Selasa, 08 Mei 2012

Regulasi Lemah, BBM Eceran Tak Terkontrol


Terkait Kebakaran PERTAMINI di Batusangkar, Sumbar
 
Izin penjualan eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) tiba-tiba menjadi topik hangat di beberapa media massa lokal pascakebakaran yang melukai sekitar 60 orang di kawasan Pertamini (tempat berjualan BBM eceran), Batusangkar pada Senin (7/5) kemarin. Seperti yang dikabarkan, Harian Haluan Selasa, (8/5) kemarin, kebakaran yang disertai ledakan mobil pemadam kebakaran itu menyedot perhatian publik tidak hanya karena menimbulkan banyak korban luka, tapi juga karena penjualan volatine (bensin) ketengan yang sejak lama sudah meresahkan masyarakat itu kini disangkut pautkan dengan lemahnya kontrol dari Pemkab Tanah Datar. Sayangnya kelalaian pada pengawasan penjualan bensin eceran ini baru mulai dihebohkan setelah menelan korban.

Bicara tentang larangan membeli bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menggunakan jeriken sebenarnya sudah tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2012 dan Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, kegiatan usaha hilir migas harus dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Dengan dikeluarkannya Perpres itu, maka Kabupaten/Kota harus melakukan pengawasan dan menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam memberikan izin pada pengecer bensin.

Izin penjualan bensin eceran ini dikeluarkan oleh Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten/Kota. Izin yang permohonannya harus dilengkapi dengan KTP dan surat keterangan dari desa setempat tersebut menurutnya bisa digunakan di seluruh SPBU di Kabupaten/Kota tempat dikeluarkannya perizinan tersebut. Jadi, izin tidak lagi dikeluarkan oleh kelurahan maupun kecamatan masing-masing seperti yang pernah terjadi belasan tahun silam. Harapan dengan surat izin pengecer,  pemantauan dan pembimbingan bisa dilakukan dengan mudah sehingga tidak ada lagi tindakan yang merugikan masyarakat. Regulasi yang diterapkan harusnya disertai kontrol di lapangan.

Terkait dengan pemberitaan media massa lokal yang menyatakan bahwa Bupati Tanahdatar, M. Shadiq Pasadigoe mengatakan dirinya tidak tahu perizinan penjualan bahan bakar eceran di tingkat masyarakat dan baru akan melakukan pengawasan ditingkat pengecer dikemudian hari, tentu bukan pernyataan yang diharapkan publik keluar dari mulut Bupati Tanah Datar itu. Pasalnya, fenomena menjamurnya penjualan bensin eceran sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu dan telah dikeluarkan Perpres agar mengatur penjualan bensin eceran tersebut.

Persoalan penjualan bensin eceran sangat penting, terlepas dari tragedi terbakarnya Pertamini di Jorong Padang Datar, Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanahdatar, Sumbar. Jika regulasi penjualan bahan bakar eceran ini tidak dilakukan, maka akan merugikan masyarakat. Persoalan yang akan terjadi terkait tidak berjalannya regulasi ini adalah penimbunan BBM, kebakaran, penyalahgunaan BBM dan sebagainya.

Perlu diketahui, bensin yang berbahan dasar volatine merupakan cairan yang mudah disulut api. Saat bensin atau volatine berubah bentuk dari cair ke gas hanya perlu sedikit kalor. Saat bensin tersulut api, hanya sebagian kecil panas dari api digunakan untuk perubahan bentuk (cair ke gas), selebihnya panas dipakai untuk menyalakan gas tersebut. Sebab itulah, volatine mudah untuk terbakar jika tidak dilakukan penyimpanan yang tepat dan benar. Begitu mudah bensin tersulut api, menyebabkan banyak terjadi kebakaran di tempat penyimpanan bensin. Sepanjang 2012 ini, beberapa daerah telah tercatat mengalami kebakaran akibat BBM tersulut api mulai dari SPBU hingga ke kios pedagang eceran.

Pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan yang ketat atas penjualan bensin eceran di daerahnya masing-masing. Sebab keselamatan masyarakat baik sebagai konsumen maupun distributor minyak ketengan itu penting. Regulasi penjualan minyak ketengan harus dikontrol sedemikian rupa agar tidak lagi terjadi kejadian kebakaran serupa di kios-kios legal demi menjaga keselamatan masyarakat. Pengawasan terhadap pembatasan pembelian BBM subsidi jenis premium menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pembatasan pembelian premium harusnya menjadi kesepakatan bersama antara pemprov, Pertamina, dan Hiswanamigas.

Larangan Pedagang BBM Eceran

BBM bersubsidi memang kerapkali disalahgunakan. Terbukti dengan maraknya penjualan BBM ketengan (eceran) di Sumbar. Biang keladinya bukan hanya pedagang eceran tapi juga petugas SPBU yang tetap melayani pembelian BBM dengan mengunakan jerigen yang akhirnya dijual kembali dengan ketengan. Padahal sesuai dengan Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, kegiatan usaha hilir migas harus dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Artinya, keberadaan pedagang eceran tanpa izin telah dilarang dan harus ditertibkan, Kewenangan untuk itu diserahkan kepada penegak hukum. Bagi pelanggar, akan dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar.

Namun nyatanya UU tersebut tak berjalan di Sumbar, terbukti dari maraknya pedagang minyak eceran yang memperdagangkan BBM bersubsidi disepanjang jalan. Cara mendapatkan BBM (biasanya premium) pun mudah, cukup membawa jerigen dalam ukuran menengah hingga besar ke SPBU terdekat kemudian membayar dengan harga bersubsidi yakni Rp 4.500 untuk premium kemudian puluhan liter minyak pun berhasil diangkut dan diecerkan dengan harga Rp 5000 per litenya.

Sebatas Wacana Pelarangan Pembelian BBM Jerigen

Pemprov Sumbar beberapa waktu lalu pernah mengakui SPBU di wilayah Sumbar memang masih melayani pembelian jerigen. Padahal sesuai aturannya, penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen telah lama dilarang. Tapi, SPBU seolah melegalkan hal itu sehingga BBM bersubsidi kini diperjual belikan. Pemprov Sumbar sudah memikirkan rencana penerapan UU larangan penjualan BBM melalui jerigen ukuran sedang hingga besar sejak 2011 yang lalu, namun hinngga 2012 ini tampaknya masih sebatas wacana.  

Dalam wacana itu, meskipun Pemprov akan melarang pembelian dengan jerigen nantinya industri kecil akan tetap bisa menikmati pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen tapi dengan syarat memperlihatkan kartu atau surat izin pembelian BBM dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pertambangan dan Energi (Disperindag Tamben) atau Pemkab/Pemko masing-masing daerah. Jadi, hanya industri kecil yang boleh mendapatkan BBM bersubsidi dengan jerigen. Aturan ini bisa meminimalisir  penjualan BBM ketengan.

Bagaimana pun pro dan kontra larangan pembelian BBM bersubsidi, namun aturan harus ditegakkan. Sebab, pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan aturan tersebut. Jika untuk hal ini masih ada pengecualian yang seolah melegalkan penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen maka untuk aturan lainnya tak menutup kemungkinan akan terjadi pelanggaran juga.

Karena pemerintah pusat dan provinsi belum juga menentukan kebijakan untuk meminimalisir penyalahgunaan BBM bersubsidi, maka tak mengherankan jika setiap tahunnya ada saja persoalan yang ditimbulkan dari penjualan bensin ketengan ini. Mulai dari stok BBM bersubsidi yang habis di pertengahan tahun, kebakaran kios pengecer bensin hingga mafia BBM. Bagaimanapun pro dan kontra larangan pembelian BBM bersubsidi, tapi aturan harus ditegakkan. Sebab, pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan aturan tersebut. Jika untuk hal ini masih ada pengecualian yang seolah melegalkan penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen maka untuk aturan lainnya tak menutup kemungkinan akan terjadi pelanggaran juga.

Inilah realita yang terjadi di SPBU di Sumbar. Akibatnya, pelanggaran aturan terus terjadi. Seharusnya, pihak terkait memantau pengawasan dengan cermat. Termasuk juga petugas SPBU, mereka harus tahu mana kendaraan yang boleh menggunakan BBM subsidi dan mana yang tidak.

Pertamina dan Masyarakat Awasi Penjualan BBM Eceran
Namun, tak hanya pemerintah daerah yang bertanggungjawab untuk melakukan pembatasan penjualan minyak eceran, Pertamina juga memiliki kewajiban dalam melakukan pengawasan ke SPBU untuk tidak menjual BBM secara eceran kepada mereka yang tidak memiliki surat izin dari Disperindagtamben Kabupaten/Kota masing-masing. Hal ini harus dilakukan demi memberi pelayanan prima dan menjaga kepuasan pelanggan, Akan lebih baik lagi jika PT Pertamina melarang Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) melayani pembelian atau pengisian bahan bakar menggunakan dirigen karena pembelian BBM menggunakan dirigen dapat memicu kebakaran.
Peran serta masyarakat khususnya konsumen juga dituntut. Masyarakat selayaknya mau melaporkan langsung atau dengan suara layanan konsumen jika ada temuan penjualan atau pembelian bahan bakar menggunakan dirigen di SPBU. Bagaimanapun, aparat pemerintah, Pertamina dan penegak hukum dalam personil yang terbatas. Jika masyarakat turut andil menjaga daerahnya dari penyalahgunaan BBM, maka persoalan-persoalan yang telah disampaikan diatas dapat diminimalisir. (*)


Tidak ada komentar: