Matakuliah Patologi Sosial
A.
Konsepsi Teori Labeling
Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan kontrol sosial menyebabkan
penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut mendorong orang
masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang
dengan pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label.
Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang
adalah berbahaya dan individu merasa
teralienasi. Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan
untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya.
Munculnya teori Labeling menandai mulai
digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu
melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang
berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan.
Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan
individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompok, tetapi dalam
kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan
kelmpoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara
kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang
bertentangan tentang tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971) memberikan simpulan atas asumsi
dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.
2.Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka
yang memiliki kekuasaan.
3.Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia
ditetapkan demikan oleh penguasa.
4.Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak
berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan
non-kriminal.
5.Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling.
6.Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari
pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7.Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang
menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana.
8.Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan
penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9.Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai
deviant(orang yang menyimpang) dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector”
(penolakan dari penolakan) (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)
1. Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.
2.Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka
yang memiliki kekuasaan.
3.Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia
ditetapkan demikan oleh penguasa.
4.Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak
berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan
non-kriminal.
5.Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling.
6.Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari
pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7.Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang
menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana.
8.Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan
penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9.Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai
deviant(orang yang menyimpang) dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector”
(penolakan dari penolakan) (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)
Edwin Lemert (1950) memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif
Pluralis(pandangan banyak orang). Dalam perspektif itu dikatakan bahwa
perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar. Hal ini selaras
dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain terhadap benar
atau tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini
muncuk karena adanya proses interaksi diantara masing-masing individu.
Paradigma yang sesuai adalah Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini
menekankan kepada perbedaan psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma
ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu kualitas dari reaksi sosial
masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori
labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada
proses labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku
kejahatan.
Ilustrasi singkat yang dapat lebih
menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja keluar dari penjara.
Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia lakukan di masa
lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan dari
penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum
penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses
labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap
menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat pada dirinya (sulit
melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu yang baru keluar
dari penjara tersebut dengan masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan
kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas.
Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis
seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk
bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali
kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang
tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya
sebagai penjahat.
B.
Lahirnya Teori
Labeling
Salah satu penyebab kebingungan identitas
remaja adalah labeling. Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling
adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat
kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan
tersebut. Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme
simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan
pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental,
kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan
Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian
dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut
sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian
atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter
yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.
Labeling adalah sebuah definisi yang
ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan
menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada
diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya,
dan bukan pada perilakunya satu per satu. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada
satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang
diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang
devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih
seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak
bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain” “anak yang diberi label bodoh, dan
diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini
“Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan
menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang
biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung
memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang
tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.
Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli
yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri
akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang
memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan
memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan
terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai
akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan
tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan
label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang
melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan
dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang
dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Bagi remaja sangat penting untuk merasa
bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat
respon orang-orang disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya positif
tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar
si anak tersebut, tidak dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon-respon
negatif seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya orang tersebut tidak
bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang
dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan
berpengaruh dalam kehidupannya. Terutama dalam pembentukan identitas si anak
tersebut.
Abad 21 merupakan abad perkembangan yang
sangat pesat, dengan globalisasi sebagai subjek utamanya. Konsep globalisasi
yang mengaburkan batas-batas negara di dunia membawa homogenisasi di seluruh
dunia, baik homogenisasi secara material maupun non material. Selain itu,
modernisasi dan westernisasi sebagai induk dari globalisasi mulai terlihat
dampaknya khususnya bagi bangsa Indonesia sebagai objek dari globalisasi.
Westernisasi sebagai proses peniruan gaya hidup orang barat (Eropa) dan
diterapkan di Indonesia sebagai negara timur kian lama kian meresahkan. Nilai
dan norma sebagai pegangan hidup yang berkembang di masyarakat tidak lagi
menjadi pedoman karena dirasa terlalu ligit dan tidak sesuai dengan
perkembangan zaman. Ketidakpatuhan terhadap nilai dan norma sebagai control
social menimbulkan masalah. Khususnya bagi generasi muda yang memang sedang
berada pada tahap pencarian jati diri dan riskan terhadap “masukan-masukan”
dari luar dengan kurangnya nilai dan norma sebagai filter.
Masalah generasi muda pada umumnya
ditandai oleh 2 ciri yang berlawanan yakni keinginan untuk melawan (misalnya
dalam bentuk radikalisme, delinkuensi, dan lain-lain) dan sikap yang apatis
(misalnya penyesuaian yang membabi buta terhadap ukuran moral generasi tua).
Generasi muda biasanya menghadapi masalah social dan biologis. Apabila
seseorang mencapai usia remaja, secara fisik dia telah matang. Tetapi untuk
dapat dikatakan dewasa dalam arti social masih diperlukan factor-faktor
lainnya. Dari masalah-masalah yang timbul pada generasi muda, ketika kemudian
masalah tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan menimbulkan penyimpangan
social yang dilakukan sebagai wujud kekecewaan dan karena tidak ada norma yang
menjadi pegangan hidup misalnya pergaulan bebas, homoseksual, perampokan,
pencurian dan lain-lain bahkan menjurus pada perilaku kejahatan.
Adanya perilaku menyimpang yang
dilakukan remaja sebagai generasi penerus bangsa, tentunya harus mendapat
perhatian khusus dalam mengatasinya. Sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji
tentang masyarakat dan fenomena social yang ada didalamnya sedikit banyak dapat
membantu mengatasi dan mencari tahu tentang perilaku menyimpang yang terjadi
dengan berbagai kajian sub disiplin ilmunya, karena sosiologi tidak akan
membahas tentang baik buruk dan benar salahnya suatu kejadian, melainkan akan
membahas tentang fakta social dari kejadian tersebut.
Menurut Ronald A Hordert , perilaku
menyimpang adalah sikap tindakan yang melanggar keinginan-keinginan bersama
sehingga dianggap menodai kepribadian kelompok yang akhirnya si pelaku dikenai
sanksi. Keinginan bersama yang dimaksud adalah system nilai dan norma yang
berlaku.
Teori dan Pandangan terhadap Kehidupan Remaja :
Teori dan Pandangan terhadap Kehidupan Remaja :
1. Teori Differential Association
Teori ini dikembangkan oleh E.
Sutherland, menurut perilakunya menyimpang yang dilakukan remaja sesungguhnya
merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Selanjutnya, menurut Sutherland
perilaku menyimpang dapat ditinjau melalui sejumlah proporsi guna mencari akar
permasalahan dan memahami dinamika perkembangan perilaku.
a)
Perilaku
remaja merupakan perilaku yang dipelajari secara negatif dan berarti perilaku
tersebut tidak diwarisi (genetik)
b)
Perilaku
menyimpang yang dilakukan remaja dipelajari melalui proses interaksi dengan
orang lain dan proses komunikasi dapat berlangsung secara langsung dan melalui
bahasa isyarat
c)
Proses
mempelajari perilaku biasanya terjadi pada kelompok dengan pergaulan yang
sangat akrab. Dalam keadaan ini biasanya mereka cenderung untuk berkelompok
dimana ia diterima sepenuhnya dalam kelompok tersebut, termasuk dalam hal ini
mempelajari norma-norma dalam kelompok
d)
Apabila
perilaku menyimpang remaja dapat dipelajari, maka yang dipelajari adalah teknik
melakukannya motif atau dorongan serta alasan pembenar termasuk sikap
e)
Arah
dan motif serta dorongan dipelajari melalui definisi dan peraturan hukum
f)
Seseorang
yang melakukan perilaku menyimpang karena akses dari pola pikir yang lebih
mendalam aturan hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya penyimpangan
2. Teori Anomie
Teori ini dikemukakan oleh Robert
K Merton dan berorientasi pada kelas. Menurutnya, perbedaan kesempatan akibat
adanya kelas social menimbulkan frustasi di kalangan masyarakat, sehingga
muncul ketidakpuasan, frustasi, konflik, depresi dan penyimpangan periaku
muncul sebagai akibat kurangnya atau tidak adanya kesempatan mencapai tujuan.
3. Teori Kenakalan Remaja
Teori ini dikemukakan oleh Albert
K. Cohen. Focus perhatian teori ini terarah pada suatu pemahaman bahwa perilaku
menyimpang banyak terjadi di kalangan laki-laki kelas bawah yang kemudian
membentuk “gang”. Perilaku menyimpang merupakan cerminan dan ketidakpuasan
terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang cenderung mendominan.
Menurut Cohen, para remaja umumnya mencari status tetapi tidak semua remaja
dapat melakukannya karena adanya perbedaan dalam struktur social.
4. Teori perbedaan kesempatan
Teori ini dikemukakan oleh
Cloward dan Ohlin. Menurut mereka terdapat 3 jenis subkultur tipe gang
kenakalan remaja, yaitu :
a. Criminal Subculture, bilamana
masyarakat secara penuh berintegrasi, gang akan berlaku sebagai kelompok para
remaja yang belajar dari orang dewasa
b. Retreatist Subculture, pada tipe
ini gang lebih banyak mengutamakan pencarian uang untuk tujuan mabuk-mabukan,
mengkonsumsi narkoba dan lain-lain
c. Conflict Subculture, pada
masyarakat ini yang tidak terintegrasi akan menyebabkan lemahnya organisasi.
Gang tipe ini memperlihatkan perilaku yang bebas seperti kekerasan perampasan
dan lain-lain
5. Teori Netralisasi
Teori ini dikembangkan oleh Matza
dan Sykes. Menurut teori ini orang yang melakukan perilaku menyimpang
disebabkan adanya kecenderungan untuk merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai
menurut persepsi dan kepentingan mereka sendiri. Penyimpangan perilaku
dilakukan dengan cara mengikuti arus perilaku lainnya melalui sebuah proses
pembenanan (netralisasi). Berbagai bentuk netralisasi yang muncul antara lain :
a) The denial of responsibility,
mereka menganggap dirinya sebagai korban dan tekanan-tekanan social misalnya
kurangnya kasih sayang, pergaulan kurang baik
b) The denial of injury, mereka
berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak mengakibatkan kerugian besar
di masyarakat
c) The denial of victims, mereka
biasanya menyebut dirinya sebagai pahlawan
d) Condemnation of the condemnesr,
mereka beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan mereka adalah orang yang
munafik
e) Appeal to higher loyality, mereka
beranggapan bahwa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat luas dan hukum
dengan kepentingan kelompok minoritas dimana mereka berasal
6. Teori Kontrol
Teori ini beranggapan bahwa
individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya
yakni tidak melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang
(tidak baik). Seseorang yang terlepas dari ikatan social dengan masyarakatnya
akan cenderung berperilaku bebas untuk melakukan penyimpangan. Manakala dalam
masyarakat lembaga control social tidak berfungsi secara maksimal maka akan
mengakibatkan melemahnya atau terputusnya ikatan social anggota masyarakat
dengan masyarakat secara keseluruhan dan akibatnya anggota masyarakat akan
leluasa untuk melakukan perilaku menyimpang.
7. Teori Labeling
Teori labeling ini pada
prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak
normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-orang
lain (orang tua, keluarga, masyarakat) menilainya. Kedua, penilaian itu berubah
dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa
dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau
sebaliknya.
a. Labelling menurut Lemert
a. Labelling menurut Lemert
Menurut Edwin M. Lemert,
seseorang melakukan penyimpangan dari proses labeling (pemberian julukan/cap)
yang diberikan masyarakat kepadanya. Penyimpangan yang dilakukan itu mula-mula
berupa penyimpangan primer. Akibatnya si penyimpang di cap sesuai penyimpangan
yang dilakukan, seperti pencuri atau penipu. Sebagai tanggapan atas cap
tersebut, si penyimpang primer mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang
dan mengulangi perilaku penyimpangan tersebut, sehingga penyimpangan yang
dilakukannya berubah menjadi penyimpangan sekunder.
b. Labelling menurut Mead
Lahirnya teori penjulukan
(labeling Theory), diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dari
Herbert Mead dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan
pengujiannya dalam berbagai bidang seperti kriminologi, kesehatan mental
(pengidap schizophrenia) dan kesehatan, serta pendidikan. Teori penjulukan dari
studi tentang deviant di akhir tahun 1950 dan awal tahun 1960 yang merupakan
penolakan terhadap teori consensus atau fungsionalisme structural. Awalnya,
menurut teori structural deviant atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku
yang ada yang merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma social.
c. Teori labeling Micholowsky
Kejahatan merupakan kualitas dari
reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang. Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat. Umumnya
tingkah laku seseorang dicap jahat menyebabkan orangnya juga diperlakukan
sebagai penjahat. Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat
terjadi dalam proses interaksi, dimana interaksi tersebut diartikan sebagai
hubungan timbal balik antara individu, antar kelompok dan antar individu dan
kelompok. Terdapat kecenderungan dimana seseorang atau kelompok yang dicap
sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.
Dari beberapa penjelasan diatas
maka jelas sudah bahwa perkembangan ilmu sosiologi sangat bermanfaat bagi
masyarakat. Kajian sosiologi akan merambah ke segala disiplin ilmu lainnya,
ketika ilmu Tersebut telah berkaitan dengan hehidupan social masyarakat.
Berbagai kejadian dan fenomena kehidupan masyarakat dapat dikaji dengan
disiplin ilmu sosiologi, dari aspek politik, budaya, ekonomi, agama dan
lain-lain karena kaitannya dengan masyarakat sebagai kajian utama sosiologi.
Eksistensi sosiologi telah diawali oleh pemikiran Emile Durkheim mengenai teori
bunuh diri, yaitu individu melakukan bunuh diri bukan berasal dari factor
internal individu (Psikologis) melainkan karena factor integrasi dari
lingkungan sosialnya.
Perilaku Menyimpang dan Pengendalian
Mengidentifikasi
berbagai perilaku menyimpang dan pengendalian sosial dalam masyarakat
A.
Perilaku menyimpang
Perilaku menyimpang adalah semua
tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem
sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk
memperbaiki perilaku yang menyimpang tersebut. Perilaku menyimpang ditentukan
batasannya oleh norma-norma kemasyarakatan yang berlaku dalam suatu budaya
sehingga pengertian perilaku menyimpang berbeda-beda di setiap masyarakat.
Ada dua proses pembentukan perilaku
menyimpang yaitu:
a)
Penyimpangan
sebagai hasil sosialisasi dari nilai-nilai subkebudayaan menyimpang
Perilaku menyimpang bersumber pada pergaulan yang berbeda. Pergaulan dengan kawan yang kurang baik mengakibatkan perilaku menyimpang
Perilaku menyimpang bersumber pada pergaulan yang berbeda. Pergaulan dengan kawan yang kurang baik mengakibatkan perilaku menyimpang
b)
Penyimpangan
dari sosialisasi yang tidak sempurna. Proses ini terjadi karena nilai dan norma
yang dipelajari kurang dapat dipahami dalam proses sosialisasi sehingga orang
tidak mempertimbangkan resiko dan melakukan penyimpangan.
B.
Bentuk-Bentuk
Penyimpangan
Perilaku
menyimpang dibedakan menjadi dua yaitu:
1. perilaku
menyimpang primer, bersifat sementara dan masyarakat masih bisa menerima.
2. perilaku
menyimpang sekunder, secara khas dilakukan secara terus-menerus sehingga
menjadi dominan dalam kehidupan pelaku dan dikenal umum oleh masyarakat
Robert
M.Z Lawang mengemukakan macam penyimpangan yaitu:
1.
Perilaku menyimpang yang dianggap sebagai kejahatan atau criminal
2.
Penyimpangan seksual
3.
Penyimpangan dalam bentuk gaya hidup, misalnya penjudi, pemabok
4.
Penyimpangan dalam bentuk konsumsi yang berlebih, misalnya alkoholisme
Light,
Keller dan Calhoun membedakan tipe kejahatan menjadi:
1. Kejahatan tanpa korban, misalnya konsumsi narkoba
2. Kejahatan terorganisir, misalnya perdagangan perempuan, sindikat, mafia peradilan
3.Kejahatan kerah putih, yaitu kejahatan yang dilakuakn oleh orang yang memiliki kedudukan dan
pengetahuan tinggi, misalnya penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan, korupsi
4. Kejahatan koorporat, yaitu kejahatan yang dilakukan atas nama perusahaan yang bertujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian, misalnya pembuangan limbah di laut, kejahatan terhadap konsumen
1. Kejahatan tanpa korban, misalnya konsumsi narkoba
2. Kejahatan terorganisir, misalnya perdagangan perempuan, sindikat, mafia peradilan
3.Kejahatan kerah putih, yaitu kejahatan yang dilakuakn oleh orang yang memiliki kedudukan dan
pengetahuan tinggi, misalnya penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan, korupsi
4. Kejahatan koorporat, yaitu kejahatan yang dilakukan atas nama perusahaan yang bertujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian, misalnya pembuangan limbah di laut, kejahatan terhadap konsumen
Berdasarkan
banyaknya pelaku penyimpangan dibedakan menjadi:
1. penyimpangan individual
1. penyimpangan individual
2.
penyimpangan kelompok
3.
penyimpangan campuran
C. Teori-teori Perilaku Menyimpang
Teori Differential Association (kelompok
yang berbeda) oleh Edward H. Sutherland
Sutherland memandang bahwa perilaku menyimpang bersumber dari pergaulan yang berbeda, artinya seorang individu mempelajari perilaku menyimpang dari interaksinya dengan seorang individu yang berbeda latar belakang asal, kelompok dan budaya. Misalnya seseorang yang ingin berprofesi sebagai perampok maka ia mempelajari (berinteraksi) cara-cara merampok dengan teman-temannya yang terlebih dahulu jadi perampok.
Sutherland memandang bahwa perilaku menyimpang bersumber dari pergaulan yang berbeda, artinya seorang individu mempelajari perilaku menyimpang dari interaksinya dengan seorang individu yang berbeda latar belakang asal, kelompok dan budaya. Misalnya seseorang yang ingin berprofesi sebagai perampok maka ia mempelajari (berinteraksi) cara-cara merampok dengan teman-temannya yang terlebih dahulu jadi perampok.
1)
Teori
Psikologi dari Sigmud Freud
Perilaku menyimpang terjadi karena id
tidak bisa dikendalikan oleh ego yang seharusnya dominan maupun superego yang
tidak aktif. Id adalah bagian diri yang tidak sadar atau naluri, ego adalah
bagian diri yang bersifat sadar dan rasional. Superego adalah bagian diri yang
telah menyerap nilai dan norma dan berfungsi sebagai suara hati
2)
Teori
K. Merton
Perilaku menyimpang timbul karena anomi
yaitu adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara yang
dipakai untuk mencapai tujuan budaya tersebut. Menurut K Merton terdapat lima
cara pencapaian tujuan budaya dari cara yang wajar sampai dengan yang
menyimpang.
Tipologi adaptasi individu dari K Merton
Tipologi adaptasi individu dari K Merton
3)
Teori
Fungsi dari Emile Durkheim
Menyatakan bahwa tercapainya kesadaran
moral dari semua anggota masyarakat karena faktor keturunan, perbedaan
lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Artinya kejahatan itu selalu ada, sebab
orang yang berwatak jahat pun akan selalu ada. Bahkan Durkheim berpangan bahwa
kejahatan itu perlu agar moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal
D. Sebab-sebab Perilaku Menyimpang
1.
sikap mental yang tidak sehat
2.
keluarga yang broken home
3.
pelampiasan rasa kecewa
4.
pengaruh lingkungan dan media massa
5.
dorongan kebutuhan ekonomi
6.
keinginan untuk dipuji atau gaya-gayaan
7.
proses belajar yang menyimpang
8.
ketidaksanggupan menyerap norma budaya
9.
adanya ikatan sosial yang berlebihan
10.
akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang
11.
akibat kegagalan dalam proses sosialisasi
E. Pengendalian Sosial
Pengendalian Sosial (social control)
adalah segenap cara dan proses pengawasan yang direncanakan atau tidak
direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, mendidik, atau bahkan memaksa
warga masyarakat agar mematuhi norma dan nilai yang berlaku
H. Fungsi Pengendalian Sosial
H. Fungsi Pengendalian Sosial
1.
Mempertebal
keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma
2.
Memberikan
imbalan kepada warga yang mentaati norma
3.
Mengembangkan
rasa malu
4.
Mengembangkan
rasa takut
5.
Menciptakan
sistem hokum
Pengendalian
sosial dapat dilaksanakan melalui
1. Sosialisasi
Sosialisai dilakukan agar anggota masyarakat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa melalui jalur formal dan informal
2. Tekanan Sosial
1. Sosialisasi
Sosialisai dilakukan agar anggota masyarakat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa melalui jalur formal dan informal
2. Tekanan Sosial
Tekanan Sosial
perlu dilakukan agar masyarakat sada dan mau menyesuaikan diri dengan aturan
kelompok. Masyarakat dapat memberikan sanksi terhadap individu yang melanggar
aturan kelompok
I.
Peranan
Pranata Sosial Paksaan.
Usaha penanaman pengetian tentang nilai
dan norma kepada anggota masyarakat diberikan dalam Pengendalian Sosial :
1. Polisi
Polisi merupakan salah satu pranata sosial
yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban
2. Pengadilan
2. Pengadilan
Unsur pengadilan
terdiri dari hakim, jaksa, panitera, pengacara dan polisi
Unsur-unsur tersebut bertugas menyelenggarakan pengadilan terhadap individu yang melanggara norma hukum yang berlaku
Unsur-unsur tersebut bertugas menyelenggarakan pengadilan terhadap individu yang melanggara norma hukum yang berlaku
3.
Adat
Adat merupakan tata kelakuan yang kuat
sehingga merupakan hukum non formal bagi masyarakat. Ketika terjadi pelanggaran
terhadap adat maka masyarakat akan memberikan cemooh, gunjingan hingga
pengucilan
4.
Tokoh
Masyarakat
Tokoh masyarakat adalah seseorang yang
dianggap mempunyai kelebihan tertentu dan menjadi penuntun di masyarakat
sekitarnya
5.
Sekolah
Sekolah merupakan cara pengendalian yang efektif karena merupakan media sosialisasi yaitu wadah pembelajaran siswa dalam bertingkahlaku. Di sekekolah siswa dapat melakukan pembiasaan dan tersistimatis. Adapun pelaksanaannya juga terprogram menurut kurikulum tertentu
Sekolah merupakan cara pengendalian yang efektif karena merupakan media sosialisasi yaitu wadah pembelajaran siswa dalam bertingkahlaku. Di sekekolah siswa dapat melakukan pembiasaan dan tersistimatis. Adapun pelaksanaannya juga terprogram menurut kurikulum tertentu
6.
Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pengendalian secara non formal dan keluarga juga merupakan media sosialisasi. Dalam keluarga orang tua mengendalikan perilaku anak-anaknya agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dengan cara mendidik, mensosialisasi, menasehati, menegur dan bahkan menghukum agar anak kembali mematuhi nilai dan norma yang berlaku
Keluarga merupakan lembaga pengendalian secara non formal dan keluarga juga merupakan media sosialisasi. Dalam keluarga orang tua mengendalikan perilaku anak-anaknya agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dengan cara mendidik, mensosialisasi, menasehati, menegur dan bahkan menghukum agar anak kembali mematuhi nilai dan norma yang berlaku
10 komentar:
halo... aku boleh minta daftar pustaka penjelasan yang kamu tulis ini ga?
kalo bisa kirim ke
sophiemorore@gmail.com
buat tugasku
makasih bgt ya...
numpang tanya dunk, batasan labelling itu sperti apa sih? apa hanya disebut labelling saat menjadi julukan, atau bisa muncul dlm bentuk lainnya?
boleh minta daftar pustaka penjelasan tentang teori labelling edwin m lemert yang kamu tulis ga ?
kalau bisa tolong send via email ini ya kak @diahrohmatullaeli1052@gmail.com
buat melengkapi skripsiku
terimakasih
Boleh mintak daftar pustaka tentang pembahasan ini tidak?
Kalok boleh kirim ke faizh.faizha@gmail.com ya
halo boleh mintak daftar pustaka tentang pembahasan ini tidak ? kaloau boleh kirim ke via email yemimanath@gmail.com
terimakasih ^^
Boleh minta daftar pustakanya gak? Kalo boleh kirim via email rnuraeni371@gmail.com
kak boleh minta daftar pustakanya gak? via email permatasasariekaputri@gmail.com pliss :) makasih
halo kak, boleh minta daftar pustakanya engga yaa? via email kinanadini20@gmail.com, terima kasih banyak kak sebelumnya :)
Posting Komentar