Senin, 12 September 2011

TKI “Mewek”, Pemerintah Tetap Cuek


by: MARISA ELSERA

Dari sekian Kementerian di Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi merupakan salah satu yang paling disorot belakangan ini. Kemenakertrans disebut-sebut abai pada keselamatan, keamanan dan kesejahteraan Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Tak hanya sekali dua kali, tapi lalainya kinerja Kemenakertrans telah diketahui publik sejak lama. Tepatnya, sejak persoalan TKI yang disiksa dan menderita di negeri orang muncul ke media massa. Sejak saat itu pula, issu TKI menjadi perbincangan hangat yang tak ada habisnya.

Kasus Ruyati, TKI asal Bekasi yang dipancung karena terbukti membunuh majikan yang mempekerjakannya dibelakangan ini makin memperkuat opini public bahwa Kemenakertrans memang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Sebab, ketika Ruyati dipancung, Kemenakertrans sama sekali tidak mengetahui kabar itu. Kenyataan ini menjadi tamparan bagi Kemenakertrans yang tidak melaksanakan monitoring dan pengawasan terhadap keselamatan pahlawan devisa itu.

Belakangan mulai  terungkap masih ada 303 WNI di luar negeri terancam hukuman mati. Data itu dibeberkan Dirjen Protokol dan Konsuler Kementrian Luar Negeri, Lutfi Rauf. Sepanjang tahun 1999-2011, terdapat 303 WNI di luar negeri divonis hukuman mati yang tersebar di 7 negara dan terkait dengan berbagai kasus. Media massa melansir, angka yang paling tinggi ada di Malaysia, yakni 233 WNI. Kemudian diikuti Republik Rakyat China dengan 29 kasus. Sedangkan WNI bermasalah di Arab Saudi yang terancam hukuman mati justru berada peringkat ketiga, yakni dengan 28 kasus. Selanjutnya di posisi keempat adalah WNI bermasalah di Singapura dengan 10 kasus. Sementara di Mesir, Suriah dan Uni Emirat Arab, masing-masing satu kasus.
Serentetan kasus penyiksaan hingga ancaman hukuman mati yang ditimpakan negeri tetangga pada TKI, tetap saja masyarakat Indonesia masih gencar hendak berburu emas di negeri orang. Hal ini membuktikan bahwa mereka masih begitu berharap pada negeri seberang mampu mensejahterakan kehidupannya. Sebab, dari kabar yang mereka dapatkan atas kesuksesan TKI yang pulang ke kampungnya (gaji besar dan hidup layak di perantauan) membuat masyarakat Indonesia yang umumnya berasal dari keluarga miskin tergerak untuk bekerja pula di negeri orang.
Kenyataannya, masyarakat lapisan bawah memang mengalami kemiskinan akut. Lapangan kerja merupakan barang langka. Sementara dunia usaha (khususnya dalam sekala kecil dan menengah) juga mengalami persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Akses ke sumber-sumber strategis hanya dimiliki segelintir orang dan satu dua pihak saja. Sementara rakyat kebanyakan hidup dalam kondisi pas-pasan. Kendati negara ini sudah krisis, nyatanya dalam menghadapi ini negara malah terlihat pesimis. Pesimisme pemerintah adalah bukti kegamangan atas ketidakmampuan menata ekonomi negeri ini. Angka penggangguran yang tinggi seperti yang disebutkan adalah konkretnya, betapa terbatasnya lapangan pekerjaan di negeri ini
Menghadapi tingginya biaya hidup sementara angka pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia inilah, maka menjadi buruh migran (TKI) merupakan alternatif yang dipilih sebagian angkatan kerja kita. Disamping fenomena keluarga miskin yang terus bertambah akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi di Indonesia saat ini, maka mau tidak mau, secara alami mereka akan berusaha untuk menyerbu pusat-pusat aktifitas perekonomian sebagai solusi untuk keluar dari himpitan kemiskinan yang menimpa mereka.
Dalam benak para buruh migran hanya satu, mereka ingin mengubah nasib. Alasan ekonomi, kerap lebih dominan. Himpitan ekonomi yang tak berkesudahan membuat mereka, diantaranya, memilih menjadi buruh migran. Usulan agar pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman buruh migrant ke luar negeri nyatanya disambut pesimis oleh lembaga eksekutif itu. Menurut mereka, dengan menghentikan migrasi TKI sama halnya dengan membunuh mereka. Sebab, pemerintah tidak mampu menanggulangi kebutuhan masyarakat. Jika mereka tidak bekerja, tentunya mereka tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Itu artinya, akan menambah beban negara.
Ketidakmampuan negara dalam menciptakan kesejahteraan rakyat khususnya masyarakat miskin untuk menyediakan penghidupan layak menyebabkan para TKI harus berkorban guna memenuhi kebutuhan itu. Tapi, walaupun dijuluki pahlawan devisa, perjuangan mereka tak diberi penghargaan yang layak, seperti perlindungan hukum dan hak-hak mereka. Kenyataannya, para TKI “mewek” (baca: menangis) di negeri orang, sementara pemerintah malah cuek bebek. Bukankah ini namanya air susu dibalas air tuba?.
Kisah tragis TKI selama ini menunjukkan bahwa rakyat jadi korban. Padahal negara yang dibiayai oleh pajak, retribusi dan penghasilan lainya dibentuk untuk melindungi warganya. Belum lagi devisa yang dihasilkan oleh keberangkatan ribuan TKI. Keberangkatan para TKI toh tidak hanya sekedar memperjuangkan kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi juga bagian perjuangan meringankan beban negara. Sebab, TKI itu pun pastinya sadar bahwa semanis-manisnya bekerja di luar negeri, tetaplah penuh resiko. Menjadi TKI, bagi yang sudah berkeluarga, berarti meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang tercinta. Tidak sedikit keluarga TKI yang berantakan. Seperti, suami kawin lagi dan anak–anak yang tidak terurus.
Berdasarkan data Depnakertrans, buruh migran Indoesia yang resmi secara prosedural mencapai 400.000 jiwa, sementara TKI yang tak resmi bahkan diprediksi mencapai beberapakali lipat dari yang resmi. Upaya buruh migran ini dalam mengejar hujan emas di negri orang menguras perhatian. Baik dari proses perekrutan, karantina, penempatan, perlindungannya dan proses kembali ke tanah air. Mungkin cerita tentang buruh migran sudah banyak dikedepankan.
Jika ingin mencari kesalahan, memang Kemenakertrans bisa dikambing hitamkan. Sebab, seharusnya pemerintah Indonesia harus berusaha membantu para WNI, termasuk yang ada di Arab Saudi agar hukumannya diringankan. Namun, nasi telah jadi bubur. Kita tak boleh saling tuding dan lempar tanggungjawab. Kedepan, langkah yang harus dilakukan yakni dengan mencari solusi agar keberadaan TKI di luar negeri bisa terjamin dari aspek hukum, kesehatan, pendidikan dan sosial.

Untuk mewujudkan hal itu, maka perlu peningkatan perlindungan terhadap TKI. Salah satu dasarnya adalah perlindungan HAM yang tentu menyangkut harkat dan martabat TKI. Selama ini, untuk beberapa negara yang belum ada kesepakatan perlindungan hukum terhadap TKI, salah satunya Arabsaudi maka pemerintah Indonesia hanya melakukan soft moratorium. Yakni, dengan cara mengetatkan penempatan TKI ke Arab Saudi.
Pemerintah Indonesia mau tak mau harus mempercepat pelaksanaan MoU dengan negara tujuan TKI yang belum ada perjanjian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan perlindungan hukum bagi warga Indonesia disana. Sehingga, ketidak adilan tak lagi dirasakan para TKI.
Secara sosial, langkah yang dapat dilakukan guna menekan angka kekerasan terhadap TKI di Indonesia yakni dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah harus melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama untuk mensosialisasikan kehidupan di negara asing terutama nasib TKI di negara-negara yang kerap tidak memihak HAM.
Pengetatan pengiriman TKI juga dapat menjadi solusi. Hanya TKI yang memiliki soft skill dan berpendidikan lah yang boleh bekerja ke luar negeri. Artinya, TKI yang hanya menjajakan jasa pelayanan rumah tangga (seperti pembantu rumah tangga) tidak boleh lagi dikirimkan. Sebab, berdasarkan pantauan kasus sejak beberapa tahun silam TKI yang menjadi bulan-bulanan majikan adalah pembantu rumah tangga. Sementara TKI yang punya soft skill dan berpendidikan tinggi nyatanya tak pernah mengalami kekerasan fisik dan mental.

Karena belum ada perlindungan yang jelas dari pemerintah bagi para TKI yang bekerja di luar negeri, maka pemerintah harus mampu meningkatkan kualitas para TKI sehingga mendapat perlakuan baik. Jadi, pemerintah harus meningkatkan kualitas TKI sehingga tak mendapat perlakuan buruk. Karena yang namanya penyiksaan di mana pun selalu ada termasuk di Indonesia.
Menghentikan pengiriman TKI tentu bukan solusi bijak. Karena, pemerintah Indonesia toh belum bisa memberi alternatif pilihan yang lebih baik. Namun yang perlu dilakukan adalah pemerintah memberikan bimbingan agar mereka menjadi pembantu yang berkualitas. Pemerintah harus berikan bimbingan agar mereka jadi pembantu yang berkualitas sehingga tak dikurangajari oleh orang.
Calon TKI harus mempersiapkan keterampilan, pengetahuan bahasa dan budaya negara tujuan penempatan, serta kelengkapan dokumen keberangkatan utamanya Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri agar saat TKI bekerja di luar negeri tidak menghadapi permasalahan yang merugikan dirinya, di samping terhindar dari risiko yang mungkin terjadi akibat kesalahan majikan atau pengguna. Sebab, kalau TKI sudah siap maka dia akan mampu bekerja secara berkualitas dan bermartabat. Hal itu otomatis membuat TKI mampu melindungi diri sendiri.
Selain perlindungan oleh dirinya, pemerintah melalui Perwakilan RI di luar negeri juga harus mengambil peran langsung dalam melindungi TKI. Sementara perlindungan BNP2TKI terhadap TKI dilakukan bekerjasama semua unsur stakeholder (pemangku kepentingan) TKI mulai pemerintah daerah, pihak swasta, antar pemerintah pusat, serta Perwakilan RI yang ada di masing-masing negara penempatan TKI.

Tidak ada komentar: