by: Marisa Elsera
Setelah
perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara
menetapkan perekrutan pegawai melalui outsorching (alih daya/tenaga lepas),
kini giliran pemerintah daerah di Indonesia
menjalankan program ini. Perekrutan karyawan tenaga lepas ini merupakan bentuk
dari keputusan moratorium pegawai dari pemerintah pusat. Banyak Pemda yang
mewacanakan rencana perekrutan pegawai outsorching ini, dua diantaranya yakni
Pemko Padang dan Pemkab Kudus bahkan sudah
menghembuskan rencana ini ke publik.
Perekrutan tenaga outsourcing
(alih daya/tenaga lepas) diwacanakan menjadi solusi kebutuhan tenaga
teknis untuk operasional kerja lingkungan Pemko Padang. Keberadaan tenaga lepas
diperkirakan meringankan beban belanja pegawai. Pasalnya, belanja untuk gaji
PNS di Kota Padang sudah mencapai 63,20 persen
dari APBD 2011 yang mencapai Rp1,2 triliun. Sehingga, tidak memungkinkan kota
bingkuang ini menerima PNS tahun 2011. Dengan sistem alih daya, maka pegawai
yang diterima hanya bersifat kontrak. Jika memang diperlukan, maka kontrak
dapat diperbaharui setiap satu tahun. Tenaga yang bisa diterima untuk sistem
tersebut, cukup banyak.
Untuk menyelamatkan APBD, tentu
cara perekrutan tenaga kerja secara outsorching cukup efisien menekan anggaran.
Jika direkrut dari jalur PNS, maka biayanya akan tinggi, sedangkan kinerjanya
tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Alasan lainnya, selain lebih
efisien, penggunaan tenaga outsourcing juga tidak bakal menuntut untuk diangkat
menjadi CPNS.
Oleh sebab itulah, strategi ini
diperlukan guna menyeimbangkan penggunaan dana APBD, antara belanja rutin pegawai
dengan belanja publik untuk pembangunan daerah. Jangan sampai belanja rutin
pegawai lebih besar daripada pembangunan yang akhirnya pembangunan daerah tidak
diperhatikan. Terlebih dengan kinerja PNS yang
belakangan sering disorot karena dinilai tidak disiplin dan malas, maka sistem
ini dapat memangkas pegawai malas karena pegawai outsorching hanya dikontrak
selama satu tahun. Jika mereka malas, tentu akan terancam tidak diperpanjang
kontraknya di tahun depan.
Jika sistem outsorching ini di
terapkan, maka pegawai malas dan tidak disiplin pun bisa diminimalisir. Hanya
saja, tentu dibutuhkan kemauan serius untuk melaksanakan perekrutan outsorching
ini sebaik mungkin. Sistem perekrutan tenaga kerja outsorching memang akan
berdampak positif bagi pemerintah, tapi lain halnya dengan tenaga kerja itu sendiri. Sistem outsourching ini merupakan bentuk
eksploitasi pekerja.
Namun,
kegiatan mensubkontrakkan pekerjaan ini oleh sebagian
kalangan justru dianggap sebagai bentuk perbudakan baru atau memperlemah posisi
pekerja. Inilah solusi terhadap
tingkat pengangguran yang begitu tinggi saat ini dankebutuhan perusahaan
untuk benar-benar kompetitif.
Di era globalisasi, pergerakan
arus modal yang begitu cepat dari suatu negara ke negara lain, dari suatu
daerah ke daerah lain mendesak infra struktur hukum, sosial, ekonomi harus
memberi kemudahan bagi laju pergerakan modal. Tapi paradigma ini telah
menempatkan modal menjadi segalanya. Manusia seakan diharuskan mengabdi kepada
kekuatan modal. Akibatnya, modal lepas dari nilai-nilai moral kemanusiaan dan
melahirkan kesenjangan makin jelas antara pemilik modal dan pekerja/buruh, kaya
dan miskin serta antara negara maju dan negara
yang sedang berkembang.
Jika sistem ini diterapkan oleh
pemda, maka akan berimplikasi pada penekanan upah pegawai. Tak hanya sampai
disitu, upah pegawai yang sudah kecil itu pun akan dipotong oleh perusahaan
yang memiliki usaha di bidang penyedia tenaga kerja sebab perusahaan itu tentu
saja akan berfikir soal keuntungan. Dalam banyak kasus pekerja yang
dioutsourcing, biasanya jam kerja mereka lebih panjang yaitu dengan cara kerja
lembur. Bayangkan, betapa berat beban kerja yang mereka lakukan sementara
imbalannya tidak diterima secara utuh akibat pemotongan upah tadi. Di sinilah
bentuk ekploitasi terhdap pekerja terjadi.
Nah, dengan pemberlakuan
rekruitmen outsorching akan berdampak buruk bagi pegawainya yang melakukan
tindakan yang tidak disukai oleh perusahaan pemberi kerja. Bisa-bisa berujung
pada pemutusan hubungan kerja yaitu dengan cara mengembalikannya ke perusahaan
penyedia tenaga kerja. Ini berarti, betapa mudahnya pihak pengusaha melakukan
tindakan PHK secara sepihak tanpa harus memberikan alasan yang kuat dan
berdasar. Di samping itu, pengusaha juga tidak memiliki kewajiban apapun untuk
memberikan sejumlah kompensasi kepada pekerja yang bersangkutan kendati ia
telah bekerja dan mengabdi untuk waktu yang cukup lama.
Kalau pekerja tidak suka dengan
perlakukan pemda pemberi kerja, maka pihak pemda akan mempersilahkan pekerja
untuk pergi dan perusahaan pemberi kerja akan meminta kepada perusahaan
penyedia tenaga kerja untuk mengirimkan pekerja lainnya. Dapat disimpulkan,
perlindungan menjadi sangat sulit diperoleh oleh pekerja outsourcing.
Outsourcing dirancang untuk
menciptakan pesar tenaga kerja yang mudah diangkat, dilepas dan dipindah-pindah
sesuai kebutuhan pengguna jasa tanpa di sertai kewajiban dan tanggung-jawab
hokum dan social terhadap pekerja. Maka jelaslah bahwa pemerintah melakukan
pola hubungan kerja ini untuk menekan biaya dan meminimalisir resikonya lebih
ringan. Kalau syarat-syarat kerjanya sama termasuk dalam hal pembayaran upah,
tunjangan, jaminan sosial, pesangon dan pensiun tentu pemerintah akan berfikir
lebih baik melakukan hubungan kerja secara langsung ketimbang melalui pihak ketiga.
Pada prinsipnya,
wacana dari Kemenkeu tersebut merupakan jurus jitu untuk mengefisienkan dana
APBD. Sebab,cara ini cukup efektif dalam penghematan keuangan negara atau
daerah. Memang kalau ada pekerjaan perkantoran yang bisa dilakukan dengan menggunakan
jasa pihak ketiga, kenapa tidak dilakukan, sehingga tak perlu merekrut orang
menjadi pegawai negeri.
Persoalan
pemerintah sebenarnya bukan hanya jumlah PNS yang membengkak. Tapi juga simpang
siurnya data base kepegawaian. Untuk itu, perlu perbaikan atau penyempurnaan
data base kepegawaian, baik yang sudah menjadi PNS maupun yang masih berstatus
honorer guna lebih memudahkan penataan kembali terhadap pegawai. Penataan
dimaksud, baik secara kuantitatif (jumlah) maupun kualitatif (kualitas terkait
kecakapan dan keahlian), sehingga tak kesan seenaknya rekrutmen calon pegawai
negeri sipil.