Selasa, 29 November 2011

Masyarakat Ciptakan Stigma bagi ODHA

By: Marisa Elsera
Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi Unand

Menjadi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) memang tidak mudah. Selain terkendala dengan kondisi kesehatan yang semakin buruk, ODHA juga menuai cemoohan dari masyarakat. Pasalnya, orang awam seringkali terjebak oleh anggapan bahwa penyakit mematikan ini berasal dari orang-orang berdosa yang telah melakukan tindakan diluar norma sosial. Informasi yang mereka (masyarakat) dapatkan, penyakit ini berpindah melalui hubungan sex yang tidak aman atau penggunaan jarum suntik yang umumnya mengancam junkies.
Beberapa lembaga survey di dunia mengungkapkan, ada banyak ibu rumah tangga yang terjangkit HIV AIDS. Hal ini disebabkan oleh Tingginya angka ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS ini sebagian besar ditularkan oleh pasangannya yang sebelum menikah atau bahkan saat sedang menikah masih sering membeli seks. Pria yang kerap membeli seks ini disebut sebagai high risk man (HRM).  Tak hanya ibu rumah tangga saja, anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang terinsfeksi HIV AIDS pun akan menderita penyakit yang sama. Jika ODHA dijatuhi stigma buruk sebagai pelaku tindakan menyimpang, tentunya hal ini tidak akan adil bagi para ibu rumah tangga dan anak-anak balita bukan?
Sementara itu, untuk skop Sumbar, Dinas Kesehatan Sumbar mengungkapkan bahwa hingga akhir 2010 lalu, penderita HIV/AIDS paling banyak diderita oleh pekerja wiraswasta sebanyak 28 orang, disusul oleh ibu rumah tangga, 13 orang. Sedangkan faktor resiko yang paling banyak menyebabkan penyakit HIV/AIDS terjangkit pada pasangan heteroseksual sebanyak 37 orang, pengguna jarum suntik sebanyak 26 irang dan akibat transfuse darah sebanyak 4 orang.
Stigma buruk tentang ODHA memang tidak hanya menempel dewasa ini saja, sebab sejak penyakit ini diakui tahun 1981 oleh Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat. Ketika itu, ditemukan adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles. Terjangkitnya penyakit ini pada awalnya disebabkan oleh hubungan seksual sesama jenis (homoseks) dan akibat kontak dengan primata (misalnya: berburu atau memotong daging hewan yang terkena virus ini).
Seiring perkembangan dunia kedokteran di dunia, mulai ditemukan sebab penyebaran virus mematikan ini ke dalam tubuh manusia. Tidak hanya berhubungan seksual sesama jenis saja yang menyebabkan seseorang terjangkit HIV AIDS tapi juga bisa disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak aman (seperti gonta-ganti pasangan atau berhubungan dengan ODHA), penggunaan jarum suntik bergantian dan akibat diwariskan oleh ibu pada bayinya.
Penemuan ini secara tidak langsung telah mendeskreditkan ODHA. Pasalnya, hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS dilakukan dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV. Secara tidak langsung, masyarakat telah menghakimi pengidap HIV sehingga mereka terbuang dari komunitasnya. Alhasil, karena kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV dan berusaha untuk tidak memperoleh perawatan agar penyakitnya tidak diketahui orang lain. Akibatnya sudah dapat ditebak, ODHA akan semakin kronis hingga berujung kematian. Bahkan tidak terelakkan penyebaran HIV yang semakin meluas di berbagai belahan dunia.
Cukup dimengerti jika para ODHA ini dicabut dari komunitasnya karena mereka dipandang hina oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan bagi masyarakat pemeluk agama sekalipun para ODHA ini sering dianggap sebagai pendosa. Kenyataan ini terjadi karena agama sangat membenci dan menghakimi para pendosa kendati di sisi lain agama juga memerintahkan umatnya untuk memberikan kasih sayang, mengunjungi, bahkan memberikan perhatian bagi yang sakit.
Sosiolog asal Amerika Serikat, Mark R Kowalewski pernah melakukan riset tentang penyakit HIV AIDS pada tahun 1990. Dia menemukan bahwa ada kekaburan moralitas agama dalam konteks AIDS. Kowaleski melakukan observasi atas sikap gereja-gereja di Amerika, melahirkan tipologi tiga jenis respons Kristen HIV & AIDS dan ODHA. Hasil penelitiannya kala itu menyebutkan bahwa ada tiga tanggapan masyarakat terhadap ODHA, yakni menyalahkan dan mengutuk ODHA dengan memahami AIDS sebagai hukuman Tuhan, merangkul dan bersimpati terhadap ODHA, dengan memahami AIDS sebagai sebuah penyakit biasa dan menolong ODHA tetapi tetap memelihara kesakralan gagasan-gagasan agama tentang moralitas.
Tipologi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan kaum muslim terhadap HIV & AIDS yang cenderung menyalahkan ODHA dan memahami AIDS sebagai hukuman Tuhan atas perilaku dosa dan kemaksiatan. Kendati demikian, masih ada pula kaum muslim yang lebih memilih untuk memahami HIV & AIDS sebagai krisis global yang erat kaitannya dengan ketimpangan-ketimpangan sosial daripada melihatnya sebagai masalah moral individu. Sehingga, para ODHA dianggap sebagai korban atas ketidakadilan sistem bukan orang asusila.
Penyakit HIV AIDS memang berbahaya, akan tetapi masyarakat tentu tidak boleh menghakimi mereka yang menderita HIV AIDS. Jika masyarakat tetap memandang miring dan mencampakka ODHA dari masyarakat maka hal ini akan menjadi bom waktu dikemudian hari. Maka dari itu, perlu adanya strategi yang tepat dan berkesinambungan dalam hal menahan laju epidemi virus mematikan itu. Tidak hanya strategi secara medis, tapi juga psikis dan social.
Dalam menentukan strategi menekan angka pengidap HIV AIDS tidak boleh hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja tapi juga harus didukung oleh pemerintah daerah, pihak sekolah dan perguruan tinggi, LSM dan semua elemen dalam masyarakat. Sebab, persoalan HIV AIDS tidak hanya persoalan sekelompok masyarakat tapi sudah mendunia. Untuk itulah, perlu koordinasi antar elemen untuk menekan penyebaran HIV AIDS.
Pihak medis bisa membantu dengan berbagai penemuan obat atau imun untuk pengidap HIV serta melakukan penyuluhan kesehatan hingga ke pelosok negeri. Sementara itu, para akademisi pun bisa berperan melalui sosialisasi akan bahaya hingga mengajarkan cara bergaul dengan ODHA. Begitupun dengan pemerintah yang merupakan pelayan masyarakat juga harus giat melakukan sosialisasi dan mengimplementasikan strategi penanggulangan HIV AIDS.
Meminimalisir Wanita Terjangkit HIV AIDS
Tes HIV Sebelum Menikah
Menilik berbagai survey di dunia terlebih di Indonesia yang menyebutkan bahwa ada banyak wanita (ibu rumah tangga) yang tertular HIV AIDS akibat ditularkan oleh suaminya, maka tentu hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah mesti cepat menyelamatkan para wanita dari virus mematikan ini agar kelak tidak tertularkan pada anak-anak mereka.
Agar terhindar dari penyakit ini, tidak ada salahnya jika calon pengantin memeriksakan diri dan pasangannya ke dokter untuk cek HIV/AIDS. Sebelum menikah, biasanya banyak tes kesehatan yang harus dilakukan oleh kedua calon mempelai, termasuk tes kesehatan reproduksi. Nah, ketika tes reproduksi dilakukan, calon pengantin pun dianjurkan untuk melakukan cek HIV AIDS.
Tes HIV AIDS yang penulis sarankan bukanlah tes yang akan membawa sebuah bencana bagi orang terinfeksi HIV di Indonesia. Tes ini bukanlah ditujukan untuk merampas hak-hak ODHA sebagai manusia utuh yang membutuhkan pernikahan diusia produktifnya. Tes ini juga bukanlah intervensi kedalam ranah privat warga negaranya, maupun bentuk usaha untuk menghancurkan fondasi program penanggulangan AIDS melainkan upaya menyelematkan generasi penerus dan masyarakat yang tidak terjangkit virus HIV AIDS.

Kendati calon pengantin melakukan tes dan salah satu diantara mereka terjangkit HIV, pernikahan pun tetap bisa dilakukan asalkan kedua belah pihak setuju untuk menikah. Hal ini dirasa cukup adil untuk ODHA dan untuk calon suami/istri. Justru jika tes tidak dilakukan dan akhirnya salah satu pasangan tertular penyakit ini maka akan menjadi tidak adil baginya karena tidak mengetahui bahwa pasangannya terjangkit HIV.
Memang pesimistis sebagian orang akan keberhasilan tes HIV prapernikahan tidak dapat dielakkan, akan tetapi tidak ada salahnya mengantisipasi terlebih dahulu ketimbang hanya berdiam diri dan berharap tidak akan tertular. Strategi ini tentu tidak serta merta menghapus penularan HIV AIDS, karena tertular bisa saja terjadi setelah masa pernikahan meskipun di awal pernikahan belum terjangkit. Kendati demikian, kita selaku manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk menghindari agar tidak terjangkit HIV.
Hindari Sex Bebas dan Narkoba
Guna menghindari terjangkit HIV AIDS, dihimbau masyarakat untuk setia dalam berhubungan sex. Artinya, sangat dilarang untuk berhubungan dengan bergonta-ganti pasangan. Hal ini dilakukan agar meminimalisir terjangkitnya virus dari pasangan yang berganti. Mengkonsumsi narkoba (suntik) pun membuka peluang besar terinveksi HIV. Pasalnya, melalui jarum suntik yang dipakai bersama dapat menularkan virus HIV. (*)

Tidak ada komentar: