by: Marisa Elsera
Mahasiswa Universitas Andalas (Unand) kembali memberikan hadiah untuk kampus hijau yang konon termegah se-Asia Tenggara itu. Tapi sayang, kado yang diberikan para mahasiswa bukanlah prestasi bidang akademik, kewirausahaan ataupun organisasi. Sekelompok mahasiswa ini mencoreng nama baik kampus tertua di luar pulau jawa itu dengan aksi baku hantamnya. Apa hendak dikata, nasi telah jadi bubur. Kabar memalukan ini pun telah sampai ke seantero nusantara. Media massa pun telah menyampaikan betapa bobroknya mental calon intelektual itu.
Penyerangan yang dilakukan kepada mahasiswa Fisip Unand itu tak hanya sekali ini terjadi. Bulan April lalu, penyerangan juga dilakukan oleh puluhan orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi. Ketika itu, pemicu konflik juga kalah dalam pertandingan bola dalam Liga Unand (Liguna). Tidak terima kekalahan, kedua kubu pun saling ejek. Akhirnya, berujung pada penyerangan dekanat. Bayangkan saja, gedung dekanat dilempari batu hingga sarana dan prasarananya rusak parah.
Nah, kemarin juga terjadi hal yang sama. Pemicu pun sama, yakni pertandingan sepakbola dalam Liguna. Hanya saja, actor yang bermain sedikit berubah. Memang masih mahasiswa FISIP yang menderita penyerangan, tapi lawan mainnya bukan lagi mahasiswa Fakultas Ekonomi berganti menjadi Mahasiswa Fakultas Peternakan. Entah esok siapa lagi pemeran aksi bentrokan antarfakultas di kampus hijau itu.
Usut punya usut, kisruh Liguna ini bukan saja terjadi pada musim ini. Beberapa tahun sebelumnya, sempat terjadi tawuran yang dipicu oleh pertandingan bola. Sebab itulah, Rektor Unand memutuskan untuk menghentikan Liguna guna meredam konflik yang bisa saja terjadi usai pertandingan digelar. Tapi karena mempertimbangkan banyak faedah positif yang dapat dipetik dari pertandingan antarfakultas ini, akhirnya Rektor Unand pun mencabut pembekuan Liguna.
Sayangnya, amanah penyelenggaraan Liguna yang diberikan tidak mampu diemban mahasiswa Unand dengan baik. Mereka justru saling mencemooh skill lawan tandingnya dan berakhir bentrokan.
Dalam sosiologi, tawuran merupakan bentuk penyimpangan sekunder. Yakni suatu perbuatan yang oleh masyarakat diidentiļ¬kasikan sebagai perbuatan menyimpang. Penyimpang (orang yang melakukan perbuatan menyimpang) tidak akan diberikan toleransi. Malah, masyarakat akan menyingkirkan si penyimpang dari kelompoknya
yang taat pada nilai dan norma (konformis).
Penyimpangan negatif yang dilakoni mahasiswa merupakan pelanggaran terhadap nilai dan norma yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat yang mengakibatkan dampak buruk bagi pelaku dan masyarakat. Sebab, perilaku menyimpang itu mengancam ketertiban masyarakat.
Dalam kasus ini, pihak rektorat tentu saja akan melakukan tindakan represif dengan memberikan sanksi tegas berupa skorsing atau drop out terhadap mahasiswa yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin seperti tawuran. Namun, sayangnya cara ini justru tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab, berdasarkan pengalaman sebelumnya persoalan tawuran di kampus tidak hanya melibatkan individu dengan individu lainnya tapi juga antara sistem yang menghubungkan mereka. Artinya, jikalau rektorat mengeluarkan sanksi DO pada beberapa mahasiswa, tidak otomatis memberikan efek jera pada mahasiswa lainnya. Karena, sanksi itu hanya bersifat meredam konflik untuk sementara waktu. Sementara, akar dari persoalan itu tidak diselesaikan dengan baik.
Dari hasil analisis saya, perlawanan yang dilakukan mahasiswa FISIP atas mahasiswa Perternakan disebabkan karena tidak tegasnya sanksi yang diberikan fakultas dan rektorat atas tindak penyerangan yang dilakukan Fakultas Ekonomi pada April lalu. Ketika itu, pelaku penyerangan tidak diberikan sanksi tegas sehingga mahasiswa fisip pun menjadi permisif.
Pemicu baku hantam ini bukanlah Liguna seperti yang diklaim rektorat. Tapi, ada beberapa poin yang menyebabkan pecahnya konflik ke permukaan, yakni perbedaan kepentingan, rasa tidak percaya, ketidakadilan, kesalahpahaman, arogansi dan egosentris. Penyebab konflik yang cukup kompleks ini memang sulit untuk dipecahkan dengan cara represif seperti yang diambil rektorat. Kalaupun cara itu dipaksakan, maka konflik hanya diredam tapi tidak bisa diselesaikan. Suatu saat konflik itu pun akan muncul kembali dengan persoalan yang makin besar.
Penangan kasus ini harus dilakukan secara sistematis. Aktor dalam konflik ini yakni mahasiswa dari dua fakultas harus dimediasi. Namun, dalam melakukan mediasi tentu mediator haruslah dipilih orang yang netral dan dilakukan mediasi di tempat yang netral pula. Mediator pun harus memperhatikan penyebab terjadinya konflik dengan benar. Misalnya, cara pengambilan keputusan yang diambil pemimpin Unand ketika terjadi persoalan di kampus.
Ketika mengambil keputusan, bisa saja pemimpin Unand mengkesampingkan kepentingan salah satu kubu. Sehingga, keputusan itu dinilai telah merugikan kubunya. Oleh sebab itu, mahasiswa merasa tidak tertampung aspirasinya. Ketika komunikasi tidak berjalan lancar sehingga persoalan terus diredam, maka sesuai dengan teori konflik Cosser, maka konflik itu lambat laun akan meluap ke permukaan. Mahasiswa yang merasa dirugikan oleh keputusan dan kebijakan kampus, lambat laun akan depensif. Mereka akan berupaya mempertahankan diri dari kebijakan yang dianggap telah merugikan mereka.
Kemampuan pemimpin Unand dalam menyelesaikan persoalan di kampus tentu patut dipertanyakan usai baku hantam antar mahasiswa. Seharusnya, pihak Unand sudah mampu membaca gelagat akan terjadi kerusuhan sehari sebelum kisruh terjadi. Ketika itu, kisruh sudah terjadi di lapangan bola. Tapi sayangnya, pihak fakultas kedua kubu yang berkonflik abai dalam membaca risiko itu. Sehingga, pecahlah konflik yang berujung pada kerusakan dan pertumpahan darah itu.
Perilaku menyimpang ini memang tidak selamanya menjadi ancaman yang akan menghancurkan individu atau masyarakat. Namun demikian, perilaku penyimpangan tetap harus memiliki standar nilai dan kaidah yang umum sesuai dengan nilai dan kaidah
yang dianut oleh masyarakat. Sekarang coba bayangkan jika setiap
tawuran mendapatkan toleransi dari masyarakat, maka perilaku yang bersifat negatif ini akan berdampak negatif pula bagi masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan cara-cara preventif untuk mencegah terjadinya perilaku penyimpangan, diantaranya yaitu dengan mengefektifkan fungsi dan peranan lembaga-lembaga sosial yakni polisi, pengadilan, rektorat dan akademisi. Lembaga-lembaga sosial ini berfungsi mengawasi setiap tindakan masyarakat agar senantiasa sesuia
dengan nilai dan norma.
Pendidikan formal berbentuk perguruan tinggi, hendaknya menjadi bagian integral dari masyarakat sekitarnya. Seseuai dengan asas pendidikan seumur hidup, sekolah hendaknya memiliki dwifungsi yaitu mampu memberikan formal dan pendidikan nonformal yang berorientasikan pada pembangunan dan kemajuan sehingga dapat
menyiapkan generasi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
sebagai bekal hidupnya.
Tak kalah pentingnya, akademisi meningkatkan pendidikan moral dan etika. Pendidikan moral tujuannya yaitu untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma baik yang dianut secara kelompok ataupun secara masyarakat. Dengan begitu, kita akan mencetak kaum intelektual yang memiliki moral, etika dan spiritual yang baik. Tentunya, stigma miring tentang mahasiswa urakan, apatis dan masa depan suram seperti yang kerap didengar sekara ini akan memudar seiring perbaikan mental dan etika mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar