Edwin
Sutherland (1947) memperkenalkan teori Asosiasi Diferensial. Menurutnya
perilaku menyimpang merupakan suatu perbuatan yang didapatkan setelah melalui
proses belajar. Proses belajar yang dimaksud adalah mempelajari dan memahami
norman-norma yang menyimpang dari subkultur. Jadi, penyimpangan perilaku adalah
fenomena yang dipelajari oleh seseorang dari orang lain atau kelompok.
Proses
belajar norma penyimpangan ini persis dengan proses belajar konformitas
(penyesuaian) dimana ada sosialisasi atas nilai-nilai yang disepakati bersama
oleh suatu kelompok masyarakat. Namun, yang membedakannya adalah jika
konformitas adalah proses belajar bagaimana menyesuaikan diri dengan nilai dan
norma bersama serta berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok,
maka penyimpangan justru sebaliknya. Peyimpangan adalah proses belajar
bagaimana mempelajari nilai dan norma yang menyimpang.
Menurut
Sutherland, penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran atau penguasaan atas
suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang.
Perilaku menyimpang dipelajari di dalam lingkungan sosial (eksternal), artinya
semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara.[1]
Adapun
9 proposisi dari Teori Asosiasi Diferensial, yaitu:
1.
Criminal
behavior is learned (perilaku kriminal itu dipelajari).
Sutherland memandang bahwa perilaku
kriminal bukan berasal dari dalam diri seseorang maupun faktor genetik yang
dibawa individu. Melainkan berasal dari proses belajar nilai dan norma
menyimpang. Semakin mahir seseorang mempelajari nilai dan norma yang
menyimpang, maka semakin dalam dia melakukan prilaku menyimpang. Begitu pula
sebaliknya, semakin sedikit atau tidak pernah seseorang mempelajari norma
menyimpang, semakin sulit dia melakukan penyimpangan.
2.
Criminal
behavior is learned in interaction with other person of communication
(perilaku kriminal/menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya
dengan orang-orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang intens).
Perilaku menyimpang itu dipelajari
melalui interaksi yang intim. Dalam sosiologi interaksi itu terdiri atas dua,
kontak dan komunikasi. Melalui interaksi yang intim tersebut seseorang akan
mempelajari bagaimana nilai dan norma perilaku menyimpang tersebut.
3.
The
prinsiple of the learning of criminal behavior occurs within intiminate
personal groups (Bagian utama dari belajar tindakan
kriminal/perilaku menyimpang terjadi di dalam kelompok-kelompok personal yang
intim atau akrab).
Perilaku menyimpang terjadi dalam
kelompok-kelompok peribadi yang akrab. Sebab, mempelajari nilai dan norma
menyimpang tidak bisa dilakukan pada kelompok-kelompok besar (publik) yang
tidak memiliki kedekatan. Karena, proses belajar norma menyimpang hanya bisa
dilakukan dengan berkelanjutan dan dalam hubungan yang dekat. Maksudnya,
seseorang yang mempelajari norma menyimpang haruslah memiliki kedekatan dengan
kelompok-kelompok pribadi yang juga melakukan prilaku menyimpang. Mempelajari
norma menyimpang tidak bisa dilakukan hanya dengan menjalin interaksi semu dan
jangka pendek. Sebab, norma menyimpang tersebut diyakini Sutherland tidak akan
terinternalisasi.
Merujuk pada pandangan Sutherland
diatas, maka peran media massa dalam menyampaikan nilai dan norma menyimpang
tidak banyak berpengaruh terhadap proses belajar penyimpangan. Sebab, media
massa yang bukan merupakan kelompok personal hanyalah memainkan peran sekunder
dalam mempelajar penyimpangan.
Tentu pandangan Sutherland ini mulai
tidak dapat dibuktikan. Akibat kemajuan teknologi dan mulai memudarnya peran
institusi-institusi (seperti keluarga, lingkungan bermain, sekolah,dll) yang
memiliki kewenangan untuk mensosialisasikan nilai dan norma pada individu dan
kemudian tergantikan oleh peran media massa dan jejaring sosial. Kelompok
personal lambat laun berubah menjadi kelompok sekunder dalam mengajarkan
penyimpangan dan digantikan oleh peran kelompok publik/massa.
4.
When
criminal behavior is learned, the learning includes, a) techniques of commiting
the crime, which are very complicated, sometimes very simple, b) the specific
direction of motives, drives, rationalizations and attitudes
(ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran itu termasuk pula a) teknik
melakukan kejahatan, yang kadang-kadang sangat sulit, kadang-kadang sederhana,
b) arah khusus dari motif, dorongan rasionalisasi dan sikap-sikap).
Seseorang yang mempelajari perilaku
menyimpang, berarti mempelajari berbagai hal mengenai perilaku menyimpang
tersebut. Ia akan belajar bagaimana teknik melakukan prilaku menyimpang
(kejahatan). Mereka yang melakukan prilaku menyimpang juga belajar tentang
motif melakukan prilaku menyimpang tersebut. Ada alasan-alasan yang dianggap logis
yang mendorong si pelaku untuk melakukan perilaku menyimpang. Ia juga belajar
bagaimana cara bersikap sesuai dengan kelompok atau orang yang telah melakukan
perilaku menyimpang tersebut.
Sebagai contoh, para siswa baru di salah
satu SMA sedang memasuki masa orientasi di sekolah. Beberapa diantara mereka
memiliki hubungan yang akrab dengan seniornya di sekolah. Setiap hari berkumpul
sepulang sekolah, melakukan aktivitas bersama sehingga mereka menjadi akrab
satu sama lain. Siswa baru tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan
memperhatikan bagaimana seniornya berperilaku. Akhirnya, mereka tertarik untuk
berperilaku yang sama. Siswa baru tersebut awalnya mempelajari apa alasan
seniornya melakukan perilaku menyimpang, misalnya merokok. Motif seperti ingin
terlihat “macho” dikalangan siswi-siswi, agar terlihat lebih dewasa dan
motif-motif lainnya mendorong siswa baru tersebut untuk ikut mempelajari
bagaimana teknik merokok dan sikap-sikap siswa merokok.
Akhirnya, setelah ia mempelajari
bagaimana motif seniornya merokok, siswa baru tadi akan mempelajari bagaimana
cara atau teknik menghisap rokok, menyembunyikan rokok ketika di sekolah hingga
diam-diam merokok di sudut sekolah agar tidak ketahuan oleh guru.
5.
The
specific direction of motives and drives is learned from definition of legal
code as favorable or unfavorable (arah khusus dari
motif dan dorongan dipelajari dari defenisi aturan hukum yang menguntungkan
atau tidak menguntungkan).
Petunjuk khusus tentang motif dan
dorongan untuk berperilaku menyimpang itu dipelajar dari defenisi-defenisi
tentang norma-norma yang baik atau tidak baik. Proposisi ini mengakui
keberadaan norma-norma untuk setia dan taat pada aturan-aturan yang sudah ada
dan ia mungkin dapat juga melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang
sudah ada. Sebagai contoh, ada orang yang berpendapat bahwa mencuri adalah
perbuatan yang buruk atau salah jika barang-barang yang dicuri adalah
barang-barang milik orang kurang mampu dan dalam tindakan pencurian itu ada
orang yang celaka. Namun, ketika pencurian itu dilakukan pada orang kaya yang
tamak dan tidak menimbulkan korban (yang dicelakai) maka tindakan tersebut ia
(si pencuri) anggap bukan sebagai perilaku menyimpang atau kejahatan.
6.
A
person becomes delinquent because of an access of defenition favorable of
violation of law over definition un favorable to violation of law
(seseorang menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap defenisi yang
menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum melebihi defenisi-defenisi yang
tidak menguntungkan untuk melanggar hukum).
Seseorang yang berannggapan bahwa
perbuatan menyimpang yang ia lakukan lebih menguntungkan dari pada tidak
melakukannya, maka ia akan memilih untuk melakukan tindakan tersebut. Alasannya
bisa beragam, seperti lemahnya sanksi, lemahnya ikatan dalam masyarakat dan
menguntungkan secara ekonomi. Dengan keuntungan yang demikian, maka ia akan
lebih memilih untuk melanggar norma (melakukan prilaku menyimpang/kejahatan).
Namun, jika orang tersebut menganggap
bahwa perbuatan menyimpang/ kejahatan yang dilakukan akan merugikannya karena
adanya sanksi tegas, ikatan dalam masyarakat kuat atau tidak menguntungkan
secara ekonomi, maka ia tidak akan melakukan pelanggaran norma (prilaku
menyimpang/kejahatan).
7.
Differential
Association may vary in frequency, duration, priority and intensity
(Asosiasi yang berbeda-beda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya,
prioritas dan intensitas).
8.
The
process of learning criminal behavior by association with criminal and
anticriminal patterns involves all the mechanism that are involved in any other
learning. ( proses pembelajaran perilaku jahat melalui
persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh
mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya).
9.
While
a criminal behavior is an explanation of general needs and values, it is not
ecplained by those general needs and values since non criminal behavior is and
explaination the same need and values. (walaupun perilaku
jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum,
tetapi hal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum
tersebut. Karena perilaku nonkriminal dapat tercermin dari kebutuhan-kebutuhan
dan nilai-nilai yang sama). [2]
Kritikan Terhadap Teori
Differential Association:
Teori Differential Association mempunyai
kekuatan dan kelemahan tersendiri. Berikut kelebihan dari teori Differential
Association;
1.
Teori ini relatif mampu untuk
menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial.
2.
Teori ini mampu menjelaskan bagaimana
seseorang karena adanya/ melalui proses belajar menjadi jahat.
3.
Ternyata teori ini berlandaskan kepada
fakta dan bersifat rasional.
Sedangkan
kelemahan dari teori ini;
1.
Bahwa tidak semua orang atau setiap
orang yang berhubungan dengan kajahatan/perilaku menyimpang akan meniru/memilih
pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang seperti
petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara nyatanya tidak menjadi penjahat.
2.
Bahwa teori ini belum membahas,
menjelaskan dan tidak peduli pada karakter orang yang terlibat dalam proses
belajar tersebut.
3.
Bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan
mengapa seseorang suka melanggar dari pada mentaati undang-undang dan belum
mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir karena spontanitas.
4.
Bahwa apabila ditinjau dari aspek
rasionalnya, tepri ini agaknya sulit untuk diteliti bukan hanya karena teoritik
tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frequensi dan prioritasnya.
5.
Pada proposisi ketiga, Sutherland
mengabaikan peran teknologi dan media massa sebagai agen sosialisasi. Kemajuan
teknologi dan perubahan sosial yang terjadi dewasa ini (memudarnya peran
institusi-institusi seperti keluarga, lingkungan bermain, sekolah yang memiliki
kewenangan untuk mensosialisasikan nilai dan norma pada individu), membuat
proses belajar tidak lagi hanya bisa dilakukan dengan kelompok personal yang
intim atau akrab tapi sudah mulai tergantikan oleh peran media massa dan
jejaring sosial. Kelompok personal lambat laun berubah menjadi kelompok
sekunder dalam mengajarkan penyimpangan dan digantikan oleh peran kelompok
publik/massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar