Senin, 31 Desember 2012

STOP STIGMA BURUK BAGI ODHA


HIV AIDS bukanlah penyakit kutukan yang timbul sebagai hukuman bagi penderitanya. Opini inilah yang harus dijelaskan kepada publik untuk menyelamatkan para penderita HIV AIDS dari penggucilan secara sosial. Umumnya Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dicabut dari komunitasnya karena mereka dipandang berbeda bahkan ada pula yang dianggap hina oleh sebagian besar masyarakat. Tak terkecuali pula bagi masyarakat pemeluk agama yang menganggap ODHA sebagai pendosa. Efek dari pengucilan secara social itu, para penderita HIV/AIDS merahasiakan penyakit mereka dari masyarakat sekitarnya agar bisa disetarakan dengan masyarakat lainnya yang bukan ODHA. Dampaknya, penanganan medis, psikologis dan sosial seringkali terlambat untuk dilakukan pada ODHA.
Stigma buruk yang melekat pada ODHA tidak dapat dilepaskan dari sosialisasi yang kurang sempurna dalam pelaksanaan penyuluhan HIV AIDS terdahulu. Perilaku seks bebas, penggunaan narkoba dengan jarum suntik, berhubungan seks sesame jenis dan beberapa tindakan asusila lainnya seringkali dikemukakan sebagai penyebab penularan narkoba yang utama. Padahal, terinfeksi HIV AIDS tidak hanya terjadi pada perilaku diatas, tapi juga dapat terjangkit pada mereka yang tidak pernah melakukan perbuatan tersebut. Misalnya, penularan melalui jarum suntik pada saat donor darah dan penularan yang terjadi akibat pasangan (suami-istri) yang suka melakukan hubungan seks berganti-ganti pasangan. Dengan demikian, penderita HIV/ AIDS ini bukanlah para pendosa seperti yang sering distigmakan oleh masyarakat awam, melainkan mereka adalah korban dari penularan virus tersebut.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai penelitian medis yang dilakukan di kota-kota di Indonesia. Misalnya pada 3 provinsi berikut ini, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta dan Sumatera Barat. Penyebaran HIV-AIDS di tiga daerah ini sudah merambah ke kalangan ibu rumah tangga dan remaja. Hal ini tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada daerah lainnya di Indonesia. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi DIY pada Juni 2012, jumlah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga menduduki ranking tertinggi kedua setelah wiraswasta yakni sebanyak 189 kasus. Hal serupa juga terjadi di DKI Jakarta dimana Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) DKI Jakarta mencatat pada tahun 2012 ini sebanyak 324 ibu rumah tangga di Jakarta terinfeksi HIV/AIDS. Fakta ini sangat mengejutkan, karena ibu rumah tangga bukan merupakan fokus utama pengawasan yang dilakukan KPA DKI Jakarta.
Sosialisasi atas HIV AIDS yang kurang sempurna sehingga menciptakan stigma buruk bagi ODHA tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga menjadi tanggungjawab media massa. Sebagai contoh, pemberitaan HIV/AIDS yang dimuat dalam sebuag media massa nasional pada 24 November 2012 lalu. Media tersebut mengungkapkan bahwa penularan AIDS tertinggi melalui seks bebas dengan angka 71 persen dari total ODHA, sebanyak 18,7 persen terkena dari jarum suntik narkoba dan sisanya penularan ibu ke bayinya. Angka-angka memilukan itu dijabarkan tanpa sedikitpun menyinggung bagaimana penularan itu dapat ditularkan kepada ibu rumah tangga dari suaminya yang sering jajan seks yang kemudian dapat juga ditularkan oleh ibu hamil kepada janinnya.
Seiring perkembangan dunia kedokteran di dunia, mulai ditemukan berbagai sebab penyebaran virus mematikan ini ke dalam tubuh manusia. Misalnya, berhubungan seksual sesama jenis, hubungan seksual yang tidak aman (seperti gonta-ganti pasangan atau berhubungan dengan ODHA), penggunaan jarum suntik bergantian dan akibat diwariskan oleh ibu pada bayinya menyebabkan seseorang terjangkit HIV AIDS. Penemuan ini secara tidak langsung telah mendeskreditkan ODHA. Pasalnya, hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS dilakukan dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV.
Secara tidak langsung, masyarakat telah menghakimi pengidap HIV sehingga mereka terbuang dari komunitasnya. Alhasil, karena kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV dan berusaha untuk tidak memperoleh perawatan agar penyakitnya tidak diketahui orang lain. Akibatnya sudah dapat ditebak, ODHA akan semakin kronis hingga berujung kematian. Bahkan tidak terelakkan penyebaran HIV yang semakin meluas di berbagai belahan dunia. Cukup dimengerti jika para ODHA ini dicabut dari komunitasnya karena mereka dipandang hina oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan bagi masyarakat pemeluk agama sekalipun para ODHA ini sering dianggap sebagai pendosa. Kenyataan ini terjadi karena agama sangat membenci dan menghakimi para pendosa kendati di sisi lain agama juga memerintahkan umatnya untuk memberikan kasih sayang, mengunjungi, bahkan memberikan perhatian bagi yang sakit.
Penyakit HIV AIDS memang berbahaya, akan tetapi masyarakat tentu tidak boleh menghakimi mereka yang menderita HIV AIDS. Jika masyarakat tetap memandang miring dan mencampakka ODHA dari masyarakat maka hal ini akan menjadi bom waktu dikemudian hari. Maka dari itu, perlu adanya strategi yang tepat dan berkesinambungan dalam hal menahan laju epidemi virus mematikan itu. Tidak hanya strategi secara medis, tapi juga psikis dan social.
Dalam menentukan strategi menekan angka pengidap HIV AIDS tidak boleh hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja tapi juga harus didukung oleh pemerintah daerah, pihak sekolah dan perguruan tinggi, LSM dan semua elemen dalam masyarakat. Sebab, persoalan HIV AIDS tidak hanya persoalan sekelompok masyarakat tapi sudah mendunia. Untuk itulah, perlu koordinasi antar elemen untuk menekan penyebaran HIV AIDS. Pihak medis bisa membantu dengan berbagai penemuan obat atau imun untuk pengidap HIV serta melakukan penyuluhan kesehatan hingga ke pelosok negeri. Sementara itu, para akademisi pun bisa berperan melalui sosialisasi akan bahaya hingga mengajarkan cara bergaul dengan ODHA. Begitupun dengan pemerintah yang merupakan pelayan masyarakat juga harus giat melakukan sosialisasi dan mengimplementasikan strategi penanggulangan HIV AIDS.
           Hingga saat ini rehabilitiasi masih menjadi cara ampuh mengobati para penderita AIDS. Cara tersebut bisa mengurangi tekanan jiwa yang dialami penderita AIDS. Selain mengobati, cara lain untuk mengurangi populasi penderita HIV AIDS tentu saja akan lebih efektif jika dilakukan dengan cara preventif (pencegahan). Salah satu cara yang mungkin akan efektif adalam meminimalisir kaum wanita terjangkit HIV AIDS, yakni dengan melakukan tes HIV sebelum menikah. Mengingat berbagai survey di dunia terlebih di Indonesia yang menyebutkan bahwa ada banyak wanita (ibu rumah tangga) yang tertular HIV AIDS akibat ditularkan oleh suaminya, maka tentu hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah mesti cepat menyelamatkan para wanita dari virus mematikan ini agar kelak tidak tertularkan pada anak-anak mereka.
Agar terhindar dari penyakit ini, tidak ada salahnya jika calon pengantin memeriksakan diri dan pasangannya ke dokter untuk cek HIV/AIDS. Sebelum menikah, biasanya banyak tes kesehatan yang harus dilakukan oleh kedua calon mempelai, termasuk tes kesehatan reproduksi. Nah, ketika tes reproduksi dilakukan, calon pengantin pun dianjurkan untuk melakukan cek HIV AIDS. Tes HIV AIDS yang penulis sarankan bukanlah tes yang akan membawa sebuah bencana bagi orang terinfeksi HIV di Indonesia. Tes ini bukanlah ditujukan untuk merampas hak-hak ODHA sebagai manusia utuh yang membutuhkan pernikahan diusia produktifnya. Tes ini juga bukanlah intervensi kedalam ranah privat warga negaranya, maupun bentuk usaha untuk menghancurkan fondasi program penanggulangan AIDS melainkan upaya menyelematkan generasi penerus dan masyarakat yang tidak terjangkit virus HIV AIDS.
Kendati calon pengantin melakukan tes dan salah satu diantara mereka terjangkit HIV, pernikahan pun tetap bisa dilakukan asalkan kedua belah pihak setuju untuk menikah. Hal ini dirasa cukup adil untuk ODHA dan untuk calon suami/istri. Justru jika tes tidak dilakukan dan akhirnya salah satu pasangan tertular penyakit ini maka akan menjadi tidak adil baginya karena tidak mengetahui bahwa pasangannya terjangkit HIV. Memang pesimistis sebagian orang akan keberhasilan tes HIV prapernikahan tidak dapat dielakkan, akan tetapi tidak ada salahnya mengantisipasi terlebih dahulu ketimbang hanya berdiam diri dan berharap tidak akan tertular. Strategi ini tentu tidak serta merta menghapus penularan HIV AIDS, karena tertular bisa saja terjadi setelah masa pernikahan meskipun di awal pernikahan belum terjangkit. Kendati demikian, kita selaku manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk menghindari agar tidak terjangkit HIV.
       Jika cara diatas dianggap belum lazim oleh Negara-negara yang sedang berkembang terutama Indonesia, maka cara lain yang bisa digunakan untuk mencegah virus HIV AIDS menyebar adalah dengan menghindari hubungan sex yang tidak aman. Maksudnya, masyarakat dihimbau untuk setia dalam berhubungan sex. Hal ini dilakukan agar meminimalisir terjangkitnya virus dari pasangan yang berganti. Mengkonsumsi narkoba (suntik) pun membuka peluang besar terinveksi HIV. Pasalnya, melalui jarum suntik yang dipakai bersama dapat menularkan virus HIV.(*)

Tidak ada komentar: