A. Tokoh Eropa barat
1. Karl
Marx (1818-1883)
Menurut Mark, hukum dan kekuasaan politik itu
merupakan sarana kapitalis yang berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggengkan
kegunaan harta kekayaan sebagai sarana produksi dan sarana ekploitasi. Menurut
Marx hukum bukan saja berlaku sebagai fungsi politik saja, melainkan sebagai
fungsi ekonomi. Pokok pemikiran Marx dalam sosiologi hukum dalah sebagai
berikut:[1]
a. Hukum
adalah alat yang menyebabkan timbulnya konflik dan perpecahan. Hukum tidak
berfungsi untuk melindungi. Hukum hanya melindungi kelompok-kelompok yang
dominan.
b.
Hukum bukan
merupakan alat integrasi tetapi merupakan pendukung ketidaksamaan dan
ketidakseimbangan yang dapat membentuk perpecahan kelas.
c.
Hukum dan
kekuasaan merupakan sarana dari kaum kapitalis yang berkuasa di bidang ekonomi,
untuk melanggengkan kekuasaan
d.
Hukum bukanlah
model idealis dari moral masyarakat atau setidak-tidaknya masyarakat bukanlah
manisfestasi normatif dari apa yang telah dihukumkan.
Marx, dapat kita sebut sebagai seorang sosiologi
hukum. Pada saat mengemukakan pendapatnya tentang pencurian kayu pada tahun
184201843, marx mengatakan bahwa hukum adalah tatanan peraturan yang memenuhi
kepentingan kelas orang yang punya dalam masyarakat. Marx memandang masyarakat
sebagai suatu keseluruhan yang antagonis. Dalam pandangannya watak dasar
seperti ini ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas sosial yang
kepentingan-kepentingannya saling bertentangan dan tak dapat didamaikan karena
perbedaan kedudukan mereka dalam tatanan ekonomi.
2.
Henri S Maine
(1882-1888)
Pemikiran
Maine dalam bidang sosiologi hukum adalah sebagai berikut :
a.
Masyarakat
bukanlah masyarakat yang serba laten melainkan yang bersifat Contigent. Dari sinilah ia dicetuskan
sebagai bapak teori Evolusi klasik. Teori ini mengatakan bahwa masyarakat yang
progresif adalah masyarakat yang bergerak dari status ke kontrak.
b.
Dalam mayarakat
terdapat askripsi-askripsi tertentu, yang sesungguhnya merupakan penganugerahan
atribut dan kapasitas kepada warga masyarakat yang bersangkutan, dengan posisi
masing-masing didalam tatanan status yang telah diradisikan dalam masyarakat.
c.
Kenyataan dalam
masyarakat akan berubah tatkala msayarakat melakukan transisi ke
situasi-situasi baru, yang berhubungan dengan membeasrnya agregasi dalam
kehiduan. Juga kian meningkatnya interdepedensi antara segmen-segmen sosial
dalam kehidupan ekonomi.
Pemikiran maine tersebut didasarkan pada asumsi bahwa
masyarakat bukan sebagai suatu tipe ideal yang permanen, melainkan sebagai
suatu sistem variabel yang tak pernah bias terbebas dari berlakunya dinamika
proses. Oleh karena itu, ia megatakan bahwa masyarakat bukanlah yang serba
laten.
3.
Emile Durkheim
(1858-1917)
Ia adalah seorang ahli sosiologi yang sejak semula
mempunyai perhatian yang sangat tinggi terhadap hukum. Sebagai seorang
sosiolog, ia amat terikat pada penggunaan metodologi empiris. Dalam mengungkap
idenya tentang hukum, Durkheim bertolak dari penemuan yang terjadi dalam
masyarakat. Dengan metode empirisnya, ia melihat jenis-jenis hukum dengan tipe
solidaritas dalam masyarakat. Ia membuat perbedaan antara hukum yang menindak
dengan hukum yang mengganti, atau Repressive
dengan Restitutive. Menurut Durkheim,
hukum dirumuskan sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya suatu
sanksi tergantung kepada suatu pelanggaran dan anggapan masyarakat sendiri
tentang sanksi tersebut.
Durkheim mengajukan tipologi yang membedakan secara
dikotomis dua tipe solidaritas yaitu mekanis dan organis. Masyarakat berkembang
dari tipe mekanis ke tipe organis. Adapun rinciannya sebagai berikut :
1.
Hukum dan
Solidaritas Mekanis
Dikatakan oleh Dukheim, ketika masyarakat masih berada pada tahap diferensiasi segmental, masyarakat tampak sebagai himpunan
sekian banyak satuan pilihan, yang masing-masing berformat kecil dan anatara
satu dengan yang lain seragam. Dalam solidaritas ini, seorang warga masyarakat
secara langsung terikat kepada masyarakat. Hal ini dapat terjadi dengan
indikasi cita-citabersama dari masyarakat yang bersangkutan secara kolektif
lebih kuat serta lebih insentif daripada cita-cita masing-masing warga secara
individual.
2. Hukum dan Solidaritas Organis
Hukum yang menidak mencerminkan masyarakat yang bersifat kolektif,
sedangkan hukum yang mengganti merupakan cerminan masyarakat yang telah
terdiferensiasi dan terspesialisasi ke dalam fungsi-fungsi. Keadaan ini menciptakan perbedaan-perbedaan
dalam pengalaman dan pandangan. Tipe inilah yang dinamakan oleh Durkheim dengan
tipe solidaritas organis. Dalam masyarakat yang berkembang secara modern,
heterogen dan penuh dengan diferensiasi, solidaritas organik dapat mengatasi
solidaritas mekanis. Hukum represif tak lagi berfungsi secara dominan. Hukum
represif akan digantikan oleh hukum restitutif, yang lebih menekankan arti
pentingnya restitusi atau pemulihan serta kompensasi untuk menjaga kelestarian
masyarakat. Hukum ini konkritnya adalah tampak dalam hukum pidana. Hukum
seperti ini menurut Durkheim, berfungsi untuk menanggulangi apa yang disebut
dengan nurani kolektif.
Weber memandang hukum sebagai suatu kumpulan
norma-norma atau aturan-aturan yang dikelompokkan dan dikombinasikan
dengan consensus, menggunakan alat
kekerasan sebagai daya paksaan. Ia menganggap bahwa hukum adalah kespakatan
yang valid dalam suatu kelompok tertentu. Weber disebut sebagai bapak sosilogi
hukum modern, yang menggarap hukum secara komprehensif dengan metode
sosiologis. Usaha Weber untuk menyingkap ciri yang menonjol dari masyarakat
barat, membawanya kepada rasionalitas sebagai kuncinya.
Tipologinya yang disusun melalui sumbu
formal-subtantif dan sumbu Irasional-Rasional, yaitu sebagai berikut :
1.
Menyangkut
perbedaan bagaimana suatu sistem hukum itu disusun, sehingga merupakan suatu
sistem yang mampu menentukan sendiri peraturan dan prosedur yang dipakai untuk
mengambil suatu keputusan.
2.
Subtantif,
bersifat eksternal dan merujuk kepada ukuran di luarnya, terutama kepada
niali-nilai agama, etika serta politik.
Weber berpendapat, hukum memiliki rasionalitasnya yang
subtantif ketika subtansi hukum itu memang terdiri dari aturan-aturan umum In
Abstracto, yang siap didedukasikan guna menangani kasus konkrit. Ada tiga tipe
dalam penyelenggaran dalam pengadilan menurut Weber yaitu :
a.
Tipe perdilan
kadi atau peradilan dengan fungsi perdamaian atas dasar kerifan dan
kebijaksanaan sang pengadil.
b.
Tipe perdailan
empiris, dan
c.
Tipe peradilan
yang rasional
Peradilan
Kadi, menurut Weber adalah perdilan yangsangat arbiter dan karenanya dinilai
sebagai pengadilan yang tidak rasional. Keputusan peradilan ini dipercayakan
sepenuhnya kepada sang pengadil, tanpa diperlukan adanya kontrol oleh system
lainnya. Tipe empiris adalah tipe pradilan yang lebih rasional, sekalipun belum
sepenuhnya. Dalam peradilan empiris ini, sang hakim memutuskan perkara-perkara
sepenuhnya dengan cara beranalogi. Peradilan ini dilakukan oleh mereka yang
bernaung di bawah filsafat positivisme.
B.
Tokoh Amerika serikat
1. Oliver Wendell Holmes (1841-1935)
Holmes yang dikenal dengan revolusi sosiologi dalam ilmu hukum di
Amerika Serikat. Holmes menolak dengan tegas mazhab analitis maupun mazhab
historis. Pikiran utama Holmes dalam sosiologi hukum ini adalah bahwa setiap
hakim bertanggungjawab memformulasi hukum lewat keputusan-keputusannya. Hakim
harus selalu sadar dan yakin bahwa hukum itu adalah bukan suatu hal yang Omnipressnt in the sky, melainkan
sesuatu yang senantiasa hadir dalam situasi-situasi konkrit To meet the social need. Ia menuliskan the life of law is not logic : it has been
experience, bahwa kehidupan hukum tidak pernah berdasarkan logika,
melainkan merupakan pengalaman yang isinya harus dilukiskan oleh sosiologi
hukum.[2]
Menurut Holmes, hukum bukan saja dilihat dari definisi yurisprudensi
tetapi ramalan-ramalan yang akan diputuskan oleh pegadilan. Pendekatan yang
digunakan oleh Holmes adalah pragmatis. Hakim harus benar-benar memperhatikan
pembuatan keputusan hukum dan bagi Holmes hukum merupakan hal yang aktual bagi
hukum.
2. Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)
Ia adalah seorang hakim yang bertolak dari perenungan tentang perlunya
memperbaharuai teknik hkum yang aktual. Menurutnya, dalam setiap praktik
peradilan terdapat suatu ketidakpastian yang semakin besar yang diakibatkan
oleh keputusan pengadilan. Adalah suatu manifestasi yang tidak dapat dicegah
dari kenyataan bahwa proses peradilan bukanlah penemuan hukum, melainkan
penciptaan hukum. Ide pemikiran hukum Cardozo ini dapat ditemukan dalam
bukunya, The nature of judicial Process.
Pemikiran Cardozo adalah sebagai berikut :
a. Hakim
memiliki kebebasan untuk memutuskan suatu perkara tetapi batasannya tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan hukum.
b. Berbagai kehiduipan sosial seperti logika, rakyat,
sejarah dan standar moralitas yang disepakati bersama-sama dalam kehidupan,
merupakan instrument kea rah terciptanya hukum.
c. Hukum harus tetap sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan
sosial.
3. Roscoe Pound (1870-1964)
Pandangan Roscoe Pound adalah hukum diselenggarakan untuk memaksimalkan
pemuasan kebutuhan dan kepentingan interest. Ia lebih cenderung melihat
kepentingan (bukan etika dan moral) dalam kehidupan hukum. Ia mengatakan bahwa
hukum ini diperlukan karena adanya berbagai kepentingan dalam setiap bidang
kehidupan. Adapun pokok pikiran Pound adalah sebagai berikut:
a. Ia lebih menelaah akibat-akibat sosial yang actual
dari adanya lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum (lebih pada fungsi
hukum daripada isi abstraknya).
b. Mengajukan studi sosiologis untuk mempersiapkan
perundang-undangan dan menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat
diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana dalam menemukan cara-cara terbaik
untuk melanjutka dan membimbing usaha-usaha yang seperti itu.
c. Untuk menciptakan efektivitas cara dalam membuat
peraturan perundang-undangan dan member tekanan kepada hukum untuk mencapai
tujuan-tujuan sosial (tidak ditekankan kepada sanksi).
Pound lebih memandang hukum sebagai proses rekayasa sosial. Hukum adalah
sarana untuk dapat mengontrol masyarakat.
C.
Positivisme Hukum dan masalahnya
Hukum seringkali dikatakan sebagai memiliki karakter beraspek ganda yang
dapat diekspresikan dalam berbagai macam cara. Sehingga hukum terdiri dari
beberapa preskripsi, dalil-dalil harus yang menentukan cara subyek-subyek hukum
harus berjalan. Namun , pada saat yang sama ia membangun sebuah fenomena sosial
yang hanya ada apabila petunjuk pelaksanaan benar-benar memiliki pengaruh pada
cara orang berfikir atau bertingkah laku.[3]
Ia merupakan sollen dan sein, harus dan ada. Ia dipandang sebagai mengajukan
masalah untuk dianalisis karena, meskipun hukum itu merupakan norma preskriptif
sekaligus fakta empiris, kedua kategori ini saling meniadakan satu sama lain
secara logis. Pendekatan ini, yang merupakan sebuah konsepsi filosofis dari apa
yang menciptakan pengetahuan yang valid dan bagaimana ia diperoleh, telah
menyebar luas ke dalam teori hukum maupun sains sosial dan dikenal sebagai positivisme.
Pada intinya positivisme adalah sebuah posisi filosofis yang menegaskan
bahwa pengetahuan ilmiah yang berasal dari observasi terhadap data dari
pengalaman dan bukan spekulasi yang berusaha untuk melihat ke balik fakta-fakta
yang di observasi untuk mengetahui sebab utama makna ataupun esensi. Dalam
versi positivisme yang paling kuat ia sama sekali tidak membangun pengetahuan.
Sehingga fakta dan nilai dipisahkan secara kaku. Ia sendirinya tidak boleh
membuat penilaian subyektif terhadap apa yang diobservasinya dan ia tidak boleh
melakukan penyelidikan ke dalam makna atau signifikan utama dari nilai-nilai
yang dipegang oleh orang-orang yang diobservasinya. Pengujian yang dengannya
positivisme hukum dapat mengenali eksistensi hukum atau hukum-hukum tertentu
adalah pengujian yang analog dengan pengujian yang digunakan para ilmuan untuk
dapat mengenali kehadiran unsure kimiawi tertentu.
Positivisme hukum berusaha mencari pengujian hukum yang memungkinnya
untuk mengidentifikasi data hukum sejauh mungkin tanpa melihat ke balik
peraturan-peraturan legislatif tersebut, yakni kepada proses pembentukannya,
dan tanpa mempertimbangkan sikap-sikap atau nilai-nilai yudisial. Positivisme
adalah sebuah pondasi filosofis modern utama dari pengetahuan hukum
professional, sebuah bentuk pengetahuan yang akan dipertimbangkan dari sudut
pandang sosiologis. Sebagai sebuah filsafat hukum, positivisme mendapat
serangan yang sangat kuat khususnya dari kalangan yang berkaitan secara tidak
langsung dengan upaya mempertahankan struktur professional tertentu dalam
prkatik hukum. Ia dianggap telah mengabaikan peran niali-nilai atau setidaknya
prinsip-prinsip sebagai sebuah komponen hukum. Bahwa dalam memperlakukan
pengaturan sebagai data hukum yang tersedia ia mengasumsikan kepastian dan
kejelasan di dalam perturan yang sama sekali tidak jelas, dan bahwa ia tidak
bias menanggulangi masalah hubungan yang kompleks antara peraturan dan
kekuasaan diskresioner dari kalangan pejabat pemebntuk regulasi hukum di dalam
masyarakat kontemporer yang kompleks.
[1] Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Grasindo,
Jakarta, 2008, hlm. 133
[3] Roger Cotterrel, Sosiologi Hukum (The Sosiologi Of Law), Nusa Media, Bandung, 2012, hlm. 11.
[4]www.junaidimaulana.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar