Terdapat beberapa teori-teori mengenai pembebanan
penjatuhan hukuman tersebut. Ada tiga teori, yakni; teori absolut, teori
relatif dan teori gabungan dan relatif. Dari
segi teori absolut, dengan aspek pembalasannya dan unsur membinasakan dalam
pengertian khusus teori absolut, bahwa pidana mati bukanlah pembalasan,
melainkan refleksi dari sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan,
maka nestapa yuridis berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga
keseimbangan dalam tertib hukum. Teori relatif dengana aspek menakutkan
(menjerakan) bertujuan melindungi masyarakat umum dan menakuti niat jahat calon
penjahat yang secara potensial berbuat jahat. Teori relatif mengandung aspek
menakutkan, tetapi lebih cenderung ke segi proses paksaan psikologis, dengan
maksud si penjahat menjadi jera, atau upaya menakuti bagi mereka yang secara
potensial dapat berbuat jahat. Teori gabungan absolut dan relatif, melihat bahwa
tujuan penjatuhan pidana adalah tidak sekedar bertujuan semata-mata hanya
pembalasan tetapi juga untuk menakutkan.
Sehubungan dengan ketiga teori tersebut diatas,
menarik untuk dikemukakan pendapat J.E. Sahetapy, yang menyatakan bahwa
sebaiknya teori-teori tersebut jika ingin dipakai hanya sebagai referensi saja.
Sebab teori-teori tersebut yang didasarkan atas pemikiran secara transcendental
atau secara “Conceptual Abstraction” belum dapat memberi jawaban yang
memuaskan. Lebih lanjut dikemukakannya, bahwa tujuan pidana bukanlah untuk
membalas perbuatan jahat dari si pelaku. Sebab bagaimanapun perbuatannya itu
sudah terjadi dan tidak perlu lagi disesali. Pernyataan ini ditunjang dengan
asumsi bahwa si pelaku menganggap pidana baginya bukan suatu penderitaan,
karena bagimanapun juga si pelaku merasa puas dan senang bahwa lawannya (si
korban) telah memperoleh suatu imbalan penderitaan. Ini berarti, bahwa
kejahatan sebagai tingkah laku bersifat simptomatik, tidak hanya si pelaku,
melainkan juga dalam hubungan antara si pelaku dan si korban, oleh karena
seringkali si korban juga memiliki sifat-sifat yang menimbulkan kecenderungan
untuk dijadikan mangsa dan dengan demikian ikut bertanggung jawab juga. Oleh
karena itu, pembalasan dalam bentuk apapun tidak akan membawa suatu
keseimbangan kembali, kecuali memuaskan nafsu bahwa sipelaku telah memperoleh
imbalan penderitaan. Demikian juga, pidana jangan hanya untuk menakut-nakuti
semata-mata. Tidak ada jaminan bahwa si pelaku akan menjadi takut dan si pelaku
tidak akan berbuat lagi.
Dalam prespektif sosiologis, hukuman mempunyai arti
sosial yang tertentu oleh karena kekuatan suatu sanksi tergantung pada persepsi
manusia mengenai sanksi/hukuman tersebut. Durkheim, mengkaitkan jenis sanksi
dengan jenis solidaritas sosial masyarakat. Pada solidaritas mekanis yang
didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi
yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum
kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut.
Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran
bersama. Pada masyarakat dengan solidaritas organis yang didasarkan pada
deferensiasi antara individu, maka sanksi/hukumannya bersifat restitutif. Oleh
karena itu, yang diperlukan adalah hukuman yang bersifat akomodatif, sifatnya
adalah menjaga perbedaan-perbedaan itu agar tidak menjadi disintegratif. Selain
dari persepsi orang terhadap sanksi, manusia juga mempunyai taraf toleransi
yang berbeda-beda terhadap penderitaan sebagai akibat pelanggaran. Kedudukan
sosio – ekonomi juga berpengaruh pada penjatuhan hukuman mati bagi seseorang.
Seperti yang diungkapkan dalam kajian di Amerika, disebutkan bahwa hukuman mati
akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap warga masyarakat yang miskin
dan minoritas, apabila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari golongan
kulit putih. Hal ini terkait dengan bantuan hukum bagi terdakwa. Mereka juga
lebih banyak dihukum mati jika dibantu oleh pengacara yang diitunjuk pengadilan
dibandingkan dengan jika didampingi oleh pengacara pribadi.
Salah satu bentuk hukuman pidana yang
berat adalah hukuman mati. Secara medis, kematian
diindikasikan dengan kematian fisik, namun kematian yang mungkin terjadi
sesungguhnya tidak hanya kematian fisik, tetapi juga kematian sosial. Dari
sudut pandang sosiologis, seseorang bisa disebut masih hidup secara fisik,
tetapi sekaligus mengalami kematian sosial. Hal tersebut terjadi di saat
sesorang berada dalam kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga kebebasannya
untuk melakukan aktifitas social dirampas habis. Kematian sosial bisa menjadi
suatu alternatif penting dalam bentuk sanksi pidana untuk menggantikan pidana
mati. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang yang dijatuhi hukuman dua kali
seumur hidup tanpa kemungkinan keringanan, secara fisik ia hidup tetapi mungkin
penderitaan yang dialaminya adalah lebih berat dan panjang, terutama dari segi
penderitaan sosial. Terpidana ini terisolasi dari rutinitas kehidupan sosialnya
dan hal ini merupakan pukulan yang sangat berat, terlebih harus dipisahkan dari
keluarga dekatnya selama ini.
Menurut Satjipto, dalam hukum sesungguhnya telah
dikenal istilah “kematian perdata”. Konon kematian seperti ini pernah menimpa
sejumlah orang pada masa pemerintahan orde baru lalu. Karena dianggap
membahayakan penguasa, maka tanpa melalui proses peradilan, mereka dimatikan
secara perdata. Orang yang terkena kematian perdata itu masih hidup segar
bugar, tetapi jaringan kehidupan sosialnya banyak dimatikan, misalnya ia tidak
dapat lagi melakukan usaha bisnisnya seperti biasa dan demikian juga dengan
pembatasan terhadap berbagai aktifitas sosialnya. Pidana kematian sosial ini
pada dasarnya dapat memberikan efek jera yang luar biasa sekaligus menjadi
suatu evaluasi tepat terhadap suatu vonis hukuman, apakah vonis hukuman yang
dijatuhkan pengadilan itu memang benar atau justru keliru dan berbanding
terbalik dengan fakta kebenaran yang ada. Bagi orang yang telah dijatuhi pidana
mati dan eksekusi sudah dilaksanakan, maka tidak ada sesuatu apapun yang dapat
diperbaiki.
Apabila ternyata dibelakang hari terjadi kekeliruan
terpidana tetap akan mati, sekalipun ternyata bukan dia yang melakukan
perbuatan yang didakwakan. Ia tidak dapat lagi dihidupkan, meskipun nama
baiknya dapat dipulihkan. Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada
kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan
bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau
menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut. Sehingga
sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar