Oleh : Marisa Elsera
Kondisi gunung merapi di Sumbar kembali menjadi sorotan. Baru-baru ini pemerintah mengumumkan status waspada setelah gunung setinggi 2.891 meter itu meletus sembilan kali dan mengeluarkan banyak debu vulkanik. Dengan status waspada ini maka perlu dilakukan penyuluhan/sosialisasi, penilaian bahaya, pengecekan sarana dan pelaksanaan piket terbatas. Sebab, sesuai dengan tingkatan status waspada pada Gunung Merapi, berarti menandakan adanya peningkatan aktivitas yang meliputi peningkatan level normal, seismik dan kejadian vulkanis lainnya dan magma, tektonik serta hidrotermal.
Kendati baru berstatus waspada, namun pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus tetap siaga menghadapi ancaman bencana yang datang. Pengawasan terhadap aktivitas Merapi juga harus dilakukan secara intensif agar setiap perubahan aktivitas yang terjadi dapat diketahui sehingga penanggulangan bencana dapat dilakukan. Jika tidak diawasi, maka status Merapi dari waspada dapat seketika meningkat menjadi siaga bahkan awas sementara persiapan mitigasi bencana belum sempurna dilaksanakan.
Perlu diketahui, jika status waspada meningkat menjadi awas, tentunya telah terjadi peningkatan intensif kegiatan seismic, aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana. Nah, jika tren peningkatan berlanjut, letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu. Peningkatan status dari siaga ke awas pun terjadi begitu cepat. Dalam beberapa hari saja, letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap. Jika sudah begini, maka tindakan yang harus dilakukan yakni mengosongkan wilayah, koordinasi dilakukan secara harian dan piket penuh.
Meski status Merapi masih waspada, tidak ada salahnya pemerintah dan masyarakat mempersiapkan upaya mitigasi bencana agar saat Merapi meletus, tidak ada korban jiwa yang jatuh. Kendati kita menyadari keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan menghadapi bencana, tapi toh masyarakat terus berharap pemerintah serius menanggulangi bencana ini.
Dalam penanganan bencana, tentu tidak mengenal ketidak siapan. Terlebih bagi daerah Sumatera Barat yang merupakan swalayan bencana alam, tentunya jauh hari sudah memiliki persiapan matang dalam menghadapi bencana alam. Khusus untuk bencana letusan gunung berapi, tidak hanya Merapi yang perlu dikhawatirkan, sebab Sumbar juga memiliki 2 gunung api aktif lainnya yang menyimpan ancaman bahaya, yakni Talang dan Tandikat.
Enam tahun lalu, aktifitas Gunung Talang yang meningkat telah menyedot perhatian nasional walaupun tidak sampai menimbulkan bencana yang besar. Namun dengan keberadaan aktifitas kehidupan di Sumatera Barat yang berada disekitar gunung berapi, maka risiko bencana yang ditimbulkan akan sangat besar.
Bahkan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementrian Sumber Daya Energi dan Mineral, Surono pernah mengungkapkan pengawasan terhadap Talang dan Merapi memang ditingkatkan. Sebab itu, ditambah alat untuk memantau aktifitas gunung tersebut. Selain dua gunung di Sumbar itu, ada juga tiga gunung lainnya yang saat ini berstatus waspada pasca gempa di Mentawai yaitu Seulawah Agam (NAD), Anak Krakatau (Lampung) dan Kerinci (Jambi).
Secara keseluruhan, Indonesia memiliki lima gunung api bawah laut. Status kelima gunung api itu perlu diwaspadai sebab masih berpotensi untuk meletus. Indonesia hanya punya lima gunung api bawah laut. Belum ada penemuan baru lagi tentang gunung api bawah laut. Kelima gunung api bawah laut itu terletak di perairan Sulawesi Utara, Perairan Laut Banda dan Perairan Nusa Tenggara Timur.
Misalnya, di Sulawasi Utara, terdapat Gunung Sub Marine yang meletus tahun 1922 dan Banuawalu meletus pada 1919. Begitu juga di Perairan Laut Banda terdapat Niuwewerker yang meletus pada 1927 dan Emperor of China. Lalu satu gunung api di bawah laut lainnya ialah Hobal yang meletus pada 1999, dan berada di Perairan Nusa Tenggara Timur. Aktivitas kelimanya sampai saat ini tidak berbahaya. Namun saat aktif biasanya hanya menimbulkan buih air berasap.
Menghadapi kondisi geografis Sumbar yang demikian, maka tentu pemerintah daerah tidak boleh bersikap lamban apalagi lalai dalam menangani ancaman bencana. Pemerintah harus berbuat lebih cepat untuk mengatasi segala bentuk dampak bencana alam yang terjadi di negeri ini, sebab pada prinsipnya persoalan dampak bencana alam itu bersifat darurat.
Misalnya, di Sulawasi Utara, terdapat Gunung Sub Marine yang meletus tahun 1922 dan Banuawalu meletus pada 1919. Begitu juga di Perairan Laut Banda terdapat Niuwewerker yang meletus pada 1927 dan Emperor of China. Lalu satu gunung api di bawah laut lainnya ialah Hobal yang meletus pada 1999, dan berada di Perairan Nusa Tenggara Timur. Aktivitas kelimanya sampai saat ini tidak berbahaya. Namun saat aktif biasanya hanya menimbulkan buih air berasap.
Menghadapi kondisi geografis Sumbar yang demikian, maka tentu pemerintah daerah tidak boleh bersikap lamban apalagi lalai dalam menangani ancaman bencana. Pemerintah harus berbuat lebih cepat untuk mengatasi segala bentuk dampak bencana alam yang terjadi di negeri ini, sebab pada prinsipnya persoalan dampak bencana alam itu bersifat darurat.
Segala permasalahan akibat dampak bencana harus cepat, tanggap, dan sigap, dalam penanggulangan bencana, agar tidak banyak korban jiwa dan mengatasi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Keterlambatan penanganan bencana jelas akan menimbulkan dampak besar terhadap kondisi sosial di tengah masyarakat.
Berdasarkan evaluasi penanganan bencana di Sumbar, nyatanya, pemerintah daerah masih terbilang lamban dalam menangani persoalan mengatasi dampak bencana karena harus melalui berbagai mekanisme yang rumit. Sebab itu perlu pembenahan metode penangananan bencana agar memiliki regulasi yang lebih baik sehingga penangangan dampak bencana ini lebih cepat lebih baik.
Berkaca dari penanggulangan bencana di Gunung Merapi, Yogyakarta lalu, dimana dampak meletusnya Gunung Merapi menimpa hingga lebih 15 km, maka perlu Standar Operasi Prosedur (SOP) pengungsian dan penyaluran bantuan yang baik. Setidaknya harus ada cadangan batas evakuasi. Jika misalnya diminta masyarakat yang berada di kawasan 15 km untuk dievakuasi, maka setidaknya harus ada cadangan kawasan 5 km yang perlu dievakuasi. Sebab, peristiwa di Gunung Merapi Yogyakarta lalu bisa dijadikan pelajaran agar tidak terjadi kejadian serupa.
Berkaca dari penanggulangan bencana di Gunung Merapi, Yogyakarta lalu, dimana dampak meletusnya Gunung Merapi menimpa hingga lebih 15 km, maka perlu Standar Operasi Prosedur (SOP) pengungsian dan penyaluran bantuan yang baik. Setidaknya harus ada cadangan batas evakuasi. Jika misalnya diminta masyarakat yang berada di kawasan 15 km untuk dievakuasi, maka setidaknya harus ada cadangan kawasan 5 km yang perlu dievakuasi. Sebab, peristiwa di Gunung Merapi Yogyakarta lalu bisa dijadikan pelajaran agar tidak terjadi kejadian serupa.
Upaya Penanganan
Letusan gunung berapi dapat berakibat buruk bagi kehidupan sekitar baik manusia, tumbuhan, maupun hewan. Jika gunung berapi meletus maka magma yang ada di dalam gunung berapi meletus keluar sebagai lahar atau lava. Selain dari aliran lahar, dampak lain akibat gunung berapi meletus antara lain adanya aliran lumpur, hujan debu, kebakaran hutan, gas beracun, gelombang tsunami (jika gunung tersebut berada di dasar laut), dan gempa bumi. Karena itu, perlu usaha mitigasi dengan cara mengevakuasi penduduk yang ada di sekitar gunung berapi.
Terkadang usaha evakuasi ini menghadapi suatu dilema, misalnya ketika para ahli vulkanologi harus mengambil keputusan apakah gunung berapi yang dipantaunya akan meletus atau tidak. Jika gejala awal letusan gunung berapi begitu meyakinkan maka para ahli vulkanologi memutuskan untuk segera menginformasikan pada aparat pemerintah daerah untuk mengungsikan penduduk.
Ada kalanya, dengan gejala awal yang begitu meyakinkan sekalipun, ternyata gunung berapi tidak jadi meletus. Banyak penduduk yang tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari karena berada di pengungsian. Tetapi ketika gunung berapi menunjukkan ketenangannya dan para penduduk kembali dari pengungsian tiba-tiba terjadi letusan hebat dan menelan banyak korban. Peristiwa seperti itu merupakan bukti bahwa gejala awal suatu bencana alam sulit untuk diramalkan.
Sebab itu, pemerintah tidak boleh tinggal diam melihat situasi seperti ini. Masyarakat harus dilatih dan disosialisasikan tentang isyarat-isyarat gunung berapi.
Sebab itu, pemerintah tidak boleh tinggal diam melihat situasi seperti ini. Masyarakat harus dilatih dan disosialisasikan tentang isyarat-isyarat gunung berapi.
Evakuasi yang dilakukan pemerintah daerah dalam meminimalisir jatuhnya korban jiwa saat bencana bisa saja mengalami penolakan dari masyarakat. Karena umumnya masyarakat pedesaan di sekitar gunung merapi hanya memiliki satu mata pencaharian yakni pertanian, tentunya mereka tak punya pilihan lain untuk bertahan hidup sehingga memutuskan untuk tetap tinggal dan berladang di wilayah rawan bencana. Maka akan sangat tidak bijak jika pemerintah memerintahkan mereka untuk pindah sementara mereka tidak disediakan penghidupan yang layak dan matapencaharian untuk menghidupi keluarganya secara mandiri selama berada di pengungsian.
Hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam siaga bencana, yakni kemampuan untuk saling berkoodinasi antar instansi dan ketersediaan dana yang cukup penanggulangan bencana alam. Sehingga, tidak ada istilah keterlambatan bantuan, mengingat masyarakat sangat membutuhkan bantuan saat aktivitas masyarakat dihentikan prabencana dan pasca bencana.
Selain melakukan evakuasi, usaha mitigasi dapat dilakukan pemerintah adalah dengan membelokkan aliran lava atau membuat jalur mengalirnya lava menjauh dari permukiman penduduk. Namun, meskipun berbahaya banyak orang yang tinggal dan berkebun di lereng gunung berapi. Hal ini disebabkan abu vulkanis mengandung mineral-mineral yang menyuburkan tanah, sehingga bagus untuk pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar