Senin, 12 September 2011

Tradisi Berhutang Demi Berlebaran


by: Marisa Elsera

Tak ada uang bukan alasan untuk tidak bermewah-mewah saat lebaran idul fitri. Perasaan gengsi yang berlebihan membuat sebagian masyarakat rela berhutang dan menggadaikan barangnya demi mendapatkan biaya berlebaran. Tak tanggung-tanggung, pakaian dan sepatu baru itu pun dibeli dengan duit berhutang demi menumpahkan hasrat berbelanja. Akhirnya, hakekat berpuasa yang dijalani selama 1 bulan terkikis oleh rasa gengsi yang membutakan mata hati.
Nah, fenomena lebaran yang penuh eforia ini merupakan wujud dari kemenangan, setelah satu bulan penuh melawan hantaman godaan. Masyarakat yang berlomba dalam kecukupan pada waktu lebaran, merupakan suatu kewajaran, karena di dalamnya mengandung makna keberkahan. Meski begitu, perilaku itu juga wujud dari tuntutan budaya yang bersifat memaksa. Masyarakat seolah tidak ada alasan untuk berkata tidak ada karena mereka terbawa dalam satu tuntutan keadaan lingkungan.
Animo masyarakat itu adalah tuntutan antara tradisi dengan religi. Sebab, dalam fenomena ini juga terdapat nilai-nilai silaturahmi yang membentuk peradaban manusia dengan perdamaian dan penuh kasih. Namun, perayaan lebaran itu akan menjadi berlebihan jika telah melanggar ajaran agama Islam.
Karena itu, seharusnya masyarakat merayakan kebiasaan berlebaran itu dengan batas-batas kewajaran saja. Toh, lebaran pada intinya memaknai sesuatu yang kembali. Ibarat mudik atau pulang kampung diartikan sebagai kembali sesuatu pada asalnya. Begitu pun lebaran harus diartikan sebagai pengembalian manusia pada fitrahnya.
Nyatanya, toh lebaran, bagi sebagian besar masyarakat, terasa lebih meriah dengan riuh konsumsi. Harga kebutuhan pokok melambung seiring naiknya permintaan. Ramadan yang disusul Idul Fitri bukan sekedar serangkaian ibadah yang di dalamnya penuh dengan nilai-nilai religius. Namun, juga ajang untuk memamerkan dan promosi produk konsumsi. Ramadan dan Idul Fitri bukan hanya disambut oleh masjid dengan berbagai rangkaian ibadah, namun pasar juga sibuk memersiapkan diri. Berbagai diskon dan potongan harga digelar demi menarik minat konsumen. Mulai dari busana muslim sebagai simbol religiusitas, sampai sembako untuk kebutuhan sehari-hari.

Timbullah kesan, tak lengkap rasanya kalau lebaran tidak memakai baju muslim baru. Atau kurang afdol rasanya kalau menu makanan yang disajikan saat lebaran sama dengan hari-hari bukan lebaran. Seolah Idul Fitri benar-benar pesta kemenangan setelah sebulan penuh menahan lapar dan dahaga. Ataukah lebih sebagai ajang balas dendam karena di bulan sebelumnya hampir segala sesuatu dilarang?

Meskipun dengan kondisi yang sedikit dipaksakan, masyarakat dari segala lapisan tak mau ketinggalan. Termasuk mereka dari kelompok masyarakat miskin. Mereka rela hutang kesana-kemari untuk memenuhi kebutuhan lebaran. Dengan mengikuti apa yang terjadi di masyarakat umum, orang akan merasa mereka adalah bagian dari masyarakat tersebut.

Kemudian keinginan untuk sama dengan orang lain sebagai simbol identitas, seperti kue lebaran, baju muslim baru, atau parcel ini direspon oleh pasar dan produsen. Direkayasa melalui iklan dan brand image suatu produk. Rekayasa tersebut selanjutnya secara tak sadar masuk di alam kognisi masyarakat. Bentuk kesadaran ini kemudian menjadi tradisi, dan berlaku di hampir seluruh pelosok masyarakat. Coba kita telisik, hampir semua orang akan mengiyakan bahwa lebaran dekat dengan kue, parcel, baju baru dan simbol fisik lain.

Tradisi baju baru dan kue yang berkelindan dengan tradisi silaturahmi dalam lebaran, yang merupakan usaha menjalin (kembali) relasi sosial justru bias menjadi ajang “unjuk gigi”. “Ini lho saya dengan baju dari mall anu.” Ajang pameran simbol status sosial. Pasar yang masuk dalam wilayah religius dan tradisi tersebut justru menciptakan diferensiasi sosial dan mereduksi nilai religiusitas itu sendiri. Jadilah Idul Fitri bukan hanya perayaan ibadah, namun juga perayaan pasar dan konsumsi.

Di kampung pada masa Lebaran orang dapat menemukan banyak hal yang tidak mereka temukan di kota yang sistem kehidupannya amat kompetitif dengan gaya kehidupan yang sudah mulai mengarah kepada individualisme. Mereka dapat menikmati –meskipun hanya sesaat– suasana perkampungan yang masih diselimuti gairah persaudaraan yang belum terjamah oleh gaya individualistis.
Budaya kita yang senantiasa menganjurkan sikap hormat dan menjunjung tinggi orang tua juga ikut menciptakan semangat mudik ini. Dengan pulang kampung mereka bisa menemukan kehangatan berjumpa dengan keluarga, terutama bagi yang masih mempunyai orang tua. Sedang bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia mereka akan berziarah ke makam orang tua dan leluhurnya, serta bersilaturahmi dengan sanak keluarganya.
Bagi orang-orang kecil yang sepanjang kehidupannya dihimpit berbagai tekanan, lebaran di kampung memberi makna kembali kehadirannya sebagai manusia. Eksistensinya sebagai manusia seakan mereka temukan kembali walaupun itu hanya beberapa hari. Demi menemukan eksistensi diri yang hilang itulah mereka rela berebut dan berdesakan dalam kendaraan umum. Tak lupa pula baju baru dan oleh-oleh yang cukup banyak juga menjadi “suatu kewajiban” bagi mereka yang mudik lebaran. Nampaknya hal itu juga akan menunjukkan eksistensi diri bagi mereka karena akan menjadi simbol kesuksesan mereka di kota. Dan semua itu harus dibayar dengan harga yang tidak murah.
Ironisnya tidak semua orang bisa mewujudkan hal tersebut dengan mudah terutama bagi yang elit (ekonomi sulit). Di antara mereka tidak sedikit yang tetap memaksakan diri untuk bisa memenuhi “kewajiban” itu. Sehingga demi mendapatkan uang dalam tempo singkat mereka menempuh alternatif dengan cara mencari pinjaman (hutang) atau pergi ke pegadaian (baik yang resmi maupun yang gelap) untuk menggadaikan barang berharga yang masih dimilikinya agar dapat mudik di waktu lebaran. Namun begitu lebaran telah usai, sekian banyak tanggungan hutang akan menghantui kehidupannya.
Mudik waktu lebaran memang telah menjadi tradisi yang tidak begitu saja bisa diubah. Atau barangkali memang tidak perlu diubah dan tidak perlu dihilangkan, karena memang sudah merupakan hak setiap orang untuk pulang kampung. Yang perlu dihilangkan adalah dampak negatif yang timbul dari mudik di waktu lebaran itu sendiri. Setuju?

Tidak ada komentar: