Jumat, 03 April 2015

Teori Labeling


A.                Konsepsi Teori Labeling

Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan kontrol sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang dengan pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalammempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi.Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya.
Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
            Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompok, tetapi dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentang tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971) memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
1.      Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.
2.      Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan.
3.      Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia   ditetapkan demikan oleh penguasa.
4.      Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan non-kriminal.
5.      Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling. 
6.      Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7.      Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana.
8.      Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9.      Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai  deviant(orang yang menyimpang) dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector” (penolakan dari penolakan) (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)

Edwin Lemert (1950)  memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary deviancePrimary deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis(pandangan banyak orang). Dalam perspektif itu dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar. Hal ini selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain terhadap benar atau tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena adanya proses interaksi diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada proses labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.
Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu yang baru keluar dari  penjara tersebut dengan masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas. Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya sebagai penjahat.

B.       Lahirnya Teori Labeling
Salah satu penyebab kebingungan identitas remaja adalah labeling. Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain”  “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.
Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Bagi remaja sangat penting untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon orang-orang disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar si anak tersebut, tidak dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon-respon negatif seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya. Terutama dalam pembentukan identitas si anak tersebut.

Teori labeling ini pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-orang lain (orang tua, keluarga, masyarakat) menilainya. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya.
          a. Labelling menurut Lemert
Menurut Edwin M. Lemert, seseorang melakukan penyimpangan dari proses labeling (pemberian julukan/cap) yang diberikan masyarakat kepadanya. Penyimpangan yang dilakukan itu mula-mula berupa penyimpangan primer. Akibatnya si penyimpang di cap sesuai penyimpangan yang dilakukan, seperti pencuri atau penipu. Sebagai tanggapan atas cap tersebut, si penyimpang primer mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi perilaku penyimpangan tersebut, sehingga penyimpangan yang dilakukannya berubah menjadi penyimpangan sekunder.
b. Labelling menurut Mead
Lahirnya teori penjulukan (labeling Theory), diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dari Herbert Mead dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti kriminologi, kesehatan mental (pengidap schizophrenia) dan kesehatan, serta pendidikan. Teori penjulukan dari studi tentang deviant di akhir tahun 1950 dan awal tahun 1960 yang merupakan penolakan terhadap teori consensus atau fungsionalisme structural. Awalnya, menurut teori structural deviant atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada yang merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma social. 
c. Teori labeling Micholowsky
Kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang. Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat. Umumnya tingkah laku seseorang dicap jahat menyebabkan orangnya juga diperlakukan sebagai penjahat. Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi dalam proses interaksi, dimana interaksi tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik antara individu, antar kelompok dan antar individu dan kelompok. Terdapat kecenderungan dimana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.
Dari beberapa penjelasan diatas maka jelas sudah bahwa perkembangan ilmu sosiologi sangat bermanfaat bagi masyarakat. Kajian sosiologi akan merambah ke segala disiplin ilmu lainnya, ketika ilmu Tersebut telah berkaitan dengan hehidupan social masyarakat. Berbagai kejadian dan fenomena kehidupan masyarakat dapat dikaji dengan disiplin ilmu sosiologi, dari aspek politik, budaya, ekonomi, agama dan lain-lain karena kaitannya dengan masyarakat sebagai kajian utama sosiologi. Eksistensi sosiologi telah diawali oleh pemikiran Emile Durkheim mengenai teori bunuh diri, yaitu individu melakukan bunuh diri bukan berasal dari factor internal individu (Psikologis) melainkan karena factor integrasi dari lingkungan sosialnya.

*Hanya untuk bahan bacaan kuliah
*berbagai sumber

Tidak ada komentar: