A.
Konsepsi Teori
Labeling
Teori ini
memperkirakan bahwa pelaksanaan
kontrol sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol
sosial tersebut mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya
peran konvensional bagi seseorang dengan pemberian stigma dan label,
menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalammempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk kembali ke
dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi.Menurut teori
labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol
penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya.
Munculnya teori
Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau
menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak
negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku
kejahatan. Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama,
menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi
label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari
perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan
individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompok, tetapi dalam
kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan
kelmpoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara
kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang
bertentangan tentang tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971)
memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
1.
Tidak ada satu perbuatan yang terjadi
dengan sendirinya bersifat kriminal.
2.
Rumusan batasan tentang kejahatan dan
penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki
kekuasaan.
3.
Seseorang menjadi penjahat bukan karena
ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia ditetapkan
demikan oleh penguasa.
4.
Sehubungan dengan kenyataan di mana
setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa
mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan non-kriminal.
5.
Tindakan penangkapan merupakan awal dari
proses labeling.
6.
Penangkapan dan pengambilan keputusan
dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai
lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7.
Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras
merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan
pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana.
8.
Sistem peradilan pidana dibentuk
berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan
penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9.
Labeling merupakan suatu proses yang
akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant(orang
yang menyimpang) dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector” (penolakan
dari penolakan) (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)
Edwin Lemert
(1950) memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary
deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditujukan
kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan
ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena
cap yang dia terima dari perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif
diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga menjadi bagian dari identitas
yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert penyimpangan sekunder.
Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri dari cap yang
dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang diberikan
(mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Teori ini memiliki
kesesuaian dengan Perspektif Pluralis(pandangan banyak orang). Dalam perspektif
itu dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak
benar. Hal ini selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian
orang lain terhadap benar atau tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam
masyarakat. Penilaian ini muncuk karena adanya proses interaksi diantara
masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah Paradigma Interaksionis,
di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan psikologi-sosial dari
kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu
kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau
perbuatan, di mana dalam teori labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang
menjadi tidak benar karena ada proses labeling atau cap terhadap tingkah laku
tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.
Ilustrasi singkat yang
dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja keluar dari
penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia lakukan
di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan
dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk
dihukum penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan
adalah proses labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan
tetap menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat pada dirinya
(sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu yang baru keluar
dari penjara tersebut dengan masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan
kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas.
Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis
seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk
bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali
kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang
tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya
sebagai penjahat.
B. Lahirnya Teori Labeling
Salah satu penyebab kebingungan
identitas remaja adalah labeling. Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori
Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari
masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan
penyimpangan tersebut. Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif
interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan
riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog,
kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh
Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004).
Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga
disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural
devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan
karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari
perilaku.
Labeling adalah sebuah
definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang
tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan
label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan
kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori
labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan
“seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan
seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini
akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan
diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain” “anak
yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi
bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan
seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran
dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang,
kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan,
sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan
kepadanya.
Menurut Biddulph,
(2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan
merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi
sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain
dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan
kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak
berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani
mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label
negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai
dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang
akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar
yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.
Bagi remaja sangat
penting untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini
ditemukan olehnya lewat respon orang-orang disekitarnya,. Kalau respon orang
disekitarnya positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi,
adakalanya orang disekitar si anak tersebut, tidak dapat menahan diri sehingga
menunjukkan respon-respon negatif seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya
orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa
disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam hati dan
pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya. Terutama dalam
pembentukan identitas si anak tersebut.
Teori labeling ini
pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau
tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana
orang-orang lain (orang tua, keluarga, masyarakat) menilainya. Kedua, penilaian
itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit
bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau
sebaliknya.
a. Labelling menurut Lemert
a. Labelling menurut Lemert
Menurut Edwin M.
Lemert, seseorang melakukan penyimpangan dari proses labeling (pemberian
julukan/cap) yang diberikan masyarakat kepadanya. Penyimpangan yang dilakukan
itu mula-mula berupa penyimpangan primer. Akibatnya si penyimpang di cap sesuai
penyimpangan yang dilakukan, seperti pencuri atau penipu. Sebagai tanggapan
atas cap tersebut, si penyimpang primer mengidentifikasikan dirinya sebagai
penyimpang dan mengulangi perilaku penyimpangan tersebut, sehingga penyimpangan
yang dilakukannya berubah menjadi penyimpangan sekunder.
b. Labelling menurut Mead
Lahirnya teori
penjulukan (labeling Theory), diinspirasi oleh perspektif interaksionisme
simbolik dari Herbert Mead dan telah berkembang sedemikian rupa dengan
riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti kriminologi,
kesehatan mental (pengidap schizophrenia) dan kesehatan, serta pendidikan.
Teori penjulukan dari studi tentang deviant di akhir tahun 1950 dan awal tahun
1960 yang merupakan penolakan terhadap teori consensus atau fungsionalisme
structural. Awalnya, menurut teori structural deviant atau penyimpangan
dipahami sebagai perilaku yang ada yang merupakan karakter yang berlawanan
dengan norma-norma social.
c. Teori labeling Micholowsky
Kejahatan merupakan
kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang. Reaksi itu
menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat. Umumnya tingkah laku
seseorang dicap jahat menyebabkan orangnya juga diperlakukan sebagai penjahat.
Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi dalam proses
interaksi, dimana interaksi tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik
antara individu, antar kelompok dan antar individu dan kelompok. Terdapat
kecenderungan dimana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat akan
menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.
Dari beberapa
penjelasan diatas maka jelas sudah bahwa perkembangan ilmu sosiologi sangat
bermanfaat bagi masyarakat. Kajian sosiologi akan merambah ke segala disiplin
ilmu lainnya, ketika ilmu Tersebut telah berkaitan dengan hehidupan social
masyarakat. Berbagai kejadian dan fenomena kehidupan masyarakat dapat dikaji
dengan disiplin ilmu sosiologi, dari aspek politik, budaya, ekonomi, agama dan
lain-lain karena kaitannya dengan masyarakat sebagai kajian utama sosiologi.
Eksistensi sosiologi telah diawali oleh pemikiran Emile Durkheim mengenai teori
bunuh diri, yaitu individu melakukan bunuh diri bukan berasal dari factor
internal individu (Psikologis) melainkan karena factor integrasi dari
lingkungan sosialnya.
*Hanya untuk bahan bacaan kuliah
*berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar