PATOLOGI SOSIAL
PENDAHULUAN
Zaman
pertemuan banyak kebudayaan sebagai hasil dari semakin padatnya jaringan
komunikasi daerah, nasional, dan internasional. Amalgamasi antara
bermacam-macam kebudayaan itu kadangkala bisa berlangsung lancar, tetapi, tidak
jarang pula sebagiannya berlangsung melalui konflik-konflik hebat. Terjadilah
konflik-konflik budaya dengan kemunculan situasi sosial yang khaotis dan
kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa dirukunkan sehingga mengakibatkan
banyak kecemasan, ketegangan dan ketakutan dikalangan rakyat banyak, yang
semuanya tidak bisa dicernakan dan diintegrasikan oleh individu. Situasi sosial
seperti ini pada akhirnya mudah mengembangkan tingkah laku patologis/sosiopatik
yang menyimpang dari pola-pola umum. Situasi tersebut menimbulkan
kelompok-kelompok dan fraksi-fraksi ditengah masyarakat yang terpecah-pecah,
masing-masing menaati norma-norma dan peraturannya sendiri, dan bertingkah
semau sendiri. Maka muncullah banyak masalah sosial, tingkahlaku sosiopatik,
deviasi sosial, disorganisasi sosial, disintegrasi sosial, dan diferensiasi sosial.
Lambat laun, hal itu menjadi meluas dalam masyarakat.
A.
Pengertian Patologi Sosial
Pada awal ke-19 dan
awal abad 20-an, para sosiolog mendefinisikan patologi sosial sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan
norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik,
solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum
formal. Secara etimologis, kata patologi berasal dari kata Pathos
yang berarti disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti berbicara
tentang/ilmu. Jadi, patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang penyakit
atau ilmu tentang penyakit. Maksud dari pengertian diatas bahwa patologi adalah
ilmu yang membicarakan tentang asal usul dan sifat-sifatnya penyakit.
Konsep ini bermula dari
pengertian penyakit di bidang ilmu kedokteran dan biologi yang kemudian
diberlakukan pula untuk masyarakat karena menurut penulis google bahwa
masyarakat itu tidak ada bedanya dengan organisme atau biologi sehingga dalam
masyarakatpun dikenal dengan konsep penyakit. Sedangkan kata sosial
adalah tempat atau wadah pergaulan hidup antar manusia yang perwujudannya
berupa kelompok manusia atau organisasi yakni individu atau manusia yang
berinteraksi / berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau manusia dalam
arti fisik. Tetapi, dalam arti yang lebih luas yaitu comunity atau
masyarakat. Maka pengertian dari patologi social adalah ilmu tentang gejala-gejala
sosial yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu
tentang asal usul dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat
adanya mnusia dalam hidup masyarakat. Berikut pengertian Patologi
Sosial atau sering juga disebut dengan perilaku menyimpang menurut para ahli:
1.
Sigmunt
Freud (1856-1939)
Perilaku menyimpang ditandai oleh
adanya pola-pola kepribadian yang inadekuat disertai dengan
pengalaman-pengalaman atau konflik-konflik ketidaksadaran antara
komponen-komponen kerpibadian id, ego dan superego.
2.
Kartino
Kartono
Patologi Sosial adalah semua
tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola
kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun
bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal.
3.
Dollard
Penyimpangan perilaku disebabkan
oleh adanya agresi sebagai akibat rasa frustasi yang muncul karena
ketidakpuasan dalam diri seseorang.
4.
C.C.
North
Dalam usaha pencapaian tujuan dan
sasaran hidup yang bernilai bagi satu kebudayaan atau satu masyarakat, harus
disertakan etik sosial guna menentukan cara pencapaian sasaran.
5.
Koe
Soe Khiam (1963)
Patologi sosial adalah suatu gejala dimana tidak
ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu keseluruhan sehingga dapat
membahayakan kehidupan kelompok atau yang merintangi pemuasan keinginan
fundamental dari anggota-anggotanya, akibatnya pengikatan sosial patah sama
sekali.
6.
Soejono
Soekanto
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian
antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kelompok
sosial.
7.
Blummer
(1971) dan Thampson (1988)
Menyatakan bahwa masalah
sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu
entitas yang berpengaruh, yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat dan
kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama.
8.
James Vender Zender
Perilaku menyimpang adalah
perilaku yang dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas-batas toleransi
oleh sejumlah besar orang.
9.
Bruce J Cohen
Perilaku menyimpang adalah setiap
perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak
masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
10. Robert
M.Z. Lawang
Perilaku menyimpang adalah semua
tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem
sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk
memperbaiki perilaku tersebut.
B. Sejarah
dan latar belakang Patologi Sosial
Manusia sebagai makhluk
yang cenderung selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya telah menghasilkan
teknologi yang berkembang sangat pesat sehingga melahirkan masyarakat modern
yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi,
industrialisasi, dan urbanisasi, dll. Hal ini disamping mampu memberikan
berbagai alternatif kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat menimbulkan
hal-hal yang berakibat negatif kepada manusia dan kemanusiaan itu sendiri yang
biasa disebut masalah sosial.
Adanya revolusi
industri menunjukan betapa cepatnya perkembangan ilmu-ilmu alam dan eksakta
yang tidak seimbang dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial, berakibat pada
kesulitan yang nyaris dapat menghancurkan umat manusia. Misalnya, Pemakaian
mesin-mesin industri di pabrik-pabrik, mengubah cara bekerja manusia yang dulu
memakai banyak tenaga manusia sekarang diperkecil, terjadinya pemecatan buruh
sehingga pengangguran meningkat (terutama tenaga kerja yang tidak terampil),
dengan timbulnya kota-kota industri cenderung melahirkan terjadinya urbanisasi
besar-besaran. Penduduk desa yang tidak terampil dibidang industri mengalir ke
kota-kota industri, jumlah pengangguran di kota semakin besar, adanya
kecenderungan pengusaha lebih menyukai tenaga kerja wanita dan anak-anak (lebih
murah dan lebih rendah upahnya). Pada akhirnya, keadaan ini semakin menambah
banyaknya masalah kemasyarakatan (social
problem) terutama pada buruh rendah yang berkaitan dengan kebutuhan sandang
pangannya seperti, perumahan, pendidikan, perlindungan hukum, kesejahteraan
social, dll.
Kesulitan mengadakan
adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan
konflik-konflik. Baik yang bersifat internal dalam batinnya sendiri maupun
bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga manusia cenderung banyak melakukan
pola tingkah laku yang menyimpang dari pola yang umum dan melakukan sesuatu
apapun demi kepentingannya sendiri bahkan cenderung dapat merugikan orang lain.
Sejarah mencatat bahwa orang menyebut suatu peristiwa sebagai penyakit sosial murni dengan ukuran moralistik. Sehingga apa yang
dinamakan dengan kemiskinan, pelacuran, alkoholisme, perjudian, dsb adalah
sebagai gejala penyakit sosial yang harus segera dihilangkan dimuka bumi.
Kemudian pada awal abad
19-an sampai awal abad 20-an, para sosiolog mendefinisikan yang sedikit berbeda
antara patologi sosial dan masalah sosial. Masalahnya adalah kapan kita berhak
menyebutkan peristiwa itu sebagai gejala patologis atau sebagai masalah sosial?
Menurut kartini dalam bukunya “patologi social” menyatakan bahwa orang yang dianggap kompeten dalam menilai
tingkah laku orang lain adalah pejabat, politisi, pengacara, hakim, polisi,
dokter, rohaniawan, dan kaum ilmuan dibidang social. Sekalipun adakalanya
mereka membuat kekeliruan dalam membuat analisis dan penilaian tehadap gejala
sosial, tetapi pada umumnya mereka dianggap mempunyai peranan menentukan dalam
memastikan baik buruknya pola tingkah laku masyarakat. Mereka juga berhak menunjuk
aspek-aspek kehidupan sosial yang harus atau perlu diubah dan diperbaiki.
Ada orang yang
berpendapat bahwa pertimbangan nilai (value, judgement, mengenai baik dan
buruk) sebenarnya bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang objektif sebab
penilaian itu sifatnya sangat subjektif. Karena itu, ilmu pengetahuan murni
harus meninggalkan generalisasi-generalisasi etis dan penilaian etis (susila,
baik dan buruk). Sebaliknya kelompok lain berpendapat bahwa dalam kehidupan
sehari-hari, manusia dan kaum ilmuan tidak mungkin tidak menggunakan pertimbangan
nilai, sebab opini mereka selalu saja merupakan keputusan yang dimuati dengan
penilaian-penilaian tertentu.
Untuk menjawab dua
pendirian yang kontroversial tersebut, kita dapat meninjau kembali masalah ini
secara mendalam dari beberapa point yang disebutkan oleh Kartini Kartono dalam
bukunya yang berjudul Patologi Sosial, sebagai berikut:
- ilmu pongetahuan itu sendiri selalu mengandung nilai-nilai tertentu. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan menyangkut masalah mempertanyakan dan memecahkan kesulitan hidup secara sistematis selalu dengan jalan menggunakan metode dan teknik-teknik yang berguna dan bernilai. Disebut bernilai karena dapat memenuhi kebutuhan manusiawi yang universal ini, baik yang individual maupun sosial sifatnya, selalu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bernilai.
- ada keyakinan etis pada diri manusia bahwa penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan modern untuk menguasai alam (kosmos,jagad) sangatlah diperlukan demi kesejahteraan dan pemuasan kebutuhan hidup pada umumnya. Jadi ilmu pengetahuan dengan sendirinya memiliki system nilai. Lagi pula kaum ilmuan selalu saja memilih dan mengembangkan usaha/aktivitas yang menyangkut kepentingan orang banyak. jadi memilih masalah dan usaha yang mempunyai nilai praktis.
- falsafah yuang demokratis sebagaimana tercantum dalam pancasila menyatakan bahwa baik individu maupun kelompok dalam masyarakat Indonesia, pasti mampu memformulasikan serta menentukan system nilai masing-masing dan sanggup menentukan tujuan serta sasaran yang bernilai bagi hidupnya.
Seperti apa yang
dikatakan George Lundberg salah seorang tokoh Sosiolog yang dianggap dominan
terhadap aliran neo-positivisme dalam
sosiologi menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat otoriter, karena itu
ilmu pengetahuan mengandung dan harus memilki moralitas ilmiah atau hukum moral
yang conform dan seimbang dengan hukum
alam. Pandangan itu juga diperkuat oleh C.C. North, seorang Sosiolog lain dalam
bukunya Sosial Problems and Social
Planning, menyatakan bahwa dalam usaha pencapaian tujuan dan sasaran hidup
yang bernilai bagi satu kebudayaan atau satu masyarakat, harus disertakan etik
sosial guna menentukan cara pencapaian sasaran tadi. Jadi, cara atau metode
pencapaian itu secara etis-susila harus bisa dipertanggungjawabkan. Sebab,
manusia normal dibekali alam dengan budidaya dan hati nurani sehingga ia
dianggap mampu menilai baik dan buruknya setiap peristiwa.
Adapun istilah/konsep
lain untuk patologi social adalah masalah sosial, disorganisasi sosial/ (social
disorganization)/disintegrasi sosial,
sosial maladjustment, Sociopathic, Abnormal, Sociatri. Tingkah
laku sosiopatik jika diselidiki melalui pendekatan (approach), sebagai berikut:
1) Approach Biologis
Pendekatan biologis tentang tingkahlaku
sosiopatik dalam biologi biasanya terfokus pada bagian genetik.
- Patologi itu menurun melalui gen/plasma pembawa sifat di dalam keturunan, kombinasi dari gen-gen atau tidak adanya gen-gen tersebut.
- Ada pewaris umum melalui keturunan yang menunjukkan tendesi untuk berkembang kearah pathologis (tipe kecenderungan yang luar biasa abnormal)
- Melaui pewarisan dalam bentuk konstitusi yang lemah, yang akan berkembang kearah tingkahlaku sosiopatik.
Bentuk tingkahlaku yang menyimpang
secara sosial yang disebabkan oleh ketiga hal tersebut diatas dan ditolak oleh
umum seperti: homoseksualitas, alkoholistik, gangguan mental, dll.
2) Approach
Psychologist dan Psychiatris
a) Pendekatan Psikologis
Menerangkan tingkahlaku sosiopatik
berdasarkan teori intelegensi, sehingga individu melanggar norma-norma sosial
yang ada antara lain karena faktor-faktor: intelegensi, sifat-sifat
kepribadian, proses berfikir, motivasi, sifat hidup yang keliru, internalisasi
yang salah.
b) Pendekatan Psychiatris
Berdasarkan teori konflik emosional dan
kecenderungan psikopatologi yang ada di balik tingkahlaku menyimpang.
c) Approach Sosiologis
Penyebab tingkahlaku sosiopatik adalah
murni sosiologis yaitu tingkahlaku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan
suatu norma umum yang pada suatu tempat dan waktu tertentu sangat ditentang
atau menimbulkan akibat reaksi sosial “tidak setuju”. Reaksi dari masyarakat
antara lain berupa, hukuman, segregrasi (pengucilan / pengasingan), pengucilan,
Contoh: mafia (komunitas mafia dengan perilaku pengedar narkoba)
Menurut St. Yembiarto
(1981) bahwa studi patologi social memilki fase-fase tersendiri[5]. Adapun perkembangan patologi sosial ada
melalui tiga fase,
1.
Fase masalah sosial (social problem)
Pada fase ini menjadi penyelidikan
patisos action masalah-masalah sosial seperti pengangguran, pelacuran,
kejahatan, masalah penduduk, dst
2.
Fase disorganisasi sosial
Pada fase ini menjadi objek penyelidikan
peksos adalah disorganisasi sosial, fase ini merupakan koreksi dan perkembangan
dan fase masalah sosial
3.
Fase sistematik
Fase ini merupakan perkembangan dari dua
fase sebelumnya. Pada fase ini patsos berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang
memiliki sistem yang bulat.
B.
Ciri-ciri Perilaku Menyimpang
Menurut Paul B Horton
penyimpangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1.
Penyimpangan
harus dapat didefinisikan, artinya penilaian menyimpang tidaknya suatu perilaku
harus berdasar kriteria tertentu dan diketahui penyebabnya.
2.
Penyimpangan
bisa diterima bisa juga ditolak.
3.
Penyimpangan
relatif dan penyimpangan mutlak, artinya perbedaannya ditentukan oleh frekuensi
dan kadar penyimpangan.
4.
Penyimpangan
terhadap budaya nyata ataukah budaya ideal, artinya budaya ideal adalah segenap
peraturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Antara budaya
nyata dengan budaya ideal selalu terjadi kesenjangan.
5.
Terdapat
norma-norma penghindaran dalam penyimpangan. Norma penghindaran adalah pola
perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginan mereka, tanpa harus
menentang nilai-nilai tata kelakuan secara terbuka.
6.
Penyimpangan
sosial bersifat adaptif, artinya perilaku menyimpang merupakan salah satu cara
untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.
C.
Sifat-sifat Penyimpangan
Penyimpangan
sebenarnya tidak selalu berarti negatif, melainkan ada yang positif. Dengan
demikian, penyimpangan sosial dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
penyimpangan positif dan penyimpangan negatif.
1.
Penyimpangan positif
Penyimpangan positif merupakan
penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang didambakan, meskipun
cara yang dilakukan menyimpang dari norma yang berlaku. Contoh seorang ibu yang
menjadi tukang ojek untuk menambah penghasilan keluarga.
2.
Penyimpangan negatif
Penyimpangan negatif merupakan
tindakan yang dipandang rendah, melanggar nilai-nilai sosial, dicela dan
pelakunya tidak dapat ditolerir masyarakat. Contoh pembunuhan, pemerkosaan,
pencurian dan sebagainya.
D.
Jenis-jenis Perilaku Menyimpang
Menurut
Lemert (1951) Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk yaitu penyimpangan primer
dan sekunder.
1.
Penyimpangan Primer
Penyimpangan yang dilakukan
seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri
penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara, tidak dilakukan secara
berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Contohnya: pengemudi
yang sesekali melanggar lalu lintas.
2.
Penyimpangan Sekunder
Penyimpangan yang dilakukan
secara terus menerus sehingga para pelakunya dikenal sebagai orang yang
berperilaku menyimpang. Misalnya orang yang mabuk terus menerus. Contoh seorang
yang sering melakukan pencurian, penodongan, pemerkosaan dan sebagainya.
Sedangkan menurut pelakunya,
penyimpangan dibedakan menjadi penyimpangan individual dan penyimpangan
kelompok.
a.
Penyimpangan individual
Penyimpangan individual adalah
penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang atau individu tertentu terhadap
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Contoh: seseorang yang sendirian
melakukan pencurian.
b.
Penyimpangan kelompok
Penyimpangan kelompok adalah
penyimpangan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap norma-norma
masyarakat. Contoh geng penjahat.
E.
Sebab-sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang
1.
Penyimpangan sebagai akibat dari
proses sosialisasi yang tidak sempurna
Karena ketidaksanggupan menyerap
norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, seorang individu tidak mampu
membedakan perilaku yang pantas dan yang tidak pantas. Ini terjadi karena
seseorang menjalani proses sosialisasi yang tidak sempurna dimana agen-agen
sosialisasi tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.
Contohnya seseorang yang berasal dari keluarga broken home dan kedua orang tuanya tidak dapat mendidik si anak secara sempurna sehinga ia tidak mengetahui hak-hak dan kewajibanya sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat. Perilaku yang terlihat dari anak tersebut misalnya tidak mengenal disiplin, sopan santun, ketaatan dan lain-lain.
Contohnya seseorang yang berasal dari keluarga broken home dan kedua orang tuanya tidak dapat mendidik si anak secara sempurna sehinga ia tidak mengetahui hak-hak dan kewajibanya sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat. Perilaku yang terlihat dari anak tersebut misalnya tidak mengenal disiplin, sopan santun, ketaatan dan lain-lain.
2.
Penyimpangan karena hasil proses
sosialisasi subkebudayaan menyimpang
Subkebudayaan adalah suatu
kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang
dominan. Unsur budaya menyimpang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang
dimiliki oleh anggota-anggota kelompok yang bertentangan dengan tata tertib
masyarakat. Contoh kelompok menyimpang diantaranya kelompok penjudi, pemakai
narkoba, geng penjahat, dan lain-lain.
3.
Penyimpangan sebagai hasil proses
belajar yang menyimpang
Proses belajar ini melalui
interaksi sosial dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang berperilaku
menyimpang yang sudah berpengalaman. Penyimpangan inipun dapat belajar dari
proses belajar seseorang melalui media baik buku, majalah, koran, televisi dan
sebagainya.
F.
Teori-Teori Penyimpangan
Teori-teori umum
tentang penyimpangan berusaha menjelaskan semua contoh penyimpangan sebanyak
mungkin dalam bentuk apapun (misalnya kejahatan, gangguan mental, bunuh diri
dan lain-lain). Berdasarkan perspektifnya penyimpangan ini dapat digolongkan
dalam dua teori utama. Perpektif patologi sosial menyamakan masyarakat dengan
suatu organisme biologis dan penyimpangan disamakan dengan kesakitan atau
patologi dalam organisme itu, berlawanan dengan model pemikiran medis dari para
psikolog dan psikiatris. Perspektif disorganisasi sosial memberikan pengertian
pemyimpangan sebagai kegagalan fungsi lembaga-lembaga komunitas lokal.
Masing-masing pandangan ini penting bagi tahap perkembangan teoritis dalam
mengkaji penyimpangan.
Penyimpangan yang
terjadi dalam masyarakat dapat dipelajari melalui berbagai teori, diantaranya
sebagai berikut.
1.
Teori Labeling
Menurut Edwin M. Lemert,
seseorang menjadi orang yang menyimpang karena proses labelling berupa julukan,
cap dan merk yang ditujukan oleh masyarakat ataupun lingkungan sosialnya.
Mula-mula seseorang akan melakukan penyimpangan primer (primary deviation) yang
mengakibatkan ia menganut gaya hidup menyimpang (deviant life style) yang
menghasilkan karir menyimpang (deviant career).
2.
Teori Hubungan Diferensiasi
Menurut Edwin H. Sutherland, agar
terjadi penyimpangan seseorang harus mempelajari terlebih dahulu bagaimana
caranya menjadi seorang yang menyimpang. Pengajaran ini terjadi akibat
interaksi sosial antara seseorang dengan orang lain yang berperilaku
menyimpang.
3.
Teori Anomi Robert K Merton
Robert K. Merton menganggap
anomie disebabkan adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan
cara-cara yang diapakai untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Merton terdapat
lima cara pencapaian tujuan budaya, yaitu:
a.
Konformitas
Konformitas adalah sikap yang
menerima tujuan budaya yang konvensional (biasa) dengan cara yang juga
konvensional.
b.
Inovasi
Inovasi adalah sikap seseorang
menerima secara kritis cara-cara pencapaian tujuan yang sesuai dengan
nlai-nilai budaya sambil menempuh cara baru yang belum biasa dilakukan.
c.
Ritualisme
Ritualisme adalah sikap seseorang
menerima cara-cara yang diperkenalkan sebagai bagian dari bentuk upacara
(ritus) tertentu, namun menolak tujuan-tujuan kebudayaannya.
d.
Retreatisme
Retreatisme adalah sikap
seseorang menolak baik tujuan-tujuan maupaun cara-cara mencapai tujuan yang
telah menajdi bagian kehidupan masyarakat ataupun lingkungan sosialnya.
e.
Pemberontakan
Pemberontakan adalah sikap
seseorang menolak sarana dan tujuan-tujuan yang disahkan oleh budaya
masyarakatnya dan menggantikan dengan cara baru.
4.
Teori Kontrol
Perspektif
kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan
kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan
individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial.
Kelompk-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung
melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional.
Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali
kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya. Tapi jika ada jarak
sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk
menyimpang.
5.
Teori Konflik
Teori
konflik adalah pendekatan terhadap penyimpangan yang paling banyak
diaplikasikan kepada kejahatan, walaupun banyak juga digunakan dalam
bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Ia adalah teori penjelasan norma, peraturan
dan hukum daripada penjelasan perilaku yang dianggap melanggar peraturan.
Peraturan datang dari individu dan kelompok yang mempunyai kekuasaan yang
mempengaruhi dan memotong kebijakan publik melalui hukum. Kelompok-kelompok
elit menggunakan pengaruhnya terhadap isi hukum dan proses pelaksanaan sistem
peradilan pidana. Norma sosial lainnya mengikuti pola berikut ini. Beberapa
kelompok yang sangat berkuasa membuat norma mereka menjadi dominan, misalnya
norma yang menganjurkan hubungan heteroseksual, tidak kecanduan minuman keras,
menghindari bunuh diri karena alasan moral dan agama.
Homoseksualitas
menyangkut orientasi dan perilaku seksual. Perilaku homoseksual adalah hubungan
seks antara orang yang berjenis kelamin sama. Orientasi homoseksual adalah
sikap atau perasaan ketertarikan seseorang pada orang lain dengan jenis kelamin
yang sama untuk tujuan kepuasan seksual. Lebih banyak perilaku homoseksual
dibandingkan orang yang memiliki orientasi homoseksual. Norma dan aturan hukum
yang melarang homoseksualitas dianggap kuno, di mana opini masyarakat
akhir-akhir ini lebih bisa menerima homoseksualitas.
Perkembangan
suatu orientasi homoseksualitas terjadi dalam konteks biologis. Tetapi makna
sesungguhnya dari orientasi tersebut berada dalam proses sosialisasi seksual
dan penerimaan serta indentifikasi peran seks. Sosialisasi seksual adalah suatu
proses yang kompleks yang dimulai dari belajar norma. Norma-norma seksual
mengidentivikasi objek seksual, waktu, tempat dan situasi. Banyak kombinasi
yang mungkin dapat terjadi dan termasuk terjadinya kesalahan dalam sosialisasi.
Preferensi seksual terbentuk saat masa remaja, walaupun banyak juga para
homoseksual yang menjadi homoseksual di usia yang lebih tua. Penerimaan
identifas homoseksual terjadi setelah suatu proses peningkatan aktivitas
homoseksual dan partisipasi dalam suatu subkebudayaan homoseksual atau
komunikasi homoseksual. Secara sosiologis, seorang homoseksual adalah orang
yang memiliki identitas homoseksual.
G.
Bentuk-bentuk Perilaku Menyimpang
1.
Penyalahgunaan Narkoba
Merupakan bentuk penyelewengan
terhadap nilai, norma sosial dan agama. Dampak negatif yang ditimbulkan akan
menyebabkan berkurangnya produktivitas seseorang selama pemakaian bahan-bahan
tersebut bahkan dapat menyebabkan kematian.
Menurut Graham Baliane, ada beberapa penyebab seseorang remaja memakai narkoba, antara lain sebagai berikut:
Menurut Graham Baliane, ada beberapa penyebab seseorang remaja memakai narkoba, antara lain sebagai berikut:
1) Mencari dan menemukan arti
hidup.
2) Mempermudah penyaluran dan
perbuatan seksual.
3) Menunjukkan tindakan menentang
otoritas orang tua, guru, dan norma-norma sosial.
4) Membuktikan keberanianya dalam
melakukan tindakan berbahaya seperti kebut-kebutan dan berkelahi.
5) Melepaskan diri dari kesepian.
6) Sekedar iseng dan didorong
rasa ingin tahu.
7) Mengikuti teman-teman untuk
menunjukkan rasa solidaritas
8) Menghilangkan frustasi dan
kegelisahan hidup.
9) Mengisi kekosongan, kesepian,
dan kebosanan.
2.
Penyimpangan seksual
Penyimpangan seksual adalah
perilaku seksual yang tidak lazim dilakukan. Penyebab penyimpangan seksual
antara lain adalah pengaruh film-film porno, buku dan majalah porno. Contoh
penyimpangan seksual antara lain sebagai berikut:
1) Perzinahan yaitu hubungan
seksual di luar nikah.
2) Lesbian yaitu hubungan seksual
yang dilakukan sesama wanita.
3) Homoseksual adalah hubungan
seksual yang dilakukan sesama laki-laki.
4) Pedophilia adalah memuaskan
kenginan seksual dengan menggunakan kontak seksual dengan anak-anak.
5) Gerontophilia adalah memuaskan
keinginan seksual dengan orang tua seperti kakek dan nenek.
6) Kumpul kebo adalah hidup
seperti suami istri tanpa nikah.
3.
Alkoholisme
Alkohol disebut juga racun
protoplasmik yang mempunyai efek depresan pada sistem syaraf. Orang yang
mengkonsumsinya akan kehilangan kemampuan mengendalikan diri, baik secara
fisik, psikologis, maupun sosial. Sehingga seringkali pemabuk melakukan
keonaran, perkelahian, hingga pembunuhan.
6.
Kenakalan Remaja
Gejala kenakalan remaja tampak
dalam masa pubertas (14 – 18 tahun), karena pada masa ini jiwanya masih dalam
keadan labil sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan yang negatif. Penyebab
kenakalan remaja antara lain sebagai berikut.
a. Lingkungan keluargayang tidak
harmonis.
b. Situasi yang menjemukan dan
membosankan
c. Lingkungan masyarakat yang
tidak menentu bagi prospek kehidupan masa mendatang, seperti lingkungan kumuh
dan penuh kejahatan.
Contoh
perbuatan kenakalan seperti pengrusakan tempat/fasilitas umum, penggunaan obat
terlarang, pencurian, perkelahian atau tawuran dan lain sebagainya. Salah satu
bentuk tawuran tersebut adalah tawuran pelajar. Tawuran pelajar berbeda dengan
perkelahian biasa. Tawuran pelajar dapat digolongkan sebagai patologi
(penyakit) karena sifatnya yang kompleks dengan penyebab dan akibat yang
berbeda-beda.
H. Antara Hukum dan
Patologi Sosial dalam Perspektif Sosiologi
“The
centre of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic
science, nor in judicial decision, but in the society itself. (Kecenderungan
dasar dari perkembangan hukum tidak terletak pada parlemen, tidak pada ilmu
hukum dan tidak juga pada putusan pengadilan, tetapi terletak di dalam
mayarakat itu sendiri), Eugen Ehrlich dalam bukunya “Principles of Sociology
Law” (Munir Fuady,Sosiologi Hukum Kontemporer,2007:25).
Dalam perkembangannya
dinamika hukum di Indonesia dapat kita ambil acuan dari pernyataan tersebut
diatas bahwa banyaknya kasus-kasus pelanggaran hukum bermula dari proses
interaksi masyarakatnya itu sendiri. Proses interaksi ini berkembang menjadi
bersinggungan dengan hukum apabila harapan tidak sesuai keinginan empunya
interaksi (menurut bahasa penulis disebut “Uninteraksi”), seperti kasus-kasus
korupsi atau penyalah gunaan wewenang, narkoba, perjudian, tindak kekerasan ,
pencurian, pemerkosaan oleh supir angkot, pemerkosaan akibat penyalah- gunaan
“update status di salah satu jaringan sosial” dan lain sebagainya. Hal ini bila
kita kaji lebih jauh dalam sudut pandang Patologi Sosial “Uninteraksi” ini akan
berakibat pula menjadi penyakit masyarakat , kita berharap jangan menjadi wabah
dalam masyarakat Indonesia.
Ada beberapa gejala
mengapa suatu tindakan “Uninteraksi dapat menjadi penyakit masyarakat dan
pelanggaran hukum” antara lain :
1. Lemahnya pemahaman
agama dari para penganutnya
2. Pudarnya nilai-nilai
kesusilaan yang terkandung dalam suatu masyarakat
3. Sistem hukum yang
lemah
4. Budaya materialis
yang berlebih-lebihan.
Selanjutnya muncul
pertanyaan bagi kita, apakah penyakit
masyarakat akan dapat disembuhkan Jawabannya tentu saja bisa apabila gejala
tersebut dapat diminimalisir, namun sangat sulit menyembuhkannya secara
keseluruhan karena adanya faktor “Uninteraksi” tersebut. “Sama halnya seorang
dokter mendiaknosa adanya gejala-gejala penyakit dalam tubuh pasiennya ,
setelah diobati kemudian dinyatakan sembuh oleh sang dokter, namun beberapa
hari kemudian si pasien datang lagi dengan keluhan yang sama”. Analogi dokter
dan pasien tentang penyakit, tidaklah sama dengan penyakit sosial karena dalam
perspektif sosiologi selain cakupannya lebih luas dan harus adanya fakta sosial
yang menyertainya, berbeda dengan ilmu kedokteran yang obyeknya individu
relatif lebih kecil cakupannya dan dengan mudah untuk dapat dipahami.
PENUTUP
Sejarah mencatat tentang masyarakat
modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi,
industrialisasi, dan urbanisasi, dll. Hal ini disamping mampu memberikan
berbagai alternative kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat menimbulkan
Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan,
kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat internal dalam batinnya
sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga manusia cenderung
banyak melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola yang umum dan banyak
melakukan sesuatu apapun demi kepentingannya sendiri bahkan masyarakat
cenderung merugikan orang lain. Hal ini sebagai pertautan tali yang melahiorkan
apa yang dinamakan dengan patologi social. Patologi social adalah ilmu tentang
gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” yang disebabkan oleh faktor-faktor
social. Jadi ilmu tentang “penyakit masyarakat”. Maka penyakit masyarakat itu
adalah segenap tingkah laku manusia yang dianggap tidak sesuai, melanggar
norma-norma umum dan adat istiadat, atau tidak integrasinya dengan tingkah laku
umum.
[2] Kartini Kartono, Patologi social, PT.
RajaGrafindo Persada:Jakarta, 2005. hal.V
[3] Lihat hal.2, Kartini Kartono, Patologi
social
[4] Kartini Kartono, Patologi social, PT.
RajaGrafindo Persada:Jakarta, 2005. hal.4