HIV AIDS bukanlah penyakit kutukan yang timbul sebagai hukuman bagi penderitanya.
Opini inilah yang harus dijelaskan kepada publik untuk menyelamatkan para
penderita HIV AIDS dari penggucilan secara sosial. Umumnya Orang Dengan HIV
AIDS (ODHA) dicabut dari komunitasnya karena mereka dipandang berbeda bahkan
ada pula yang dianggap hina oleh sebagian besar masyarakat. Tak terkecuali pula
bagi masyarakat pemeluk agama yang menganggap ODHA sebagai pendosa. Efek dari
pengucilan secara social itu, para penderita HIV/AIDS merahasiakan penyakit
mereka dari masyarakat sekitarnya agar bisa disetarakan dengan masyarakat
lainnya yang bukan ODHA. Dampaknya, penanganan medis, psikologis dan sosial
seringkali terlambat untuk dilakukan pada ODHA.
Stigma buruk yang melekat pada ODHA tidak dapat dilepaskan dari
sosialisasi yang kurang sempurna dalam pelaksanaan penyuluhan HIV AIDS
terdahulu. Perilaku seks bebas, penggunaan narkoba dengan jarum suntik,
berhubungan seks sesame jenis dan beberapa tindakan asusila lainnya seringkali
dikemukakan sebagai penyebab penularan narkoba yang utama. Padahal, terinfeksi
HIV AIDS tidak hanya terjadi pada perilaku diatas, tapi juga dapat terjangkit
pada mereka yang tidak pernah melakukan perbuatan tersebut. Misalnya, penularan
melalui jarum suntik pada saat donor darah dan penularan yang terjadi akibat
pasangan (suami-istri) yang suka melakukan hubungan seks berganti-ganti
pasangan. Dengan demikian, penderita HIV/ AIDS ini bukanlah para pendosa
seperti yang sering distigmakan oleh masyarakat awam, melainkan mereka adalah
korban dari penularan virus tersebut.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai penelitian medis yang
dilakukan di kota-kota di Indonesia. Misalnya pada 3 provinsi berikut ini,
yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta dan Sumatera Barat.
Penyebaran HIV-AIDS di tiga daerah ini sudah merambah ke kalangan ibu rumah
tangga dan remaja. Hal ini tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada daerah
lainnya di Indonesia. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi DIY pada Juni
2012, jumlah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga menduduki ranking tertinggi
kedua setelah wiraswasta yakni sebanyak 189 kasus. Hal serupa juga terjadi di
DKI Jakarta dimana Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) DKI Jakarta mencatat pada
tahun 2012 ini sebanyak 324 ibu rumah tangga di Jakarta terinfeksi HIV/AIDS.
Fakta ini sangat mengejutkan, karena ibu rumah tangga bukan merupakan fokus
utama pengawasan yang dilakukan KPA DKI Jakarta.
Sosialisasi atas HIV AIDS yang kurang sempurna sehingga menciptakan
stigma buruk bagi ODHA tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga menjadi
tanggungjawab media massa. Sebagai contoh, pemberitaan HIV/AIDS yang dimuat
dalam sebuag media massa nasional pada 24 November 2012 lalu. Media tersebut mengungkapkan
bahwa penularan AIDS tertinggi melalui seks bebas dengan angka 71 persen dari
total ODHA, sebanyak 18,7 persen terkena dari jarum suntik narkoba dan sisanya
penularan ibu ke bayinya. Angka-angka memilukan itu dijabarkan tanpa sedikitpun
menyinggung bagaimana penularan itu dapat ditularkan kepada ibu rumah tangga
dari suaminya yang sering jajan seks yang kemudian dapat juga ditularkan oleh
ibu hamil kepada janinnya.
Seiring perkembangan dunia kedokteran di dunia, mulai
ditemukan berbagai sebab penyebaran virus mematikan ini ke dalam tubuh manusia.
Misalnya, berhubungan seksual sesama jenis, hubungan seksual yang tidak aman
(seperti gonta-ganti pasangan atau berhubungan dengan ODHA), penggunaan jarum
suntik bergantian dan akibat diwariskan oleh ibu pada bayinya menyebabkan
seseorang terjangkit HIV AIDS. Penemuan ini secara tidak langsung telah
mendeskreditkan ODHA. Pasalnya, hukuman
sosial atau stigma oleh masyarakat di
berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS dilakukan dalam berbagai cara, antara lain
tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi,
dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV.
Secara tidak langsung, masyarakat telah menghakimi
pengidap HIV sehingga mereka terbuang dari komunitasnya. Alhasil, karena kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah
mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV dan berusaha untuk tidak memperoleh perawatan agar
penyakitnya tidak diketahui orang lain. Akibatnya sudah dapat ditebak, ODHA
akan semakin kronis hingga berujung kematian. Bahkan
tidak terelakkan penyebaran HIV yang semakin meluas di
berbagai belahan dunia. Cukup dimengerti jika para ODHA ini dicabut dari
komunitasnya karena mereka dipandang hina oleh sebagian besar masyarakat.
Bahkan bagi masyarakat pemeluk agama sekalipun para ODHA ini sering dianggap
sebagai pendosa. Kenyataan ini terjadi karena agama sangat membenci dan
menghakimi para pendosa kendati di sisi lain agama juga memerintahkan umatnya
untuk memberikan kasih sayang, mengunjungi, bahkan memberikan perhatian bagi
yang sakit.
Penyakit HIV AIDS memang berbahaya, akan tetapi masyarakat tentu
tidak boleh menghakimi mereka yang menderita HIV AIDS. Jika masyarakat tetap
memandang miring dan mencampakka ODHA dari masyarakat maka hal ini akan menjadi
bom waktu dikemudian hari. Maka dari itu, perlu adanya strategi yang tepat dan
berkesinambungan dalam hal menahan laju epidemi virus mematikan itu. Tidak
hanya strategi secara medis, tapi juga psikis dan social.
Dalam menentukan strategi menekan angka pengidap HIV AIDS tidak
boleh hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja tapi juga harus didukung oleh
pemerintah daerah, pihak sekolah dan perguruan tinggi, LSM dan semua elemen
dalam masyarakat. Sebab, persoalan HIV AIDS tidak hanya persoalan sekelompok
masyarakat tapi sudah mendunia. Untuk itulah, perlu koordinasi antar elemen
untuk menekan penyebaran HIV AIDS. Pihak medis bisa membantu dengan berbagai
penemuan obat atau imun untuk pengidap HIV serta melakukan penyuluhan kesehatan
hingga ke pelosok negeri. Sementara itu, para akademisi pun bisa berperan
melalui sosialisasi akan bahaya hingga mengajarkan cara bergaul dengan ODHA.
Begitupun dengan pemerintah yang merupakan pelayan masyarakat juga harus giat
melakukan sosialisasi dan mengimplementasikan strategi penanggulangan HIV AIDS.
Hingga saat ini
rehabilitiasi masih menjadi cara ampuh mengobati para penderita AIDS. Cara
tersebut bisa mengurangi tekanan jiwa yang dialami penderita AIDS. Selain
mengobati, cara lain untuk mengurangi populasi penderita HIV AIDS tentu saja
akan lebih efektif jika dilakukan dengan cara preventif (pencegahan). Salah
satu cara yang mungkin akan efektif adalam meminimalisir kaum wanita terjangkit
HIV AIDS, yakni dengan melakukan tes HIV sebelum menikah. Mengingat berbagai
survey di dunia terlebih di Indonesia yang menyebutkan bahwa ada banyak wanita
(ibu rumah tangga) yang tertular HIV AIDS akibat ditularkan oleh suaminya, maka
tentu hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah mesti cepat
menyelamatkan para wanita dari virus mematikan ini agar kelak tidak tertularkan
pada anak-anak mereka.
Agar terhindar dari penyakit ini, tidak ada salahnya jika calon
pengantin memeriksakan diri dan pasangannya ke dokter untuk cek HIV/AIDS. Sebelum
menikah, biasanya banyak tes kesehatan yang harus dilakukan oleh kedua calon
mempelai, termasuk tes kesehatan reproduksi. Nah, ketika tes reproduksi
dilakukan, calon pengantin pun dianjurkan untuk melakukan cek HIV AIDS. Tes HIV
AIDS yang penulis sarankan bukanlah tes yang akan membawa sebuah bencana bagi orang terinfeksi HIV di Indonesia. Tes ini
bukanlah ditujukan untuk merampas hak-hak ODHA sebagai manusia utuh yang
membutuhkan pernikahan diusia produktifnya. Tes ini juga bukanlah intervensi kedalam
ranah privat warga negaranya, maupun bentuk usaha untuk menghancurkan fondasi
program penanggulangan AIDS melainkan upaya menyelematkan generasi penerus dan
masyarakat yang tidak terjangkit virus HIV AIDS.
Kendati calon pengantin melakukan tes dan salah
satu diantara mereka terjangkit HIV, pernikahan pun tetap bisa dilakukan
asalkan kedua belah pihak setuju untuk menikah. Hal ini dirasa cukup adil untuk
ODHA dan untuk calon suami/istri. Justru jika tes tidak dilakukan dan akhirnya
salah satu pasangan tertular penyakit ini maka akan menjadi tidak adil baginya
karena tidak mengetahui bahwa pasangannya terjangkit HIV. Memang pesimistis
sebagian orang akan keberhasilan tes HIV prapernikahan tidak dapat dielakkan,
akan tetapi tidak ada salahnya mengantisipasi terlebih dahulu ketimbang hanya
berdiam diri dan berharap tidak akan tertular. Strategi ini tentu tidak serta
merta menghapus penularan HIV AIDS, karena tertular bisa saja terjadi setelah
masa pernikahan meskipun di awal pernikahan belum terjangkit. Kendati demikian,
kita selaku manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk menghindari agar
tidak terjangkit HIV.
Jika cara diatas dianggap belum lazim oleh Negara-negara
yang sedang berkembang terutama Indonesia, maka cara lain yang bisa digunakan
untuk mencegah virus HIV AIDS menyebar adalah dengan menghindari hubungan sex
yang tidak aman. Maksudnya, masyarakat dihimbau untuk setia dalam berhubungan
sex. Hal ini dilakukan agar meminimalisir terjangkitnya virus dari pasangan
yang berganti. Mengkonsumsi narkoba (suntik) pun membuka peluang besar terinveksi
HIV. Pasalnya, melalui jarum suntik yang dipakai bersama dapat menularkan virus
HIV.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar