Rabu, 02 Mei 2012

Memperingati Hardiknas ditengah Merosotnya Mutu Pendidikan


Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap tanggal 2 Mei. Telah acap kali upacara dan rangkaian acara memperingati Hardiknas digelar namun tetap saja belum membebaskan Indonesia dari persoalan yang membelit pendidikan di negeri zamrud katulistiwa itu hingga 66 tahun Indonesia merdeka. Hingga usia yang setua itu, Indonesia masih saja belum memiliki arah pendidikan yang jelas, sistem pendidikan pun masih terkesan meraba-raba. Hal ini menjadi salah satu penyebab Indonesia tertinggal dengan Negara lain dalam hal pendidikan.

Menilik keberhasilan Negara maju dalam mensukseskan pendidikannya disebabkan karena komitmen total dari berbagai pihak, yakni pemerintah dan swasta untuk mengembangkan dunia pendidikan. Sebut saja Negara Jerman dan Perancis yang merupakan dua diantara Negara maju yang berhasil menerapkan pendidikan gratis. Dua Negara ini memandang pendidikan adalah investasi, dengan tingginya pendidikan di Negara itu maka diharapkan akan lebih banyak lagi peluang usaha yang bisa ia ciptakan. Artinya, langkah ini dapat mendongkrak pendapatan nasional.

Namun sayangnya pemerintah Indonesia tidak berpikir demikian. Baik swasta maupun negeri masih saja berlomba-lomba menjadikan pendidikan sebagai lahan komersil. Kementerian Pendidikan Nasional justru berpikir terbalik dengan pemikiran dua Negara maju diatas. Menteri Pendidikan, M. Nuh sempat berucap tidak akan memberikan pendidikan gratis sepenuhnya agar tidak terjadi penyepelean atas pentingnya pendidikan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan gratis bagi Jerman dan Prancis berbeda dengan pendidikan gratis di Indonesia.

Jika di Jerman dan Prancis pendidikan gratis adalah pembebasan biaya pendidikan tanpa syarat apapun, namun di Indonesia pendidikan gratis itu hanya menyangkut uang bulanan dan daftar masuk sekolah. Sementara buku, baju batik, baju olahraga, topi, dasi dan perlengkapan sekolah lainnya tetap harus dibayar. Maka tak mengherankan jika angka putus sekolah di Indonesia masih tinggi.

Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index. Berdasarkan laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Bahkan pada tahun 2010 usia sekolah yakni 7-15 tahun yang terancam putus sekolah sebanyak 1,3 juta. Biasanya putus sekolah karena ditarik orangtua karena harus kerja. Anak merasa nyaman di jalanan.

Mengerucut sedikit ke provinsi Sumbar, angka putus sekolah di daerah ini juga tak kalah tinggi. Sebanyak 7.682 siswa di Sumbar mulai dari SD sampai SLTA tahun ajaran 2007/2008 mengalami putus sekolah. Identifikasi yang dilakukan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Sumbar, penyebab utama anak putus sekolah karena faktor ekonomi. Beberapa daerah yang menjadi penyumbang angka putus sekolah tertinggi di antaranya Pasaman Barat (Pasbar) untuk tingkat pendidikan MA dan MTs, Pesisir Selatan untuk tingkat pendidikan SMP, Agam untuk tingkat pendidikan SMA, Padang untuk tingkat pendidikan SMK. Siswa yang putus sekolah sebagian besar mereka yang lagi duduk dikelas III.

Mahalnya biaya pendidikan memang menciptakan efek domino. Pihak yang paling dirugikan atas tingginya biaya pendidikan nantinya adalah bangsa ini sendiri. Tidak mengecap pendidikan maka sulit bagi orang untuk mendapat pekerjaan yang bagus. Akhirnya, angka angka pengangguran membengkak diikuti oleh rendahnya kehidupan ekonomi. Padahal, pendidikan merupakan tanggungjawab pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tentang HAM menegaskan setiap warga berhak mendapatkan pendidikan.

Pendanaan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional mesti mengakomodir masyarakat dan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat memperoleh akses yang luas dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mesti berupaya menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya. Prinsip nirlaba mestinya menjadi ruh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.

Tak hanya persoalan kuantitas anak putus sekolah yang perlu ditanggulangi segera, persoalan pendidikan lainnya seperti komersialisasi pendidikan, korupsi dan kualitas SDM peserta maupun pengajar juga tak boleh luput dari perhatian. Misalnya untuk kasus korupsi di dunia pendidikan, tercatat bahwa sektor pendidikan merupakan yang paling tinggi angka kejadian korupsinya . Dari 435 kasus korupsi sepanjang 2011, maka 54 kasus diantaranya adalah kasus korupsi di dunia pendidikan. Jelaslah bahwa pendidikan tidak hanya menjadi komoditas komersialisasi tapi juga sudah bermetamorfosis menjadi ladang basah korupsi. Hal ini tentu perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Maraknya korupsi pendidikan ini, tentu saja tak lepas dari porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang cukup besar tapi tidak mendapatkan pengawasan yang ketat. Seharusnya dilakukan pengawasan atas tata kelola anggaran pendidikan secara transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Sebab, pendidikan adalah ladang strategis bagi para tikus berdasi. Maka dari itu, untuk menghilangkan korupsi di sektor pendidikan harus dilakukan, dengan cara mendorong partisipasi dan transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Persoalan mutu pendidikan juga masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi bangsa ini. Ditengah hangatnya fenomena anak putus sekolah, komersialisasi dan korupsi pendidikan, ius mutu pendidikan seolah-olah terkesampingkan. Padahal mutu pendidikan adalah hal yang penting dalam mewujudkan bangsa yang maju. Bicara soal mutu, Negara Finlandia merupakan salah satu Negara yang memiliki mutu pendidikan yang sangat baik. Besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah Finlandia membantu peningkatan mutu pendidikannya. Guru-guru di Finladia adalah guru bermutu tinggi. Karena para guru dipilih yang paling berkualitas dan terlatih. Agar bisa kuliah di jurusan pendidikan, harus bersaing lebih ketat dari pada persaingan di fakultas-fakultas nonpendidikan yang bergengsi.

Beberapa sumber yang dihimpun menyebutkan bahwa guru Finlandia sangat bertanggungjawab pada kelangsungan masa depan peserta didiknya seperti pendidikan lanjutan yang akan ditempuh anak didik itu. Sementara nilai siswa sama sekali tidak dianggap penting. Guru-guru di Finlandia dibebaskan untuk menggunakan metode kelas apapun, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Ujian bukan hal utama dan sakral, tetapi ujian hanya digunakan untuk mengetahui kualifikasi siswa di sebuah sekolah.
 
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Di Indonesia, proses pembelajaran tidak begitu dianggap penting, karena di Negara ini masih berorientasi hasil ketimbang proses. Jika nilai ujian tidak baik atau tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka peserta didik tidak dapat diluluskan. Maka tak mengherankan timbul berbagai cara dan trik untuk bias lulus ujian meskipun harus melakukan kecurangan sekalipun.

Siswa di Finlandia diarahkan mampu mengevaluasi secara mandiri akan hasil belajarnya. Mereka didorong bekerja secara individu tak peduli apapun hasilnya, system inilah yang dinamakan dengan pendidikan yang demokratis. Dimana prestasi siswa terletak pada prosesnya, bukan pada hasil akhirnya. Apa yang telah dilakukan Finlandia sehingga membuat Negara itu sukses mengembangkan pendidikan dan memberikan pemerataan pendidikan pada masyarakat patut dicontoh. Meneladani pihak lain yang sudah lebih dahulu sukses tidak ada salahnya asalkan tidak mengikis budaya lokal. Jika pemerintah memiliki political will dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas, bermartabat, berkarakter dan dapat dirasakan oleh semua masyarakat di Indonesia maka perlu dipertimbangkan untuk meneladani pendidikan di Negara yang sukses mengembangkan mutu pendidikannya.

Patut disadari bahwa masyarakat dan negara tidak­lah dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pen­didikan. Karena, tiap-tiap masalah yang timbul kusus­nya terhadap dekadensi moral akibat ulah dan perbuatan sebab akibat sebagai hukum kausalitasnya. Seiring berja­lannya waktu, maka akan terjadi regenerasi. Sebab itu, generasi muda harus diberikan pembekalan yang cukup guna membangun bangsa kedepan. Pembekalan itu dilakukan oleh masyarakat dan institusi pendidikan. Sebab itulah, agar generasi penerus bangsa di­kemudian hari tidak terjebak dalam system pendidikan yang buruk, diperlukan pem­benahan ditubuh internal pendidikan itu sendiri.

Tidak ada komentar: