Selasa, 29 November 2011

Tudingan Pelecehan Tersangka Striptis oleh Oknum Satpol PP

by: Marisa Elsera
Mahasiswi Pascasarjana Unand

Membaca berita haluan, Selasa (8/11) perihal rencana penari striptis yang melaporkan Satpol PP Kota Padang karena tuduhan pelecehan, sama sekali tak membuat saya terkejut. Pasalnya, seminggu setelah penggerebekan Kafe Fellas oleh Satpol PP Kota Padang yang berujung pada penyegelan Kafe, saya diperlihatkan sebuah foto yang menunjukkan dua wanita tanpa pakaian sedang diperiksa oleh Satpol PP.  Secara kasat mata, foto itu tampak asli karena tidak tampak bekas editan yang kentara. Foto itu kemudian di zoom (diperbesar), dan tampak jelas sebuah nama yang terpampang di seragam Satpol PP itu. Namun demi menjaga praduga tak bersalah, saya tak dapat menyebutkan siapa sosok yang sedang memeriksa penari striptis yang tanpa busana itu.
Dari foto yang diperlihatkan seorang teman pada saya, tampak ada beberapa orang lagi yang sedang melihat ke arah dua wanita bugil itu. Dari kacamata masyarakat awam yang memang tidak berada di tempat kejadian, tampak pemandangan yag tidak biasa. Tentunya mereka yang melihat foto itu terkejut karena tak biasa melihat seseorang diintrogasi dalam keadaan tidak mengenakan busana.
Foto itu jadi mengingatkan saya pada kasus pemaksaan bugil seorang tersangka yang dilakukan oleh oknum Kepolisian Yunani, Oktober 2008 lalu.  Ketika itu, media massa di Yunani menyebut insiden tersebut sebagai kasus rasisme luar biasa. Insiden ini telah mencoreng citra polisi Yunani yang sedang berupaya memerangi kejahatan dan kekerasan di ibukota Athena.
Interpretasi saya pada foto yang pernah saya lihat itu nyatanya tak jauh berbeda dengan yang diberitakan Harian Haluan. Dua orang wanita itu yakni SS (21) war­ga Tanah Baroyo, Padang dan NA (21) warga be­lakang pool ALS, Keca­matan Lubeg, Kota Padang oleh Jajaran Polresta Padang me­ngaku akan mem­buat laporan terkait pe­lece­­han seksual yang dilakukan oleh beberapa oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Padang, saat mela­ku­kan penangkapan.
Koran ini menyebutkan, saat berada di dalam ruangan kafe tersebut para penari langsung mengenakan busana. Namun saat itu, sekitar tiga atau empat orang oknum petugas Sat Pol PP memaksa kami untuk membuka baju dan mengambil gambar. Selain itu mereka juga memaksa penari untuk melepaskan pakaian saat akan dibawa keluar ruangan, tapi permintaan itu kami tolak.
Terlepas dari kebenaran asli atau tidak aslinya foto itu serta benar atau tidaknya pengakuan dari penari striptis tersebut, tentunya sudah berdampak pada opini publik. Tak dapat dipungkiri citra Satpol PP pun akan tercoreng jika benar tuduhan dan foto yang terpublikasi ke masyarakat itu benar. Pasalnya, Satpol PP memiliki tugas untuk penegakan berbagai kebijakan daerah serta menjaga ketertiban dan ketenteraman umum justru melakukan tindakan pelecehan seperti yang dituduhkan tersangka striptis itu.
Sebab itulah, kasus ini harus diusut tuntas oleh kepolisian. Jika memang terbukti telah terjadi tindak pelecehan seperti yang dijelaskan oleh tersangka striptis itu, maka oknum Satpol PP tersebut harus ditindak. Namun, jika ternyata tuduhan dan foto itu tidak menjelaskan kebenaran, maka nama Satpol PP pun harus dipulihkan. Sebab, jika sebuah kabar sudah diberitakan di media massa maka ada banyak masyarakat yang akan membaca dan memiliki interpretasi yang berbeda-beda.
Diluar kasus tuduhan pelecehan terhadap tersangka striptis, Satpol PP pun harus tetap berbenah diri ke arah yang lebih baik. Pasalnya, mereka merupakan salah satu mata rantai dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara pada skala lokal dan regional. Satpol PP memiliki kontribusi yang sama besar dengan perangkat daerah lainnya.
Namun tak dapat dipungkiri, bahwa belakangan ini masih terdapat pandangan yang menyudutkan posisi Satpol sebagai penegak kebijakan daerah. Hal ini tidak terplepas dari tugas-tugas Satpol yang sering harus berhadapan langsung dengan masyarakat. Di sinilah dibutuhkan kearifan dan strategi jitu untuk “menjinakkan” masyarakat. Pendekatan dialogis dan manusiawi nampaknya akan lebih baik daripada pendekatan represif yang cenderung memicu konfrontasi langsung dan perlawanan dari masyarakat. Maka dari itu, dituntut kepiawaian untuk membangun citra positif (image building) Satpol di mata masyarakat. Memang untuk melaksanakan hal tersebut masih terdapat kendala.
Kondisi SDM saat ini nampaknya masih kurang mermadai untuk membangun jajaran Satpol PP yang professional. Idealnya anggota Satpol PP berpendidikan minimal SLTA, sehingga diharapkan dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melaksanakan tugas mengamankan berbagai kebijakan daerah. Untuk itu diperlukan berbagai upaya bagi peningkatan keterampilan dan profesionalisme semua anggota.
Dalam hal perhatian dari pemerintah pusat, berbagai upaya senantiasa dilakukan pemerintah untuk memberikan landasan untuk peningkatan kinerja Satpol PP. Salah satunya adalah pembentukan jabatan fungsional Satpol PP yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan kesejahteraan serta pengembangan karier dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara professional.
Kasus Striptis
Kasus pertunjukan striptis di Kafe Fellas, Rabu (28/9) lalu cukup menyentak publik. Masyarakat dari berbagai kalangan mengutuk kejadian itu karena  dianggap telah mencoreng nama baik orang Minang. Selain mencoreng nama baik urang awak, pertunjukan striptis jika dikaji dari segi agama dapat merusak akidah dan secara hukum melanggar  Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Untuk itu, tak mengherankan jika ada banyak pihak yang menghendaki tindakan amoral itu segera diberantas. Pertujukan amoral  yang digelar di Kota Padang jelas mencoreng Ranah Minang yang selama ini menjunjung adat  basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Peristiwa ini juga membuktikan lemahnya pengawasan dari instansi terkait. Bahkan ada isu sumir yang menye­butkan bahwa aparat kepolisian pun turut andil dalam terselenggaranya pertunjukan tersebut.

Upaya pengawasan operasional tempat hiburan malam pun dinilai lemah. Sebab, aparat masih saja terkecoh dengan pertunjukan tari striptis yang digelar. Padahal, jika pengawasan bila berjalan optimal tentu tidak akan terjadi pertunjukan amoral tersebut di kota bingkuang ini.   Sebagai orang timur, pertun­jukan tari telanjang merupakan bentuk degradasi moral atau lebih ekstrimnya penyimpangan moral. Meski demikian, faktanya streaptease (striptis) menjadi sebuah suguhan yang luar biasa untuk memikat pengunjung. Pekerjaan tersebut dilakoni wanita penghibur dan seakan pekerjan tersebut menjadi profesi resmi, karena dikelola pihak tertentu. Kegiatan tersebut banyak ditemui dipusat tempat hiburan seperti diskotik dan hotel di kota-kota besar di Indonesia. Umumnya, suguhan striptis dikelola rapi dan merupakan jaringan terselubung.

Dalam Sosiologi, penyimpangan muncul dari konflik normatif di mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu. Menurut teori control, penyebab kejahatan dapat ditemukan dari lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat atau macetnya integrasi sosial. Kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misal­nya kelas bawah) cenderung melang­gar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konven­sional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan me­nyim­pang dari aturan-aturan kelom­poknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang.

Untuk menyelesaikan serentetan kasus yang diawali dari penangkapan penari striptis hingga berujung pada tudingan pelecehan yang dilakukan Satpol PP Padang pada tersangka, maka Polresta Padang harus menindaklanjuti kasus ini tanpa tebang pilih (diskriminasi). Proses hukum tidak boleh hanya dikenakan terhadap dua wanita penari, tapi juga pemilik kafe dan tiga pria hidung belang penikmat pertunjukan ilegal. Tak hanya itu, jika tersangka striptis benar melaporkan tindak pelecehan itu, maka kepolisian pun harus mengusutnya tanpa pandang bulu pula.
Sebab, semua yang terlibat harus mendapatkan penindakan yang sama. Mereka juga harus ditangkap dan dijadikan saksi. Jika terbukti bersalah harus dijadikan tersangka dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. (*)

Tidak ada komentar: