Negara dan Masyarakat Sipil
Pertemuan IV
Negara memiliki
otoritas yang membebaskannya dari
pengaruh “eksternal”. Hal ini menimbulkan tiga konsekuensi, yaitu:
1. Bahwa negara
yang dikatakan bebas akan mampu “menang dalam melawan” tekanan-tekanan dari
masyarakat sipil.
2. Bahwa tindakan
negara dipandang sebagai tidak dipengaruhi oleh satu kelompok manapun atau
antarkelompok manapun.
3. Bahwa negara
dianggap mampu menolak atau menahan tekanan dari luar.
Pendekatan-pendekatan
berbasis masyarakat, yang terdiri dari:
A.
Pendekatan utilitarian (Nordlinger)
Definisi
negara yang didasarkan pada pemikiran utilitarian yang dipahami pada semua
individu yang memegang jabatan di mana jabatan ini memberikan kewenangan kepada
individu untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang dapat mengikat
pada sebagian atau keseluruhan dari segmen-segmen dalam masyarakat.
Ada dua hal
penting dalam negara menurut pendekatan ini, yaitu
1. Negara terdiri
dari beberapa individu.
2. Negara terpisah
dari masyarakat di mana ini terikat untuk mematuhi keputusan-keputusan
negara. Dalam pandangan ini, otonomi negara adalah berbentuk kemampuan
dari para pejabat negara untuk dapat melaksanakan pilihan-pilihan mereka dengan
cara menerjemahkan ke dalam kebijakan publik, yang bisa selaras atau bisa
bertentangan dengan pilihan-pilihan dari orang lain yang bukan pejabat
negara.
Salah
satu aliran pendekatan utilitarian adalah aliran pluralisme, yang memandang
bahwa negara memiliki peran sebagi fasilitator belaka. Pluralisme sebagai
sebuah teori sosial memberikan peran yang kecil bagi negara. Menurut
pluralisme, otonomi negara adalah fenomena yang ada secara empris dan tidak
dapat dijelaskan (anomali). Pendekatan korporatis, yang menyatakan bahwa
kelompok-kelompok masyarakat tidak selalu melakukan penggabungan secara bebas,
sehingga tidak bisa mencerminkan realita sosial yang tengah berlangsung.
B.
Pendekatan
Marxian
Negara
dipandang memiliki kepentingan sendiri yang ideologis, bahwa kepentingan negara
harus disimpulkan dari pemahaman tentang bagaimana struktur dari masyarakat dan
bagaimana mempertahankan kohesi sosial, sehingga memungkinkan terjadinya
akumulasi kekayaan pribadi dalam jangka panjang oleh individu-individu di
dalamnya. Kepentingan yang hendak dicapai oleh negara adalah kepentingan
untuk mempertahankan tatanan sosial tertentu.
Meskipun
kedua teori baik marxis maupun utilitarian memfokuskan perhatian kepada analisa
kepentingan dan tatanan sosial. Namun keduanya sama-sama tidak mampu
menghasilkan teori tentang sebuah negara yang mampu menjaga tatanan masyarakat
yang diperlukan agar kepentingan-kepentingan sempit itu bisa dikejar oleh
indivu-individu dalam masyarakat.
Untuk
membuktikan bahwa cara kerja dari perekonomian kapitalis membawa dampak
politik, Marx mengajukan kritik terhadap pandangan klasik tentang pasar yang
meregulasi dirinya sendiri. Dia melakukan kritik bukan dengan tujuan untuk
membenarkan konsep kapitalisme yang dikendalikan negara, melainkan untuk
menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang
lama.
Pembuktian
dari pernyataan bahwa kapitalisme tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang
lama, menggunakan konsep kesadaran kelas antara kelas pekerja dan kelas
kapitalis akan memperjelas gap antara kaum pekerja dengan kaum kapitalis atau
pemilik modal. Seperti dalam penelitian yang dilakukan marx yang di sampaikan
Charles Bettelheim 1985, dimana akibat dari hubungan produksi (reletion of
production) menjadikan sebuah masyarakat menjadi beberapa kelas. Perlu diperhatikan bahwa pertentangan antara
kelas buruh dan kelas majikan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap hati atau
moralitas masing-masing pihak. Pertentangan antara mereka bukan karena buruh
iri atau majikan egois, melainkan karena kepentingan dua kelas itu secara
objektif berlawanan satu sama lain. Tentang sikap para buruh, Marx menulis:
Masalahnya bukan apa yang dibayangkan sebagai tujuan oleh seseorang proletar .
Menurut Marx, setiap kelas social bertindak sesuai dengan kepentingannya dan
kepentingan itu ditentukan oleh situasinya yang objektif.
Pada kelas majikan hal itu berarti bahwa mereka berkepentingan untuk mengusahakan laba sebanyak mungkin. Bukan karena para pemilik secara probadi rakus atau asocial, melainkan karena hanya dengan mencapai laba mereka dapat mempertahankan diri dalam persainngan di pasar bebas. Dan karena itu, setiap majikan dengan sendirinya akan menekan biaya tenaga kerja buruh yang dibelinya serendah mungkin. Begitu pula sebaliknya. Denghan sendirinya kelas buruh berkepentingan untuk mendapat upah sebanyak-banyaknya, untuk mengurangi jam kerja dan untuk menguasa sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka dan dengan demikian untuk mengambil alih pabrik temoat mereka bekerja dari tangan kelas pemilik. Kelihatan bahwa secara objektif kepentingan dua kelas itu bertentangan. Majika yang bersikap social pun serta buruh yang berkomunikasi baik dengan pemilik pabrik secara objektif, tetap mempunyai kepentingan yang bertentangan.
Marx menilai, struktur kekuasaan yang ditandai dengan adanya kelas bawah dan kelas atas tidak saja terjadi dalam bidang ekonomi tapi juga terjadi dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa Negara secara hakiki merupakan Negara kelas, artinya Negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi.
Karena itu, menurut Marx, Negara bukanlah lembaga di atas masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi Negara pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelas-kelas atas. Negara bukanlah sang wasit netral yang melerai perselisihan yang timbul dalam masyarakat secara adil serta mengusahakan kesejahteraan umum. Jadi Negara tidak netral, melainkan selalu berpihak. Sebagaimana ditulis oleh Friedrich Engels: “Negara… bertujuan untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa,”
Maka, kebanyakan kebijakan Negara akan menguntungkan kelas-kelas atas, Negara dapat aja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, misalnya dengan membangun sarana transportasi , menyelenggarakan persekolahan umum, dan melindungi masyarakat terhadap tindak criminal. Tetapi tindakan ini pun demi kepentingan kelas atas, karena kelas atas pun tidak dapat mempertahankan diri, apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan. Kalau sesekali Negara mengadakan perbaikan social, hal itu adalah untuk menenangkan rakyat dan untuk mebelokkan perhatiannya dari tuntuntan perubahan yang lebih fundamental. Negara pura-pura bertindak atas nama kesejahteraan seluruh rakyat, tetapi sebenarnya itu hanya siasat untuk mengelabui kelas-kelas pekerja.
Perspektif Negara kelas dapat menjelaskan mengapa yang biasanya menjadi korban pembangunan adalah rakyat kecil, mengapa pencuri kecil sering dihukum lebih keras dari pada koruptor besar dan mengapa persentase orang kecil dalam penjara lebih besar dari pada persentase mereka dalam masyarakat. Kita sering menyaksikan orang kecil tidak mempunyai akses terhadap hukum. Sehingga, orang besar terlindung, tetapi orang kecil tidak.
Oleh sebab Negara dianggap selalu merupakan Negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas, Negara dalam perspektif Marx termasuk lawan, bukan kawan, orang kecil. Orang kecil hendaknya tidak mengharapkan keadilan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari Negara, karena Negara adalah justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga kerja orang kecil. Negara memungkinkan kelas atas untuk memperjuangankan kepentingan khusus mereka “sebagai kepentingan umum” (bdk.GI MEW 3,34 dalam Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.
Pada kelas majikan hal itu berarti bahwa mereka berkepentingan untuk mengusahakan laba sebanyak mungkin. Bukan karena para pemilik secara probadi rakus atau asocial, melainkan karena hanya dengan mencapai laba mereka dapat mempertahankan diri dalam persainngan di pasar bebas. Dan karena itu, setiap majikan dengan sendirinya akan menekan biaya tenaga kerja buruh yang dibelinya serendah mungkin. Begitu pula sebaliknya. Denghan sendirinya kelas buruh berkepentingan untuk mendapat upah sebanyak-banyaknya, untuk mengurangi jam kerja dan untuk menguasa sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka dan dengan demikian untuk mengambil alih pabrik temoat mereka bekerja dari tangan kelas pemilik. Kelihatan bahwa secara objektif kepentingan dua kelas itu bertentangan. Majika yang bersikap social pun serta buruh yang berkomunikasi baik dengan pemilik pabrik secara objektif, tetap mempunyai kepentingan yang bertentangan.
Marx menilai, struktur kekuasaan yang ditandai dengan adanya kelas bawah dan kelas atas tidak saja terjadi dalam bidang ekonomi tapi juga terjadi dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa Negara secara hakiki merupakan Negara kelas, artinya Negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi.
Karena itu, menurut Marx, Negara bukanlah lembaga di atas masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi Negara pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelas-kelas atas. Negara bukanlah sang wasit netral yang melerai perselisihan yang timbul dalam masyarakat secara adil serta mengusahakan kesejahteraan umum. Jadi Negara tidak netral, melainkan selalu berpihak. Sebagaimana ditulis oleh Friedrich Engels: “Negara… bertujuan untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa,”
Maka, kebanyakan kebijakan Negara akan menguntungkan kelas-kelas atas, Negara dapat aja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, misalnya dengan membangun sarana transportasi , menyelenggarakan persekolahan umum, dan melindungi masyarakat terhadap tindak criminal. Tetapi tindakan ini pun demi kepentingan kelas atas, karena kelas atas pun tidak dapat mempertahankan diri, apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan. Kalau sesekali Negara mengadakan perbaikan social, hal itu adalah untuk menenangkan rakyat dan untuk mebelokkan perhatiannya dari tuntuntan perubahan yang lebih fundamental. Negara pura-pura bertindak atas nama kesejahteraan seluruh rakyat, tetapi sebenarnya itu hanya siasat untuk mengelabui kelas-kelas pekerja.
Perspektif Negara kelas dapat menjelaskan mengapa yang biasanya menjadi korban pembangunan adalah rakyat kecil, mengapa pencuri kecil sering dihukum lebih keras dari pada koruptor besar dan mengapa persentase orang kecil dalam penjara lebih besar dari pada persentase mereka dalam masyarakat. Kita sering menyaksikan orang kecil tidak mempunyai akses terhadap hukum. Sehingga, orang besar terlindung, tetapi orang kecil tidak.
Oleh sebab Negara dianggap selalu merupakan Negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas, Negara dalam perspektif Marx termasuk lawan, bukan kawan, orang kecil. Orang kecil hendaknya tidak mengharapkan keadilan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari Negara, karena Negara adalah justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga kerja orang kecil. Negara memungkinkan kelas atas untuk memperjuangankan kepentingan khusus mereka “sebagai kepentingan umum” (bdk.GI MEW 3,34 dalam Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.
C.
Pendekatan
statisme.
Pendekatan
ini berbeda dengan teori berbasis masyarakat di mana yang mejadi faktor
penyebab pemicu adalah pilihan pribadi (menurut teori utilitarian) atau kondisi
material yang dihadapi individu (menurut teori marxis) yang kemudian
menyebabkan terbentuknya tuntutan politik secara terorganisir (seperti lewat
kelompok kepentingan atau partai) yang di sodorkan kepada negara.
Dalam
pendekatan Statisme ini, penulis mencoba mengutip pemikiran Krarsner yang
memahami negara sebagai sejumlah peran dan institusi yang memiliki dorongan dan
tujuan khusus yang berbeda dari kepentingan kelompok tertentu mana pun dalam
masyarakat. Di mana tujuan dari suatu negara sebagai kumpulan dari keinginan
individu-individu atau kelompok-kelompok adalah sebuah kesalahan yang sangat
mendasar, karena tujuan negara merujuk pada kegunaan (utility) dan dapat
disebut sebagai kepentigan umum masyarakat atau kepentingan nasional
Masih
dalam konteks pemikiran Kresner yang digunakan penulis, dalam pandangannya
negara dipahami sebagai institusi yang bertanggugjawab menentukan nilai-nilai
yang digunakan untuk menentukan kegunaan masyarakat. Hal yang menarik dari
pendekatan Krasner adalah bahwa perbedaan antara negara dengan masyarakat
tidaklah paralel dengan pembedaan antara wilayah publik dan wilayah pribadi.
Krasner secara eksplisit memandang bahwa tindakan negara memiliki hubungan
dengan ideologi, dan meskipun Krasner telah berusaha untuk menghubungkan
ideologi dengan kepentingan pribadi, namun hubungan yang dihasilkanya
belum dikatakan kuat.
Secara
tersirat apa yang dipaparkan penulis yang memiliki keterkaitan dengan
teori-teori tentang otonomi negara telah menunjukan kepada kita keterbatasan
dari metode-metode yang digunakanya untuk memahami hubungan antara negara
dengan masyarakat. Sehingga kurang dapat menunjukan perubahan-perubahan
apa yang perlu dilakukan terhadap konsep kepentingan pribadi agar dapat menampung
ide tentang negara yang mampu berperan aktif.
D. Pendekatan Transformasional
James
A. Caporaso dan David P. Levine juga mendeskripsikan mengenai Pendekatan
transformasional terhadap negara. Dalam pendekatan ini, otonomi negara
dipahami dalam dua artian.
1. Otonomi negara
dipahami sebagai agenda negara yang berbeda dari agenda kepentingan pribadi dan
tidak bisa ditentukan berdasarkan kepentingan-kepentingan pribadi dari
individu-individu dalam masyarakat.
2. Otonomi negara
sejauh ini dianggap sebagai kemampuan negara untuk melaksanakan kemampuannya
sendiri. Dengan kata lain dalam otonomi negara menurut pandangan ini
terdapat suatu kemampuan untuk membuat tujuan dan kemudian mencapai tujuan
tersebut.
Pemikiran
dalam tulisan inipun tidak terlepas dari konseptual dasar mengenai teori negara
yang berasal dari Max Weber yang menyatakan bahwa negara adalah struktur
organisasional yang memiliki instrumen kekuasaan dan pelaku-pelaku yang berhak
atau memiliki legitimasi untuk melakukan kekrasan (force). Konsep
pembeda yang menjadi kunci dalam pandangan Weber berkaitan dengan teori-teori
lainnya adalah adanya legitimasi, yang memandang bahwa negara memiliki hubungan
dengan tujuan publik atau kepentingan publik sehingga hubungan antara negara
dengan perekonomian menjadi erat kaitannya dengan wilayah publik dan wilayah
pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar