Kamis, 20 Juni 2013

Teori Penjatuhan hukuman



Terdapat beberapa teori-teori mengenai pembebanan penjatuhan hukuman tersebut. Ada tiga teori, yakni; teori absolut, teori relatif dan teori gabungan dan relatif.  Dari segi teori absolut, dengan aspek pembalasannya dan unsur membinasakan dalam pengertian khusus teori absolut, bahwa pidana mati bukanlah pembalasan, melainkan refleksi dari sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka nestapa yuridis berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga keseimbangan dalam tertib hukum. Teori relatif dengana aspek menakutkan (menjerakan) bertujuan melindungi masyarakat umum dan menakuti niat jahat calon penjahat yang secara potensial berbuat jahat. Teori relatif mengandung aspek menakutkan, tetapi lebih cenderung ke segi proses paksaan psikologis, dengan maksud si penjahat menjadi jera, atau upaya menakuti bagi mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat. Teori gabungan absolut dan relatif, melihat bahwa tujuan penjatuhan pidana adalah tidak sekedar bertujuan semata-mata hanya pembalasan tetapi juga untuk menakutkan.

Sehubungan dengan ketiga teori tersebut diatas, menarik untuk dikemukakan pendapat J.E. Sahetapy, yang menyatakan bahwa sebaiknya teori-teori tersebut jika ingin dipakai hanya sebagai referensi saja. Sebab teori-teori tersebut yang didasarkan atas pemikiran secara transcendental atau secara “Conceptual Abstraction” belum dapat memberi jawaban yang memuaskan. Lebih lanjut dikemukakannya, bahwa tujuan pidana bukanlah untuk membalas perbuatan jahat dari si pelaku. Sebab bagaimanapun perbuatannya itu sudah terjadi dan tidak perlu lagi disesali. Pernyataan ini ditunjang dengan asumsi bahwa si pelaku menganggap pidana baginya bukan suatu penderitaan, karena bagimanapun juga si pelaku merasa puas dan senang bahwa lawannya (si korban) telah memperoleh suatu imbalan penderitaan. Ini berarti, bahwa kejahatan sebagai tingkah laku bersifat simptomatik, tidak hanya si pelaku, melainkan juga dalam hubungan antara si pelaku dan si korban, oleh karena seringkali si korban juga memiliki sifat-sifat yang menimbulkan kecenderungan untuk dijadikan mangsa dan dengan demikian ikut bertanggung jawab juga. Oleh karena itu, pembalasan dalam bentuk apapun tidak akan membawa suatu keseimbangan kembali, kecuali memuaskan nafsu bahwa sipelaku telah memperoleh imbalan penderitaan. Demikian juga, pidana jangan hanya untuk menakut-nakuti semata-mata. Tidak ada jaminan bahwa si pelaku akan menjadi takut dan si pelaku tidak akan berbuat lagi.

Dalam prespektif sosiologis, hukuman mempunyai arti sosial yang tertentu oleh karena kekuatan suatu sanksi tergantung pada persepsi manusia mengenai sanksi/hukuman tersebut. Durkheim, mengkaitkan jenis sanksi dengan jenis solidaritas sosial masyarakat. Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran bersama. Pada masyarakat dengan solidaritas organis yang didasarkan pada deferensiasi antara individu, maka sanksi/hukumannya bersifat restitutif. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah hukuman yang bersifat akomodatif, sifatnya adalah menjaga perbedaan-perbedaan itu agar tidak menjadi disintegratif. Selain dari persepsi orang terhadap sanksi, manusia juga mempunyai taraf toleransi yang berbeda-beda terhadap penderitaan sebagai akibat pelanggaran. Kedudukan sosio – ekonomi juga berpengaruh pada penjatuhan hukuman mati bagi seseorang. Seperti yang diungkapkan dalam kajian di Amerika, disebutkan bahwa hukuman mati akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap warga masyarakat yang miskin dan minoritas, apabila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari golongan kulit putih. Hal ini terkait dengan bantuan hukum bagi terdakwa. Mereka juga lebih banyak dihukum mati jika dibantu oleh pengacara yang diitunjuk pengadilan dibandingkan dengan jika didampingi oleh pengacara pribadi.

Salah satu bentuk hukuman pidana yang berat adalah hukuman mati. Secara medis, kematian diindikasikan dengan kematian fisik, namun kematian yang mungkin terjadi sesungguhnya tidak hanya kematian fisik, tetapi juga kematian sosial. Dari sudut pandang sosiologis, seseorang bisa disebut masih hidup secara fisik, tetapi sekaligus mengalami kematian sosial. Hal tersebut terjadi di saat sesorang berada dalam kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga kebebasannya untuk melakukan aktifitas social dirampas habis. Kematian sosial bisa menjadi suatu alternatif penting dalam bentuk sanksi pidana untuk menggantikan pidana mati. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang yang dijatuhi hukuman dua kali seumur hidup tanpa kemungkinan keringanan, secara fisik ia hidup tetapi mungkin penderitaan yang dialaminya adalah lebih berat dan panjang, terutama dari segi penderitaan sosial. Terpidana ini terisolasi dari rutinitas kehidupan sosialnya dan hal ini merupakan pukulan yang sangat berat, terlebih harus dipisahkan dari keluarga dekatnya selama ini.

Menurut Satjipto, dalam hukum sesungguhnya telah dikenal istilah “kematian perdata”. Konon kematian seperti ini pernah menimpa sejumlah orang pada masa pemerintahan orde baru lalu. Karena dianggap membahayakan penguasa, maka tanpa melalui proses peradilan, mereka dimatikan secara perdata. Orang yang terkena kematian perdata itu masih hidup segar bugar, tetapi jaringan kehidupan sosialnya banyak dimatikan, misalnya ia tidak dapat lagi melakukan usaha bisnisnya seperti biasa dan demikian juga dengan pembatasan terhadap berbagai aktifitas sosialnya. Pidana kematian sosial ini pada dasarnya dapat memberikan efek jera yang luar biasa sekaligus menjadi suatu evaluasi tepat terhadap suatu vonis hukuman, apakah vonis hukuman yang dijatuhkan pengadilan itu memang benar atau justru keliru dan berbanding terbalik dengan fakta kebenaran yang ada. Bagi orang yang telah dijatuhi pidana mati dan eksekusi sudah dilaksanakan, maka tidak ada sesuatu apapun yang dapat diperbaiki.
Apabila ternyata dibelakang hari terjadi kekeliruan terpidana tetap akan mati, sekalipun ternyata bukan dia yang melakukan perbuatan yang didakwakan. Ia tidak dapat lagi dihidupkan, meskipun nama baiknya dapat dipulihkan. Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran bersama.

Tidak ada komentar: