Rabu, 02 Oktober 2013

OTORITAS NEGARA


Negara dan Masyarakat Sipil
Pertemuan IV

Negara memiliki otoritas yang membebaskannya  dari pengaruh “eksternal”. Hal ini menimbulkan tiga konsekuensi, yaitu:
1.      Bahwa negara yang dikatakan bebas akan mampu “menang dalam melawan” tekanan-tekanan dari masyarakat sipil.
2.      Bahwa tindakan negara dipandang sebagai tidak dipengaruhi oleh satu kelompok manapun atau antarkelompok manapun.
3.      Bahwa negara dianggap mampu menolak atau menahan tekanan dari luar.
Pendekatan-pendekatan berbasis masyarakat, yang terdiri dari:
A.    Pendekatan utilitarian (Nordlinger)
Definisi negara yang didasarkan pada pemikiran utilitarian yang dipahami pada semua individu yang memegang jabatan di mana jabatan ini memberikan kewenangan kepada individu untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang dapat mengikat pada sebagian atau keseluruhan dari segmen-segmen dalam masyarakat. 
Ada dua hal penting dalam negara menurut pendekatan ini, yaitu
1.      Negara terdiri dari beberapa individu. 
2.      Negara terpisah dari masyarakat di mana ini terikat untuk mematuhi keputusan-keputusan negara.  Dalam pandangan ini, otonomi negara adalah berbentuk kemampuan dari para pejabat negara untuk dapat melaksanakan pilihan-pilihan mereka dengan cara menerjemahkan ke dalam kebijakan publik, yang bisa selaras atau bisa bertentangan dengan pilihan-pilihan dari orang lain yang bukan pejabat negara. 
Salah satu aliran pendekatan utilitarian adalah aliran pluralisme, yang memandang bahwa negara memiliki peran sebagi fasilitator belaka. Pluralisme sebagai sebuah teori sosial memberikan peran yang kecil bagi negara.  Menurut pluralisme, otonomi negara adalah fenomena yang ada secara empris dan tidak dapat dijelaskan (anomali). Pendekatan korporatis, yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok masyarakat tidak selalu melakukan penggabungan secara bebas, sehingga tidak bisa mencerminkan realita sosial yang tengah berlangsung.
B.     Pendekatan Marxian
Negara dipandang memiliki kepentingan sendiri yang ideologis, bahwa kepentingan negara harus disimpulkan dari pemahaman tentang bagaimana struktur dari masyarakat dan bagaimana mempertahankan kohesi sosial, sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi kekayaan pribadi dalam jangka panjang oleh individu-individu di dalamnya.  Kepentingan yang hendak dicapai oleh negara adalah kepentingan untuk mempertahankan tatanan sosial tertentu.
Meskipun kedua teori baik marxis maupun utilitarian memfokuskan perhatian kepada analisa kepentingan dan tatanan sosial. Namun keduanya sama-sama tidak mampu menghasilkan teori tentang sebuah negara yang mampu menjaga tatanan masyarakat yang diperlukan agar kepentingan-kepentingan sempit itu bisa dikejar oleh indivu-individu dalam masyarakat.
Untuk membuktikan bahwa cara kerja dari perekonomian kapitalis membawa dampak politik, Marx mengajukan kritik terhadap pandangan klasik tentang pasar yang meregulasi dirinya sendiri. Dia melakukan kritik bukan dengan tujuan untuk membenarkan konsep kapitalisme yang dikendalikan negara, melainkan untuk menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama. 
Pembuktian dari pernyataan bahwa kapitalisme tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama, menggunakan konsep kesadaran kelas antara kelas pekerja dan kelas kapitalis akan memperjelas gap antara kaum pekerja dengan kaum kapitalis atau pemilik modal. Seperti dalam penelitian yang dilakukan marx yang di sampaikan Charles Bettelheim 1985, dimana akibat dari hubungan produksi (reletion of production) menjadikan sebuah masyarakat menjadi beberapa kelas. Perlu diperhatikan bahwa pertentangan antara kelas buruh dan kelas majikan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap hati atau moralitas masing-masing pihak. Pertentangan antara mereka bukan karena buruh iri atau majikan egois, melainkan karena kepentingan dua kelas itu secara objektif berlawanan satu sama lain. Tentang sikap para buruh, Marx menulis: Masalahnya bukan apa yang dibayangkan sebagai tujuan oleh seseorang proletar . Menurut Marx, setiap kelas social bertindak sesuai dengan kepentingannya dan kepentingan itu ditentukan oleh situasinya yang objektif.
Pada kelas majikan hal itu berarti bahwa mereka berkepentingan untuk mengusahakan laba sebanyak mungkin. Bukan karena para pemilik secara probadi rakus atau asocial, melainkan karena hanya dengan mencapai laba mereka dapat mempertahankan diri dalam persainngan di pasar bebas. Dan karena itu, setiap majikan dengan sendirinya akan menekan biaya tenaga kerja buruh yang dibelinya serendah mungkin. Begitu pula sebaliknya. Denghan sendirinya kelas buruh berkepentingan untuk mendapat upah sebanyak-banyaknya, untuk mengurangi jam kerja dan untuk menguasa sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka dan dengan demikian untuk mengambil alih pabrik temoat mereka bekerja dari tangan kelas pemilik. Kelihatan bahwa secara objektif kepentingan dua kelas itu bertentangan. Majika yang bersikap social pun serta buruh yang berkomunikasi baik dengan pemilik pabrik secara objektif, tetap  mempunyai kepentingan yang bertentangan.
Marx menilai, struktur kekuasaan yang ditandai dengan adanya kelas bawah dan kelas atas  tidak saja terjadi dalam bidang ekonomi tapi juga terjadi dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa Negara secara hakiki merupakan Negara kelas, artinya Negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi.
Karena itu, menurut Marx, Negara bukanlah lembaga di atas masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi Negara pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelas-kelas atas. Negara bukanlah sang wasit netral yang melerai perselisihan yang timbul dalam masyarakat secara adil serta mengusahakan kesejahteraan umum. Jadi Negara tidak netral, melainkan selalu berpihak. Sebagaimana ditulis oleh Friedrich Engels: “Negara… bertujuan untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa,”  
Maka, kebanyakan kebijakan Negara akan menguntungkan kelas-kelas atas, Negara dapat aja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, misalnya dengan membangun sarana transportasi , menyelenggarakan persekolahan umum, dan melindungi masyarakat terhadap tindak criminal. Tetapi tindakan ini pun demi kepentingan kelas atas, karena kelas atas pun tidak dapat mempertahankan diri, apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan. Kalau sesekali Negara mengadakan perbaikan social, hal itu adalah untuk menenangkan rakyat dan untuk mebelokkan perhatiannya dari tuntuntan perubahan yang lebih fundamental. Negara pura-pura bertindak atas nama kesejahteraan seluruh rakyat, tetapi sebenarnya itu hanya siasat untuk mengelabui kelas-kelas pekerja.
Perspektif Negara kelas dapat menjelaskan mengapa yang biasanya menjadi korban pembangunan adalah rakyat kecil, mengapa pencuri kecil sering dihukum lebih keras dari pada koruptor besar dan mengapa persentase orang kecil dalam penjara lebih besar dari pada persentase mereka dalam masyarakat. Kita sering menyaksikan orang kecil tidak mempunyai akses terhadap hukum. Sehingga, orang besar terlindung, tetapi orang kecil tidak.
Oleh sebab Negara dianggap selalu merupakan Negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas, Negara dalam perspektif Marx termasuk lawan, bukan kawan, orang kecil. Orang kecil hendaknya tidak mengharapkan keadilan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari Negara, karena Negara adalah justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga kerja orang kecil. Negara memungkinkan kelas atas untuk memperjuangankan kepentingan khusus mereka “sebagai kepentingan umum” (bdk.GI MEW 3,34 dalam Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.
C.     Pendekatan statisme.
Pendekatan ini berbeda dengan teori berbasis masyarakat di mana yang mejadi faktor penyebab pemicu adalah pilihan pribadi (menurut teori utilitarian) atau kondisi material yang dihadapi individu (menurut teori marxis) yang kemudian menyebabkan terbentuknya tuntutan politik secara terorganisir (seperti lewat kelompok kepentingan atau partai) yang di sodorkan kepada negara.
Dalam pendekatan Statisme ini, penulis mencoba mengutip pemikiran Krarsner yang memahami negara sebagai sejumlah peran dan institusi yang memiliki dorongan dan tujuan khusus yang berbeda dari kepentingan kelompok tertentu mana pun dalam masyarakat. Di mana tujuan dari suatu negara sebagai kumpulan dari keinginan individu-individu atau kelompok-kelompok adalah sebuah kesalahan yang sangat mendasar, karena tujuan negara merujuk pada kegunaan (utility) dan dapat disebut sebagai kepentigan umum masyarakat atau kepentingan nasional
Masih dalam konteks pemikiran Kresner yang digunakan penulis, dalam pandangannya negara dipahami sebagai institusi yang bertanggugjawab menentukan nilai-nilai yang digunakan untuk menentukan kegunaan masyarakat. Hal yang menarik dari pendekatan Krasner adalah bahwa perbedaan antara negara dengan masyarakat tidaklah paralel dengan pembedaan antara wilayah publik dan wilayah pribadi. Krasner secara eksplisit memandang bahwa tindakan negara memiliki hubungan dengan ideologi, dan meskipun Krasner telah berusaha untuk menghubungkan ideologi  dengan kepentingan pribadi, namun hubungan yang dihasilkanya belum dikatakan kuat.
Secara tersirat apa yang dipaparkan penulis yang memiliki keterkaitan dengan teori-teori tentang otonomi negara telah menunjukan kepada kita keterbatasan dari metode-metode yang digunakanya untuk memahami hubungan antara negara dengan masyarakat.  Sehingga kurang dapat menunjukan perubahan-perubahan apa yang perlu dilakukan terhadap konsep kepentingan pribadi agar dapat menampung ide tentang negara yang mampu berperan aktif.
D.    Pendekatan Transformasional
James A. Caporaso dan David P. Levine juga mendeskripsikan mengenai Pendekatan transformasional terhadap negara.  Dalam pendekatan ini, otonomi negara dipahami dalam dua artian.
1.      Otonomi negara dipahami sebagai agenda negara yang berbeda dari agenda kepentingan pribadi dan tidak bisa ditentukan berdasarkan kepentingan-kepentingan pribadi dari individu-individu dalam masyarakat. 
2.      Otonomi negara sejauh ini dianggap sebagai kemampuan negara untuk melaksanakan kemampuannya sendiri.  Dengan kata lain dalam otonomi negara menurut pandangan ini terdapat suatu kemampuan untuk membuat tujuan dan kemudian mencapai tujuan tersebut.
Pemikiran dalam tulisan inipun tidak terlepas dari konseptual dasar mengenai teori negara yang berasal dari Max Weber yang menyatakan bahwa negara adalah struktur organisasional yang memiliki instrumen kekuasaan dan pelaku-pelaku yang berhak atau memiliki legitimasi untuk melakukan kekrasan (force).  Konsep pembeda yang menjadi kunci dalam pandangan Weber berkaitan dengan teori-teori lainnya adalah adanya legitimasi, yang memandang bahwa negara memiliki hubungan dengan tujuan publik atau kepentingan publik sehingga hubungan antara negara dengan perekonomian menjadi erat kaitannya dengan wilayah publik dan wilayah pribadi.



Tidak ada komentar: