Pendidikan dahulunya adalah institusi yang
diharapkan dapat membentuk peserta didik menjadi orang yang cerdas dan
berguna bagi nusa dan bangsa. Hal ini tercantum dalam tujuan pendidikan
nasional yang menghendaki pembentukan manusia seutuhnya. Menyandang
pendidikan tinggi, diharapkan tidak hanya memiliki pengetahuan yang
luas tentang bidang yang dikuasai tapi juga harus menjadi pribadi yang
memanusiakan manusia lainnya. Maka besar harapan masyarakat bahwa
kedepan, manusia berpendidikan tinggi akan memimpin bangsa ini dan
mewujudkan kesejahteraan sosial.
Namun, das sein dan das sollen (kenyataan dan harapan) berbeda. Justru belakangan ini kita melihat kasus-kasus mereka yang memiliki pendidikan tinggi merusak bangsanya sendiri. Sebut saja seperti kasus Melinda Dee, seorang karyawati senior Citibank yang membobol Rp17 miliar dana nasabahnya. Kasus lain seperti Gayus Tambunan yang melakukan korupsi pajak negara hingga triliunan rupiah. Adalagi kasus korupsi berjamaah oleh beberapa oknum dari partai penguasa yang menilap uang rakyat hingga triliunan. Ada juga kasus terorisme dan pembobolan ATM yang dilakukan oleh mereka yang memiliki pengetahuan tentang itu.
Dari segelintir kasus kerusakan moral diatas, maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lagi mampu menjamin peserta didiknya untuk menjadi manusia seutuhnya. Benar mereka adalah manusia, tapi manusia tanpa moral, iman, nilai dan norma. Mereka inilah yang mencoreng nama bangsa dikancah internasional. Di saat bangsa ini berupaya mewujudkan clean governance sebagai konsekuensi dari peminjaman uang oleh negara donor, justru kejadian demi kejadian memalukan ini terjadi.
Nah, ketika mereka yang berpendidikan saja bisa menjadi maling di negaranya sendiri, maka bagaimana dengan orang-orang yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki keahilian khusus? Masih singkronkah jika kita ungkapkan bahwa pendidikan dapat meminimalisir tindak kejahatan dan amoral?
Kasus demi kasus yang menimpa orang-orang berpendidikan harusnya membuka mata kita bahwa ada yang salah dengan pendidikan di negeri zamrud khatulistiwa ini. Nyatanya pendidikan tidak mampu mendidik manusia untuk dapat memanusiakan manusia lainnya. Ada cara yang salah dalam mendidik peserta didik hingga moral, mental dan keimanan mereka tidak terbentuk secara sempurna seperti yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional.
Saya menyebut ini sebagai lesalahan dalam paradigma pendidikan. Selama ini, pendidikan di Indonesia hanya menitik beratkan pada pendidikan kognitif. Pendidikan cara ini disebut juga sebagai pendidikan yang kering makna. Anak didik ditempa untuk dapat memahami dan mempelajari ilmu pengetahuan secara teoritis. Mereka dididik untuk menjadi pemikir. Acuan keberhasilan pendidikan pun diambil dari seberapa besar nilai mereka saat diberikan tes kemampuan kognitif.
Pendidikan yang abai pada aspek afektif dan spiritual inilah yang mencetak para intelektual yang korupsi, kolusi dan nepotisme. Pendidikan jugalah yang menyebabkan rasio bermain diatas nurani. Pendidikan inilah yang membentuk manusia yang individual, ingin menang sendiri, hedonis dan berpikir instant dalam mencapai sesuatu. Sebab, pendidikan kita terdahulu memang cenderung berkiblat pada hasil bukan proses dalam mencapai tujuan. Jika indicator hasil yang digunakan, maka jelaslah banyak orang yang telah mengecap pendidikan tinggi berupaya untuk mengejar hasil dan mengabaikan proses bagaimana dia mendapatkan tujuannya.
Manusia cetakan seperti inilah yang mudah terbujuk permbangan zaman. Perubahan yang terjadi seiring perkembangan informasi dan teknologi membujuk manusia keluaran pendidikan berbasis kognitif untuk bertindak “semau gue”. Akhirnya, terbentuklah pribadi seperti hewan.
Mengutip pemikiran Imam al-Ghazali, bahwa ada tiga komponen di dalam diri manusia yang harus dikembangkan secara simultan. Ketiga komponen itu yakni adalah jism, fikr (pikir), dan qalb (hati). Nah, pendidikan di Indonesia selama ini hanya fokus pada aspek pikir. Betul tujuan pendidikan kita adalah membentuk manusia beriman dan bertakwa, tetapi aplikasinya tidak dilakukan. Iman dan takwa tidak boleh hanya diajarkan karena cuma menyentuh ranah kognitif. Sebab, iman dan takwa lebih pada ranah afektif dan psikomotorik. Maka dari itu, muncul dampak seperti terjadi ketidakseimbangan antara kecerdasan intelektual dan pencerahan hati. Maka dari itu, sudah saatnya paradigma pendidikan kita dirumuskan kembali. Faktanya, Indonesia kian tercabut dari nilai-nilai kelokalan yang notabene lebih berkarakter ketimbang budaya instan, serba cepat, dan pragmatis.
Kehidupan hampir semuaya diukur dari materi (uang). Inilah yang disebut dengan budaya pragmatis. Seharusnya, pendidikan mampu untuk menemukan kembali nilai-nilai kebangsaan.
Selain arah pendidikan yang hanya berkiblat pada kognitif, maka kelemahan pendidikan kita yang lainnya yakni komersialisasi pendidikan. Pendidikan cenderung dijadikan ladang uang oleh beberapa pihak. Baik institusi pendidikan negeri maupun swasta berkewajiban untuk mencerdaskan bangsa. Maka dari itu, tidak cukup hanya dengan merancang kurikulum sesempurna mungkin untuk menciptakan. Kognitif, tapi seharusnya juga diciptakan pendidikan yang estetis dan bernilai karakter. Maka dari itu, pendidikan kita haruslah ditujukan untuk melahirkan kebijaksanaan dalam hidup.
Miris jika kita melihat kondisi saat ini dimana institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar lembaganya laku, sebagian memberikan iming-iming dengan kata-kata lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Institusi yang seperti ini jelas kering idealisme, sebab tujuan mereka tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.
Pendidikan Bukan Transfer knowledge
Perlu diingat, bahwa bekal pendidikan tidaklah hanya cukup dengan menuntaskan wajib belajar 12 tahun saja tapi juga harus memberikan bekal berupa ketrampilan dan kepandaian yang dilandasi kepribadian dan akhlak. Maka dari itu, guru sebagai central figure bagi peserta didik tidaklah hanya mengajar dan mendidik saja (transfer of knowledge) tetapi juga harus mampu memberikan membangun kepribadian (building personality) yang terintegrasi dengan iman bagi muridnya.
Pakar Pendidikan, Paulo Freire juga mangatakan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanyasebagai ajang transfer of knowledge akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan saranauntuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Pendidikan diharapkan bisa menuju tercapainya sikap dan perilaku “toleran”, lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, berorientasi pada intensifikasi pemahaman bahasa asing sebagai alat untuk mengumpulkan ilmu pengetahuanyang semakin pesat perkembaganya, mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan untuk menghadapi pertumbuhan penduduk, perubaan struktur ekonomi dan sosial yang luas dan mempunyai jangkauan yang jauh, menumbuhkan etoskerja, mempunyai apresiasi pada kerja, disiplin dan jujur.
Perubahan Paradigma Pendidikan
Fenomena di atas, membuat miris dan telah lama menggugah kepedulian Nasional denga pengambilan langkah strategis melalui ketetapan-ketetapan yang mengarah kepada pendidikan. Belakangan, telah tampak adanya upaya perubahan paradigma pendidikan yang tidak lagi hanya mengandalkan kemampuan kognitif tapi juga telah melibatkan pendidikan afaktif dan psikomotorik. Bahkan belakangan, ada rencana untuk menciptakan pendidikan berkarakter guna mendapatkan lulusan yang berkarakter.
Patut disadari bahwa masyarakat dan negara tidaklah dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan. Karena, tiap-tiap masalah yang timbul kususnya terhadap dekadensi moral akibat ulah dan perbuatan sebab akibat sebagai hukum kausalitasnya. Seiring berjalannya waktu, maka akan terjadi regenerasi. Sebab itu, generasi muda harus diberikan pembekalan yang cukup guna membangun bangsa kedepan. Pembekalan itu dilakukan oleh masyarakat dan institusi pendidikan. Sebab itulah, agar generasi penerus bangsa dikemudian hari tidak terjebak dalam system pendidikan yang buruk, diperlukan pembenahan ditubuh internal pendidikan itu sendiri.
Hampanya nilai-nilai budi pekerti serta nilai-nilai spiritual perlu memunculkan perspektif baru untuk mencari kemungkinan system dan strategi baru sebagai alternatif pola pikir manusia pendidikan. Dua konsep baru seperti paradigma peradapan modern dan rekonstruksi ajaran-ajaran tradisional peninggalan nenek moyang sebagai warisan leluhur untuk dihidupkan kembali merupakan dua alternatif kesadaran dan pandangan hidup yang diharapkan mampu mencerminkan jati diri kehidupan bangsa
Namun, das sein dan das sollen (kenyataan dan harapan) berbeda. Justru belakangan ini kita melihat kasus-kasus mereka yang memiliki pendidikan tinggi merusak bangsanya sendiri. Sebut saja seperti kasus Melinda Dee, seorang karyawati senior Citibank yang membobol Rp17 miliar dana nasabahnya. Kasus lain seperti Gayus Tambunan yang melakukan korupsi pajak negara hingga triliunan rupiah. Adalagi kasus korupsi berjamaah oleh beberapa oknum dari partai penguasa yang menilap uang rakyat hingga triliunan. Ada juga kasus terorisme dan pembobolan ATM yang dilakukan oleh mereka yang memiliki pengetahuan tentang itu.
Dari segelintir kasus kerusakan moral diatas, maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lagi mampu menjamin peserta didiknya untuk menjadi manusia seutuhnya. Benar mereka adalah manusia, tapi manusia tanpa moral, iman, nilai dan norma. Mereka inilah yang mencoreng nama bangsa dikancah internasional. Di saat bangsa ini berupaya mewujudkan clean governance sebagai konsekuensi dari peminjaman uang oleh negara donor, justru kejadian demi kejadian memalukan ini terjadi.
Nah, ketika mereka yang berpendidikan saja bisa menjadi maling di negaranya sendiri, maka bagaimana dengan orang-orang yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki keahilian khusus? Masih singkronkah jika kita ungkapkan bahwa pendidikan dapat meminimalisir tindak kejahatan dan amoral?
Kasus demi kasus yang menimpa orang-orang berpendidikan harusnya membuka mata kita bahwa ada yang salah dengan pendidikan di negeri zamrud khatulistiwa ini. Nyatanya pendidikan tidak mampu mendidik manusia untuk dapat memanusiakan manusia lainnya. Ada cara yang salah dalam mendidik peserta didik hingga moral, mental dan keimanan mereka tidak terbentuk secara sempurna seperti yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional.
Saya menyebut ini sebagai lesalahan dalam paradigma pendidikan. Selama ini, pendidikan di Indonesia hanya menitik beratkan pada pendidikan kognitif. Pendidikan cara ini disebut juga sebagai pendidikan yang kering makna. Anak didik ditempa untuk dapat memahami dan mempelajari ilmu pengetahuan secara teoritis. Mereka dididik untuk menjadi pemikir. Acuan keberhasilan pendidikan pun diambil dari seberapa besar nilai mereka saat diberikan tes kemampuan kognitif.
Pendidikan yang abai pada aspek afektif dan spiritual inilah yang mencetak para intelektual yang korupsi, kolusi dan nepotisme. Pendidikan jugalah yang menyebabkan rasio bermain diatas nurani. Pendidikan inilah yang membentuk manusia yang individual, ingin menang sendiri, hedonis dan berpikir instant dalam mencapai sesuatu. Sebab, pendidikan kita terdahulu memang cenderung berkiblat pada hasil bukan proses dalam mencapai tujuan. Jika indicator hasil yang digunakan, maka jelaslah banyak orang yang telah mengecap pendidikan tinggi berupaya untuk mengejar hasil dan mengabaikan proses bagaimana dia mendapatkan tujuannya.
Manusia cetakan seperti inilah yang mudah terbujuk permbangan zaman. Perubahan yang terjadi seiring perkembangan informasi dan teknologi membujuk manusia keluaran pendidikan berbasis kognitif untuk bertindak “semau gue”. Akhirnya, terbentuklah pribadi seperti hewan.
Mengutip pemikiran Imam al-Ghazali, bahwa ada tiga komponen di dalam diri manusia yang harus dikembangkan secara simultan. Ketiga komponen itu yakni adalah jism, fikr (pikir), dan qalb (hati). Nah, pendidikan di Indonesia selama ini hanya fokus pada aspek pikir. Betul tujuan pendidikan kita adalah membentuk manusia beriman dan bertakwa, tetapi aplikasinya tidak dilakukan. Iman dan takwa tidak boleh hanya diajarkan karena cuma menyentuh ranah kognitif. Sebab, iman dan takwa lebih pada ranah afektif dan psikomotorik. Maka dari itu, muncul dampak seperti terjadi ketidakseimbangan antara kecerdasan intelektual dan pencerahan hati. Maka dari itu, sudah saatnya paradigma pendidikan kita dirumuskan kembali. Faktanya, Indonesia kian tercabut dari nilai-nilai kelokalan yang notabene lebih berkarakter ketimbang budaya instan, serba cepat, dan pragmatis.
Kehidupan hampir semuaya diukur dari materi (uang). Inilah yang disebut dengan budaya pragmatis. Seharusnya, pendidikan mampu untuk menemukan kembali nilai-nilai kebangsaan.
Selain arah pendidikan yang hanya berkiblat pada kognitif, maka kelemahan pendidikan kita yang lainnya yakni komersialisasi pendidikan. Pendidikan cenderung dijadikan ladang uang oleh beberapa pihak. Baik institusi pendidikan negeri maupun swasta berkewajiban untuk mencerdaskan bangsa. Maka dari itu, tidak cukup hanya dengan merancang kurikulum sesempurna mungkin untuk menciptakan. Kognitif, tapi seharusnya juga diciptakan pendidikan yang estetis dan bernilai karakter. Maka dari itu, pendidikan kita haruslah ditujukan untuk melahirkan kebijaksanaan dalam hidup.
Miris jika kita melihat kondisi saat ini dimana institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar lembaganya laku, sebagian memberikan iming-iming dengan kata-kata lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Institusi yang seperti ini jelas kering idealisme, sebab tujuan mereka tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.
Pendidikan Bukan Transfer knowledge
Perlu diingat, bahwa bekal pendidikan tidaklah hanya cukup dengan menuntaskan wajib belajar 12 tahun saja tapi juga harus memberikan bekal berupa ketrampilan dan kepandaian yang dilandasi kepribadian dan akhlak. Maka dari itu, guru sebagai central figure bagi peserta didik tidaklah hanya mengajar dan mendidik saja (transfer of knowledge) tetapi juga harus mampu memberikan membangun kepribadian (building personality) yang terintegrasi dengan iman bagi muridnya.
Pakar Pendidikan, Paulo Freire juga mangatakan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanyasebagai ajang transfer of knowledge akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan saranauntuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Pendidikan diharapkan bisa menuju tercapainya sikap dan perilaku “toleran”, lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, berorientasi pada intensifikasi pemahaman bahasa asing sebagai alat untuk mengumpulkan ilmu pengetahuanyang semakin pesat perkembaganya, mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan untuk menghadapi pertumbuhan penduduk, perubaan struktur ekonomi dan sosial yang luas dan mempunyai jangkauan yang jauh, menumbuhkan etoskerja, mempunyai apresiasi pada kerja, disiplin dan jujur.
Perubahan Paradigma Pendidikan
Fenomena di atas, membuat miris dan telah lama menggugah kepedulian Nasional denga pengambilan langkah strategis melalui ketetapan-ketetapan yang mengarah kepada pendidikan. Belakangan, telah tampak adanya upaya perubahan paradigma pendidikan yang tidak lagi hanya mengandalkan kemampuan kognitif tapi juga telah melibatkan pendidikan afaktif dan psikomotorik. Bahkan belakangan, ada rencana untuk menciptakan pendidikan berkarakter guna mendapatkan lulusan yang berkarakter.
Patut disadari bahwa masyarakat dan negara tidaklah dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan. Karena, tiap-tiap masalah yang timbul kususnya terhadap dekadensi moral akibat ulah dan perbuatan sebab akibat sebagai hukum kausalitasnya. Seiring berjalannya waktu, maka akan terjadi regenerasi. Sebab itu, generasi muda harus diberikan pembekalan yang cukup guna membangun bangsa kedepan. Pembekalan itu dilakukan oleh masyarakat dan institusi pendidikan. Sebab itulah, agar generasi penerus bangsa dikemudian hari tidak terjebak dalam system pendidikan yang buruk, diperlukan pembenahan ditubuh internal pendidikan itu sendiri.
Hampanya nilai-nilai budi pekerti serta nilai-nilai spiritual perlu memunculkan perspektif baru untuk mencari kemungkinan system dan strategi baru sebagai alternatif pola pikir manusia pendidikan. Dua konsep baru seperti paradigma peradapan modern dan rekonstruksi ajaran-ajaran tradisional peninggalan nenek moyang sebagai warisan leluhur untuk dihidupkan kembali merupakan dua alternatif kesadaran dan pandangan hidup yang diharapkan mampu mencerminkan jati diri kehidupan bangsa
(Dra. Novita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar