Selasa, 29 November 2011

Sumpah Pemuda dan Pengaruh Hedonisme

Marisa Elsera
Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Unand
Bulan Oktober identik dengan bulannya pemuda, karena setiap 28 Oktober, Indonesia memperingati sebagai hari Sumpah Pemuda. Momen yang pertama kali menyatukan bangsa Indonesia dalam keberagamannya sekaligus merupakan bukti yang sangat nyata dimana bangsa Indonesia pertama kali dilahirkan. Tahun 2011 ini, merupakan tahun ke-83 setelah dikumandangkannya Sumpah Pemuda. Meski begitu, perpecahan dan konflik masih sering timbul dimana-mana yang kadangkala bermula dari perselisihan pemuda dan berakhir jadi kerusahan besar.

Inilah wajah Indonesia setelah puluhan tahun Sumpah Pemuda.  Jika pada awalnya semua elemen pemuda Indonesia mulai Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dll bersatu mengikrarkan sumpah pemuda untuk pemersatu bangsa, tapi lain halnya dengan sekarang. Sebagian pemuda kerap mementingkan ego sendiri dan tak sungkan untuk membuat kerusuhan. Sungguh miris jika meliat keadaan sebagian pemuda Indonesia belakangan ini. Ikrar dan kebulatan tekad untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia seperti yang dilakukan para pendahulu nyatanya perlahan mulai terkikis.
Semangat persatuan para pemuda dulu harus diikuti pemuda masa kini, yaitu dengan mengisi kemerdekaan. Semangat mengisi kemerdekaan yang sangat kecil itulah yang justu merusak bangsa. Tak jarang hanya karena sedikit salah paham, para pemuda melakukan tawuran, mulai dari tawuran antarpemuda desa, antar sekolah dan antaruniversitas. Tindakan ini tentunya telah menghancurkan semangat Sumpah Pemuda. Tak hanya emosional yang menjadi persoalan pemuda Indonesia, sifat egois dan individual pun menyulap mereka menjadi apatis dan abai pada lingkungan. Bahkan, tak ayal para pemuda-pemudi Indonesia terjerumus ke dalam narkoba, hura-hura, dan pesta-pora.
Fenomena ini merupakan dampak dari modernisasi yang semakin pesat. Bahkan dengan bangganya para pemuda menjalani gaya hidup yang hedonis, dimana hidup hanya diisi untuk mencari kesenangan semata. Misalnya, senang di tempat keramaian, senang membeli barang-barang mahal yang kadang tidak bermanfaat, lebih banyak bermain dan selalu ingin jadi pusat perhatian. Gaya hidup hedonis ini telah menghipnotis generasi muda dan membuat mereka menjadi makhluk yang emosional, egois dan individual. Tak mengherankan bila sebagian generasi muda kita menjadi apatis dan gampang terpengaruh pergaulan buruk. Sebab, mereka ini tidak memiliki jati diri yang kuat.
Pada akhirnya, adat dan tradisi masa lalu menjadi tergeser dengan adanya perkembangan dunia yang semakin pesat. Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi industrialism, bangsa Barat berhasil merangsak bangsa timur denagn produk-produkya yang ditumpangi oleh warna-warna westernisasi yang sangat kontras dengan moralitas dan religiusitas bangsa timur. Budaya yang dipromisikan secara missal itu merupakan bentuk neo-kolonisme. Ironisnya, para remaja dengan gaya hidup hedonis tidak menyadari ancaman moralitas dan martabat dari invasi tersebut. Mereka justru takluk bahkan menghambakan diri pada budaya hedonis yang merupakan manipulasi westernisasi.
Pengaruh gaya hidup yang demikian tentu tidak terlepas dari peran media massa dalam mensosialisasikannya. Kebanyakan dari media massa hanya mempublikasi eksistensi remaja yang bersifat sementara. Misalnya, seorang remaja dianggap eksistensinya ada jika remaja tersebut masuk menjadi anggota geng motor, menggunakan baju-baju bermerek, menggunakan ponsel Blackberry. Dengan kata lain, eksistensi remaja hanya dihargai sebatas kepemilikan dan status semata. Inilah yang disebut sebagai pendangkalan pemikiran. Jika hal ini terus dipelihara dan dibudidayakan, makna dan penghargaan akan makin jauh. Hasilnya, seperti yang sering terjadi belakangan ini, yakni tawuran, pemerkosaan, komersialisasi organ tubuh, dan trafficking. Inilah indikasi kehancuran kebudayaan yang dimulai dari pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan pemuda.
Untuk membangun kembali semangat persatuan dan kesatuan dikalangan pemuda, dibutuhkan Internalisasi atau proses memaknai kembali makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, hendaknya digali dan diselami. Untuk itu, kita perlu membasmi budaya hedonis dan menggantinya menjadi budaya refleksi. Refleksi adalah usaha melihat kembali sesuatu secara mendalam dengan menggunakan pikiran dan afeksi hingga mendapati nilai yang mulia yang dapat digunakan sebagai bekal hidup.  
Budaya refleksi diharapkan kesan-kesan budaya pop atau budaya hedonis tersebut dapat diendapkan. Segala pengalaman negatif maupun positif dapat dianalisis dan akhirnya diendapkan dalam nurani. Proses inilah yang membuat kaum muda remaja dapat menyadari baik dan buruknya suatu sikap. Diharapkan, kaum muda remaja dapat menindaklanjuti pengalaman yang didapat, sehingga muncul nilai-nilai dari setiap kejadian yang dialami dan menjadi bekal hidup kemudian hari.
Sumpah Pemuda memiliki makna yang mendalam bagi bangsa Indonesia karena berisi ikrar bersatunya tunas-tunas bangsa oleh tanah air, bangsa dan bahasa. Hal ini mengingatkan pada jati diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang senantiasa mempertahankan NKRI dari tantangan, ancaman maupun krisis. Untuk itu, sudah selayaknya kita bersatu dan memperkuat ikatan bangsa dan bertahan dari krisis global yang mengancam ekonomi Indonesia.

Tidak ada komentar: