By: Marisa Elsera
Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bukan kabar baru lagi. Hampir setiap hari masyarakat terpekik karena bahan bakar kendaraan bermotor ini menghilang di pasaran. Penyebab kelangkaan sebetulnya sudah terendus, hanya saja penegakan hukum terhadap pelanggaran belum bisa dilakukan. Penyebabnya pun beragam, ada disebabkan peraturan yang dapat diakal-akali, pengawasan lemah hingga kongkalikong pihak terkait.
Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi kerapkali disalahgunakan. Terbukti dengan maraknya penjualan BBM ketengan (eceran) di Sumbar. Biang keladinya bukan hanya pedagang eceran tapi juga petugas SPBU yang tetap melayani pembelian BBM dengan mengunakan jerigen yang akhirnya dijual kembali dengan ketengan. Kelangkaan BBM di Sumatera Barat terjadi disejumlah daerah, seperti Kabupaten Pasaman Barat, Pasaman, Dharmasra, Sjunjung dan Pesisir Selatan serta Kota Payakumbuh. Kelangkaan itu terjadi sejak pertengahan bulan Mei lalu.
Padahal sesuai dengan Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, kegiatan usaha hilir migas harus dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Artinya, keberadaan pedagang eceran tanpa izin telah dilarang dan harus ditertibkan, Kewenangan untuk itu diserahkan kepada penegak hukum. Bagi pelanggar, akan dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar.
Namun nyatanya UU tersebut tak berjalan di Sumbar, terbukti dari maraknya pedagang minyak eceran yang memperdagangkan BBM bersubsidi disepanjang jalan. Cara mendapatkan BBM (biasanya premium) pun mudah, cukup membawa jerigen dalam ukuran menengah hingga besar ke SPBU terdekat kemudian membayar dengan harga bersubsidi yakni Rp 4.500 untuk premium kemudian puluhan liter minyak pun berhasil diangkut dan diecerkan dengan harga Rp 5000 per litenya.
Persoalan ini nyatanya tidak dianggap serius oleh pemprov Sumbar. Pasalnya, meski mengetahui adanya pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen dalam jumlah besar, tapi tidak ada larangan tegas bagi SPBU di wilayah Sumbar untuk tidak melayani pembelian jerigen. Padahal sesuai aturannya, penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen telah lama dilarang. Tapi seolah SPBU melegalkan hal itu sehingga BBM bersubsidi kini diperjual belikan.
Pemprov Sumbar masih sebatas memikirkan rencana penerapan UU larangan penjualan BBM melalui jerigen ukuran sedang hingga besar. Tapi, untuk pengawasannya justru diserahkan penuh pada instansi terkait seperti BPH Migas, Pertamina dan Pemkab/Pemko untuk mengawasi SPBU diwilayahnya. Jika sudah begitu, instansi ini punya kewenangan khusus untuk mengawasi suplay BBM.
Idealnya, untuk mengatasi persoalan pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen dapat dilakukan dengan pelarangan pembelian dengan jerigen dalam jumlah besar. Bagi industri kecil, pemprov bisa memberikan pengecualian. Mereka dibolehkan menikmati pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen tapi dengan syarat memperlihatkan kartu atau surat izin pembelian BBM dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pertambangan dan Energi (Disperindag Tamben) atau Pemkab/Pemko masing-masing daerah. Jadi, hanya industri kecil yang boleh mendapatkan BBM bersubsidi dengan jerigen. Aturan ini bisa meminimalisir penjualan BBM ketengan.
Karena pemerintah pusat dan provinsi belum juga menentukan kebijakan untuk meminimalisir penyalahgunaan BBM bersubsidi, maka tak mengherankan jika setiap tahunnya pemerintah terpekik karena stok BBM bersubsidi habis di pertengahan tahun. Bagaimanapun pro dan kontra larangan pembelian BBM bersubsidi, tapi aturan harus ditegakkan. Sebab, pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan aturan tersebut. Jika untuk hal ini masih ada pengecualian yang seolah melegalkan penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen maka untuk aturan lainnya tak menutup kemungkinan akan terjadi pelanggaran juga.
Kelangkaan BBM bersubsidi di Sumbar juga diakibatkan akibat lemahnya pengawasan. Inilah realita yang terjadi di SPBU Sumbar. Akibatnya, pelanggaran aturan terus terjadi, seharusnya, pihak terkait memantau pengawasan dengan cermat. Termasuk juga petugas SPBU, mereka harus tahu mana kendaraan yang boleh menggunakan BBM subsidi dan mana yang tidak. Selama ini, di beberapa SPBU terjadi pembelian BBM bersubsidi oleh kendaran perusahaan bahkan menggunakan jerigen dan drum.
Selain itu, kuota BBM untuk Provinsi Sumbar juga kurang untuk saat ini. Pasalnya bertambahnya permintaan perusahaan mengakibatkan jumlah pasokan BBM tidak memadai. Berbicara tentang pengawasan BBM bersubsidi yang belum maksimal, menyebabkan masih ada celah terjadi pembiaran terhadap pelanggaran. Bentuk pelanggaran tersebut lebih parah kurang memperoleh perhatian lalu memunculkan permainan berujung pada pembocoran rahasia. Kerap kali pada setiap digelar razia pasti bocor. Jelas kondisi kurang baik dan menjadi pertanda buruknya peran serta warga mendukung penertiban distribusi BBM.
Selain itu, kelangkaan BBM di Sumbar diduga diselundupkan ke luar daerah Sumatera Barat. Penyelundupan ke luar daerah dilakukan dengan menggunakan mobil boks, travel dan bus serta mobil pribadi. Untuk itulah, pemprov Sumbar harusnya tegas meminta Pertamina agar memberikan data penggunaan premium dan solar non subsidi kepada industri dan perusahaan serta perkebunan kepada ESDM. Jadi, pemprov pun bisa mengetahui berapa kebutuhan premium dan solar serta BBM yang diberikan pertamina serta sisanya diperoleh darimana.
Faktor lainnya yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan BBM adalah tidak mematuhi sistem. Penambahan kuota BBM dan armana misalnya, harus membuat lagi reskedul untuk penambahan-penambahan berikutnya. Sejumlah SPBU di Payakumbuh terjadi kekosongan premium dan solar dan BBM masuk ke daerah itu dilakukan pada malam hari.
Secara nasional, pemerintah pusat telah mengakui jebolnya kuota BBM bersubsidi yang dipatok DPR dalam APBN 2011 bukan hanya dikarenakan terjadinya disparitas harga antara BBM subsidi dan non subsidi. Namun, juga oleh ulah para industri tambang yang dengan sengaja membeli BBM subsidi tersebut. Meski sudah kita beri informasi bahwa mereka tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi, mereka tetap saja menggunakannya. Padahal dalam peraturannya jelas tidak boleh. Selain itu, mereka juga sudah ada SPBU khusus yang memang disediakan untuk mereka. Bahkan SPBU itu sudah memiliki tangki atau truk khusus.
Namun di Sumbar sendiri, janji BPH Migas untuk meningkatkan pengawasan, baik dengan menggandeng pihak kepolisan maupun pemerintah daerah setempat nyatanya belum menampakkan perubahan. Pemakaian BBM bersubsidi tetap saja overload per triwulannya. Tentunya ini disebabkan oleh industri dan tambang yang kerap menyalahgunakan penggunaan BBM subsidi. Oleh karena permintaan BBM subsidi yang terus meningkat, dalam APBNP 2011 kuota BBM subsidi naik. Bahkan pihak terkait dalam pengawasan penebusan BBM nonsubsidi untuk industri yakni Pertamina dan BPH Migas bahkan tidak mampu memberikan daftar penebusan. Karena tidak transparan itulah, asumsi miring lemahnya pengawasan hingga kongkalikong makin diyakini publik.
Jika ada kemungkinan terjadinya hal-hal tak wajar menyoal distribusi BBM bersubsidi ini, apakah itu di level SPBU, pendistribusian, harus diatasi. Pertamina juga diminta lebih baik melakukan pengawasan BBM bersubsidi ini. Nah, apabila ada indikasi kecurangan pada tingkat SPBU, maka SPBU itu dapat ditindak tegas. Sebab, distribusi BBM subsisi harus diawasi betul-betul, agar BBM bersubsidi itu benar-benar dinikmati masyarakat. Jangan sampai BBM bersubsidi diselewengkan.
Disinilah peran BPH Migas dan Pertamina dalam mengawasi banyaknya tangki-tangki BBM siluman pada kendaraan roda empat khususnya truk. Karena, ada indikasi satu mobil memiliki tangki ganda. Dalam penertiban, tidak boleh pandang bulu. Siapa pun yang melanggar, harus ditangkap serta beri sanksi yang tegas. Bila ada oknum SPBU atau karyawan terbukti kerjasama memberikan porsi tidak sesuai dengan kapasitasan kendaraan layaknya, harus ditindak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar