Selasa, 11 Januari 2011

Korban Tsunami Kabupaten Mentawai

Melda dan Perdamaian Berjuang Melawan Maut


Mereka harus berjuang sekuat tenaga untuk tetap hidup setelah gempa dan tsunami meluluh lantakkan tanah si kirei. Kesakitan yang mereka rasakan masih kalah dahsyat dari torehan trauma dan shock yang mereka alami pascatsunami. Kini meski raga telah tak berdaya, harus bergantung dengan alat-alat medis agar jantung tetap berdetak membuat Imelda dan Perdamaian masih bertahan hidup hingga hari ini.

Laporan—Marisa Elsera

Melda Yanti, 12 masih terbaring lemah di ruangan Intensive Care Unit (ICU) atau Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat M Djamil Padang. Kedua tangannya dipenuhi jarum infuse begitupun dengan lubang hidungnya yang disusupi alat bantu pernafasa. Sedangkan di dadanya juga ditempelkan pendeteksi jantung. Bocah malang korban tsunami Mentawai itu tak sadarkan diri sejak dioperasi Minggu malam (31/10) setelah ditemukan infeksi pada abdomen nya akibat trauma tumpul yang ia alami.

Sudah semalaman ia tak sadarkan diri. Konon menurut salah satu perawat di ruang ICU, gadis yang biasa disapa Melda itu sengaja diberi obat tidur. Tubuhnya yang kurus itu tidur telentang . kedua tangannya yang direntang hingga ketepi tempat tidur tampak sesekali bergerak reflek. Tapi tak ada tanda-tanda ia akan sadarkan diri.

Sesekali nafasnya terdengal tersengal. Entah apa yang ada dalam mimpi bocah usia belasan itu dalam tidur nyenyaknya. Terlalu lama ia tertidur dalam kondisi yang cukup miris itu. Setelah menjalani operasi abdomen, tubuh bocah itu dibiarkan tak mengenakan pakaian. Hanya dibalut oleh selembar kain putih untuk menutupi tubuhnya agar tidak kedinginan.

Sementara itu, Sang ibu, Warna, yang senantiasa menunggu di luar ruangan ICU mengaku khawatir dengan nasib putrinya tersebut. Kala gempa dan tsunami menghantam desanya,di Muntey, Ia dan Melda tengah tertidur pulas. Mendadak air laut itu menumpahkan amarahnya dan menyeret seluruh penduduk dusun. Begitupun halnya dengan Melda dan ibunya yang ikut terseret gelombang tsunami hingga sekitar 200 meter.

Beruntung Melda dan Warna masih selamat. Begitu mendapati dirinya selamat dari hantaman ombak, Warna segera mencari anaknya Melda. Cukup lama ia mencari gadis manis itu hingga akhirnya salah seorang tetangga memberi kabar penemuan Melda yang tertelungkup tak berdaya di dekat tumpukan sisa bangunan.

Segera Warna dan warga lainnya membawa Melda ketempat pengungsian. Keesokan harinya, Selasa (26/10), barulah Melda mendapatkan perawatan medis seadanya karena keterbatasan peralatan yang dimiliki. Selama ditenda pengungsian, Warna mengaku bahwa putrinya masih sadarkan diri. Tapi, berulangkali gadis itu menangis kesakitan pada perutnya. Beruntung pihak rumah sakit darurat merujuk Melda ke RSUP M Djamil, Minggu (31/11) dengan helicopter

Selama menunggui Melda menjalani perawatan intensif, Warna menginap di ruang tunggu ICU. Pakaian seadanya yang dimasukkan kedalam tas itulah yang menjadi bekalnya selama di Padang. Untuk biaya rumah sakit dan konsumsinya ditanggung oleh RSUP M Djamil. Setiap tiga kali sehari Warna diantarkan makanan sedangkan pengobatan dan perawatan untuk Melda pun digratiskan.

Tak kalah miris dengan penderitaan Melda, warga Parabuan, Perdamaian, 26 yang turut diseret oleh gelombang tsunami mengeluhkan sesak nafas dan sakit dibagian perutnya. Pria tersebut kini dirawat di ruang rawat bedah M Djamil dan diberikan perawatan Cuma-Cuma. Sedangkan keluarganya yang menemani juga mendapatkan perlakuan yang sama dengan Warna.

Diceritakan Perdamaian, malam itu ia hampir saja tertidur ketika tiba-tiba ia merasakan gempa bumi. Segera ia dan keluarganya yang lain berhamburan ke lapangan. Tak berselang beberapa lama, suara gemuruh pun datang bersamaan dengan gelombang air laut. Perdamaian pun terseret oleh gelombang hingga 100 meter. Saat tersadar, ia sudah berada di reruntuhan banggunan.

“Saya rasa saat itu Tuhan mengambil nyawa saya, tapi ternyata itu belum saatnya. Syukurlah saya masih diberi kesempatan,”ungkap Perdamaian disela-sela perawat RR Bedah menyetel tempat tidurnya.

Gempa dan tsunami itu telah merenggut nyawa ayah dan kakaknya. Beruntung ibunya dan kakaknya yang lain masih bisa selamat dari maut. Selamat dari amukan tsunami tersebut ia anggap sebagai kesempatan kedua yang diberikan tuhan agar dia bisa memperbaiki hidupnya.
Meski harus menderita rasa sakit yang teramat sangat dibagian perut dan dada serta kehilangan orang terkasihnya, tapi Perdamaian masih bisa bersyukur telah diberikan umur yang panjang.

“Kejadian ini diluar kehendak manusia, tapi Tuhanlah yang mengatur segalanya. Meratapi yang terjadi tentu bukan hal yang baik. Kedepannya, bagaimana cara kita menjalani hidup agar lebih berarti,”imbuhnya dengan nafas tersengal-sengal. (m)

Tidak ada komentar: