Minggu, 23 Oktober 2011

Dampak Moratorium Pegawai




by: Marisa Elsera
 
Setelah perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara menetapkan perekrutan pegawai melalui outsorching (alih daya/tenaga lepas), kini giliran pemerintah daerah di Indonesia menjalankan program ini. Perekrutan karyawan tenaga lepas ini merupakan bentuk dari keputusan moratorium pegawai dari pemerintah pusat. Banyak Pemda yang mewacanakan rencana perekrutan pegawai outsorching ini, dua diantaranya yakni Pemko Padang dan Pemkab Kudus bahkan sudah menghembuskan rencana ini ke publik.

Perekrutan tenaga outsourcing (alih daya/tenaga lepas) diwacanakan menjadi solusi kebutuhan tenaga teknis untuk operasional kerja lingkungan Pemko Padang. Keberadaan tenaga lepas diperkirakan meringankan beban belanja pegawai. Pasalnya, belanja untuk gaji PNS di Kota Padang sudah mencapai 63,20 persen dari APBD 2011 yang mencapai Rp1,2 triliun. Sehingga, tidak me­mungkinkan kota bingkuang ini menerima PNS tahun 2011. Dengan sistem alih daya, maka pegawai yang diterima hanya bersifat kontrak. Jika memang diperlukan, maka kontrak dapat diperbaharui setiap satu tahun. Tenaga yang bisa diterima untuk sistem tersebut, cukup banyak. 

Untuk menyelamatkan APBD, tentu cara perekrutan tenaga kerja secara outsorching cukup efisien menekan anggaran. Jika direkrut dari jalur PNS, maka biayanya akan tinggi, sedangkan kinerjanya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Alasan lainnya, selain lebih efisien, penggunaan tenaga outsourcing juga tidak bakal menuntut untuk diangkat menjadi CPNS.

Oleh sebab itulah, strategi ini diperlukan guna menyeimbangkan penggunaan dana APBD, antara belanja rutin pegawai dengan belanja publik untuk pembangunan daerah. Jangan sampai belanja rutin pegawai lebih besar daripada pembangunan yang akhirnya pembangunan daerah tidak diperhatikan. Terlebih dengan kinerja PNS yang belakangan sering disorot karena dinilai tidak disiplin dan malas, maka sistem ini dapat memangkas pegawai malas karena pegawai outsorching hanya dikontrak selama satu tahun. Jika mereka malas, tentu akan terancam tidak diperpanjang kontraknya di tahun depan.

Jika sistem outsorching ini di terapkan, maka pegawai malas dan tidak disiplin pun bisa diminimalisir. Hanya saja, tentu dibutuhkan kemauan serius untuk melaksanakan perekrutan outsorching ini sebaik mungkin. Sistem perekrutan tenaga kerja outsorching memang akan berdampak positif bagi pemerintah, tapi lain halnya dengan tenaga kerja itu sendiri. Sistem outsourching ini merupakan bentuk eksploitasi pekerja. 

Namun, kegiatan mensubkontrakkan pekerjaan ini oleh sebagian kalangan justru dianggap sebagai bentuk perbudakan baru atau memperlemah posisi pekerja. Inilah solusi terhadap tingkat pengangguran yang begitu tinggi saat ini dankebutuhan perusahaan untuk benar-benar kompetitif.

Di era globalisasi, pergerakan arus modal yang begitu cepat dari suatu negara ke negara lain, dari suatu daerah ke daerah lain mendesak infra struktur hukum, sosial, ekonomi harus memberi kemudahan bagi laju pergerakan modal. Tapi paradigma ini telah menempatkan modal menjadi segalanya. Manusia seakan diharuskan mengabdi kepada kekuatan modal. Akibatnya, modal lepas dari nilai-nilai moral kemanusiaan dan melahirkan kesenjangan makin jelas antara pemilik modal dan pekerja/buruh, kaya dan miskin serta antara negara maju dan negara yang sedang berkembang. 

Jika sistem ini diterapkan oleh pemda, maka akan berimplikasi pada penekanan upah pegawai. Tak hanya sampai disitu, upah pegawai yang sudah kecil itu pun akan dipotong oleh perusahaan yang memiliki usaha di bidang penyedia tenaga kerja sebab perusahaan itu tentu saja akan berfikir soal keuntungan. Dalam banyak kasus pekerja yang dioutsourcing, biasanya jam kerja mereka lebih panjang yaitu dengan cara kerja lembur. Bayangkan, betapa berat beban kerja yang mereka lakukan sementara imbalannya tidak diterima secara utuh akibat pemotongan upah tadi. Di sinilah bentuk ekploitasi terhdap pekerja terjadi. 

Nah, dengan pemberlakuan rekruitmen outsorching akan berdampak buruk bagi pegawainya yang melakukan tindakan yang tidak disukai oleh perusahaan pemberi kerja. Bisa-bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja yaitu dengan cara mengembalikannya ke perusahaan penyedia tenaga kerja. Ini berarti, betapa mudahnya pihak pengusaha melakukan tindakan PHK secara sepihak tanpa harus memberikan alasan yang kuat dan berdasar. Di samping itu, pengusaha juga tidak memiliki kewajiban apapun untuk memberikan sejumlah kompensasi kepada pekerja yang bersangkutan kendati ia telah bekerja dan mengabdi untuk waktu yang cukup lama.

Kalau pekerja tidak suka dengan perlakukan pemda pemberi kerja, maka pihak pemda akan mempersilahkan pekerja untuk pergi dan perusahaan pemberi kerja akan meminta kepada perusahaan penyedia tenaga kerja untuk mengirimkan pekerja lainnya. Dapat disimpulkan, perlindungan menjadi sangat sulit diperoleh oleh pekerja outsourcing.

Outsourcing dirancang untuk menciptakan pesar tenaga kerja yang mudah diangkat, dilepas dan dipindah-pindah sesuai kebutuhan pengguna jasa tanpa di sertai kewajiban dan tanggung-jawab hokum dan social terhadap pekerja. Maka jelaslah bahwa pemerintah melakukan pola hubungan kerja ini untuk menekan biaya dan meminimalisir resikonya lebih ringan. Kalau syarat-syarat kerjanya sama termasuk dalam hal pembayaran upah, tunjangan, jaminan sosial, pesangon dan pensiun tentu pemerintah akan berfikir lebih baik melakukan hubungan kerja secara langsung ketimbang melalui pihak ketiga. 

Pada prinsipnya, wacana dari Kemenkeu tersebut merupakan jurus jitu untuk mengefisienkan dana APBD. Sebab,cara ini cukup efektif dalam penghematan keuangan negara atau daerah. Memang kalau ada pekerjaan perkantoran yang bisa dilakukan dengan menggunakan jasa pihak ketiga, kenapa tidak dilakukan, sehingga tak perlu merekrut orang menjadi pegawai negeri. 

Persoalan pemerintah sebenarnya bukan hanya jumlah PNS yang membengkak. Tapi juga simpang siurnya data base kepegawaian. Untuk itu, perlu perbaikan atau penyempurnaan data base kepegawaian, baik yang sudah menjadi PNS maupun yang masih berstatus honorer guna lebih memudahkan penataan kembali terhadap pegawai. Penataan dimaksud, baik secara kuantitatif (jumlah) maupun kualitatif (kualitas terkait kecakapan dan keahlian), sehingga tak kesan seenaknya rekrutmen calon pegawai negeri sipil.


Tidak ada komentar: