Sabtu, 31 Maret 2012

Dosa Pendidikan Lampau, Dituai Kemudian Hari

Pendidikan dahulunya adalah institusi yang diharapkan dapat membentuk peserta didik menjadi orang yang cerdas dan berguna bagi nusa dan bangsa. Hal ini tercantum dalam tujuan pendidikan nasional yang menghendaki pem­ben­tukan manusia seutuhnya. Menyandang pendidikan ting­gi, diharapkan tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas tentang bidang yang dikuasai tapi juga harus menjadi pribadi yang mema­nusiakan manusia lainnya. Maka besar harapan masya­rakat bahwa kedepan, manu­sia berpendidikan tinggi akan memimpin bangsa ini dan mewujudkan kesejahteraan sosial.

Namun, das sein dan das sollen (kenyataan dan harapan) berbeda. Justru belakangan ini kita melihat  kasus-kasus mereka yang memiliki pen­didikan tinggi merusak bang­sanya sendiri. Sebut saja seperti kasus Melinda Dee, seorang karyawati senior Citi­bank yang membobol Rp17 miliar dana nasabahnya. Kasus lain seperti Gayus Tambunan yang melakukan korupsi pajak negara hingga triliunan rupiah. Adalagi kasus korupsi ber­jamaah oleh beberapa oknum dari partai penguasa yang menilap uang rakyat hingga triliunan. Ada juga kasus terorisme dan pembobolan ATM yang di­la­ku­kan oleh mereka yang me­mi­liki penge­tahuan tentang itu.

Dari segelintir kasus keru­sakan moral diatas, maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lagi mampu menjamin peserta didiknya untuk men­jadi manusia seutuhnya. Benar mereka adalah ma­nusia, tapi manusia tanpa moral, iman, nilai dan norma. Mereka inilah yang mencoreng nama bangsa dikancah inter­nasional. Di saat bangsa ini berupaya mewujudkan clean governance sebagai konsek­uensi dari peminjaman uang oleh negara donor, justru kejadian demi kejadian mema­lukan ini terjadi.

Nah, ketika mereka yang berpendidikan saja bisa men­jadi maling di negaranya sendiri, maka bagaimana dengan orang-orang yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki keahilian khusus? Masih singkronkah jika kita ungkapkan bahwa pendidikan dapat meminimalisir tindak kejahatan dan amoral?

Kasus demi kasus yang menimpa orang-orang ber­pen­didikan harusnya membuka mata kita bahwa ada yang salah dengan pendidikan di negeri zamrud khatulistiwa ini. Nyatanya pendidikan tidak mampu mendidik ma­nusia untuk dapat mema­nusiakan manusia lainnya. Ada cara yang salah dalam mendidik peserta didik hingga moral, mental dan keimanan mereka tidak terbentuk se­cara sempurna seperti yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional.

Saya menyebut ini sebagai lesalahan dalam paradigma pendidikan. Selama ini, pen­didikan di Indonesia hanya menitik beratkan pada pen­didikan kognitif. Pendidikan cara ini disebut juga sebagai pendidikan yang kering mak­na. Anak didik ditempa untuk dapat memahami dan mem­pelajari ilmu pengetahuan secara teoritis. Mereka dididik untuk menjadi pemikir. Acuan keberhasilan pendidikan pun diambil dari seberapa besar nilai mereka saat diberikan tes kemampuan kognitif.

Pendidikan yang abai pada aspek afektif dan spiritual inilah yang mencetak para intelektual yang korupsi, kolusi dan nepotisme. Pendidikan jugalah yang menyebabkan rasio bermain diatas nurani. Pendidikan inilah yang mem­bentuk manusia yang indi­vidual, ingin menang sendiri, hedonis dan berpikir instant dalam mencapai sesuatu. Sebab, pendidikan kita ter­dahulu memang cenderung berkiblat pada hasil bukan proses dalam mencapai tu­juan. Jika indicator hasil yang digunakan, maka jelaslah banyak orang yang telah mengecap pendidikan tinggi berupaya untuk mengejar hasil dan mengabaikan proses ba­gai­­mana dia mendapatkan tujuannya.

Manusia cetakan seperti inilah yang mudah terbujuk permbangan zaman. Peru­bahan yang terjadi seiring perkembangan informasi dan teknologi membujuk manusia keluaran pendidikan berbasis kognitif untuk bertindak “semau gue”. Akhirnya, ter­bentuklah pribadi seperti hewan.

Mengutip pemikiran Imam al-Ghazali, bahwa ada tiga komponen di dalam diri ma­nusia yang harus dikembangkan secara simultan. Ketiga komponen itu yakni adalah jism, fikr (pikir), dan qalb (hati). Nah, pendidikan di Indonesia selama ini hanya fokus pada aspek pikir. Betul tujuan pendidikan kita adalah membentuk manusia beriman dan bertakwa, tetapi apli­kasinya tidak dilakukan. Iman dan takwa tidak boleh hanya diajarkan karena cuma menye­n­tuh ranah kognitif. Sebab, iman dan takwa lebih pada ranah afektif  dan psiko­motorik. Maka dari itu, muncul dampak seperti terjadi ke­tidak­­seimbangan antara kecer­dasan intelektual dan pence­rahan hati. Maka dari itu, sudah saatnya paradigma pendidikan kita dirumuskan kembali. Faktanya, Indonesia kian tercabut dari nilai-nilai ke­lokalan yang notabene lebih berkarakter ketimbang budaya instan, serba cepat, dan prag­matis.

Kehidupan hampir semuaya diukur dari materi (uang). Inilah yang disebut dengan budaya pragmatis. Seharusnya, pendidikan mam­pu untuk menemukan kembali nilai-nilai kebangsaan.

Selain arah pendidikan yang hanya berkiblat pada kognitif, maka kelemahan pendidikan kita yang lainnya yakni komersialisasi pen­didikan. Pendidikan cenderung dijadikan ladang uang oleh beberapa pihak. Baik institusi pendidikan negeri maupun swasta berkewajiban untuk mencerdaskan bangsa. Maka dari itu, tidak cukup hanya dengan merancang kurikulum sesempurna mungkin untuk menciptakan. Kognitif, tapi seharusnya juga diciptakan pendidikan yang estetis dan bernilai karakter. Maka dari itu, pendidikan kita haruslah ditujukan untuk melahirkan kebijaksanaan dalam hidup.

Miris jika kita melihat kondisi saat ini dimana insti­tusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar lembaganya laku, seba­gian memberikan iming-iming dengan kata-kata lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Institusi yang seperti ini jelas kering idealisme, sebab tujuan mereka tidak lagi mencer­daskan kehidupan bangsa, tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kua­litasnya.

Pendidikan Bukan Transfer knowledge

Perlu diingat, bahwa bekal pendidikan tidaklah hanya cukup dengan menuntaskan wajib belajar 12 tahun saja tapi juga harus memberikan bekal berupa ketrampilan dan kepandaian yang dilandasi kepribadian dan akhlak. Maka dari itu,  guru sebagai central figure bagi peserta didik tidaklah hanya mengajar dan mendidik saja (transfer of knowledge)  tetapi juga harus mampu memberikan mem­bangun kepribadian (building personality) yang terintegrasi dengan iman bagi muridnya.

Pakar Pendidikan, Paulo Freire juga mangatakan bah­wa pendidikan seharusnya be­rorientasi pada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanya­sebagai ajang transfer of knowledge akan tetapi bagai­mana ilmu pengetahuan di­jadikan saranauntuk men­didik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Pendidikan diharapkan bisa menuju tercapainya sikap dan perilaku “toleran”, lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, berorientasi pada intensifikasi pemahaman bahasa asing sebagai alat untuk mengumpulkan ilmu pengetahuanyang semakin pesat perkembaganya, mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan man­diri dalam kehidupan untuk menghadapi pertumbuhan penduduk, perubaan struk­tur ekonomi dan sosial yang luas dan mempunyai jang­kauan yang jauh, menum­buhkan  etoskerja, mempunyai apresiasi pada kerja, disiplin dan jujur.

Perubahan Paradigma Pendidikan

Fenomena di atas, mem­buat miris dan telah lama menggugah kepedulian Nasio­nal denga pengambilan lang­kah strategis melalui kete­tapan-ketetapan yang menga­rah kepada pendidikan. Bela­kangan, telah tampak adanya upaya perubahan paradigma pendidikan yang tidak lagi hanya mengandalkan kemam­puan kognitif tapi juga telah melibatkan pendidikan afaktif dan psikomotorik. Bahkan belakangan, ada rencana untuk menciptakan pendidikan ber­karakter guna mendapatkan lulusan yang berkarakter.

Patut disadari bahwa masyarakat dan negara tidak­lah dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pen­didikan. Karena, tiap-tiap masalah yang timbul kusus­nya terhadap dekadensi moral akibat ulah dan perbuatan sebab akibat sebagai hukum kausalitasnya. Seiring berja­lannya waktu, maka akan terjadi regenerasi. Sebab itu, generasi muda harus diberikan pembekalan yang cukup guna membangun bangsa kedepan. Pembekalan itu dilakukan oleh masyarakat dan institusi pendidikan. Sebab itulah, agar generasi penerus bangsa di­kemudian hari tidak terjebak dalam system pendidikan yang buruk, diperlukan pem­benahan ditubuh internal pendidikan itu sendiri.

Hampanya nilai-nilai budi pekerti serta nilai-nilai spi­ritual perlu memunculkan perspektif baru untuk mencari kemungkinan system dan strategi baru sebagai alternatif pola pikir manusia pen­di­dikan. Dua konsep baru se­perti paradigma peradapan modern dan rekonstruksi ajaran-ajaran tradisional peninggalan nenek moyang sebagai warisan leluhur untuk dihidupkan kembali meru­pakan dua alternatif kesa­daran dan pandangan hidup yang diharapkan mampu mencerminkan jati diri ke­hidupan bangsa 



(Dra. Novita)