Selasa, 16 April 2013

Pengertian, Karakteristik dan Desa di Indonesia.

A. Latar Belakang
Sosiologi Pedesaan adalah “Sosiologi dari Kehidupan Pedesaan”. Maksud ungkapan tersebut ialah bahwa sosiologi pedesaan itu merupakan suatu pengetahuan yang sistematik sebagai hasil penerapan metode ilmiah di dalam upaya mempelajari masyarakat pedesaan, struktur dan organisasi sosial yang ada, sistem dasar masyarakat, dan proses perubahan sosial yang terjadi. (Smith dan Zopf (1970) dalam “Sosiologi Pedesaan (suatu pengantar)” Sugihen Bahrein T, 1991)
Sosiologi pedesaan tumbuh pertama kali dan berkembang di Amerika Serikat. Pada mulanya ilmu ini bermula dari para pendeta Kristen yang hidup di daerah pedesaan (pertanian). Mereka tidak hanya memiliki permasalahan dalam kehidupan sosial mereka karena kedatangan para migran dan mengambil tanah yang tak bertuan, namun mereka juga mencoba menuliskan bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan di bagian utara negara itu.

Lewat tulisan seperti itu mereka mencari pemecahan problema yang timbul di dalam masyarakat pedesaan. Masalah-masalah tersebut timbul karena lahirnya industri di benua ini yang menyebabkan sebagian daerah pedesaan menjadi terbengkalai.
Sosiologi pedesaan pada saat itu cenderung dirangsang untuk ikut memperbaiki kehidupan masyarakat desa Amerika Serikat. Maka salah satu ciri khas Sosiologi Pedesaan adalah penekanannya pada aspek praktis, sekalipun masih dalam kategori ilmu murni (pure science). Di samping itu Sosiologi Pedesaan juga masih dilekati oleh komitmen moral yang kental untuk memperbaiki (membangun) kehidupan masyarakat desa. (Sugihen Bahrein T, 1991)

B. Pengertian Desa

1.      Sosiologi Pedesaan
Pengertian Sosiologi Pedesaan memiliki beberapa versi yang berbeda, diantaranya ialah menurut Smith dan Zopt, Sosiologi Pedesaan adalah ilmu yang mengkaji hubungan anggota masyarakat di dalam dan antara kelompok-kelompok di lingkungan pedesaan.

Sedang menurut Allan Johnson Sosiologi Pedesaan adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.

Dari kedua pengertian diatas dapat dikatakan juga bahwa Sosiologi Pedesaan merupakan ilmu yang mengkaji kehidupan masyarakat, baik itu hubungan antar anggota masyarakat ataupun perilaku antar anggota masyarakat dan sistem yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.

2.      Desa

Umumnya kita hampir semua mengetahui bahwa perkataan “pedesaan” (merujuk pada suatu daerah desa dan di sekitarnya) padan dengan kata rural di dalam bahasa Inggris. (Sugihen Bahrein T, 1991)

Dalam Undang-Undang no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dalam pasal 1 yang dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.

Sedangkan desa dalam pengertian umum adalah desa sebagai suatu gejala yang bersifat universal, dan terdapat dimana pun di dunia ini. Dan desa dalam pengertian khusus adalah perbedaan-perbedaan yang terdapat pada suatu desa tertentu dari berbagai negara yang merupakan ciri khusus dari desa tersebut.

Pengertian lain tentang desa juga dirumuskan oleh beberapa ahli lainnya, diantaranya Egon E. Bergel yang mendefinisikan desa sebagai “setiap pemukiman para petani (peasants). Sedangkan Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat.” (Rahardjo, 1999)

     C.            Karakteristik Desa
Desa merupakan gambaran dari masyarakat yang masih bersahaja, dan kota sebagai wakil dari masyarakat yang sudah maju atau kompleks, sehingga karakteristik yang terlekat pada dua gejala tersebut menjadi bersifat polair, kontras satu sama lain. (Rahardjo, 1999)

Pitirim A.Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith dan P.E.Zop, 1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan desa dan kota. Ia membedakan desa dan kota berdasarkan atas: mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, diferensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial, dan solidaritas sosial. (Rahardjo, 1999)

Diantara faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, jenis mata pencaharian merupakan faktor pembeda yang pokok dan penting. Pertanian dan usaha-usaha kolektif merupakan ciri kehidupan ekonomi pedesaan. Bidang pertanian cukup mengandung variasi dan kompleksitas yang memiliki pengaruh bervariasi pula terhadap kehidupan masyarakatnya. Perbedaan dalam besar-kecilnya skala usaha pertanian, jenis-jenis tanaman atau pertanian, sistem pertanian yang diterapkan, dan lainnya, juga akan mengakibatkan pula terjadinya perbedaan-perbedaan terhadap kehidupan masyarakatnya. (Rahardjo, 1999)

Ukuran komunitas dan tingkat kepadatan penduduk sebagai dasar pembeda antara desa dan kota sangat erat kaitannya satu dengan yang lain. Ukuran komunitas lebih mengacu kepada suatu unit teritorial tertentu dalam suatu komunitas desa yang berbeda. Hal ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa ukuran komunitas desa yang menjadi pembeda antara desa dan kota, dibandingkan dengan komunitas kota. (Rahardjo, 1999)

Mengenai lingkungan yang juga merupakan faktor penentu karakteristik desa dan kota, Smith dan Zopf telah memberikan catatan bahwa dengan mengingat luasnya pengertian yang terkandung dalam konsep lingkungan, maka mereka membedakan adanya tiga jenis lingkungan, yakni:
1.      Lingkungan phisik atau unorganic, masyarakat desa lebih langsung berhadapan dengan dan banyak dipengaruhi oleh lingkungan phisik dibandingkan dengan masyarakat kota.
2.      Lingkunga biologik atau organik, masyarakat desa lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan daripada orang kota.
3.      Lingkungan sosio-kultural, perbedaaan antara kehidupan masyarakat desa dan kota juga terlihat jelas dalam pada ke tiga kategori lingkungan sosio-kultural ini. Dalam lingkungan physiosocial, kota lebih memperlihatkan bangunan-bangunan phisik yang lebih banyak dan bervariasi. Dalam lingkungan biosocial, kota lebih memperlihatkan komposisi ras atau kebangsaan yang beragam dibanding dengan desa. Dan dalam lingkungan psychosocial, lingkungan perkotaan jauh lebih kompleks dibanding dengan pedesaan. (Rahardjo, 1999)

Diferensiasi sosial sebagai faktor penentu terhadap karakteristik desa dan kota, secara ringkas dapat dirumuskan bahwa kota memiliki tingkat diferensiasi yang tinggi dibanding dengan desa. Yang dimaksud dengan diferensiasi sosial disini adalah pengelompokan-pengelompokan (groupings) yang ada dalam suatu masyarakat baik dalam hal jumlah, variasi, maupun kompleksitasnya, tanpa menempatkannya dalam suatu susunan yang bersifat hierarkis. (Rahardjo, 1999)

Stratifikasi sosial (pelapisan sosial) yang juga sebagai faktor penentu terhadap perbedaan karakteristik antara desa dan kota, secara ringkas dapat dilihat melalui empat perbedaan pokok.
1.      Pelapisan sosial pada masyarakat desa lebih sedikit (sederhana) dibanding dengan yang ada pada masyarakat kota.
2.      Perbedaan (jarak sosial) antar lapisan sosial pada masyarakat desa tidak begitu besar (jauh) dibanding dengan masyarakat kota.
3.      Lapisan masyarakat desa tidak sekedar lebih sederhana dibanding dengan kota, tetapi disamping itu juga terdapat kecenderungan pada masyarakat desa untuk mengelompok pada lapisan menengahnya.
4.      Dasar-dasar pembeda antar lapisan pada masyarakat kota tidak begitu kaku seperti hal pada masyarakat kota. (Rahardjo, 1999)

Mobilitas sosial sebagai faktor penentu, secara umum dirumuskan bahwa mobilitas sosial masyarakat pedesaan lebih rendah dibanding dengan masyarakat perkotaan. Mobilitas sosial yang dimaksudkan disini adalah baik yang bersifat horisontal, yakni perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya, maupun yang bersifat vertikal, yakni pergeseran status dari lapisan sosial yang satu ke yang lainnya. (Rahardjo, 1999)
Interaksi sosial juga sebagai faktor penentu, secara umum dirumuskan bahwa jumlah kontak sosial pada masyarakat kota jauh lebih banyak dan bervariasi dibanding dengan masyarakat pedesaan. Jenis – jenis mata pencaharian masyarakat kota yang sangat bervariasi memungkinkan terjadinya banyak kontak sosial diantara mereka.

Solidaritas sosial juga merukan faktor pembeda dan penentu perbedaan karakteristik desa dan kota, secara umum dirumuskan bahwa solidarita sosial masyarakat pedesaan lebih didasarkan pada kesamaan-kesamaan, sedangkan pada masyarakat perkotaan justru didasarkan atas perbedaan-perbedaan. Sebagai konsekuensi dari adanya kesamaan-kesamaan sebagai dasar solidarita, masyarakat desa cenderung menciptkan hubungan-hubungan yang bersifat informal dan non-kontraktual.

Pendapat lain yang juga merumuskan karakteristik desa adalah Paul H.Landis, menurutnya desa adalah masyarakat yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan karakteristik berikut:
1.      Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
2.      Ada pertalianperasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan.
3.      Cara berusaha (perekonomian) adalah agraris yang paling umum yang sangat
dipengaruhi alam seperti; iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Adapun yang menjadi karakteristik lainnya dari masyarakat pedesaan adalah:
1.      Di dalam masyarakat pedesaaan diantara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya yang diluar batas-batas wilayahnya.
2.      Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau paguyuban).
3.      Masyarakat tersebut sifatnya homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat dan sebagainya.
     
D.            Desa Di Indonesia

Kekhususan ciri-ciri desa di Indonesia tidak hanya terlihat dalam perbandingannya dengan desa-desa di negara lain, melainkan juga terlihat dalam perbandingan antara desa-desa di Indonesia sendiri. Dengan kata lain, desa-desa yang ada di Indonesia sangatlah beragam, seiring dengan kebhinekaan Indonesia.

Istilah desa itu sendiri di Indonesia semula hanya dikenal di Jawa, Madura, dan Bali. Desa dan dusun berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Istilah dusun dipakai di daerah Sumatera Selatan dan juga di Batak. Di Maluku dikenal istilah dusundati. (Sutardjo Kartohadikoesoemo, 1953, dalam Rahardjo 1999)
Desa di Indonesia juga merupakan kesatuan hukum (adat) dan administratif. Desa-desa di Indonesia telah ada sebelum Negara Indonesia terbentuk. Inpres no 5 Tahun 1976 juga telah merusmuskan tentang kedudukan desa yang telah diakui oleh pemerintah. Menurut Inpres ini “desa adalah desa dan masyarakat hukum yang setingkat dengan nama aseli lainnya dalam pengertian teritorial-administratif langsung dibawah kecamatan”. Dalam rumusan ini tersirat cukup jelas bahwa desa-desa di Indonesia adalah desa-desa yang telah ada sebelum negara ini merdeka, bukan merupakan ciptaan baru. Namun ditegaskan pula, bahwa kedudukannya tidak lagi “bebas” melainkan (secara teritorial-administratif) langsung berada di bawah kecamatan. Dengan demikian tidak lagi “berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri” sebagaimana ketika desa-desa tersebut belum berada di bawah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Rahardjo, 1999)
· 
 Tipologi Desa Di Indonesia
Desa-desa di Indonesia tidak hanya desa pertanian saja. Di samping desa pertanian juga terdapat desa-desa jenis lainnya, yaitu:
1.      a. Desa tambangan (kegiatan penyeberangan orang dan barang dimana terdapat sungai besar)
b. Desa nelayan (di mana mata pencaharian warganya dengan usaha perikanan laut)
c. Desa pelabuhan ( hubungan dengan mancanegara, antar pulau, pertahanan/strategi perang dan sebagainya).
2.      Desa perdikan (desa yang dibebaskan dari pungutan pajak, karena diwajibkan memelihara sebuah makam raja-raja atau karena jasa-jasanya terhadap raja).
3.      Desa penghasil usaha pertanian, kegiatan perdagangan, industri/kerajinan, pertambangan dan sebagainya.
4.      Desa-desa perintis (yang terjadinya karena kegiatan transmigrasi).
5.      Desa pariwisata (adanya obyek pariwisata berupa peninggalan kuno, keistimewaan kebudayaan rakyat, keindahan alam dan sebagainya).

Dari beberapa jenis desa tersebut, desa nelayan (susudah desa pertanian) adalah merupakan desa yang sangat penting dan sangat banyak jumlahnya di Indonesia. Hal ini dapat dipahami mengingat Negara Indonesia adalah “negara kepulauan”. Arti penting desa nelayan dan penduduknya tidak hanya ditunjukkan lewat banyaknya jumlah, melainkan juga lewat kontribusi mereka terhadap kehidupan bangsa.
Dalam UU No. 5/1975 juga menjelaskan tentang bentuk (pola) desa dari yang paling sederhana sampai pada bentuk pemukiman yang paling kompleks namun masih tetap dikategorikan sebagai pemukiman dalam bentuk desa. Bentuk yang paling sederhana disebut sebagai pemukiman sementara. Secara resmi tempat ini disebut pradesa (pra-desa). Pola pemukiman seperti ini mempunyai ciri yang khas. Hampir tidak ada orang atau keluarga yang tinggal menetap disana. Semua penghuninya akan pindah lagi pada saat waktu panen selesai, atau bila lahan sebagai sumber penghidupan utama tidak lagi memberikan hasil yang memadai. Belum berkembangnya tata kehidupan dan organisasi atau lembaga-lembaga sosial penunjang kehidupan bermasyarakat, termasuk pendidikan, ekonomi, hukum, adat, dan hubungan sosial di samping tata kemasyarakatan yang mantab.

Tipe atau bentuk desa yang berada padat ingkat yang lebih baik disebut swadaya. Desa ini bersifat sedenter, artinya sudah ada kelompok (keluarga) tertentu yang bermukim secara menetap disana. Pemukiman ini pada umumnya masih tradisioanl dalam arti bahwa sumber penghidupan utama para pedesa masih berkaitan erat dengan usaha tani, termasuk meramu hasil hutan dan beternak yang mungkin diiringi dengan pemeliharaan ikan di tambak-tambak kecil trasdisional. Hubungan antar personal dan atau kelompok (masyarakat) sering didasarkan pada dan diikat oleh adat istiadat yang ketat. Pengendalian atau pengawasan sosial (sosial control) dilaksanakan berdasarkan asas kekeluargaan. Kebanyakan desa-desa seperti ini jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi. Tingkat pendidikan sebagai salah satu indikator tipologi desa itu belum berkembang. Hampir tidak ada penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan sekalipun tingkat Sekolah Dasar.

Tipe desa ketiga, yang tingkatnya dianggap lebih baik adalah desa swakarya. Adat yang merupakan tatanan hidup bermasyarakat sudah mulai mendapatkan perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam aspek kehidupan sosial budaya lainnya. Adopsi teknologi tertentu sering merupakan salah satu sumber perubahan itu. Adat tidak lagi terlalu ketat memperngaruhi atau menentukan pola perilaku anggota masyarakat. Pengaruh unsur luar (asing, luar desa) sudah mulai ikut mempengaruhi atau membentuk perilaku masyarakat yang baru melalui berbagai adopsi teknologi dalam arti yang luas. Lapangan pekerjaan sudah sudah mulai kelihatan lebih bervariasi dari pada di desa swadaya. Kendatipun jarang orang yang sudah menamatkan pendidikan sekolah menengah, namun rata-rata orang telah menamatkan sekolah dasar.

Tipologi desa keempat adalah desa swasembada, pola desa yang terbaik dari bentuk-bentuk desa yang lain. Umumnya, masyarakat tidak lagi terlalu berpegang teguh pada kebiasaan-kebiasaan hidup tradisional (adat), tetapi tetap taat pada syariat agamanya. Masyarakat desa swasembada adalah masyarakat yang sudah terbuka dalam kaitannya dengan masyarakat di luar desanya. Oleh karena itu, masyarakat berorientasi ke luar desa. Pengaruh dari luar itu terlihat dalam perilaku orang-orang desa. Teknologi yang dipakai sudah terlihat banyak yang mulai canggih. (Sugihen Bahrein T, 1991)


Referensi
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND…pedesaan/I.pdfp://dc243.4shared.com/doc/CMpIs-LJ/preview.html
Makalah.2011.Pemijahan Ikan Lele (Clarias Sp) Dengan Tekhnik Artificial Breeding. Malang: Universitas Brawijaya
Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo. 1982. Sosiologi Pedesaan Jilid 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugihen, Bahrein T. 1996. Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar: