Oleh:
Marisa Elsera
Staff Pengajar di MKU UNP
Kasus bunuh diri bukanlah peristiwa baru di Indonesia. Modus dan penyebab bunuh diri pun beragam. Perhatian masyarakat terhadap kasus bunuh diri pun tidak sampai menghentak public. Berbeda dengan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir yang biasa dipanggil Sondang Hutagalung pada Rabu (7/12) lalu. Kasus ini tidak hanya melibatkan masyarakat secara nasional, tapi juga melibatkan elit-elit politik dan tokoh pembesar Negara. Hebatnya lagi, pelaku pembakaran diri itu diberikan gelar Sarjana Kehormatan oleh Fakultas Hukum Universitas Bung Karno. Lantas, fenomena apa yang sebenarnya terjadi?
Bunuh diri kembali terjadi, tapi kasus kali ini menggelegar hingga ke seantero negeri karena semua media massa baik nasional maupun local memberitakan tentang pembakaran diri yang dilakukan oleh Sondang. Satu hal yang menjadikan kasus bunuh diri Sondang ini begitu hangat diperbincangkan yakni karena lokasi pembakaran diri dilakukan tepat di depan Istana Meredeka. Sejak diketahui tempat kejadian perkara (TKP), maka berbagai statmen pun bermunculan perihal penyebab Sondang Bunuh Diri. Tak dapat dielakkan, penghuni Istana pun dicerca karena dianggap aksi pembakaran itu merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada unsur muatan politik yang memboncengi kasus kematian Sondang.
Tak mau kalah, pihak Universitas Bung Karno (UBK) pun ingin angkat bicara dan menampakkan wujud belasungkawanya karena kehilangan mahasiswa semester 8 itu. Adapun bentuk “perhatian” yang ingin mereka tampilkan yakni berupa pemberian gelar sarjana kehormatan atas Sondang. Sungguh mengherankan, ada banyak pihak yang berupaya memboncengi kematian aktivis kampus itu demi kepentingan kelompoknya.
Terlepas dari urusan politik, kematian Sondang merupakan bentuk dari interaksi yang kompleks atas faktor biologik, genetik, psikologik, sosial, budaya dan lingkungan. Sulit untuk menjelaskan mengenai penyebab mengapa orang memutuskan untuk melakukan bunuh diri, sedangkan yang lain dalam kondisi yang sama bahkan lebih buruk tetapi tidak melakukannya. Meskipun demikian, tindakan bunuh diri atau percobaan bunuh diri pada umumnya dapat dicegah.
Jika melihat nilai dan adat istiadat, maka tak ada alasan yang boleh membenarkan tindakan ini. Dengan adanya penghargaan yang diberikan pihak kampus pada pelaku bunuh diri, jelas ini merupakan contoh yang tidak baik. Nantinya, akan bermunculang Sondang-Sondang lain yang juga melakukan hal yang sama.
Dari kacamata Sosiologi, pemberian gelar sarjana kehormatan ini merupakan bentuk reward yang diberikan pihak kampus pada pelaku. Apabila seseorang melakukan suatu tindakan, dan ia menerima hadiah atas tindakannya tersebut, maka semakin sering ia melakukan dan mengulangi tindakan tersebut. Pada prinsipnya, hadiah adalah hasil dari tindakan positif sedangkan hukuman adalah hasil dari tindakan negatif. Makin tinggi nilai hadiah, maka semakin besar kemungkinan seseorang melakukan sesuatu yang diinginkan. Sedangkan hukuman tidak efisien untuk mengubah perilaku orang, karena mereka dapat bereaksi terhadap hukuman dengan cara yang tidak diinginkan. Jadi sebaiknya tidak memberikan nilai maupun hukuman atas perilaku yang tidak diinginkan, sehingga orang tersebut akan menghentikan tindakannya. Nah, jika tindakan bunuh diri Sondang mendapatkan penghargaan yang sedemikian bahkan disebut-sebut sebagai salah satu pahlawan reformasi (seperti yang diumbar media), maka orang lain akan melakukan hal yang serupa dengan tujuan untuk mendapatkan reward yang serupa.
4 Tipe Bunuh Diri
Sosiolog dari Prancis, Durkheim menjelaskan, sedikitnya ada 4 tipe bunuh diri, yakni Fatalistik, Altruistik, Anomik dan Egoistik. Bunuh diri Fatalistik dilakukan oleh sekelompok orang yang mana dibelakangnya ada kontrol berlebihan, seperti dalam masyarakat budak. Bunuh diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai ikatan sosial yang kuat. Bunuh diri ini dilakukan demi kelompok, hampir seperti bunuh diri ritual Jepang 'Seppuku', yang dilakukan ketika kekacauan melanda masyarakat.
Kemudian, ada istilah bunuh diri Anomik, terjadi pada orang-orang yang tinggal di masyarakat yang tidak mempunyai aturan dan norma dalam kehidupan sosialnya. Hal ini terkait dengan apa yang disebut 'Anomie' atau keadaan dimana anda tidak tahu tempat yang tepat bagi seseorang, seperti menjadi tunawisma atau yatim piatu. Orang tersebut merasa tidak punya apa-apa dan ini berarti berada dalam keadaan tanpa norma dan peraturan yang membimbing dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Sementara itu, bunuh diri egoistic terjadi pada orang yang kurang kuat integrasinya dalam suatu kelompok sosial. Misalnya orang yang hidup sendiri lebih rentan untuk bunuh diri daripada yang hidup di tengah keluarga, dan pasangan yang mempunyai anak merupakan proteksi yang kuat dibandingkan yang tidak memiliki anak. Bunuh diri tipe ini, yakni bunuh diri dimana individu mengupayakan 'penyelamatan serius' terhadap dirinya, misalnya ingin menghindari permasalahan hutang atau percintaan.
Bunuh Diri di Indonesia vs Jepang
Bunuh diri yang dilakukan oleh orang Indonesia umumnya disebabkan karena putus cinta atau kondisi ekonomi. Sementara itu, kalau bunuh diri di Jepang justru karena malu selalu gagal dalam tujuan hidup.
Fenomena bunuh diri yang terjadi di Jepang disebabkan karena di Negara Matahari Terbit itu tidak ada peran agama. Di sekolah tidak diajarkan pelajaran agama, sehingga generasi muda Jepang sekarang ini bisa dibilang tidak punya agama. Mereka memang tidak punya sifat pasrah kepada Tuhan.
Mencegah Bunuh Diri
Masyarakat mempunyai tanggungjawab yang besar untuk mencegah tindakan bunuh diri. Masyarakat seharusnya menciptakan norma perilaku untuk membantu anggota masyarakat bertumbuh dengan cara yang positif, sehat dan merasa sejahtera. Jadi pengaruh positif dari masyarakat dapat mempengaruhi individu untuk berhenti dari perilaku merusak.
Problem besar pada masyarakat yang sedang dalam transisi adalah menurunnya sistem nilai secara bertahap, perubahan yang cepat yang diikuti oleh konflik yang disebabkan oleh adanya peluang baru dan frustrasi yang timbul akibat dari perubahan sosial masyarakat. Masyarakat perlu membangun mekanisme pertahanan sosial yang meliputi pencegahan, terapi dan pelayanan ”after care” untuk mengurangi tindakan bunuh diri.
Problem besar pada masyarakat yang sedang dalam transisi adalah menurunnya sistem nilai secara bertahap, perubahan yang cepat yang diikuti oleh konflik yang disebabkan oleh adanya peluang baru dan frustrasi yang timbul akibat dari perubahan sosial masyarakat. Masyarakat perlu membangun mekanisme pertahanan sosial yang meliputi pencegahan, terapi dan pelayanan ”after care” untuk mengurangi tindakan bunuh diri.
Masyarakat, organisasi dan LSM mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pelayanan pencegahan, pelayanan gawat darurat, dan program pencegahan. Mendata dukungan dari kelompok lokal merupakan langkah penting dalam membuat program dan mengidentifikasi sumberdaya yang ada.
Masyarakat dapat membantu program pencegahan bunuh diri dengan cara mengangkat isu lokal, masalah dan penyebab bunuh diri kepada pengambil keputusan, misalnya memperbaiki kualitas hidup masyarakat ekonomi lemah, mengurangi tindak kekerasan dan kriminalitas, menghilangkan stigma, menghilangkan sikap diskriminasi, mempengaruhi media massa lokal dan memperbaiki informasi data tentang bunuh diri. (*)
1 komentar:
lam knal mampir yah heheh http://dadangt.blogspot.com/
Posting Komentar