Marisa Elsera
Mahasiswi Sosiologi Pascasarjana Unand
Mahasiswi Sosiologi Pascasarjana Unand
Kenyataan bahwa Sumatera Barat merupakan daerah rawan bencana, itu benar. Secara geografis, ada banyak potensi bencana yang selalu membuntuti masyarakat. Belum hilang trauma gempa 2009 dan ancaman tsunami untuk daerah pesisir pantai barat, kini ada bencana baru yang patut diwaspadai. Sejak dua bulan lalu, aktivitas Gunung Marapi memang sedikit meningkat dari normal. Bahkan belakangan Harian Haluan, Sabtu (8/10) melansir Gunung yang terletak di Kabupaten Tanah Datar itu sudah mengeluarkan abu vulkanik yang cukup mengganggu aktivitas masyarakat.
Bicara soal bencana tentu tidak akan ada habisnya. Begitupun soal konsep dan SOP penanganan bencana juga terus menjadi perdebatan dan penyempurnaan hingga saat ini. Sejak awal, Negara kita memang tidak siap dalam menghadapi potensi bencana yang ada. Tak hanya pemerintah pusat yang masih tertatih-tatih dalam penanganan bencana, pemerintah daerah pun belum menemukan konsep pas untuk penanganan bencana.
Kondisi Indonesia yang rawan bencana ini hampir mirip dengan kondisi Jepang. Negara Sakura itu telah cukup puas dengan bencana yang datang bertubi-tubi. Namun yang menjadi pembeda, Jepang banyak belajar dari kesalahan dan pengalaman dalam penanganan bencana. Tapi Indonesia masih terjebak dalam teori sementara untuk praktek masih belum siap.
Negara kita, mengakui ketangguhan Jepang dalam menangani bencana alam. Tak hanya bencana gempa dan tsunami saja, tapi Negara matahari terbit itu juga dinilai mampu menangani persoalan bencana seperti letusan gunung berapi. Nah, sebagai negara yang memiliki gunung berapi terbanyak di dunia tentu menghendaki agar penanganan bencana Jepang dapat ditiru oleh negara ini. Tapi sayang, itu baru sekedar komitmen tapi belum ada implikasinya.
Melalui beberapa sumber yang saya himpun, penanganan bencana alam gunung berapi di Jepang memang terlihat sangat handal. Pemerintah Jepang umumnya menempatkan sedikitnya 1 orang profesor dan 3-5 orang doktor untuk memantau pergerakan gunung berapi. Para pengamat ini biasanya dibekali oleh sejumlah sistem dan peralatan penunjang yang sudah canggih dan lengkap.
Sementara untuk Indonesia, seperti yang diungkap Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono, pengamatan gunung berapi umumnya ditangani oleh sedikit ahli. Diketahui dari 5 gunung berapi yang ada di Indonesia, hanya ada 1 orang ahli yang ditempatkan. Padahal saat ini, PVMBG mencatat setidaknya ada 18 gunung berapi yang sudah berstatus diatas normal. Sebanyak 2 gunung berapi berstatus siaga dan 16 lainnya berstatus waspada.
Tidak hanya dari segi sumber daya manusia (SDM), namun dari segi anggaran yang dikeluarkan pemerintah Jepang untuk penanganan bencana jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. Untuk satu gunung saja, Jepang menganggarkan sedikitnya 30 juta Yen untuk pemasangan alat pemantau aktivitas gunung berapi. Di setiap gunung, setidaknya dipasang alat seismik sebanyak 20-30 unit.
Bandingkan dengan Indonesia (pada kasus letusan Gunung Merapi lalu), pemerintah hanya menyediakan alat seismik sebanyak 4 unit dan 1 unit alat berupa laser. Terlihat bahwa kemampuan Jepang untuk mengadakan peralatan dan SDM memang membutuhkan anggaran yang sangat besar. Jepang banyak menggunakan alat yang canggih dan terkomputerisasi karena gaji pegawai disana sangat mahal. Untungnya Indonesia memiliki pengamat yang murah. Saat ini, staf PVMBG kurang dari 400 orang. Dari jumlah itu, sebagian ada yang diperbantukan untuk penanganan bencana di luar gunung berapi seperti longsor, gempa bumi, dan jenis bencana alam lainnya.
Begitulah kondisi penanganan bencana di Indonesia. Potensi bencana begitu banyak, tapi upaya mitigasi masih minim. Pemerintah baik pusat maupun daerah masih semampunya melakukan penanganan bencana. Tampak seperti tidak serius dalam mencari solusi untuk memperkecil jatuhnya korban dalam bencana.
Upaya pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dalam pengawasan aktivitas gunung Marapi memang patut didukung. Terlebih baru-baru ini ada upaya sigap dengan memberikan masker pada warga sekitar gunung karena dikhawatirkan asap yang mengepul akibat aktivitas gunung Marapi akan mengganggu pernafasan tentunya ini merupakan tindakan tepat. Hanya saja, tak cukup sampai disitu, kita butuh SOP yang jelas dan tenaga ahli lebih banyak dalam memantau aktivitas gunung Marapi.
Menghadapi kondisi geografis Sumbar yang demikian, maka tentu pemerintah daerah tidak boleh bersikap lamban apalagi lalai dalam menangani ancaman bencana. Pemerintah harus berbuat lebih cepat untuk mengatasi segala bentuk dampak bencana alam yang terjadi di negeri ini, sebab pada prinsipnya persoalan dampak bencana alam itu bersifat darurat. Segala permasalahan akibat dampak bencana harus cepat, tanggap, dan sigap, dalam penanggulangan bencana, agar tidak banyak korban jiwa dan mengatasi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Keterlambatan penanganan bencana jelas akan menimbulkan dampak besar terhadap kondisi sosial di tengah masyarakat.
Surono pernah mengungkapkan Sumbar perlu memperketat pengawasan terhadap Gunung Talang dan Marapi. Setidaknya, kita perlu menambah alat untuk memantau aktifitas gunung tersebut. Sebab, selain dua gunung di Sumbar itu, ada juga tiga gunung lainnya yang saat ini berstatus waspada pasca gempa di Mentawai yaitu Seulawah Agam (NAD), Anak Krakatau (Lampung) dan Kerinci (Jambi).
Secara keseluruhan, Indonesia memiliki lima gunung api bawah laut. Status kelima gunung api itu perlu diwaspadai sebab masih berpotensi untuk meletus. Meski status Marapi masih waspada, tidak ada salahnya pemerintah dan masyarakat mempersiapkan upaya mitigasi bencana agar saat Marapi meletus, tidak ada korban jiwa yang jatuh. Kendati kita menyadari keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan menghadapi bencana, tapi toh masyarakat terus berharap pemerintah serius menanggulangi bencana ini.
Sebab, dalam penanganan bencana tidak mengenal ketidaksiapan. Terlebih bagi daerah Sumatera Barat yang merupakan swalayan bencana alam, tentunya jauh hari sudah memiliki persiapan matang dalam menghadapi bencana alam. Khusus untuk bencana letusan gunung berapi, tidak hanya Marapi yang perlu dikhawatirkan, sebab Sumbar juga memiliki 2 gunung api aktif lainnya yang menyimpan ancaman bahaya, yakni Talang dan Tandikat. Dengan keberadaan aktifitas kehidupan di Sumatera Barat yang berada disekitar gunung berapi, maka risiko bencana yang ditimbulkan akan sangat besar.
Dengan status waspada ini, maka perlu dilakukan penyuluhan/sosialisasi, penilaian bahaya, pengecekan sarana dan pelaksanaan piket terbatas. Sebab, sesuai dengan tingkatan status waspada pada Gunung Marapi, berarti menandakan adanya peningkatan aktivitas yang meliputi peningkatan level normal, seismik dan kejadian vulkanis lainnya dan magma, tektonik serta hidrotermal.
Kendati baru berstatus waspada, namun pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus tetap siaga menghadapi ancaman bencana yang datang. Pengawasan terhadap aktivitas Marapi juga harus dilakukan secara intensif agar setiap perubahan aktivitas yang terjadi dapat diketahui sehingga penanggulangan bencana dapat dilakukan. Jika tidak diawasi, maka status Marapi dari waspada dapat seketika meningkat menjadi siaga bahkan awas sementara persiapan mitigasi bencana belum sempurna dilaksanakan.
Perlu diketahui, jika status waspada meningkat menjadi awas, tentunya telah terjadi peningkatan intensif kegiatan seismic, aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana. Nah, jika tren peningkatan berlanjut, letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu. Peningkatan status dari siaga ke awas pun terjadi begitu cepat. Dalam beberapa hari saja, letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap. Jika sudah begini, maka tindakan yang harus dilakukan yakni mengosongkan wilayah, koordinasi dilakukan secara harian dan piket penuh.
Guna meminimalisir jatuhnya korban jiwa, maka pemerintah daerah harus sigap mengambil keputusan untuk mengungsikan warga. Begitu aktivitas Marapi dan frekuensi semburan meningkat, saat itulah warga harus diungsikan ketempat yang aman. Meski secara keilmuwan dapat diperkirakan dampak semburan akan menimpa sekian kilometer, tapi pemda tetap harus mempersiapkan kemungkinan terburuk dari bencana yang akan datang.
Seperti yang terjadi di Merapi, Jawa Tengah tahun lalu dimana dampak meletusnya Gunung Marapi menimpa hingga lebih 15 km, maka dari itu perlu Standar Operasi Prosedur (SOP) pengungsian dan penyaluran bantuan yang baik. Setidaknya harus ada cadangan batas evakuasi. Jika misalnya diminta masyarakat yang berada di kawasan 15 km untuk dievakuasi, maka setidaknya harus ada cadangan kawasan 5 km yang perlu dievakuasi. Peristiwa di Gunung Marapi Yogyakarta lalu bisa dijadikan pelajaran agar tidak terjadi kejadian serupa.
Hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam siaga bencana, yakni kemampuan untuk saling berkoodinasi antar instansi dan ketersediaan dana yang cukup penanggulangan bencana alam. Sehingga, tidak ada istilah keterlambatan bantuan, mengingat masyarakat sangat membutuhkan bantuan saat aktivitas masyarakat dihentikan prabencana dan pasca bencana.
Selain melakukan evakuasi, usaha mitigasi dapat dilakukan pemerintah adalah dengan membelokkan aliran lava atau membuat jalur mengalirnya lava menjauh dari permukiman penduduk.
Ketika pemda memutuskan untuk mengungsikan warga, tentu harus ada persiapan yang memadai. Setidaknya semua kebutuhan pokok warga sudah disediakan di pengungsian. Tidak hanya itu, pemerintah pun harus mempersiapkan matapencaharian untuk warga selama berada di pengungsian hingga kembali ke perkampungan pascameletusnya Marapi kelak.
Jika hal itu tidak dilakukan, maka warga tentu tidak akan mau untuk diungsikan dan akan bertahan di kawasan rawan bencana. Pasalnya, matapencaharian dan harta benda mereka ada di kawasan itu, tentu akan sulit untuk berpindah ke tempat asing tanpa kepastian pemenuhan kebutuhan mereka. Jika banyak warga yang bertahan di daerah rawan lalu terjadi bencana, maka pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar