Senin, 12 September 2011

Tebusan TKI Belum Memecahkan Solusi


By: Marisa Elsera

Lagi-lagi pemerintah melakukan cara instan dalam menangani masalah. Seperti biasanya, demi menjaga citra dan seolah hendak menebus kesalahan terdahulu, pemerintah pusat pun mengambil jalan cepat dalam menyelesaikan persoalan TKI. Agar tak lagi disalahkan karena lalai melindungi TKI dari jerat hukuman mati, pemerintah rela merogoh kocek hingga jutaan dolar. Sayang, cara ini bukan langkah tepat menyelesaikan benangkusut persoalan TKI yang telah mengakar.

Publik jangan terkecoh dengan solusi instan yang dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Luar Negeri dalam “menyelamatkan” TKI dari hukuman mati. Tebusan ini hanya akan dilakukan hingga suasana panas karena pemberitaan gencar media soal nasib TKI mereda. Tapi, setelah kasus ini diabaikan, TKI pun akan kembali mengalami nasib nahas. Pemerintah pun mulai abai kembali pada keselamatan dan kesejahteraan TKI di negeri orang.

Secara logika, tidak mungkin pemerintah menalangi semua TKI yang terjerat hukuman mati. Bayangkan saja, untuk menebus Darsem binti Dawud, tenaga kerja wanita (TKW) yang membunuh majikannya karena hendak diperkosa saja, Kemenlu harus merogoh kocek hingga Rp 4,7 miliar. Sementara itu, untuk membayar diyat 7 TKI lainnya yang juga sedang diujung tanduk, pemerintah juga harus  membayar 1,2 juta dolar. Nah, apa mungkin pemerintah mampu membayar diyat yang akan diambil dari APBN untuk sekitar 300 TKI lainnya yang juga dijerat hukuman mati?  Jelaslah bahwa membayar diyat TKI hanyalah upaya menyelesaikan masalah sementara waktu.

Sekedar informasi, tercatat ada 303 WNI di luar negeri terancam hukuman mati. Data itu dibeberkan Dirjen Protokol dan Konsuler Kementrian Luar Negeri, Lutfi Rauf. Sepanjang tahun 1999-2011, 303 WNI di luar negeri divonis hukuman mati yang tersebar di 7 negara dan terkait dengan berbagai kasus. Media massa melansir, angka yang paling tinggi ada di Malaysia, yakni 233 WNI. Kemudian diikuti Republik Rakyat China dengan 29 kasus. Sedangkan WNI bermasalah di Arab Saudi yang terancam hukuman mati justru berada peringkat ketiga, yakni dengan 28 kasus. Selanjutnya di posisi keempat adalah WNI bermasalah di Singapura dengan 10 kasus. Sementara di Mesir, Suriah dan Uni Emirat Arab, masing-masing satu kasus.
Keberhasilan Kemenlu membawa pulang Darsem memang patut diacungi jempol. Tapi jangan lupa, kepulangan Darsem itu merupakan upaya pemerintah membayar kelaliannya terhadap Ruyati yang terlebih dahulu dihukum pancung. Jadi, belum dapat dikatakan bahwa instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat tegas terhadap banyaknya kasus yang menimpa warga negara Indonesia di luar negeri (seperti yang dijelaskan Menlu Marty Natalegawa) mampu menyelesaikan persoalan TKI.
Tapi tampaknya public tak begitu hirau dengan upaya penyelesaian konflik sementara yang dilakukan pemerintah pusat. Sekedar mengingatkan, langkah instan pun pernah diambil pemerintah yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam menangani persoalan penganiayaan terhadap TKI beberapa tahun silam. Ketika itu, pemerintah Indonesia telah mewajibkan aturan pemberian handphone pada setiap TKI yang bekerja di luar negeri. Namun hasilnya, tetap nihil. Para TKI banyak yang tidak mendapatkan haknya untuk berkomunikasi dengan keluarga di kampung halaman karena majikan tidak mengizinkan mereka menggunakan alat komunikasi itu.

Ini artinya, Kedutaan Besar Indonesia dan perusahaan pengirim TKI di negara tetangga tidak benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik untuk mengawasi dan menjamin keselamatan TKI selama di luar negeri. Aturan tinggal aturan, padahal ketika itu SBY begitu yakin cara ini dapat menyelesaikan persoalan TKI. Inilah yang saya maksud dengan cara instan yang diambil pemerintah dalam menyelesaikan persoalan TKI.

Jika tidak begitu, tentu muncul pertanyaan kenapa pemerintah bertindak instan seperti itu. Jawabannya pun klasik, pemerintah hendak menjawab kegamangan public terhadap hak TKI mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Sebab, belakangan ini media begitu gencar menuding pemerintah lalai dalam melindungi warganya. Untuk meredam isu miring itulah, pemerintah berupaya melakukan langkah yang dianggapnya dapat mengalihkan isu miring. Mereka hendak membangun opini public bahwa nyatanya pemerintah tengah berupaya menebus kelalaiannya melindungi TKI Ruyati asal Bekasi yang telah dipancung Juni lalu tanpa terendus Kemenlu maupun Kemenakertrans.

Persoalan mendasar tentang TKI bukan hanya menanti hukuman mati, tapi lebih jauh dari itu, yakni tentang perlindungan pemerintah dan kekuatan hukum yang melindungi TKI selama berada dinegeri orang. Jika saja pemerintah segera merealisasikan perjanjian (MoU) dengan seluruh negara tujuan TKI, maka upaya perlindungan TKI dapat direalisasikan.

Hal ini penting, jika pemerintah tidak diingatkan dan didesak untuk segera menjamin perlindungan hukum  bagi TKI, maka dapat diprediksi akan lebih banyak TKI yang terjerat hukum. Pemerintah Indonesia mau tak mau harus mempercepat pelaksanaan MoU dengan negara tujuan TKI yang belum ada perjanjian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan perlindungan hukum bagi warga Indonesia disana. Sehingga, ketidak adilan tak lagi dirasakan para TKI.
Secara sosial, langkah yang dapat dilakukan guna menekan angka kekerasan terhadap TKI di Indonesia yakni dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah harus melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama untuk mensosialisasikan kehidupan di negara asing terutama nasib TKI di negara-negara yang kerap tidak memihak HAM.
Karena belum ada perlindungan yang jelas dari pemerintah bagi para TKI yang bekerja di luar negeri, maka pemerintah harus mampu meningkatkan kualitas para TKI sehingga mendapat perlakuan baik. Jadi, pemerintah harus meningkatkan kualitas TKI sehingga tak mendapat perlakuan buruk. Karena yang namanya penyiksaan di mana pun selalu ada termasuk di Indonesia.
Kisah tragis TKI selama ini menunjukkan bahwa rakyat jadi korban. Padahal negara yang dibiayai oleh pajak, retribusi dan penghasilan lainya dibentuk untuk melindungi warganya. Belum lagi devisa yang dihasilkan oleh keberangkatan ribuan TKI. Keberangkatan para TKI toh tidak hanya sekedar memperjuangkan kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi juga bagian perjuangan meringankan beban negara. Sebab, TKI itu pun pastinya sadar bahwa semanis-manisnya bekerja di luar negeri, tetaplah penuh resiko. Menjadi TKI, bagi yang sudah berkeluarga, berarti meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang tercinta. Tidak sedikit keluarga TKI yang berantakan. Seperti, suami kawin lagi dan anak–anak yang tidak terurus.
Percepatan MoU yang dilakukan pemerintah, diharapkan dapat mewujudkan pembentukan joint working group (JWG) atau tim kerja gabungan mewakili kedua negara. Sebab, pembentukan tim kerja gabungan antar kedua negara diharapkan bisa memetakan permasalahan perlindungan TKI di Arab Saudi. Tim ini diharapkan juga membenahi berbagai permasalahan TKI.

Pemerintah tidak boleh cepat berpuas diri mengingat masih ada warga Indonesia di berbagai negara yang telah dijatuhi hukuman mati. Pemulangan Darsem hendaknya disikapi sebagai titik balik pemerintah meningkatkan kinerjanya dalam melindungi warganya. Pemerintah tidak sepatutnya sekedar membantah kritikan dalam negeri, tetapi bertindak dan menjawab kritikan dengan tindakan nyata.

Perlu diingat, banyaknya persoalan yang membelit TKI umumnya dialami oleh TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka ini adalah orang-orang yang tersubordinat. Mereka tidak memiliki daya tawar yang tinggi di mata masyarakat sehingga tak mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Maksudnya, yakni pekerjaan yang membuat pekerjanya dapat perlakuan manusiawi, gaji atau upah yang memadai serta fasilitas kerja yang baik.
Untuk itu, maka calon TKI harus mempersiapkan keterampilan, pengetahuan bahasa dan budaya negara tujuan penempatan, serta kelengkapan dokumen keberangkatan utamanya Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri agar saat TKI bekerja di luar negeri tidak menghadapi permasalahan yang merugikan dirinya, di samping terhindar dari risiko yang mungkin terjadi akibat kesalahan majikan atau pengguna. Sebab, kalau TKI sudah siap maka dia akan mampu bekerja secara berkualitas dan bermartabat. Hal itu otomatis membuat TKI mampu melindungi diri sendiri.
Selain perlindungan oleh dirinya, pemerintah melalui Perwakilan RI di luar negeri juga harus mengambil peran langsung dalam melindungi TKI. Sementara perlindungan BNP2TKI terhadap TKI dilakukan bekerjasama semua unsur stakeholder (pemangku kepentingan) TKI mulai pemerintah daerah, pihak swasta, antar pemerintah pusat, serta Perwakilan RI yang ada di masing-masing negara penempatan TKI.

Tidak ada komentar: