Selasa, 11 Januari 2011

Nisrina Azizah Lubis, Korban Gempa Sumbar


Senyum Mengembang Meski Cobaan Menghadang

 

Kehilangan sebelah kaki kirinya, tak menjadi alasan untuk mengulum senyum di bibir manis gadis belia itu. Cacat fisik permanent yang ia alami karena gempa 30 September 2009 lalu tak membuatnya minder hingga mengucilkan diri dari teman-temannya. Gempa itu hanya mengambil sebelah kakinya, tapi tidak semangatnya. Sungguh, ketegarannya patut diteladani.

Laporan—Marisa Elsera

 

Nisrina Azizah Lubis, 14 mengaku sempat merasakan kiamat kecil menghampirinya kala sebelah kakinya harus dioperasi pada malam hari yang menewaskan ratusan warga Padang itu. Tak pernah terbersit dibenaknya akan kehilangan kaki yang biasa dia gunakan untuk bermain basket bersama teman-teman sekolahnya. Kecewa pada takdir yang digariskan Allah Swt padanya, sudah pasti. Tapi apa daya, memutar waktu kembali tentu mustahil.

 

Sore di hari yang naas itu, Rina, begitu Nisrina biasa dipanggil sedang menunggu giliran untuk oral test di LBA LIA, di jalan Khatib Sulaiman. Dua temannya sudah terlebih dahulu masuk ke ruangan, sedangkan Rina dan seorang teman lesnya tengah menunggu giliran untuk di tes. Tepat pukul 17.15 WIB, gempa itu mengguncang gedung bimbel dan merubuhkan gedung berlantai dua itu.

 

Spontan, Rina berlari ke bawah. Namun naas, baru saja melangkah, tangga depan gedung LBA LIA rubuh dan menimpa puluhan siswa LBA LIA. Beberapa dari mereka meninggal dunia, beruntung Rina masih bisa diselamatkan. Ia berteriak kesakitan hingga bala bantuan datang. Baru pukul 19.00 WIB tim sar berhasil mengeluarkannya dari reruntuhan dan menghantarnya ke tenda pengungsian. Karena kondisi kakinya yang makin parah, akhirnya malam itu juga sekitar pukul 22.00 WIB, telapak kaki sebelah kiri Rina harus dioperasi.

 

“Operasi itu membuat saya harus kehilangan telapak kaki sebelah kiri. Sungguh menyakitkan, tak hanya kaki yang sakit tapi hati pun ikut sakit,” kenangnya sambil tersenyum simpul.

 

Tak lama berselang, setelah seminggu di rumah sakit kaki kirinya mengalami infeksi. Gadis yang selalu rengking sepuluh besar di SMPN 1 Padang itu pun harus rela melakukan operasi kedua dan diamputasi hingga beberapa centi dari lutut. Sejak operasi pertama hingga operasi kedua, ia tak pernah  bisa tidur nyenyak. Dibenaknya selalu terngiang teriakan dan rintih kesakita kawan-kawannya bagai video yang diputar berulang-ulang.

 

Hingga kedatangan dua orang wartawan CNN Ciko dan Arwa mewawancarainya dan memberikan bantuan berupa tiket pesawat dan perawatan eksklusif di salah satu rumah sakit di Solo. Disanalah, kemudian Rina menjalankan perawatan intensif, menjalani operasi ortopedi dan mendapatkan kaki palsu.

 

Tak Bisa Tidur Setiap Malam

 

Lebih menyakitkan lagi, ketika di hari ulang tahunnya, 20 Oktober, ia harus menjalani terapi sebelum menggunakan kaki palsu. Tiga minggu usai operasi ortopedi, ia harus menjalankan latihan dengan mengenakan kaki palsunya. Berjalan dengan kaki palsu sambil mengapit tongkat penyangga di lengan terasa sangat menyakitkan.

 

“Setiap malam di minggu pertama berobat di rumah sakit Solo aku nggak bisa tidur. akhirnya dikasih obat tidur sama dokter. Tapi di minggu kedua dokter nggak mau ngasih obat tidur lagi karena menurut dia obat tidur paling mujarab adalah ketenangan psikis,”tuturnya.

 

Tenaga medis di rumah sakit Solo meminta Rina untuk lebih rilex dan mulai belajar melupakan tragedy itu. Namun, ketakutan dan trauma yang ia rasakan tak mudah ditepis begitu saja. Setiap malam, perasaan ketakutan akan gempa susulan terus menghantui gadis manis itu. Bahkan, tak jarang pula ia menangis karena keinginannya untuk tidur tak didorong oleh prikologisnya.

 

Setelah enam minggu menjalani perawatan medis di Solo, akhirnya Rina dan keluarganya kembali ke kota Padang. Reruntuhan gedung dan perumahan pascagempa masih terhampar di sekelilingnya. Anak pertama dari pasangan Mukhlis Lubis dan Sari Deni Nasution itu pun tak menepis ada perasaan was-was yang tak bisa ia ceritakan.

 

Butuh waktu untuk menerima kenyataan kehilangan sebelah kakinya. Namun, perlahan tekanan psikologis itu semakin memudar dan Rina pun kembali menjadi gadis ceria seperti sebelum gempa.

 

“Kalau aku rapuh, keluarga ku juga akan lebih rapuh. I've never gone with the wind. just let it flow. Let it take me where it wants to go,” tuturnya sambil menaiki tangga sekolah karena kelasnya 9.E berada di lantai II.

 

Berteman dengan Sesama Korban Gempa

 

Jika orang tertawa karena bahagia, itu biasa. Tapi jika tertawa karena ikhlas menerima takdir yang digariskan itu baru luar biasa. Rina memang gadis belasan yang luar biasa. Mampu menerima kenyataan meski pahit pun ia telan. Jikalau gundah mulai dirasa, ia tak berlari merengek pada ibunya, tapi ia justru merangkul teman-teman korban gempa yang juga mengalami cacat fisik.

 

“Karena musibah ini, aku jadi bersahabat dengan dua temanku Lani dan Yuna yang juga mengalami cacat. Kepada merekalah biasanya aku mengurai cerita. Aku nggak bisa bercerita pada teman sekelas karena mereka tidak merasakan apa yang aku rasa,”tuturnya.

Cobaan yang ia derita kini, hanya dianggap sebagai luka kecil yang tidak  seberapa. Ia tak ingin menoleh ke atas, karena masih banyak orang-orang dibawahnya yang merasakan cobaan yang lebih dahsyat dari yang ia rasakan. Hidup tak hanya berhenti di satu titik ini saja, masa depannya masih panjang. Kelak ia yakin akan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.

 

Sementara itu, wakil kepala SMPN 1 Padang, Heni Marsia menguraikan, sosok gadis cerewet itu merupakan gadis ceria yang energik. Tak pernah kekurangan alasan untuk tersenyum. Bahkan, ia pun menjadi teladan bagi teman-temannya yang lain dalam menghadapi masalah.

 

“Tak pernah ia mengeluhkan sesuatu. Ketika pihak sekolah berniat menyediakannya kelas yang berada di lantai I, ia menolak. Alasannya, dia ingin diperlakukan seperti kawan-kawannya yang lain. Seperti sebelum mengalami kecelakaan itu,”tutur Heni.

 

Dipenghujung pembicaraan, Rina menitipkan satu doa. Ia memohon kepada Allah Swt dibukakan jalan menjadi seorang dokter tulang. Ia ingin membantu pasien yang juga mengalami nasib serupa dengannya. Kesempatan itu pasti ada. Tuhan tidak akan menimpakan cobaan pada makhluknya tanpa maksud dibalik itu.



Tidak ada komentar: