Kamis, 20 November 2014

Ada Apa Dengan Kenaikan BBM?


Keberpihakan pemerintahan Jokowi-JK kepada rakyat sedang diuji. Kebijakan menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi sedang mendapatkan sorotan tajam. Tak sedikit demonstrasi sebagai bentuk protes digelar di tanah air, tak sedikit pula yang masih membela kebijakan yang diambil oleh orang nomor satu di Indonesia tersebut. Ada yang bisa menerima alasan kenaikan, banyak pula yang merasa kebijakan itu tidak pro-rakyat. Lantas bagaimana dinamikanya?

Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Mobilitas tergantung pada BBM. Di Indonesia, ada dua jenis BBM, yakni BBM bersubsidi dan BBM tidak bersubsidi. Kebijakan menaikkan BBM bersubsidi yang ditetapkan pada 17 November 2014 lalu menjadi biang keladi  dari “kisruh” yang terjadi baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Pro dan kontra ini tak jarang membuat kedua kubu (pro-kontra) bersitegang, disamping itu ada juga yang memancing gelak tawa dari perdebatan tersebut.
Saya tak mau latah untuk menghakimi pemerintahan Jokowi-JK, tak pula ingin bersitegang urat untuk membela kebijakan yang diambil pasangan presiden dan wakil presiden RI tersebut. Saya ingin memandang kebijakan menaikkan BBM dari angle yang berbeda, dari perspektif yang jauh dari  bidang ekonomi apalagi politik. Beragam reaksi masyarakat dalam “menyambut” kenaikan BBM bersubsidi juga menjadi issue yang tak kalah seksi dengan issue yang memperdebatkan keberpihakan pro-rakyat ala pemerintahan Jokowi-JK.
Bagaimana tidak, baru beberapa menit setelah pengumuman BBM bersubsidi dinaikkan, kendaraan bermotor sudah mengantri panjang. Ini merupakan pemandangan rutin setiap kali kenaikan BBM bersubsidi terjadi di Indonesia. Bahkan pada pertengahan tahun ini saja, ketika issue kenaikan BBM di jaman SBY-Budiono berhembus, antrian sudah meng-ular. Kejadian ini selalu terjadi setiap kali issue BBM bersubsidi naik, seolah sudah menjadi tradisi masyarakat setiap kali BBM bersubsidi naik maka serentak SPBU diserbu. Lantas kenapa itu bisa terjadi?.
Kejadian ini bisa dijelaskan dengan alasan rasional dan irasional. Alasan yang rasional adalah kenaikan BBM bersubsidi yang akan terjadi (biasanya) sehari setelah diumumkannya kenaikan membuat masyarakat merasa masih ada waktu untuk melakukan penghematan. Dengan mengisi tangki kendaraannya hingga penuh, setidaknya dia bisa menghemat sekian rupiah untuk sekian liter. Hitung-hitungan anak TK saja, dengan kenaikan minyak Rp 2000 per liter jika mengisi motor hingga 3 liter maka bisa menghemat Rp 6000. Keuntungan lebih besar didapatkan oleh pengendara mobil. Jika mengisi 15 liter saja, bisa hemat hingga Rp 30.000.
Alasan di atas tentu tidak masuk akal jika dibandingkan dengan pengorbanan antre hingga berjam-jam. Namun fenomena antre yang meng-ular hingga 1 km memang terjadi tidak hanya dengan alasan rasional tapi juga irasional. Alasan-alasan yang tidak bisa dimatematiskan, seperti alasan kepanikan masyarakat “menyambut” kenaikan BBM bersubsidi esok hari. Informasi kenaikan BBM bersubsidi tak pelak memancing kepanikan masyarakat dari semua golongan, mulai dari lower class, middle class hingga upper class. Kepanikan itu membuat masyarakat tak ragu untuk mengantre di SPBU terdekat meskipun harus menunggu hingga berjam-jam. Antre panjang di SPBU (mungkin) merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat memang belum bisa menerima kebijakan kenaikan BBM bersubsidi.
Fenomena lainnya adalah komentar masyarakat di dunia maya, yakni melalui jejaring sosial. Beragam komentar bermunculan, mulai dari dukungan hingga penolakan atas kebijakan tersebut. Tak jarang pula komentar-komentar menggelitik muncul dari media sosial semacam facebook, twitter, status BBM (BlackBerry Messenger), blog dan lain-lain.
Pihak yang pro pemerintah setuju pada pernyataan presiden yang menyatakan tidak menaikkan harga BBM namun hanya menyebut subsidi BBM akan dialihkan kepada subsidi yang lebih produktif, misalnya untuk pendidikan, kesehatan, usaha dll. Lagi pula dengan kenaikan harga yang “hanya” Rp 2000 dianggap tidak begitu memberatkan masyarakat yang selama ini sudah cukup “dimanjakan” dengan subsidi besar dari negara. Mempermasalahkan kenaikan BBM bersubsidi, menurut mereka yang pro merupakan sebuah cara bagi pendukung lawan politik Jokowi-JK untuk kembali menghujat pasangan tersebut.
Sementara itu, pihak yang kontra pada kebijakan tersebut menganggap bahwa Jokowi-JK perlu memikirkan kembali kebijakan yang lebih pro-rakyat seperti yang dijanjikan mereka saat masa kampanye. Menaikkan harga BBM bersubsidi bukan kebijakan yang pro-rakyat tapi malah menyengsarakan masyarakat. Tidak ada alasan bagi orang nomor satu di Indonesia itu untuk menaikkan harga BBM bersubsidi disaat harga minyak dunia turun. Mengenaikan kenaikan harga yang disebut pendukung pemerintah “hanya” Rp 2000 menjadi sangat bernilai bagi masyarakat dengan ekonomi lemah. Tidak hanya jasa angkutan umum yang akan naik, harga sembako pun akan melejit. Tentunya ini akan berdampak pada kesengsaraan masyarakat dari lapisan bawah.
Tak hanya komentar masyarakat dunia maya yang menarik, meme lucu dan nyelekit tentang kenaikan BBM bersubsidi pun bermunculan. Mulai dari jargonnya Jokowi-JK pada masa kampanye, salam dua jari diganti dengan “salam gigit jari” dan “salam dua ribu” serta banyak lagi yang lainnya. Meme tersebut merupakan cara masyarakat menyampaikan pendapatnya tentang kenaikan harga BBM bersubsidi di era Jokowi-JK.
Fenomena menarik lainnya bisa kita lihat dari pemberitaan media massa, baik lokal maupun nasional. Stasiun Televisi “biru” dan “merah” , (begitu istilah yang digunakan masyarakat untuk menggambarkan dua diantara banyak televisi swasta terbesar di Indonesia) memiliki perspektif berbeda dalam memandang kenaikan harga BBM bersubsidi. Kejadian ini seperti sequel dari kampanye pilpres lalu. TV biru mati-matian mendukung kebijakan pemerintah, TV merah juga tak kalah menyentil kebijakan yang disebutnya tidak pro-rakyat. Tak hanya stasiun tv, media massa cetak dan portal juga melakukan hal yang sama.
Berdasarkan fenomena di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ada beragam pendapat mengenai kenaikan harga BBM di masyarakat. Mereka yang pro dan yang kontra sama-sama memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan argumennya. Meskipun begitu, argumen saja tidak cukup untuk membuktikan siapa yang memiliki solusi tepat menghadapi persoalan negara khususnya dalam sektor migas.
Konflik Realistis dan Non-Realistis
Kebijakan kenaikan BBM Bersubsidi tidak ayal mengundang pertentangan kepentingan yang di dalam ilmu Sosiologi dikenal dengan istilah konflik. Pemerintah RI memiliki kepentingan yang bertentangan dengan sebagian masyarakat Indonesia. Kepentingan pemerintah untuk menghemat anggaran negara yang katanya terserap sangat besar untuk subsidi BBM “mengharuskan” elit untuk mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi (walaupun Jokowi lebih memilih menggunakan istilah pengalihan subsidi BBM kepada subsidi yang lebih produktif). Dilain pihak sebagian (mungkin mayoritas) masyarakat Indonesia memiliki kepentingan untuk menolak kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi agar biaya hidup mereka tidak ikut melejit. Pertentangan kepentingan ini akhirnya membuat pemerintah dan sebagaian (mungkin mayoritas) masyarakat Indonesia terlibat dalam konflik.
Bicara tentang konflik, Sosiolog Coser membedakannya kedalam dua bentuk, yakni konflik yang realistis dan tidak realistis. Kedua bentuk konflik tersebut kiranya dapat menganalisis pertentangan kepentingan antara pemerintah dan sebagian masyarakat Indonesia. Dikatakan konflik realistis ketika berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan partisipan dan ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Sebagian (mungkin mayoritas) masyarakat kecewa dengan kebijakan yang diambil pemerintah dalam menaikkan BBM bersubsidi.
Sementara itu, konflik non-realistis juga terjadi ketika pemerintah menunjukkan prasangka terhadap masyarakat Indonesia yang telah memakai BBM bersubsidi melebihi persediaan. Karena stock BBM bersubsidi sudah habis jauh sebelum akhir tahun, maka pemerintah menjadikah hal itu sebagai salah satu alasan untuk menaikkan BBM. Padahal sebagian besar subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kaum kaya yang masih saja menggunakan BBM bersubsidi untuk kendaraan mereka, pabrik-pabrik yang curang dengan membeli BBM bersubsidi untuk kebutuhan operasional serta praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) migas yang dilakukan elit. Inilah yang disebut Cosser sebagai konflik yang tidak realistis itu, dimana pertentangan kepentingan tersebut bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistis tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.
Selesaikan Persoalan dari Hulu ke Hilir
Kebijakan kenaikan BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang hanya bersifat menyelesaikan persoalan hilir. Padahal, persoalan lebih besar bisa diselesaikan dengan mengusut dari hulu. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang baru sebatas menyumbat hilir tapi tidak menyelesaikan masalah di hulu.  Maksudnya, pemerintah sebaiknya menata ulang kebijakan energi yang sarat tendensinya dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Bukan rahasia lagi jika RI tengah mengalami persoalan energi. Tidak hanya dari segi SDA tapi juga dari kebijakan energi yang diambil pemangku kekuasaan.
Pemerintah sebaiknya mencari terobosan kebijakan yang bisa menarikkan taraf hidup masyarakat kelas bawah di Indonesia tanpa harus menaikkan BBM. Sebab, dengan kenaikan harga BBM bersubsidi saat ini sangat berdampak pada kehidupan masyarakat menengah ke bawah meskipun janjinya presiden akan mengalihkan subsidi untuk kemudian dialokasikan pada anggaran produktif.
Sudah saatnya pemerintah membuktikan janjinya untuk mendukung, membangun dan mengembangkan energi alternatif. Banyak anak bangsa yang sudah mulai memikirkan dan mengembangkan energi alternatif pengganti BBM seperti anngin, laut dll. Pemerintah tinggal memberikan support berupa bantuan dana dan beasiswa kepada mereka yang memang berkompeten dan memiliki perhatian lebih terhadap energi alternatif. Kemudian, perlu untuk memikirkan pembangunan infrastruktur energi. Jika hal-hal diatas dapat dilakukan, bukan tidak mungkin persoalan energi yang kini menimpa Indonesia dapat diselesaikan.(*)

Tidak ada komentar: