Konflik
terjadi dimana-mana. Kekerasan merupakan salah satu bentuk konflik yang
radikal. Indonesia merupakan salah satu Negara yang tak pernah bisa luput dari
kekerasan. Fenomena ini jelas bukan sebuah tanda kemajuan dalam penegakan hukum
yang ada di Negara ini. Kekerasan yang marak di sejumlah daerah belakangan ini
menunjukkan kepercayaan kepada hukum. Kepemimpinan, dan pemerintah semakin
hilang. Situasi ini mirip hukum rimba yang dianggap membahayakan. Agar tidak
semakin memburuk, kondisi ini harus segera diatasi.
Kepercayaan
masyarakat kepada negara kian menipis. Hal itu terjadi akibat lemahnya
keteladanan oleh pemimpin nasional. Sebagian elite politik, dari tingkat pusat
sampai kepala daerah, justru bermasalah, terlibat kasus kriminal atau
tersangkut korupsi. Aparat
penegak hukum juga tidak berwibawa karena justru menciptakan ketidakadilan.
Pada saat bersamaan, kesenjangan sosial ekonomi masih tajam. Ini membuktikan
bahwa ketidakstabilan hukum turut membawa imbas bagi kehidupan social, politik,
ekonomi dll.
Akhir-akhir
ini, aksi kekerasan atau main hakim sendiri yang menerabas hukum terus
bermunculan. Sebut saja penyerbuan dan pembakaran Markas Polres Ogan Komering
Ulu oleh sekelompok anggota TNI; sekelompok orang bersenjata menyerbu dan
menembak mati empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan,
Sleman, DI Yogyakarta; sekelompok warga mengeroyok Kapolsek Dolok Pardamean,
Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, hingga tewas; perwira polisi dibunuh di
Aceh; dan terakhir massa membakar kantor Wali Kota Palopo, Sulawesi Selatan.
Kelompok-kelompok kekerasan dan masyarakat justru melampiaskan dengan caranya
sendiri, bukan menghormati hukum.
Kekerasan
meledak karena tidak berjalannya “instalasi” demokrasi yang sebenarnya sudah
terpasang. Hukumnya ada, peraturannya ada. Aparatnya ada TNI, Polri, hakim, dan
jaksa. Pemerintahan dan parlemen pun ada. Namun, semuanya korsleting. Instalasi
demokrasi sudah terpasang, tetapi tak berjalan efektif. Salah
satu persoalan utama adalah pemimpin yang tidak mengoperasikan instalasi
tersebut secara konsisten. Misalnya, ada Undang-undang Antikorupsi, tetapi
hingga sekarang mafia anggaran tetap berjalan. Aturan pilkada sudah ada, tetapi
konsistensi dan etika untuk menjalankannya secara benar tidak ada.
Masyarakat akhirnya kebingungan melihat situasi ini. Kalau masyarakat menjadi beringas, itu cuma reaksi saja. Reaksi dari kebingungan itu. Mereka tidak punya otoritas, tidak punya kewenangan. Ketika ada momen, apakah itu konflik pilkada atau sengketa agraria, tiba-tiba meledak. Kondisi tersebut bisa menjadi sangat berbahaya. Rasa frustrasi tersebut pada akhirnya akan mengorbankan rakyat juga, dan bukan elite. Misalnya, perusakan fasilitas umum, seperti kantor-kantor pemerintah, akan mengakibatkan tersedotnya anggaran pusat dan daerah untuk keperluan yang semula tidak diperlukan. Kekerasan akan menyebar, tidak lagi dimonopoli aparat pemegang senjata. Fenomena ini hanyalah puncak gunung es dari relasi kekuasaan dan kekerasan di Indonesia. Bahayanya, jika dibiarkan bisa merembet ke peristiwa politik lain. Refleksi dan evaluasi reformasi hukum selama 15 tahun terakhir ini penting dilakukan untuk menemukan persoalan mendasar hukum.
Masyarakat akhirnya kebingungan melihat situasi ini. Kalau masyarakat menjadi beringas, itu cuma reaksi saja. Reaksi dari kebingungan itu. Mereka tidak punya otoritas, tidak punya kewenangan. Ketika ada momen, apakah itu konflik pilkada atau sengketa agraria, tiba-tiba meledak. Kondisi tersebut bisa menjadi sangat berbahaya. Rasa frustrasi tersebut pada akhirnya akan mengorbankan rakyat juga, dan bukan elite. Misalnya, perusakan fasilitas umum, seperti kantor-kantor pemerintah, akan mengakibatkan tersedotnya anggaran pusat dan daerah untuk keperluan yang semula tidak diperlukan. Kekerasan akan menyebar, tidak lagi dimonopoli aparat pemegang senjata. Fenomena ini hanyalah puncak gunung es dari relasi kekuasaan dan kekerasan di Indonesia. Bahayanya, jika dibiarkan bisa merembet ke peristiwa politik lain. Refleksi dan evaluasi reformasi hukum selama 15 tahun terakhir ini penting dilakukan untuk menemukan persoalan mendasar hukum.
Demokrasi
semestinya tumbuh bersama nomokrasi atau rule of law (aturan hukum). Ini
menghendaki komitmen pada nilai-nilai konsensus bersama. Namun, demokrasi di
Indonesia justru kian mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok
(partikular). Hukum yang mestinya menjadi simpul
kebajikan dan ketertiban kolektif malah dipolitisasi untuk kepentingan
partikular. Penegak hukum yang mestinya berada di garis terdepan dalam
memuliakan hukum justru menghinakan hukum dengan menjadikannya sebagai alat
pemerasan. Tanpa kepastian hukum, orang kembali mencari sumber perlindungan
dari instrumen komunalisme dalam bentuk tribalisme, premanisme, dan
fundamentalisme. Demokrasi tanpa nomokrasi akan
berujung di dua jalan buntu, yaitu merebaknya anarki dan kembalinya tirani.
Seluruh leleran keringat perjuangan demokrasi selama ini akan sia-sia. Tanpa
wibawa otoritas hukum, warga kembali ke dalam perang semua lawan semua, yang
bisa berujung pada the survival of the fittest (hukum rimba). Dalam
situasi tersebut, pemimpin nasional semestinya bertindak nyata untuk mengatasi
keadaan dengan menegakkan otoritas yang bersumber dari kepastian hukum.
(berbagai sumber)
(berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar