Jumat, 03 April 2015

Teori Labeling


A.                Konsepsi Teori Labeling

Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan kontrol sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang dengan pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalammempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi.Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya.
Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
            Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompok, tetapi dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentang tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971) memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
1.      Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.
2.      Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan.
3.      Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia   ditetapkan demikan oleh penguasa.
4.      Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan non-kriminal.
5.      Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling. 
6.      Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7.      Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana.
8.      Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9.      Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai  deviant(orang yang menyimpang) dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector” (penolakan dari penolakan) (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)

Edwin Lemert (1950)  memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary deviancePrimary deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis(pandangan banyak orang). Dalam perspektif itu dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar. Hal ini selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain terhadap benar atau tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena adanya proses interaksi diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada proses labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.
Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu yang baru keluar dari  penjara tersebut dengan masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas. Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya sebagai penjahat.

B.       Lahirnya Teori Labeling
Salah satu penyebab kebingungan identitas remaja adalah labeling. Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain”  “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.
Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Bagi remaja sangat penting untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon orang-orang disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar si anak tersebut, tidak dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon-respon negatif seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya. Terutama dalam pembentukan identitas si anak tersebut.

Teori labeling ini pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-orang lain (orang tua, keluarga, masyarakat) menilainya. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya.
          a. Labelling menurut Lemert
Menurut Edwin M. Lemert, seseorang melakukan penyimpangan dari proses labeling (pemberian julukan/cap) yang diberikan masyarakat kepadanya. Penyimpangan yang dilakukan itu mula-mula berupa penyimpangan primer. Akibatnya si penyimpang di cap sesuai penyimpangan yang dilakukan, seperti pencuri atau penipu. Sebagai tanggapan atas cap tersebut, si penyimpang primer mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi perilaku penyimpangan tersebut, sehingga penyimpangan yang dilakukannya berubah menjadi penyimpangan sekunder.
b. Labelling menurut Mead
Lahirnya teori penjulukan (labeling Theory), diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dari Herbert Mead dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti kriminologi, kesehatan mental (pengidap schizophrenia) dan kesehatan, serta pendidikan. Teori penjulukan dari studi tentang deviant di akhir tahun 1950 dan awal tahun 1960 yang merupakan penolakan terhadap teori consensus atau fungsionalisme structural. Awalnya, menurut teori structural deviant atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada yang merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma social. 
c. Teori labeling Micholowsky
Kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang. Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat. Umumnya tingkah laku seseorang dicap jahat menyebabkan orangnya juga diperlakukan sebagai penjahat. Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi dalam proses interaksi, dimana interaksi tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik antara individu, antar kelompok dan antar individu dan kelompok. Terdapat kecenderungan dimana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.
Dari beberapa penjelasan diatas maka jelas sudah bahwa perkembangan ilmu sosiologi sangat bermanfaat bagi masyarakat. Kajian sosiologi akan merambah ke segala disiplin ilmu lainnya, ketika ilmu Tersebut telah berkaitan dengan hehidupan social masyarakat. Berbagai kejadian dan fenomena kehidupan masyarakat dapat dikaji dengan disiplin ilmu sosiologi, dari aspek politik, budaya, ekonomi, agama dan lain-lain karena kaitannya dengan masyarakat sebagai kajian utama sosiologi. Eksistensi sosiologi telah diawali oleh pemikiran Emile Durkheim mengenai teori bunuh diri, yaitu individu melakukan bunuh diri bukan berasal dari factor internal individu (Psikologis) melainkan karena factor integrasi dari lingkungan sosialnya.

*Hanya untuk bahan bacaan kuliah
*berbagai sumber

Teori Differential Association


Edwin Sutherland (1947) memperkenalkan teori Asosiasi Diferensial. Menurutnya perilaku menyimpang merupakan suatu perbuatan yang didapatkan setelah melalui proses belajar. Proses belajar yang dimaksud adalah mempelajari dan memahami norman-norma yang menyimpang dari subkultur. Jadi, penyimpangan perilaku adalah fenomena yang dipelajari oleh seseorang dari orang lain atau kelompok.
Proses belajar norma penyimpangan ini persis dengan proses belajar konformitas (penyesuaian) dimana ada sosialisasi atas nilai-nilai yang disepakati bersama oleh suatu kelompok masyarakat. Namun, yang membedakannya adalah jika konformitas adalah proses belajar bagaimana menyesuaikan diri dengan nilai dan norma bersama serta berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok, maka penyimpangan justru sebaliknya. Peyimpangan adalah proses belajar bagaimana mempelajari nilai dan norma yang menyimpang.
Menurut Sutherland, penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran atau penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang. Perilaku menyimpang dipelajari di dalam lingkungan sosial (eksternal), artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara.[1]
Adapun 9 proposisi dari Teori Asosiasi Diferensial, yaitu:
1.      Criminal behavior is learned (perilaku kriminal itu dipelajari).
Sutherland memandang bahwa perilaku kriminal bukan berasal dari dalam diri seseorang maupun faktor genetik yang dibawa individu. Melainkan berasal dari proses belajar nilai dan norma menyimpang. Semakin mahir seseorang mempelajari nilai dan norma yang menyimpang, maka semakin dalam dia melakukan prilaku menyimpang. Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit atau tidak pernah seseorang mempelajari norma menyimpang, semakin sulit dia melakukan penyimpangan.
2.      Criminal behavior is learned in interaction with other person of communication (perilaku kriminal/menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang-orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang intens).
Perilaku menyimpang itu dipelajari melalui interaksi yang intim. Dalam sosiologi interaksi itu terdiri atas dua, kontak dan komunikasi. Melalui interaksi yang intim tersebut seseorang akan mempelajari bagaimana nilai dan norma perilaku menyimpang tersebut.

3.      The prinsiple of the learning of criminal behavior occurs within intiminate personal groups (Bagian utama dari belajar tindakan kriminal/perilaku menyimpang terjadi di dalam kelompok-kelompok personal yang intim atau akrab).
Perilaku menyimpang terjadi dalam kelompok-kelompok peribadi yang akrab. Sebab, mempelajari nilai dan norma menyimpang tidak bisa dilakukan pada kelompok-kelompok besar (publik) yang tidak memiliki kedekatan. Karena, proses belajar norma menyimpang hanya bisa dilakukan dengan berkelanjutan dan dalam hubungan yang dekat. Maksudnya, seseorang yang mempelajari norma menyimpang haruslah memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok pribadi yang juga melakukan prilaku menyimpang. Mempelajari norma menyimpang tidak bisa dilakukan hanya dengan menjalin interaksi semu dan jangka pendek. Sebab, norma menyimpang tersebut diyakini Sutherland tidak akan terinternalisasi.
Merujuk pada pandangan Sutherland diatas, maka peran media massa dalam menyampaikan nilai dan norma menyimpang tidak banyak berpengaruh terhadap proses belajar penyimpangan. Sebab, media massa yang bukan merupakan kelompok personal hanyalah memainkan peran sekunder dalam mempelajar penyimpangan.
Tentu pandangan Sutherland ini mulai tidak dapat dibuktikan. Akibat kemajuan teknologi dan mulai memudarnya peran institusi-institusi (seperti keluarga, lingkungan bermain, sekolah,dll) yang memiliki kewenangan untuk mensosialisasikan nilai dan norma pada individu dan kemudian tergantikan oleh peran media massa dan jejaring sosial. Kelompok personal lambat laun berubah menjadi kelompok sekunder dalam mengajarkan penyimpangan dan digantikan oleh peran kelompok publik/massa.
4.      When criminal behavior is learned, the learning includes, a) techniques of commiting the crime, which are very complicated, sometimes very simple, b) the specific direction of motives, drives, rationalizations and attitudes (ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran itu termasuk pula a) teknik melakukan kejahatan, yang kadang-kadang sangat sulit, kadang-kadang sederhana, b) arah khusus dari motif, dorongan rasionalisasi dan sikap-sikap).
Seseorang yang mempelajari perilaku menyimpang, berarti mempelajari berbagai hal mengenai perilaku menyimpang tersebut. Ia akan belajar bagaimana teknik melakukan prilaku menyimpang (kejahatan). Mereka yang melakukan prilaku menyimpang juga belajar tentang motif melakukan prilaku menyimpang tersebut. Ada alasan-alasan yang dianggap logis yang mendorong si pelaku untuk melakukan perilaku menyimpang. Ia juga belajar bagaimana cara bersikap sesuai dengan kelompok atau orang yang telah melakukan perilaku menyimpang tersebut.
Sebagai contoh, para siswa baru di salah satu SMA sedang memasuki masa orientasi di sekolah. Beberapa diantara mereka memiliki hubungan yang akrab dengan seniornya di sekolah. Setiap hari berkumpul sepulang sekolah, melakukan aktivitas bersama sehingga mereka menjadi akrab satu sama lain. Siswa baru tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan memperhatikan bagaimana seniornya berperilaku. Akhirnya, mereka tertarik untuk berperilaku yang sama. Siswa baru tersebut awalnya mempelajari apa alasan seniornya melakukan perilaku menyimpang, misalnya merokok. Motif seperti ingin terlihat “macho” dikalangan siswi-siswi, agar terlihat lebih dewasa dan motif-motif lainnya mendorong siswa baru tersebut untuk ikut mempelajari bagaimana teknik merokok dan sikap-sikap siswa merokok.
Akhirnya, setelah ia mempelajari bagaimana motif seniornya merokok, siswa baru tadi akan mempelajari bagaimana cara atau teknik menghisap rokok, menyembunyikan rokok ketika di sekolah hingga diam-diam merokok di sudut sekolah agar tidak ketahuan oleh guru.
5.      The specific direction of motives and drives is learned from definition of legal code as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari defenisi aturan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan).
Petunjuk khusus tentang motif dan dorongan untuk berperilaku menyimpang itu dipelajar dari defenisi-defenisi tentang norma-norma yang baik atau tidak baik. Proposisi ini mengakui keberadaan norma-norma untuk setia dan taat pada aturan-aturan yang sudah ada dan ia mungkin dapat juga melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang sudah ada. Sebagai contoh, ada orang yang berpendapat bahwa mencuri adalah perbuatan yang buruk atau salah jika barang-barang yang dicuri adalah barang-barang milik orang kurang mampu dan dalam tindakan pencurian itu ada orang yang celaka. Namun, ketika pencurian itu dilakukan pada orang kaya yang tamak dan tidak menimbulkan korban (yang dicelakai) maka tindakan tersebut ia (si pencuri) anggap bukan sebagai perilaku menyimpang atau kejahatan.
6.      A person becomes delinquent because of an access of defenition favorable of violation of law over definition un favorable to violation of law (seseorang menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap defenisi yang menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum melebihi defenisi-defenisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum).
Seseorang yang berannggapan bahwa perbuatan menyimpang yang ia lakukan lebih menguntungkan dari pada tidak melakukannya, maka ia akan memilih untuk melakukan tindakan tersebut. Alasannya bisa beragam, seperti lemahnya sanksi, lemahnya ikatan dalam masyarakat dan menguntungkan secara ekonomi. Dengan keuntungan yang demikian, maka ia akan lebih memilih untuk melanggar norma (melakukan prilaku menyimpang/kejahatan).
Namun, jika orang tersebut menganggap bahwa perbuatan menyimpang/ kejahatan yang dilakukan akan merugikannya karena adanya sanksi tegas, ikatan dalam masyarakat kuat atau tidak menguntungkan secara ekonomi, maka ia tidak akan melakukan pelanggaran norma (prilaku menyimpang/kejahatan).
7.      Differential Association may vary in frequency, duration, priority and intensity (Asosiasi yang berbeda-beda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas dan intensitas).
8.      The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all the mechanism that are involved in any other learning. ( proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya).
9.      While a criminal behavior is an explanation of general needs and values, it is not ecplained by those general needs and values since non criminal behavior is and explaination the same need and values. (walaupun perilaku jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tetapi hal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena perilaku nonkriminal dapat tercermin dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama). [2]

Kritikan Terhadap Teori Differential Association:
Teori Differential Association mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri. Berikut kelebihan dari teori Differential Association;
1.      Teori ini relatif mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial.
2.      Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya/ melalui proses belajar menjadi jahat.
3.      Ternyata teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional.
       Sedangkan kelemahan dari teori ini;
1.      Bahwa tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kajahatan/perilaku menyimpang akan meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang seperti petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara nyatanya tidak menjadi penjahat.
2.      Bahwa teori ini belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada karakter orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut.
3.      Bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang suka melanggar dari pada mentaati undang-undang dan belum mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir karena spontanitas.
4.      Bahwa apabila ditinjau dari aspek rasionalnya, tepri ini agaknya sulit untuk diteliti bukan hanya karena teoritik tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frequensi dan prioritasnya.
5.      Pada proposisi ketiga, Sutherland mengabaikan peran teknologi dan media massa sebagai agen sosialisasi. Kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang terjadi dewasa ini (memudarnya peran institusi-institusi seperti keluarga, lingkungan bermain, sekolah yang memiliki kewenangan untuk mensosialisasikan nilai dan norma pada individu), membuat proses belajar tidak lagi hanya bisa dilakukan dengan kelompok personal yang intim atau akrab tapi sudah mulai tergantikan oleh peran media massa dan jejaring sosial. Kelompok personal lambat laun berubah menjadi kelompok sekunder dalam mengajarkan penyimpangan dan digantikan oleh peran kelompok publik/massa.




[1] Frank P Wiliam dalam  Yesmil Anwar. Kriminologi. 2013. H; 75
[2] Sutherland and Cressey, 1960; 77)

Teori Anomie



Secara global, aktual dan representatif teori anomie lahir, tumbuh dan berkembang berdasarkan kondisi sosial (social heritage) munculnya revolusi industri hingga great depression di Prancis dan Eropa tahun 1930-an menghasilkan deregulasi tradisi sosial, efek bagi individu dan lembaga sosial/masyarakat. Perkembangan berikutnya, begitu pentingnya teori analisis struktur sosial sangat dilatar belakangi usaha New Deal Reform pemerintah dengan fokus penyusunan kembali masyarakat. Untuk pertamakalinya, istilah Anomie diperkenalkan Emile Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan tanpa norma (the concept of anomie referred to onabsence of social regulation normlessness).

Kemudian dalam buku The Division of Labor in Society (1893) Emile Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” di dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi.
Menurut Emile Durkheim, teori anomie terdiri dari tiga perspektif, yaitu :
  1. Manusia adalah mahluk sosial (man is social animal).
  2. Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial (human being is a social animal).
  3. Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to live incolonies, and his/her survival dependent upon moral conextions).
Kemudian, istilah anomie dikemukakan Emile Durkheim dalam bukunya Suicide (1897) yang mengemukakan asumsi bunuh diri dalam masyarakat merupakan akhir puncak dari anomie karena dua keadaan sosial berupa social integration dan social regulation.
Lebih lanjut, skema hipotesis Durkheim terlihat sebagai berikut :

Social Conditions
High
Low
Social Integration
Altruism
Egoism
Social Regulation
Fatalism
Anomie

Emile Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicide berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stress), yaitu :
  1. deregulasi kebutuhan atau anomi;
  2. regulasi yang keterlaluan atau fatalism;
  3. kurangnya integrasi struktural atau egoisme.
Hipotesis keempat dari suicide menunjuk kepada proses sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya altruistic sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh diri. Hipotesis keempat ini bukan termasuk teori stress.

Pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi konsep anomie Emile Durkheim untuk menjelaskan deviasi di Amerika. Konsepsi Merton ini sebenarnya dipengaruhi intelectual heritage (kondisi intelektual) Pitirin A.Sorokin (1928) dalam bukunya Contemporary Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam buku The Structure of Social Action. Menurut Robert K. Merton, konsep anomie diredefinisi sebagai ketidaksesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur masyarakat) karena adanya pembagian kelas. Karena itu, menurut John Hagan, teori anomie Robert K. Merton berorientasi pada kelas.

Teori anomie Robert K. Merton pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara perilaku delinkuen dengan tahapan tertentu pada struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan dan menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Untuk itu, ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan kultural. Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means .

Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuan-tujuan dan kepentingan membudaya meliputi kerangka aspirasi dasar manusia. Sedangkan means diartikan aturan dan cara kontrol yang melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan. Karena itu, Robert K. Merton membagi norma sosial berupa tujuan sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable means) untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam perkembangan berikutnya, pengertian anomie mengalami perubahan dengan adanya pembagian tujuan-tujuan dan sarana-sarana dalam masyarakat yang terstruktur. Misalnya, adanya perbedaan-perbedaan kelas-kelas sosial yang menimbulkan adanya perbedaan tujuan-tujuan dan sarana yang tersedia.

Konsep Anomie tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
“dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan tetapi dalam kenyataannya tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia tersebut. Hal ini menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan, maka dengan demikian akan timbul penyimpangan dalam mencapai tujuan tersebut”.

Kemudian, dari perkembangan tersebut anomie juga dapat terjadi karena “perbedaan struktur kesempatan”. Konsep ini dapat kami gambarkan sebagai berikut :
“dalam setiap masyarakat terdapat sturuktur sosial (berbentuk kelas-kelas), kelas ini dapat menyebabkan perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya, mereka yang berasal dari kelas rendah (lowerclass) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi (uper class). Keadaan tersebut (tidak samanya sarana serta perbedaan struktur) akan menimbulkan frustasi di kalangan warga yang tidak mempunyai kesempatan dalam mencapai tujuan.

Walaupun adanya ketidakpuasaan, namun ada cara untuk mengatasi keadaan anomie tersebut. Beberapa ahli kriminologi sepakat bahwa anomie dapat teratasi denganc ara-cara sebagai berikut :
  1. Masyarakat harus tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat, karena adanya tekanan moral (konformitas/conforming).
  2. Harus tetap memelihara tujuan yang terdapat dalam masyarakat, tetapi masyarakat pun diperbolehkan merubah sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut (asalkan yang halal) (inovasi/innovation). Mengubah sarana-sarana yang salah misalnya untuk mencapai uang yang banyak mereka mengubah sarana menabung dengan srana merampok bank.
  3. Masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan (dipositifkan) dan memakai tujuan yang telah ditentukan (oleh Tuhan) (Ritualisme/ritualism).
  4. Untuk mengatasi anomie, warga masyarakat juga harus mengadakan pemberontakan (rebellion) terhadap sarana dan tujuan yang ada dalam masyarakat, dan kemudian warga masyarakat harus berusaha untuk mengubahnya dan menggantinya menjadi sarana dan tujuan yang terbaik untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, namun sebelum masyarakat mengadakan rebillion, terlebih dahulu harus mengadakan penarikan diri (retreatisme) dari tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat.
Robert K. Merton mengemukakan lima cara mengatasi anomie dalam setiap anggota kelompok masyarakat dengan tujuan yang membudaya (goals) dan cara yang melembaga (means), seperti tampak pada tabel Model of Adaptation.
Models of Adaptation
Cultural Goals
Institutionalized Means
Conformity (Konformitas)
+
+
Innovation (Inovasi)
+
-
Ritualsm (Ritualisme)
-
+
Retreatism (Penarikan Diri)
-
-
Rebelliion (Pemberontakan)
+/-
+/-
Keterangan :
+ acceptances (penerimaan)
-elliminaation (penolakan)
+/-rejection and subtitution of new goals and means (penolakan dan penggantian tujuan dan cara baru)
Kelima bentuk penyesuaian diri yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku tersebut dapat diuraikan sebagaiberikut :
  1. Conformity (konformitas) adalah suatu keadaan dimana warga masyarakat tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat karena adanya tekanan moral.
  2. Innovation (inovasi) yaitu keadaan dimana tujuan dalam masyarakat diakui dan dipelihara tetapi mengubah sarana-sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.(3)
  3. Ritualism (ritualisme) yaitu keadaan dimana warga masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun sarana-sarana yang telah di tentukan tetap dipilih.
  4. Retreatism (penarikan diri) merupakan keadaan dimana para warga masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah disediakan.
  5. Rebellion (pemberontakan) adalah suatu keadaan dimana tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya
*hanya untuk bahan kuliah.
*berbagai sumber