Terkait Kebakaran PERTAMINI di Batusangkar, Sumbar
Izin penjualan eceran Bahan Bakar Minyak (BBM)
tiba-tiba menjadi topik hangat di beberapa media massa lokal pascakebakaran
yang melukai sekitar 60 orang di kawasan Pertamini (tempat berjualan BBM
eceran), Batusangkar pada Senin (7/5) kemarin. Seperti yang dikabarkan, Harian
Haluan Selasa, (8/5) kemarin, kebakaran yang disertai ledakan mobil pemadam
kebakaran itu menyedot perhatian publik tidak hanya karena menimbulkan banyak
korban luka, tapi juga karena penjualan volatine (bensin) ketengan yang sejak
lama sudah meresahkan masyarakat itu kini disangkut pautkan dengan lemahnya
kontrol dari Pemkab Tanah Datar. Sayangnya kelalaian pada pengawasan penjualan
bensin eceran ini baru mulai dihebohkan setelah menelan korban.
Bicara tentang larangan
membeli bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menggunakan jeriken sebenarnya sudah
tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2012 dan Undang-Undang
No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, kegiatan usaha hilir migas harus
dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Dengan
dikeluarkannya Perpres itu, maka Kabupaten/Kota harus melakukan pengawasan dan
menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam memberikan izin pada
pengecer bensin.
Izin penjualan
bensin eceran ini dikeluarkan oleh Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan
Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten/Kota. Izin yang permohonannya
harus dilengkapi dengan KTP dan surat keterangan dari desa setempat tersebut
menurutnya bisa digunakan di seluruh SPBU di Kabupaten/Kota tempat
dikeluarkannya perizinan tersebut. Jadi, izin tidak lagi dikeluarkan oleh
kelurahan maupun kecamatan masing-masing seperti yang pernah terjadi belasan
tahun silam. Harapan dengan surat izin pengecer, pemantauan dan
pembimbingan bisa dilakukan dengan mudah sehingga tidak ada lagi tindakan yang
merugikan masyarakat. Regulasi yang diterapkan harusnya disertai kontrol di
lapangan.
Terkait dengan
pemberitaan media massa lokal yang menyatakan bahwa Bupati Tanahdatar, M.
Shadiq Pasadigoe mengatakan dirinya tidak tahu perizinan penjualan bahan bakar
eceran di tingkat masyarakat dan baru akan melakukan pengawasan ditingkat
pengecer dikemudian hari, tentu bukan pernyataan yang diharapkan publik keluar
dari mulut Bupati Tanah Datar itu. Pasalnya, fenomena menjamurnya penjualan
bensin eceran sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu dan telah dikeluarkan
Perpres agar mengatur penjualan bensin eceran tersebut.
Persoalan
penjualan bensin eceran sangat penting, terlepas dari tragedi terbakarnya Pertamini
di Jorong Padang Datar, Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten
Tanahdatar, Sumbar. Jika regulasi penjualan bahan bakar eceran ini tidak
dilakukan, maka akan merugikan masyarakat. Persoalan yang akan terjadi terkait
tidak berjalannya regulasi ini adalah penimbunan BBM, kebakaran, penyalahgunaan
BBM dan sebagainya.
Perlu diketahui,
bensin
yang berbahan dasar volatine merupakan cairan yang mudah disulut api. Saat bensin atau volatine
berubah bentuk dari cair ke gas hanya perlu sedikit kalor. Saat bensin tersulut
api, hanya sebagian kecil panas dari api digunakan untuk perubahan bentuk (cair
ke gas), selebihnya panas dipakai untuk menyalakan gas tersebut. Sebab itulah,
volatine mudah untuk terbakar jika tidak dilakukan penyimpanan yang tepat dan
benar. Begitu mudah bensin tersulut api, menyebabkan banyak terjadi kebakaran
di tempat penyimpanan bensin. Sepanjang 2012 ini, beberapa daerah telah
tercatat mengalami kebakaran akibat BBM tersulut api mulai dari SPBU hingga ke
kios pedagang eceran.
Pemerintah
daerah wajib melakukan pengawasan yang ketat atas penjualan bensin eceran di
daerahnya masing-masing. Sebab keselamatan masyarakat baik sebagai konsumen
maupun distributor minyak ketengan itu penting. Regulasi penjualan minyak
ketengan harus dikontrol sedemikian rupa agar tidak lagi terjadi kejadian
kebakaran serupa di kios-kios legal demi menjaga keselamatan masyarakat.
Pengawasan terhadap pembatasan pembelian BBM subsidi jenis premium menjadi
kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pembatasan pembelian premium harusnya
menjadi kesepakatan bersama antara pemprov, Pertamina, dan Hiswanamigas.
Larangan
Pedagang BBM Eceran
BBM bersubsidi
memang kerapkali disalahgunakan. Terbukti dengan maraknya penjualan BBM
ketengan (eceran) di Sumbar. Biang keladinya bukan hanya pedagang eceran tapi
juga petugas SPBU yang tetap melayani pembelian BBM dengan mengunakan jerigen
yang akhirnya dijual kembali dengan ketengan. Padahal sesuai dengan
Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, kegiatan usaha
hilir migas harus dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha
dari pemerintah. Artinya, keberadaan pedagang eceran tanpa izin telah dilarang
dan harus ditertibkan, Kewenangan untuk itu diserahkan kepada penegak hukum. Bagi
pelanggar, akan dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi
Rp60 miliar.
Namun nyatanya UU tersebut tak berjalan di Sumbar, terbukti dari maraknya pedagang minyak eceran yang memperdagangkan BBM bersubsidi disepanjang jalan. Cara mendapatkan BBM (biasanya premium) pun mudah, cukup membawa jerigen dalam ukuran menengah hingga besar ke SPBU terdekat kemudian membayar dengan harga bersubsidi yakni Rp 4.500 untuk premium kemudian puluhan liter minyak pun berhasil diangkut dan diecerkan dengan harga Rp 5000 per litenya.
Sebatas Wacana Pelarangan Pembelian BBM Jerigen
Pemprov Sumbar beberapa waktu lalu pernah mengakui
SPBU di wilayah Sumbar memang masih melayani pembelian jerigen. Padahal sesuai
aturannya, penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen telah lama dilarang. Tapi,
SPBU seolah melegalkan hal itu sehingga BBM bersubsidi kini diperjual belikan.
Pemprov Sumbar sudah memikirkan rencana penerapan UU larangan penjualan BBM
melalui jerigen ukuran sedang hingga besar sejak 2011 yang lalu, namun hinngga
2012 ini tampaknya masih sebatas wacana.
Dalam wacana
itu, meskipun Pemprov akan melarang pembelian dengan jerigen nantinya industri
kecil akan tetap bisa menikmati pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen tapi
dengan syarat memperlihatkan kartu atau surat izin pembelian BBM dari Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Pertambangan dan Energi (Disperindag Tamben) atau
Pemkab/Pemko masing-masing daerah. Jadi, hanya industri kecil yang boleh
mendapatkan BBM bersubsidi dengan jerigen. Aturan ini bisa meminimalisir penjualan BBM ketengan.
Bagaimana pun
pro dan kontra larangan pembelian BBM bersubsidi, namun aturan harus
ditegakkan. Sebab, pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan aturan tersebut.
Jika untuk hal ini masih ada pengecualian yang seolah melegalkan penjualan BBM
bersubsidi dengan jerigen maka untuk aturan lainnya tak menutup kemungkinan
akan terjadi pelanggaran juga.
Karena
pemerintah pusat dan provinsi belum juga menentukan kebijakan untuk
meminimalisir penyalahgunaan BBM bersubsidi, maka tak mengherankan jika setiap
tahunnya ada saja persoalan yang ditimbulkan dari penjualan bensin ketengan
ini. Mulai dari stok BBM bersubsidi yang habis di pertengahan tahun, kebakaran
kios pengecer bensin hingga mafia BBM. Bagaimanapun pro dan kontra larangan
pembelian BBM bersubsidi, tapi aturan harus ditegakkan. Sebab, pemerintah
sebelumnya telah mengeluarkan aturan tersebut. Jika untuk hal ini masih ada
pengecualian yang seolah melegalkan penjualan BBM bersubsidi dengan jerigen
maka untuk aturan lainnya tak menutup kemungkinan akan terjadi pelanggaran
juga.
Inilah realita
yang terjadi di SPBU di Sumbar. Akibatnya, pelanggaran aturan terus terjadi. Seharusnya,
pihak terkait memantau pengawasan dengan cermat. Termasuk juga petugas SPBU,
mereka harus tahu mana kendaraan yang boleh menggunakan BBM subsidi dan mana
yang tidak.
Pertamina dan
Masyarakat Awasi Penjualan BBM Eceran
Namun, tak hanya pemerintah
daerah yang bertanggungjawab untuk melakukan pembatasan penjualan minyak
eceran, Pertamina juga memiliki kewajiban dalam melakukan pengawasan ke SPBU
untuk tidak menjual BBM secara eceran kepada mereka yang tidak memiliki surat
izin dari Disperindagtamben Kabupaten/Kota masing-masing. Hal ini harus
dilakukan demi memberi pelayanan prima dan menjaga kepuasan pelanggan, Akan
lebih baik lagi jika PT Pertamina melarang Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum
(SPBU) melayani pembelian atau pengisian bahan bakar menggunakan dirigen karena
pembelian BBM menggunakan dirigen dapat memicu kebakaran.
Peran serta masyarakat khususnya
konsumen juga dituntut. Masyarakat selayaknya mau melaporkan langsung atau
dengan suara layanan konsumen jika ada temuan penjualan atau pembelian bahan bakar
menggunakan dirigen di SPBU. Bagaimanapun, aparat pemerintah, Pertamina dan
penegak hukum dalam personil yang terbatas. Jika masyarakat turut andil menjaga
daerahnya dari penyalahgunaan BBM, maka persoalan-persoalan yang telah
disampaikan diatas dapat diminimalisir. (*)