Rabu, 21 Desember 2011

Ibu Bukan Pengasuh



Hari ibu merupakan peringatan atau penghargaan negara bangsa Indonesia terhadap peran dan fungsi kaum wanita (ibu). Hal ini merupakan bentuk upaya penyetaraan antara peran kaum laki-laki dengan kaum wanita di segala bidang. Seiring kemajuan zaman dan terbukanya lapangan kerja untuk kaum perempuan justru membawa perubahan pada pola pengasuhan anak. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Terbukanya lapangan kerja untuk kaum perempuan ternyata membawa banyak perubahan. Salah satunya, perubahan peran pengasuhan anak. Jika dahulunya anak diasuh oleh ibu dan ayahnya, maka dewasa ini pengasuhan anak pun diserahkan pada “Si Mbak” dan Nenek. Bagi pasangan orang tua yang tidak mempercayakan pengasuhan anaknya pada orang lain yang digaji (diupah), tentu menyerahkan pengasuhan anak pada Nenek sang bayi dianggap sebagai solusi tepat. Bahkan dewasa ini, Nenek yang mengambil alih pengasuhan anak sudah menjadi trend. Jika demikian, maka ketidakseimbangan yang sering terjadi pada wanita Indonesia bisa dilihat pada bidang-bidang yang lumayan banyak, baik publik maupun privat.
Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Itulah fakta yang tengah hadapi kaum ibu belakangan ini. Di masa tuanya, ibu atau nenek masih saja diperlakukan diskriminasi. Dapat kita saksikan banyak ibu-ibu tua yang jadi “pengasuh” cucunya sendiri hingga kelelahan dalam membesarkan buah hati anaknya.
Di usia tuanya, Nenek masih saja direpotkan dengan urusan cucu sementara sang ibu malah asik bekerja di kantornya. Secara medis, kondisi fisik Nenek jelas tidaklah cukup kuat untuk menghandle tugas orang tua mengasuh anak, begitupun secara psikis dimana orang yang sudah tua tentu menginginkan diasuh oleh anaknya. Persoalan fisik dan psikis yang melanda Nenek mesti dia redam karena sang anak tercinta meminta bantuannya untuk mengurusi cucunya.
Berbagai alasan pun dikemukakan untuk “merayu” Nenek agar mau menggantikan perannya mengasuh si kecil. Alasan ekonomi hingga ketidak percayaan orang tua memberikan pengasuhan pada orang yang di bayar (seperti pembantu dan baby sitter) pun memaksa nenek untuk mengalah dan menggantikan peran ibu.
Memang tidak salah jika anak meminta bantuan pada nenek untuk mengasuh cucu. Bagaimanapun juga kekuatan batin bagi mereka yang berhubungan darah jauh lebih kuat dari pada dengan pengasuh atau babysitter. Namun, jangan sampai pengasuhan anak justru diserahkan sepenuhnya pada Nenek seperti yang banyak terjadi pada orang tua muda di kota-kota besar di Indonesia.

Ibu adalah sosok yang selalu memberikan kedamaian dalam hidup. Kasih sayangnya tak pernah pupus dimakan waktu. Menjadi seorang ibu adalah kebahagiaan yang tak terkira. Kita akan bisa merasakan bagaimana cinta dan sayangnya kita terhadap buah hati kita pada saat kita menjadi seorang ibu. Karena itu sudah sewajarnya kita membalas semua kasih sayangnya dengan selalu membahagiakan selama sisa hidupnya. Kita seharusnya memberikan ketentraman dan kedamaian bagi orang yang telah membesarkan kita di masa tuanya. Hanya satu kebahagiaannya, ia ingin melihat buah hatinya tumbuh dewasa dan hidup bahagia. Ia pun ingin melihat tumbuh kembang cucunya dengan sejuta harapan bahwa mereka mampu menjadi penerus generasi orangtua mereka.

Sungguh miris ketika kita melihat seorang nenek keletihan menggendong dan bermain dengan cucu kesayangannya, sementara sang ibu sibuk dengan pekerjaan kantor atau akgtivitas lain di luar rumah. Bahkan hampir seharian sang nenek mengasuh si kecil dengan cinta kasih dan penuh kesabaran kendati dia tahu bahwa tugas mendidik cucu bukanlah tugas utamanya. Tapi begitulah uniknya seorang ibu, kasih sayanng yang ia miliki sangat berlimpah sehingga lelah dan letih tidak jadi persoalan berat baginya. Hingga akhirnya, Nenek pun mengemban tugas mengasuh cucu, mengajak main si kecil, menyuapi si kecil makan, memandikannya atau meninabobokan cucunya dengan penuh kasih sayang. Semua yang dilakukannya sungguh tanpa pamrih.

