Tetap Tegar Meski Kehilangan Sanak Saudar
Gempa dan tsunami yang menerjang Kabupaten Mentawai diartikannya sebagai teguran dari Tuhan kepada umatnya. Tuhan tengah menegur umatnya yang terlupa dengan kebesaranNya. Karena itulah dua korban tsunami Mentawai, Darius, 40 dan Jubal, 60 tetap tegar menjalani hidupnya meski harus kehilangan sanak saudara, pemukiman dan lahan matapencahariannya.
Laporan—Marisa Elsera
Darius dan Jubal terbaring lemah di ruang Pre Operasi/ observasi RSUP M Djamil. Selang infuse tertancap di tangan kanannya, sementara kakinya yang penuh lebam tampak dibalut dengan perban putih. Mereka dibaringkan diruangan dan perawatan yang sama karena sama-sama menderita skin loose (kehilangan kulit) akibat luka koyak dari hantaman reruntuhan bangunan.
Dua kepala keluarga itu memang tidak datang dari desa yang sama, karena Darius berasal dari Beriulau sedangkan Jubal berasal dari Busua, dusun Gobi, Sipora Selatan. Tapi mereka tampak kompak dan saling menguatkan satu sama lain. Wajar saja, karena mereka selama beberapa hari ini telah dirawat ditempat yang sama yakni RS di Tua Pejat sebelum di rujuk ke RS M Djamil.
Saat ditemui diruangan Pre Operasi/Observasi, tiga orang perawat tengah memeriksa selang infuse Jubal. Ruangan yang cukup untuk enam pasien tersebut hanya diisi oleh Jubal dan Darius. Sementara Jubal diperiksa, Darius tampak mengobrol dengan dua warga yang sama-sama dari Mentawai yang prihatin dengan nasib korban tsunami Mentawai tersebut.
“Kaki ku masih sakit, kalau jalan harus beringsut. Ini karena kena seng atap rumah yang menimpa waktu tsunami menghantam,”tutur Darius sambil memegangi tulang kering dari kaki kirinya.
Tim medis yang menangani Jubal dan Darius berencana akan melakukan operasi untuk menangani skin loose (kehilangan kulit) di kaki pasien. Sementara menunggu jadwal operasi, Jubal dan Darius akan dirawat di ruang bedah trauma centre bersama lima pasien korban mentawai lainnya yakni Mahipal, Alexius, Emi, Seltina dan Marlina tapi sebelumnya harus menjalani pemeriksaan di ruang IGD.
Selain skin loose, dua kepala keluarga itu juga mengalami lecet di sekujur tubuhnya. Darius berusaha duduk dari tempat tidur untuk memperlihatkan kondisinya yang mulai membaik, namun Jubal tak melakukan hal yang sama karena mengaku masih lelah dan sulit bernafas. Pria itu pun hanya bisa berbaring selama berada di ruang IGD.
Setelah Jubal selesai diperiksa, kini giliran suami dari Suni Meliardi itu yang harus menjalani pemeriksaan. Selang infusnya diperiksa, begitupun dengan perban yang melilit kakinya. Yakin tidak ada masalah, perawat pun kembali ke mejanya yang masih di ruangan pre operasi/observasi didepan tempat tidur dua pasien tersebut.
“Waktu gempa datang, saya sedang di rumah teman. Tiba-tiba saja air mengangkat rumah itu, kerangka rumah pun hancur dan menimpa tubuh saya. Gelombang kedua lebih dahsyat lagi, saya dan reruntuhan rumah di hantam hingga ke perbukitan,” tutur Darius.
Beruntung Tuhan masih memberikannya kesempatan hidup, hingga anaknya Sumario yang kini duduk dikelas 6 SD di Pastoral tak menjadi anak yatim. Dengan luka-luka dan nyeri hebat di kakinya, Darius mengaku masih sempat menolong warga lain yang lemah dan tak bisa berjalan ke pengungsian.
“Ketika itu saya fikir akan ada gelombang ketiga, makanya kami cepat-cepat lari ke perbukitan,”tuturnya.
Tak jauh berbeda dengan Darius, Jubal pun mengaku tak percaya gelombang tsunami meluluhlantakkan kampungnya. Setelah gelombang kedua mulai surut, dengann sisa tenaga yang ada ia berlari ke perbukitan untuk menyelamatkan diri. Sementara istrinya, Regina membantu membopong lelaki dengan empat anak itu.
“Saya merasa ini kiamat, saya bahkan tak menyangka bisa selamat,”tutur Jubal dalam bahasa Mentawai yang kemudian diartikan oleh Darius agar Padang Ekspres mengerti maksud ucapan Jubal.
Lelaki tua itu tampak begitu letih, wajahnya yang keriput tampak begitu pucat. Sementara tubuhnya yang tak kalah layu itu dibiarkan bertelanjang dada setelah alat-alat medis pendeteksi jantung ditempelkan di dadanya. Ada bekas tempelan alat-alat di dada keriput itu. Sesekali nafasnya tampak terengah-engah ketika berusaha menceritakan pengalamannya selamat dari maut.
“Puji Tuhan, hanya itu yang bisa saya ucapkan. Untungnya keempat anak saya yang tinggal di dusun lainnya juga selamat dari tsunami,”ungkapnya sambil membetulkan selang infuse.
Tak beberapa lama nasi bungkus pun datang dari seorang cleaning service. Ditemani istri masing-masing, Darius dan Jubal pun melahap makanan tersebut. Cukup lahap ia makan nasi bungkus tersebut. Maklumlah, sejak tadi pagi mereka belum makan. Usai makan, para istri pun mengemasi bungkusan nasi dan membuangnya ke tong sampah.
Dua lelaki yang bekerja sebagai petani itu bersyukur bisa mendapat perawatan medis di RS M DJamil. Pasalnya, di RS Tua Pejat mereka hanya mendapatkan perawatan medis dengan peralatan seadanya. Mereka berharap nyeri di kakinya akan segera sembuh setelah dioperasi.
“Kami siap dioperasi, rasa nyeri ini membuat kami cukup tersiksa. Ingin sekali cepat sembuh dan kembali ke Mentawai,”tuturnya. (m)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar