamika perkembangan perilaku.
a)      Perilaku remaja merupakan perilaku yang dipelajari secara negatif dan berarti perilaku tersebut tidak diwarisi (genetik)
b)      Perilaku menyimpang yang dilakukan remaja dipelajari melalui proses interaksi dengan orang lain dan proses komunikasi dapat berlangsung secara langsung dan melalui bahasa isyarat
c)      Proses mempelajari perilaku biasanya terjadi pada kelompok dengan pergaulan yang sangat akrab. Dalam keadaan ini biasanya mereka cenderung untuk berkelompok dimana ia diterima sepenuhnya dalam kelompok tersebut, termasuk dalam hal ini mempelajari norma-norma dalam kelompok
d)     Apabila perilaku menyimpang remaja dapat dipelajari, maka yang dipelajari adalah teknik melakukannya motif atau dorongan serta alasan pembenar termasuk sikap
e)      Arah dan motif serta dorongan dipelajari melalui definisi dan peraturan hukum
f)       Seseorang yang melakukan perilaku menyimpang karena akses dari pola pikir yang lebih mendalam aturan hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya penyimpangan
2. Teori Anomie
Teori ini dikemukakan oleh Robert K Merton dan berorientasi pada kelas. Menurutnya, perbedaan kesempatan akibat adanya kelas social menimbulkan frustasi di kalangan masyarakat, sehingga muncul ketidakpuasan, frustasi, konflik, depresi dan penyimpangan periaku muncul sebagai akibat kurangnya atau tidak adanya kesempatan mencapai tujuan.

3. Teori Kenakalan Remaja
Teori ini dikemukakan oleh Albert K. Cohen. Focus perhatian teori ini terarah pada suatu pemahaman bahwa perilaku menyimpang banyak terjadi di kalangan laki-laki kelas bawah yang kemudian membentuk “gang”. Perilaku menyimpang merupakan cerminan dan ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang cenderung mendominan. Menurut Cohen, para remaja umumnya mencari status tetapi tidak semua remaja dapat melakukannya karena adanya perbedaan dalam struktur social.
4. Teori perbedaan kesempatan
Teori ini dikemukakan oleh Cloward dan Ohlin. Menurut mereka terdapat 3 jenis subkultur tipe gang kenakalan remaja, yaitu :
a.       Criminal Subculture, bilamana masyarakat secara penuh berintegrasi, gang akan berlaku sebagai kelompok para remaja yang belajar dari orang dewasa
b.      Retreatist Subculture, pada tipe ini gang lebih banyak mengutamakan pencarian uang untuk tujuan mabuk-mabukan, mengkonsumsi narkoba dan lain-lain
c.       Conflict Subculture, pada masyarakat ini yang tidak terintegrasi akan menyebabkan lemahnya organisasi. Gang tipe ini memperlihatkan perilaku yang bebas seperti kekerasan perampasan dan lain-lain


5. Teori Netralisasi
Teori ini dikembangkan oleh Matza dan Sykes. Menurut teori ini orang yang melakukan perilaku menyimpang disebabkan adanya kecenderungan untuk merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi dan kepentingan mereka sendiri. Penyimpangan perilaku dilakukan dengan cara mengikuti arus perilaku lainnya melalui sebuah proses pembenanan (netralisasi). Berbagai bentuk netralisasi yang muncul antara lain :
a)  The denial of responsibility, mereka menganggap dirinya sebagai korban dan tekanan-tekanan social misalnya kurangnya kasih sayang, pergaulan kurang baik
b) The denial of injury, mereka berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak mengakibatkan kerugian besar di masyarakat
c)     The denial of victims, mereka biasanya menyebut dirinya sebagai pahlawan
d) Condemnation of the condemnesr, mereka beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan mereka adalah orang yang munafik
e)     Appeal to higher loyality, mereka beranggapan bahwa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat luas dan hukum dengan kepentingan kelompok minoritas dimana mereka berasal
6. Teori Kontrol
Teori ini beranggapan bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya yakni tidak melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik). Seseorang yang terlepas dari ikatan social dengan masyarakatnya akan cenderung berperilaku bebas untuk melakukan penyimpangan. Manakala dalam masyarakat lembaga control social tidak berfungsi secara maksimal maka akan mengakibatkan melemahnya atau terputusnya ikatan social anggota masyarakat dengan masyarakat secara keseluruhan dan akibatnya anggota masyarakat akan leluasa untuk melakukan perilaku menyimpang.

7. Teori Labeling
Teori labeling ini pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-orang lain (orang tua, keluarga, masyarakat) menilainya. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya.
a. Labelling menurut Lemert
Menurut Edwin M. Lemert, seseorang melakukan penyimpangan dari proses labeling (pemberian julukan/cap) yang diberikan masyarakat kepadanya. Penyimpangan yang dilakukan itu mula-mula berupa penyimpangan primer. Akibatnya si penyimpang di cap sesuai penyimpangan yang dilakukan, seperti pencuri atau penipu. Sebagai tanggapan atas cap tersebut, si penyimpang primer mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi perilaku penyimpangan tersebut, sehingga penyimpangan yang dilakukannya berubah menjadi penyimpangan sekunder.

b. Labelling menurut Mead
Lahirnya teori penjulukan (labeling Theory), diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dari Herbert Mead dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti kriminologi, kesehatan mental (pengidap schizophrenia) dan kesehatan, serta pendidikan. Teori penjulukan dari studi tentang deviant di akhir tahun 1950 dan awal tahun 1960 yang merupakan penolakan terhadap teori consensus atau fungsionalisme structural. Awalnya, menurut teori structural deviant atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada yang merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma social.

c. Teori labeling Micholowsky
Kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang. Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat. Umumnya tingkah laku seseorang dicap jahat menyebabkan orangnya juga diperlakukan sebagai penjahat. Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi dalam proses interaksi, dimana interaksi tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik antara individu, antar kelompok dan antar individu dan kelompok. Terdapat kecenderungan dimana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.
Dari beberapa penjelasan diatas maka jelas sudah bahwa perkembangan ilmu sosiologi sangat bermanfaat bagi masyarakat. Kajian sosiologi akan merambah ke segala disiplin ilmu lainnya, ketika ilmu Tersebut telah berkaitan dengan hehidupan social masyarakat. Berbagai kejadian dan fenomena kehidupan masyarakat dapat dikaji dengan disiplin ilmu sosiologi, dari aspek politik, budaya, ekonomi, agama dan lain-lain karena kaitannya dengan masyarakat sebagai kajian utama sosiologi. Eksistensi sosiologi telah diawali oleh pemikiran Emile Durkheim mengenai teori bunuh diri, yaitu individu melakukan bunuh diri bukan berasal dari factor internal individu (Psikologis) melainkan karena factor integrasi dari lingkungan sosialnya.

Perilaku Menyimpang dan Pengendalian
Mengidentifikasi berbagai perilaku menyimpang dan pengendalian sosial dalam masyarakat
A. Perilaku menyimpang
Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang tersebut. Perilaku menyimpang ditentukan batasannya oleh norma-norma kemasyarakatan yang berlaku dalam suatu budaya sehingga pengertian perilaku menyimpang berbeda-beda di setiap masyarakat.
Ada dua proses pembentukan perilaku menyimpang yaitu:
a)      Penyimpangan sebagai hasil sosialisasi dari nilai-nilai subkebudayaan menyimpang
Perilaku menyimpang bersumber pada pergaulan yang berbeda. Pergaulan dengan kawan yang kurang baik mengakibatkan perilaku menyimpang
b)      Penyimpangan dari sosialisasi yang tidak sempurna. Proses ini terjadi karena nilai dan norma yang dipelajari kurang dapat dipahami dalam proses sosialisasi sehingga orang tidak mempertimbangkan resiko dan melakukan penyimpangan.
B.     Bentuk-Bentuk Penyimpangan
Perilaku menyimpang dibedakan menjadi dua yaitu:
1.      perilaku menyimpang primer, bersifat sementara dan masyarakat masih bisa menerima.
2.      perilaku menyimpang sekunder, secara khas dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi dominan dalam kehidupan pelaku dan dikenal umum oleh masyarakat

Robert M.Z Lawang mengemukakan macam penyimpangan yaitu:
1. Perilaku menyimpang yang dianggap sebagai kejahatan atau criminal
2. Penyimpangan seksual
3. Penyimpangan dalam bentuk gaya hidup, misalnya penjudi, pemabok
4. Penyimpangan dalam bentuk konsumsi yang berlebih, misalnya alkoholisme

Light, Keller dan Calhoun membedakan tipe kejahatan menjadi:
1. Kejahatan tanpa korban, misalnya konsumsi narkoba
2. Kejahatan terorganisir, misalnya perdagangan perempuan, sindikat, mafia peradilan
3.Kejahatan kerah putih, yaitu kejahatan yang dilakuakn oleh orang yang memiliki kedudukan dan  
   pengetahuan tinggi, misalnya penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan, korupsi
4. Kejahatan koorporat, yaitu kejahatan yang dilakukan atas nama perusahaan yang bertujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian, misalnya pembuangan limbah di laut, kejahatan terhadap konsumen

Berdasarkan banyaknya pelaku penyimpangan dibedakan menjadi:
1. penyimpangan individual
2. penyimpangan kelompok
3. penyimpangan campuran

C. Teori-teori Perilaku Menyimpang
Teori Differential Association (kelompok yang berbeda) oleh Edward H. Sutherland
Sutherland memandang bahwa perilaku menyimpang bersumber dari pergaulan yang berbeda, artinya seorang individu mempelajari perilaku menyimpang dari interaksinya dengan seorang individu yang berbeda latar belakang asal, kelompok dan budaya. Misalnya seseorang yang ingin berprofesi sebagai perampok maka ia mempelajari (berinteraksi) cara-cara merampok dengan teman-temannya yang terlebih dahulu jadi perampok.

1)      Teori Psikologi dari Sigmud Freud
Perilaku menyimpang terjadi karena id tidak bisa dikendalikan oleh ego yang seharusnya dominan maupun superego yang tidak aktif. Id adalah bagian diri yang tidak sadar atau naluri, ego adalah bagian diri yang bersifat sadar dan rasional. Superego adalah bagian diri yang telah menyerap nilai dan norma dan berfungsi sebagai suara hati
2)      Teori K. Merton
Perilaku menyimpang timbul karena anomi yaitu adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan budaya tersebut. Menurut K Merton terdapat lima cara pencapaian tujuan budaya dari cara yang wajar sampai dengan yang menyimpang.
Tipologi adaptasi individu dari K Merton
3)      Teori Fungsi dari Emile Durkheim
Menyatakan bahwa tercapainya kesadaran moral dari semua anggota masyarakat karena faktor keturunan, perbedaan lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Artinya kejahatan itu selalu ada, sebab orang yang berwatak jahat pun akan selalu ada. Bahkan Durkheim berpangan bahwa kejahatan itu perlu agar moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal

D. Sebab-sebab Perilaku Menyimpang
1. sikap mental yang tidak sehat
2. keluarga yang broken home
3. pelampiasan rasa kecewa
4. pengaruh lingkungan dan media massa
5. dorongan kebutuhan ekonomi
6. keinginan untuk dipuji atau gaya-gayaan
7. proses belajar yang menyimpang
8. ketidaksanggupan menyerap norma budaya
9. adanya ikatan sosial yang berlebihan
10. akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang
11. akibat kegagalan dalam proses sosialisasi

E. Pengendalian Sosial
Pengendalian Sosial (social control) adalah segenap cara dan proses pengawasan yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, mendidik, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi norma dan nilai yang berlaku

H. Fungsi Pengendalian Sosial
1.      Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma
2.      Memberikan imbalan kepada warga yang mentaati norma
3.      Mengembangkan rasa malu
4.      Mengembangkan rasa takut
5.      Menciptakan sistem hokum

Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui
1. Sosialisasi
     Sosialisai dilakukan agar anggota masyarakat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa melalui jalur formal dan informal

2. Tekanan Sosial
   Tekanan Sosial perlu dilakukan agar masyarakat sada dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberikan sanksi terhadap individu yang melanggar aturan kelompok

I.       Peranan Pranata Sosial Paksaan.
Usaha penanaman pengetian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan dalam Pengendalian Sosial :

1. Polisi
    Polisi merupakan salah satu pranata sosial yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban
2. Pengadilan
Unsur pengadilan terdiri dari hakim, jaksa, panitera, pengacara dan polisi
Unsur-unsur tersebut bertugas menyelenggarakan pengadilan terhadap individu yang melanggara norma hukum yang berlaku
3.   Adat
Adat merupakan tata kelakuan yang kuat sehingga merupakan hukum non formal bagi masyarakat. Ketika terjadi pelanggaran terhadap adat maka masyarakat akan memberikan cemooh, gunjingan hingga pengucilan
4.   Tokoh Masyarakat
    Tokoh masyarakat adalah seseorang yang dianggap mempunyai kelebihan tertentu dan menjadi penuntun di masyarakat sekitarnya
5.   Sekolah
Sekolah merupakan cara pengendalian yang efektif karena merupakan media sosialisasi yaitu wadah pembelajaran siswa dalam bertingkahlaku. Di sekekolah siswa dapat melakukan pembiasaan dan tersistimatis. Adapun pelaksanaannya juga terprogram menurut kurikulum tertentu
6.   Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pengendalian secara non formal dan keluarga juga merupakan media sosialisasi. Dalam keluarga orang tua mengendalikan perilaku anak-anaknya agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dengan cara mendidik, mensosialisasi, menasehati, menegur dan bahkan menghukum agar anak kembali mematuhi nilai dan norma yang berlaku

Rabu, 02 Oktober 2013

Sosiologi Pembangunan

Manfaat Sosiologi Pembangunan
ž  Sosiologi pembangunan mencoba melengkapi kajian ekonomi yang selamaini hanya didasarkan pada produktivitas dan efisiensi dalam mengukurkeberhasilan pembangunan.
ž  Pembangunan sebagai sebuah perubahan sosialyang terencana tidak bisa hanya dijelaskan secara kuantitatif denganpendekatan ekonomi semata, terdapat aspek tersembunyi jauh pada dirimasyarakat seperti persepsi, gaya hidup, motivasi dan budaya yangmempengaruhi pemahaman masyarakat dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada.
ž  Sosiologi pembangunan juga berusaha untukmenjelaskan berbagai dampak baik positif maupun negatif daripembangunan terhadap sosial budaya masyarakat.
ž  Berbagai introduksi baikyang berupa teknologi dan nilai-nilai baru dalam proses pembangunan tentuakan membawa dampak pada bangunan sosial yang sudah ada sejak lama.
ž  sosiologi adalah cara menggerakkan masyarakat untuk mendukung pembangunan dan masyarakat adalah sebagai tenaga pembangunan, dan dampak  pembangunan.
ž  Sosiologi pembangunan berkembang pesat sejak awal 1960-an. Sosiologi pembangunan sangat dipengaruhi oleh pokok-pokok pikiran para ahli sosiologi klasik seperti Marx Weber dan Durkheim.
ž  Sosiologi pembangunan juga membawa dampak pada lahirnyadimensi-dimensi baru dalam konsep pembangunan.
ž  Menurut Soerjono Soekanto, pengetahuan sosiologi dapat diterapkan dan berguna untuk kehidupan sehari-hari, misalnya untuk memberikan data-data sosial yang diperlukan padatahapan perencanaan, pencaharian, penerapan dan penilaian proses pembangunan.
ž  Pada tahap perencanaan hasil penelitian sosiologi dapat digunakan sebagai bahan pada tahap evaluasi.
ž  Padatahap penerapan, perlu diadakan identifikasi terhadap kekuatan sosial yang ada di dalammasyarakat.
ž  Modernisasi merupakan tanggapan ilmuan sosial barat terhadap tantangan yang dihadapi olehnegara dunia kedua setelah berakhirnya Perang Dunia II.
ž  Modernisasi menjadi sebuah model pembangunan yang berkembang dengan pesat seiringkeberhasilan negara dunia kedua.
ž  Negara dunia ketiga juga tidak luput oleh sentuhanmodernisasi ala barat tersebut.
ž  Sosiologi pembangunan berkembang pesat sejak awal 1960-an.
ž  Dipengaruhi oleh pokok-pokok pikiran ahli sosiologi klasik seperti Marx, Weber dan Durkheim.
ž  Perkembangan sosiologi pembangunan semakin pesat seiring dengan gagalnya program pembangunan yang disponsori oleh Amerika Serikat pada negara-negara dunia ketiga. K
ž  Sosiologi pembangunan membawa dampak pada lahirnya dimensi-dimensi baru dalam konsep pembangunan.
Lima dimensi yang perlu untuk diungkap (Webster: 1984)
1.Posisi negara miskin dalam hubungan sosial dan ekonominya dengannegara-negara lain.
2.Ciri khas atau karakter dari suatu masyarakat yang mempengaruhi pembangunan.
3.Hubungan antara proses budaya dan ekonomi yang mempengaruhi pembangunan.
4.Aspek sejarah dalam proses pembangunan atau perubahan sosial yangterjadi.
5.Penerapan berbagai teori perubahan sosial yang mempengaruhi kebijakan pembangunan nasional pada negara-negara berkembang. 

Sejarah Sosiologi Pembangunan

Pendekatan sosiologi historis.
Sosiologi historis menggunakan perspektif pertumbuhan dalam mengungkap permasalahan dengan teori dan konsep sosiologi. Berbagai penelitian yang menggunakan pendekatan historis pada awal perkembangannya menjadikan daerah kolonial sebagai objek kajian. Berberapa penelitian yang mengambil objek kajian di Indonesia menjelaskan tentang berbagai dampak pembangunan seperti lahirnya konsep shared proverty oleh Geertz.

Pendekatan ekonomi politik.
Aliran ini berangkat dari keterbelakangan yang dialami oleh negara dunia ketiga. Pendekatan ekonomi politik memberikan gambaran tentang secara ekonomi antara negara maju dan negara miskin. Objek penelitian pendekatan ekonomi politik adalah negara dunia ketiga di Amerika Latin. Kelompok yang menggunakan aliran ini kemudian mengembangkan teori dependensi.

Pendekatan sosiologi modernisasi.
Aliran ini kemudian berkembang menjadi teori modernisasi.

Pendekatan tradisi antropologi marxis.
Pokok kajian pendekatan ini adalah cara produksi yang dominan di Amerika Latin. Perspektif cara berproduksi tidak dapat menghasilkan pemecahan pada masalah-masalah pembangunan dan kebijaksanaan pembangunan.

Pendekatan sosiologi terapan.
Para ahli sosiologi terapan berusaha memberikan data praktis tingkat lokal kepada pengambil kebijakan atau pengambil kebijakan. Kelemahan pendekatan ini adalah miskin akan teori serta hasil penelitian yang didapat kurang bisa ditarik menjadi sebuah model yang

Teori Modernisasi Klasik
Sejarah Lahirnya:
ž  Munculnya AS sebagai kekuatan dominan dunia setelah PD II.
ž  Perluasan pergerakan komunis dan upaya pembendungan ideologi itu oleh AS
ž  Lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Amerika Latin dan Afrika

Warisan Pemikiran
I. Teori Evolusi
  1. Perubahan sosial merupakan gerakan searah seperti garis lurus. Masyarakat berkembang dari primitif ke modern
  2. Perubahan menuju bentuk masyarakat modern tidak dapat dihindari. Masyarakat modern adalah masyarakat yang dicita-citakan.
  3. Perubahan sosial berjalan secara perlahan-lahan dan bertahap.
II Teori Fungsionalisme
  1. Masyarakat mempunyai kelembagaan yang saling terkait dan ketergantungan satu sama lain.
  2. Setiap lembaga dalam masyarakat melaksanakan tugas untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat
  3. Keseimbangan dinamis-stasioner: jika satu bagian tubuh berubah, maka bagian lain akan ikut berubah.
  4. Masyarakat akan selalu berada di situasi yang harmonis, stabil, seimbang dan mapan.
  Masyarakat Tradisional : Masyarakat Modern
ž  Kecintaan                                  : Kenetralan
ž  Kekhususan                             : Universal
ž  Warisan                                    : Prestasi

Tahapan Pertumbuhan Ekonomi oleh Rostow
5 tahapan pembangunan ekonomi:
  1. Tahapan tradisional
  2. Tinggal landas
  3. Lepas landas
  4. Kematangan pertumbuhan
  5. Konsumsi tinggi
Bagaimana DK III Peroleh Sumber Daya yang Diperlukan?
ž  Dana untuk investasi dr dana radikal: pajak yang tinggi
ž  Lembaga keuangan: bank, pasar uang, obligasi pemerintah
ž  Perdagangan internasional
ž  Modal asing