Idealnya, kehadiran nenek atau ibu kita adalah hanya sebagai pengawas bagi babysitter atau PRT untuk menjaga dan mengasuh cucunya atau buah hati kita. Jadi, meskipun anak di asuh oleh babysitter tapi Nenek masih bisa mengawasi perkembangan cucunya. Ini jauh lebih baik ketimbang pola pengasuhan yang banyak dilakukan oleh orang tua muda di Indonesia yang menjadikan Nenek sebagai pengasuh cucu.

Bagi sebagian orang, perubahan pola pengasuhan anak merupakan hal yang sudah biasa. Tapi kita tidak boleh lupa bahwa ibu kita sudah saatnya duduk manis dan hanya menyaksikan perkembangan cucunya. Perlu diingat, bahwa tubuh tua sang Nenek itu telah letih sekian lama membesarkan kita hingga akhirnya kita memiliki kehidupan sendiri. Karena itu, perlakukanlah ibu layaknya ia mengasihi kita sewaktu kecil. Bukan masanya lagi baginya untuk mengurus dan mengasuh bayi/anak kecil. Betapapun sayang dan cintanya ibu kita terhadap anak dan cucunya, namun bukan berarti bisa merasa lega menitipkan buah hati kita pada Nenek. Jangan biarkan kesibukan sebagai wanita karier melupakan hal tersebut.

Merawat anak adalah tanggungjawab orang tuanya. Karena, ketika kita memutuskan untuk membina rumah tangga dan hidup mandiri, seharusnya konsekuensi hidup tanpa campur tangan orang tua harus dijalani. Karier bukan alasan wanita apalagi ibu untuk mengabaikan urusan rumah tangganya. Jika tidak bisa menjalankan kedua hal itu secara seimbang, ada baiknya memilih untuk meninggalkan pekerjaan. Sebab, mengasuh anak dan menjadi ibu rumah tangga yang baik adalah kodrat seorang perempuan.

Kendati Nenek tidak pernah mengeluh meskipun diperlakukan layaknya seorang pengasuh, bukan berarti dia melakukan hal itu dengan senang hati. Ia hanya berupaya tak pernah menampilkan wajah letihnya karena yang ada di hatinya adalah ia ingin mengasuh dan membesarkan cucu kesayangannya dengan tangannya sendiri, seolah cucunya itu adalah anaknya sendiri.

Peralihan Pola Asuh

Perlu diingat, pola asuh keluarga inti, yakni ayah dan ibu sangat berbeda dengan pola asuh asuh keluarga besar seperti kakek, nenek, paman, bibi maupun babysiter. Pada sistem pola asuh keluarga ìntì seluruh perhatian,cinta dan kasih sayang hanya tercurah dan terpusat pada anak. Sementara pada sistem pola asuh keluarga besar maupun babysiter, anak kurang memperoleh perhatian, cinta dan kasih sayang dari mereka.

Hal ini terjadi karena keluarga besar dan babysiter sudah terbagi perhatiannya, misalnya pada anak-anaknya sendiri, ataupun pada rumah tangganya sendiri. Sehingga pola asuh yang mereka (keluarga besar dan babysiter) terapkan kurang terfokus pada cucu, keponakan atau anak majikannya. Apabila pola asuh diserahkan sepenuhnya pada keluarga besar dan babysiter, maka akan sangat mempengaruhi pembentukan mental dan sifat anak.

Konon, berdasarkan penelitian para ahli social, pendidikan dan psikologi, dari pola asuh yg kurang seimbang ini akan menyebabkan anak kurang memperoleh perhatian, cinta dan kasih sayang penuh yang sangat dibutuhkannya.

Manfaaat Pengasuhan Cucu oleh Nenek
Kedekatan hubungan antara cucu dengan kakek dan neneknya juga memiliki manfaat bagi kedua belah pihak. Bagi cucu, grandparenting bermanfaat untuk melengkapi pemenuhan kasih sayang selain dari orangtuanya. Itu salah satu hak anak, yaitu untuk mendapatkan kasih sayang yang utuh dari keluarga besar dan orang-orang di sekelilingnya. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang akrab dan hangat hubungan kekeluargaannya, akan tumbuh menjadi anak yang penuh kepercayaan diri, dan hidupnya akan kaya dengan kasih sayang. Dan mereka biasanya juga akan menjadi orang yang pengasih,
Sejarah Hari Ibu
Berdasarkan Wikipedia.com, Hari Ibu berbeda jauh dengan Mother’s Day. Hari Ibu di Indonesia dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional. Berbeda dengan di Amerika dan Kanada yang merayakan Hari Ibu atau Mother’s Day pada hari Minggu di minggu kedua bulan Mei.
Sejarah Hari Ibu sebenarnya diawali dari pertemuan para pejuang wanita dalam Kongres Perempuan di tahun yang diadakan sama dengan Sumpah Pemuda. Organisasi perempuan sendiri sudah bermula sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.
Pada tanggal 22 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta dan membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani), kongres berikutnya diadakan di Jakarta dan Bandung. Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional, hingga kini.
Satu momen penting bagi para wanita adalah untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1950. Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa. Pada kongres di Bandung tahun 1952 diusulkan dibuat sebuah monumen, setahun berikutnya diletakkan batu pertama oleh Ibu Sukanto (ketua kongres pertama) untuk pembangunan Balai Srikandi dan diresmikan oleh menteri Maria Ulfah tahun 1956. Akhirnya pada tahun 1983 Presiden Soeharto meresmikan keseluruhan kompleks monumen menjadi Mandala Bhakti Wanitatama di Jl. Laksda Adisucipto, Yogyakarta. (*)

Selasa, 13 Desember 2011

Bunuh Diri Kok Diberi “Reward”?

Oleh:
Marisa Elsera
Staff Pengajar di MKU UNP

Kasus bunuh diri bukanlah peristiwa baru di Indonesia. Modus dan penyebab bunuh diri pun beragam. Perhatian masyarakat terhadap kasus bunuh diri pun tidak sampai menghentak public. Berbeda dengan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir yang biasa dipanggil Sondang Hutagalung pada Rabu (7/12) lalu. Kasus ini tidak hanya melibatkan masyarakat secara nasional, tapi juga melibatkan elit-elit politik dan tokoh pembesar Negara. Hebatnya lagi, pelaku pembakaran diri itu diberikan gelar Sarjana Kehormatan oleh Fakultas Hukum Universitas Bung Karno.  Lantas, fenomena apa yang sebenarnya terjadi?

Bunuh diri kembali terjadi, tapi kasus kali ini menggelegar hingga ke seantero negeri karena semua media massa baik nasional maupun local memberitakan tentang pembakaran diri yang dilakukan oleh Sondang. Satu hal yang menjadikan kasus bunuh diri Sondang ini begitu hangat diperbincangkan yakni karena lokasi pembakaran diri dilakukan tepat di depan Istana Meredeka. Sejak diketahui tempat kejadian perkara (TKP), maka berbagai statmen pun bermunculan perihal penyebab Sondang Bunuh Diri. Tak dapat dielakkan, penghuni Istana pun dicerca karena dianggap aksi pembakaran itu merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada unsur muatan politik yang memboncengi kasus kematian Sondang.
Tak mau kalah, pihak Universitas Bung Karno (UBK) pun ingin angkat bicara dan menampakkan wujud belasungkawanya karena kehilangan mahasiswa semester 8 itu. Adapun bentuk “perhatian” yang ingin mereka tampilkan yakni berupa pemberian gelar sarjana kehormatan atas Sondang. Sungguh mengherankan, ada banyak pihak yang berupaya memboncengi kematian aktivis kampus itu demi kepentingan kelompoknya.
Terlepas dari urusan politik, kematian Sondang merupakan bentuk dari interaksi yang kompleks atas faktor biologik, genetik, psikologik, sosial, budaya dan lingkungan. Sulit untuk menjelaskan mengenai penyebab mengapa orang memutuskan untuk melakukan bunuh diri, sedangkan yang lain dalam kondisi yang sama bahkan lebih buruk tetapi tidak melakukannya.  Meskipun demikian, tindakan bunuh diri atau percobaan bunuh diri pada umumnya dapat dicegah.
Jika melihat nilai dan adat istiadat, maka tak ada alasan yang boleh membenarkan tindakan ini. Dengan adanya penghargaan yang diberikan pihak kampus pada pelaku bunuh diri, jelas ini merupakan contoh yang tidak baik. Nantinya, akan bermunculang Sondang-Sondang lain yang juga melakukan hal yang sama.
Dari kacamata Sosiologi, pemberian gelar sarjana kehormatan ini merupakan bentuk reward yang diberikan pihak kampus pada pelaku. Apabila seseorang melakukan suatu tindakan, dan ia menerima hadiah atas tindakannya tersebut, maka semakin sering ia melakukan dan mengulangi tindakan tersebut. Pada prinsipnya, hadiah adalah hasil dari tindakan positif sedangkan hukuman adalah hasil dari tindakan negatif. Makin tinggi nilai hadiah, maka semakin besar kemungkinan seseorang melakukan sesuatu yang diinginkan. Sedangkan hukuman tidak efisien untuk mengubah perilaku orang, karena mereka dapat bereaksi terhadap hukuman dengan cara yang tidak diinginkan. Jadi sebaiknya tidak memberikan nilai maupun hukuman atas perilaku yang tidak diinginkan, sehingga orang tersebut akan menghentikan tindakannya. Nah, jika tindakan bunuh diri Sondang mendapatkan penghargaan yang sedemikian bahkan disebut-sebut sebagai salah satu pahlawan reformasi (seperti yang diumbar media), maka orang lain akan melakukan hal yang serupa dengan tujuan untuk mendapatkan reward yang serupa.
4 Tipe Bunuh Diri
Sosiolog dari Prancis, Durkheim menjelaskan, sedikitnya ada 4 tipe bunuh diri, yakni Fatalistik, Altruistik, Anomik dan Egoistik. Bunuh diri Fatalistik dilakukan oleh sekelompok orang yang mana dibelakangnya ada kontrol berlebihan, seperti dalam masyarakat budak.  Bunuh diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai ikatan sosial yang kuat. Bunuh diri ini dilakukan demi kelompok, hampir seperti bunuh diri ritual Jepang 'Seppuku', yang dilakukan ketika kekacauan melanda masyarakat.
 
Kemudian, ada istilah bunuh diri Anomik,
terjadi pada orang-orang yang tinggal di masyarakat yang tidak mempunyai aturan dan norma dalam kehidupan sosialnya. Hal ini terkait dengan apa yang disebut 'Anomie' atau keadaan dimana anda tidak tahu tempat yang tepat bagi seseorang, seperti menjadi tunawisma atau yatim piatu. Orang tersebut merasa tidak punya apa-apa dan ini berarti berada dalam keadaan tanpa norma dan peraturan yang membimbing dalam kehidupan sosial sehari-hari. 
Sementara itu, bunuh diri egoistic terjadi pada orang yang kurang kuat integrasinya dalam suatu kelompok sosial.  Misalnya orang yang hidup sendiri lebih rentan untuk bunuh diri daripada yang hidup di tengah keluarga, dan pasangan yang mempunyai anak merupakan proteksi yang kuat dibandingkan yang tidak memiliki anak. Bunuh diri tipe ini,  yakni bunuh diri dimana individu mengupayakan 'penyelamatan serius' terhadap dirinya, misalnya ingin menghindari permasalahan hutang atau percintaan.
Bunuh Diri di Indonesia vs Jepang
Bunuh diri yang dilakukan oleh orang Indonesia umumnya disebabkan karena putus cinta atau kondisi ekonomi. Sementara itu, kalau bunuh diri di Jepang justru karena malu selalu gagal dalam tujuan hidup.
Fenomena bunuh diri yang terjadi di Jepang disebabkan karena di Negara Matahari Terbit itu tidak ada peran agama. Di sekolah tidak diajarkan pelajaran agama, sehingga generasi muda Jepang sekarang ini bisa dibilang tidak punya agama. Mereka memang tidak punya sifat pasrah kepada Tuhan.
Mencegah Bunuh Diri
Masyarakat mempunyai tanggungjawab yang besar untuk mencegah tindakan bunuh diri. Masyarakat seharusnya menciptakan norma perilaku untuk membantu anggota masyarakat bertumbuh dengan cara yang positif, sehat dan merasa sejahtera. Jadi pengaruh positif dari masyarakat dapat mempengaruhi individu untuk berhenti dari perilaku merusak.

Problem besar pada masyarakat yang sedang dalam transisi adalah menurunnya sistem nilai secara bertahap, perubahan yang cepat yang diikuti oleh konflik yang disebabkan oleh adanya peluang baru dan frustrasi yang timbul akibat dari perubahan sosial masyarakat. Masyarakat perlu membangun mekanisme pertahanan sosial yang meliputi pencegahan, terapi dan pelayanan ”after care” untuk mengurangi tindakan bunuh diri.
Masyarakat, organisasi dan LSM mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pelayanan pencegahan, pelayanan gawat darurat, dan program pencegahan. Mendata dukungan dari kelompok lokal merupakan langkah penting dalam membuat program dan mengidentifikasi sumberdaya yang ada.

Masyarakat dapat membantu program pencegahan bunuh diri dengan cara mengangkat isu lokal, masalah dan penyebab bunuh diri kepada pengambil keputusan, misalnya memperbaiki kualitas hidup masyarakat ekonomi lemah, mengurangi tindak kekerasan dan kriminalitas, menghilangkan stigma, menghilangkan sikap diskriminasi, mempengaruhi media massa lokal dan memperbaiki informasi data tentang bunuh diri. (*)