Minggu, 24 April 2011

Refleksi Hari Kartini 2011

Bias jender dalam pendidikan di Sumbar masih terjadi. Daerah yang menganut sistem matrilineal ini ternyata belum sepenuhnya mengakomodir hak perempuan dalam mengenyam pendidikan. Pihak keluarga, terutama yang berpendidikan rendah, masih memprioritaskan pendidikan untuk kaum laki-laki.

Nuraeni,  44, warga Purus, yang sehari-hari berdagang sayur di Pasar Raya, Padang, tak punya cukup uang menyekolahkan anak perempuannya hingga ke bangku kuliah. Dia masih membiayai sekolah 5 anaknya yang lain.
Menurutnya, pendidikan bagi perempuan memang penting, namun menamatkan sekolah hingga SMA pun sudah jauh lebih baik. ”Yo harus dikorbanan ciek. Si Anna (begitu ia biasa memanggil anak perempuan sulungnya) pun lah satuju kalau indak lanjut kuliah,” tuturnya.

Anak keduanya, Rio yang baru saja menjalani Ujian Nasional 2011, akan melanjutkan kuliah ke peguruan tinggi negeri di Padang. Meski masih ada tanggungan, tapi Nuraeni tak bisa menolak keinginan Rio kuliah.
Padahal, ketika Anna menyampaikan keinginan kuliah 3 tahun lalu, Nuraeni dengan tegas menolaknya. ”Kalau Rio kan ka jadi kepala rumah tangga. Kalau ndak sikolah tinggi, payah cari karajo. Kalau inyo dapek karajo rancak, kan bisa membiayai adiak-adiaknyo juo,” kilah Nuraeni.

Dalam benak wanita berambut putih ini, tanpa melanjutkan kuliah pun Anna tetap bisa hidup berkecukupan. Sebab, Anna dinikahkan dengan pedagang pecah belah di Pasar Raya yang hidup berkecukupan. Beda dengan Rio, jika tidak dikuliahkan, akan sulit mendapatkan jodoh. Sebab, perempuan akan memilih pria yang mapan dan berpendidikan tinggi.

Data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Sumbar, saat ini ada 2,7 persen perempuan di Sumbar mengalami buta huruf.
Angka itu, dua kali lebih banyak dibandingkan buta huruf laki-laki, yakni 1,3 persen.
Jumlah penduduk buta aksara itu, merupakan persentase penduduk berusia 15 hingga 46 tahun.

Penduduk wanita yang paling banyak buta huruf  terdapat di Mentawai. Pada 2008 lalu, sekitar 11,8 persen perempuan belum mengecap bangku sekolah. Sementara laki-laki hanya 6 persen. Begitu juga 2009, perempuan yang masih buta huruf  6,38 persen, laki-laki 4 persen.

Jaminan pendidikan pada anak-anak merupakan salah satu upaya penting untuk menghentikan bertambahnya pekerja anak di tengah situasi krisis yang masih melanda dunia. Jaminan itu terutama mesti difokuskan pada anak-anak perempuan yang rentan dikorbankan dari bangku sekolah untuk membantu ekonomi keluarga. Mendidik anak perempuan akan berdampak jangka panjang pada peningkatan kesehatan, nutrisi, pekerjaan, dan pertumbuhan.

Sejak zaman penjajahan, anak perempuan memang kerap dikorbankan. Misalnya, jika dikaitkan dengan budaya, banyak keluarga yang memilih untuk mempertahankan anak laki-laki di sekolah daripada anak perempuan dalam kondisi krisis ekonomi. Banyak anak perempuan yang tidak punya akses untuk ke sekolah dan bekerja. Kondisi kesehatan, keamaan dan moral mereka berada dalam kondisi membahayakan.
Untuk mengatasi pekerja anak, pendekatan yang terintegrasi perlu dilakukan dengan mengurangi kemiskinan, menyediakan pendidikan bagi semua dan meningkatkan pengembangan ekonomi dan sosial. Penekanan yang penting terutama pada pendidikan sebagai salah satu perlindungan terbaik menghentikan pekerja anak.

Lain Nuraeni lain pula Etiriati. Ibu tiga anak yang berprofesi sebagai penjemur ikan di Pasia Nan Tigo itu berprinsip tak ada perbedaan dalam memberikan pendidikan terhadap anak lelaki maupun perempuan. Sebab, pendidikan merupakan masa depan anak. Jadi, tak adil jika anak perempuan harus dimarjinalkan dari pendidikan.

”Den yo harus manguliahan anak. Ndak padusi, ndak kilaki samo sado e. Kini dek tamat sekolah rakyat, den cuma bisa jadi tukang jamua ikan. Dek tu den harok ka anak-anak ko bisa jadi urang,” ungkap Eti.
Dua dari tiga anaknya memang telah menginjak bangku kuliah. Anak pertama, Deni kuliah di semester 6, sementara adiknya Dewi semester 4. Keduanya merupakan mahasiswa Unand dan UNP.

Eti memang tak ingin membedakan perlakuan terhadap anak-anaknya hanya karena jenis kelamin. Sebab, pengalaman masa lalunya membuat Eti sadar bahwa pendidikan terhadap anak perempuan pun penting. Terlebih untuk menjadikan anak perempuan sosok yang mandiri, tegar dan mampu mencari nafkah sendiri.

Sosiolog dari Unand, Damsar mengungkapkan, masih tingginya jurang pemisah antara tingkat pendidikan pria dan wanita di Sumbar menunjukkan belum meratanya pendidikan di Ranah Minang. Ini disebabkan pandangan konvensional orang awak yang masih berharap tinggi pada peran mamak.

Mamak dalam Minangkabau, diharapkan bisa menjaga anak kemenakannya. Sebab itu, mamak haruslah orang yang berpendidikan dan cerdas. Sehingga, ia dapat menjaga keluarga batih-nya. Anak laki-laki merupakan calon mamak di masa mendatang. Karena itu, anak laki-laki perlu mendapatkan pendidikan tinggi.

Tak mengherankan, jika dalam keluarga kurang mampu, anak laki-laki menjadi prioritas mendapatkan pendidikan dibanding anak perempuan. Meski demikian, pendidikan wanita Minangkabau jauh lebih baik dibandingkah wanita di daerah lainnya sebagai dampak dari sistem matrilineal di Minangkabau. ”Sejak zaman Belanda dulu, pendidikan wanita Minangkabau menduduki posisi dua teratas setelah wanita Minahasa,” jelasnya.(mr)

Tidak ada komentar: