Jumat, 03 April 2015

Teori Differential Association


Edwin Sutherland (1947) memperkenalkan teori Asosiasi Diferensial. Menurutnya perilaku menyimpang merupakan suatu perbuatan yang didapatkan setelah melalui proses belajar. Proses belajar yang dimaksud adalah mempelajari dan memahami norman-norma yang menyimpang dari subkultur. Jadi, penyimpangan perilaku adalah fenomena yang dipelajari oleh seseorang dari orang lain atau kelompok.
Proses belajar norma penyimpangan ini persis dengan proses belajar konformitas (penyesuaian) dimana ada sosialisasi atas nilai-nilai yang disepakati bersama oleh suatu kelompok masyarakat. Namun, yang membedakannya adalah jika konformitas adalah proses belajar bagaimana menyesuaikan diri dengan nilai dan norma bersama serta berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok, maka penyimpangan justru sebaliknya. Peyimpangan adalah proses belajar bagaimana mempelajari nilai dan norma yang menyimpang.
Menurut Sutherland, penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran atau penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang. Perilaku menyimpang dipelajari di dalam lingkungan sosial (eksternal), artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara.[1]
Adapun 9 proposisi dari Teori Asosiasi Diferensial, yaitu:
1.      Criminal behavior is learned (perilaku kriminal itu dipelajari).
Sutherland memandang bahwa perilaku kriminal bukan berasal dari dalam diri seseorang maupun faktor genetik yang dibawa individu. Melainkan berasal dari proses belajar nilai dan norma menyimpang. Semakin mahir seseorang mempelajari nilai dan norma yang menyimpang, maka semakin dalam dia melakukan prilaku menyimpang. Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit atau tidak pernah seseorang mempelajari norma menyimpang, semakin sulit dia melakukan penyimpangan.
2.      Criminal behavior is learned in interaction with other person of communication (perilaku kriminal/menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang-orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang intens).
Perilaku menyimpang itu dipelajari melalui interaksi yang intim. Dalam sosiologi interaksi itu terdiri atas dua, kontak dan komunikasi. Melalui interaksi yang intim tersebut seseorang akan mempelajari bagaimana nilai dan norma perilaku menyimpang tersebut.

3.      The prinsiple of the learning of criminal behavior occurs within intiminate personal groups (Bagian utama dari belajar tindakan kriminal/perilaku menyimpang terjadi di dalam kelompok-kelompok personal yang intim atau akrab).
Perilaku menyimpang terjadi dalam kelompok-kelompok peribadi yang akrab. Sebab, mempelajari nilai dan norma menyimpang tidak bisa dilakukan pada kelompok-kelompok besar (publik) yang tidak memiliki kedekatan. Karena, proses belajar norma menyimpang hanya bisa dilakukan dengan berkelanjutan dan dalam hubungan yang dekat. Maksudnya, seseorang yang mempelajari norma menyimpang haruslah memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok pribadi yang juga melakukan prilaku menyimpang. Mempelajari norma menyimpang tidak bisa dilakukan hanya dengan menjalin interaksi semu dan jangka pendek. Sebab, norma menyimpang tersebut diyakini Sutherland tidak akan terinternalisasi.
Merujuk pada pandangan Sutherland diatas, maka peran media massa dalam menyampaikan nilai dan norma menyimpang tidak banyak berpengaruh terhadap proses belajar penyimpangan. Sebab, media massa yang bukan merupakan kelompok personal hanyalah memainkan peran sekunder dalam mempelajar penyimpangan.
Tentu pandangan Sutherland ini mulai tidak dapat dibuktikan. Akibat kemajuan teknologi dan mulai memudarnya peran institusi-institusi (seperti keluarga, lingkungan bermain, sekolah,dll) yang memiliki kewenangan untuk mensosialisasikan nilai dan norma pada individu dan kemudian tergantikan oleh peran media massa dan jejaring sosial. Kelompok personal lambat laun berubah menjadi kelompok sekunder dalam mengajarkan penyimpangan dan digantikan oleh peran kelompok publik/massa.
4.      When criminal behavior is learned, the learning includes, a) techniques of commiting the crime, which are very complicated, sometimes very simple, b) the specific direction of motives, drives, rationalizations and attitudes (ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran itu termasuk pula a) teknik melakukan kejahatan, yang kadang-kadang sangat sulit, kadang-kadang sederhana, b) arah khusus dari motif, dorongan rasionalisasi dan sikap-sikap).
Seseorang yang mempelajari perilaku menyimpang, berarti mempelajari berbagai hal mengenai perilaku menyimpang tersebut. Ia akan belajar bagaimana teknik melakukan prilaku menyimpang (kejahatan). Mereka yang melakukan prilaku menyimpang juga belajar tentang motif melakukan prilaku menyimpang tersebut. Ada alasan-alasan yang dianggap logis yang mendorong si pelaku untuk melakukan perilaku menyimpang. Ia juga belajar bagaimana cara bersikap sesuai dengan kelompok atau orang yang telah melakukan perilaku menyimpang tersebut.
Sebagai contoh, para siswa baru di salah satu SMA sedang memasuki masa orientasi di sekolah. Beberapa diantara mereka memiliki hubungan yang akrab dengan seniornya di sekolah. Setiap hari berkumpul sepulang sekolah, melakukan aktivitas bersama sehingga mereka menjadi akrab satu sama lain. Siswa baru tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan memperhatikan bagaimana seniornya berperilaku. Akhirnya, mereka tertarik untuk berperilaku yang sama. Siswa baru tersebut awalnya mempelajari apa alasan seniornya melakukan perilaku menyimpang, misalnya merokok. Motif seperti ingin terlihat “macho” dikalangan siswi-siswi, agar terlihat lebih dewasa dan motif-motif lainnya mendorong siswa baru tersebut untuk ikut mempelajari bagaimana teknik merokok dan sikap-sikap siswa merokok.
Akhirnya, setelah ia mempelajari bagaimana motif seniornya merokok, siswa baru tadi akan mempelajari bagaimana cara atau teknik menghisap rokok, menyembunyikan rokok ketika di sekolah hingga diam-diam merokok di sudut sekolah agar tidak ketahuan oleh guru.
5.      The specific direction of motives and drives is learned from definition of legal code as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari defenisi aturan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan).
Petunjuk khusus tentang motif dan dorongan untuk berperilaku menyimpang itu dipelajar dari defenisi-defenisi tentang norma-norma yang baik atau tidak baik. Proposisi ini mengakui keberadaan norma-norma untuk setia dan taat pada aturan-aturan yang sudah ada dan ia mungkin dapat juga melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang sudah ada. Sebagai contoh, ada orang yang berpendapat bahwa mencuri adalah perbuatan yang buruk atau salah jika barang-barang yang dicuri adalah barang-barang milik orang kurang mampu dan dalam tindakan pencurian itu ada orang yang celaka. Namun, ketika pencurian itu dilakukan pada orang kaya yang tamak dan tidak menimbulkan korban (yang dicelakai) maka tindakan tersebut ia (si pencuri) anggap bukan sebagai perilaku menyimpang atau kejahatan.
6.      A person becomes delinquent because of an access of defenition favorable of violation of law over definition un favorable to violation of law (seseorang menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap defenisi yang menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum melebihi defenisi-defenisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum).
Seseorang yang berannggapan bahwa perbuatan menyimpang yang ia lakukan lebih menguntungkan dari pada tidak melakukannya, maka ia akan memilih untuk melakukan tindakan tersebut. Alasannya bisa beragam, seperti lemahnya sanksi, lemahnya ikatan dalam masyarakat dan menguntungkan secara ekonomi. Dengan keuntungan yang demikian, maka ia akan lebih memilih untuk melanggar norma (melakukan prilaku menyimpang/kejahatan).
Namun, jika orang tersebut menganggap bahwa perbuatan menyimpang/ kejahatan yang dilakukan akan merugikannya karena adanya sanksi tegas, ikatan dalam masyarakat kuat atau tidak menguntungkan secara ekonomi, maka ia tidak akan melakukan pelanggaran norma (prilaku menyimpang/kejahatan).
7.      Differential Association may vary in frequency, duration, priority and intensity (Asosiasi yang berbeda-beda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas dan intensitas).
8.      The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all the mechanism that are involved in any other learning. ( proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya).
9.      While a criminal behavior is an explanation of general needs and values, it is not ecplained by those general needs and values since non criminal behavior is and explaination the same need and values. (walaupun perilaku jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tetapi hal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena perilaku nonkriminal dapat tercermin dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama). [2]

Kritikan Terhadap Teori Differential Association:
Teori Differential Association mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri. Berikut kelebihan dari teori Differential Association;
1.      Teori ini relatif mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial.
2.      Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya/ melalui proses belajar menjadi jahat.
3.      Ternyata teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional.
       Sedangkan kelemahan dari teori ini;
1.      Bahwa tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kajahatan/perilaku menyimpang akan meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang seperti petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara nyatanya tidak menjadi penjahat.
2.      Bahwa teori ini belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada karakter orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut.
3.      Bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang suka melanggar dari pada mentaati undang-undang dan belum mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir karena spontanitas.
4.      Bahwa apabila ditinjau dari aspek rasionalnya, tepri ini agaknya sulit untuk diteliti bukan hanya karena teoritik tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frequensi dan prioritasnya.
5.      Pada proposisi ketiga, Sutherland mengabaikan peran teknologi dan media massa sebagai agen sosialisasi. Kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang terjadi dewasa ini (memudarnya peran institusi-institusi seperti keluarga, lingkungan bermain, sekolah yang memiliki kewenangan untuk mensosialisasikan nilai dan norma pada individu), membuat proses belajar tidak lagi hanya bisa dilakukan dengan kelompok personal yang intim atau akrab tapi sudah mulai tergantikan oleh peran media massa dan jejaring sosial. Kelompok personal lambat laun berubah menjadi kelompok sekunder dalam mengajarkan penyimpangan dan digantikan oleh peran kelompok publik/massa.




[1] Frank P Wiliam dalam  Yesmil Anwar. Kriminologi. 2013. H; 75
[2] Sutherland and Cressey, 1960; 77)

Tidak ada komentar: