Keberpihakan
pemerintahan Jokowi-JK kepada rakyat sedang diuji. Kebijakan menaikkan harga
BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi sedang mendapatkan sorotan tajam. Tak
sedikit demonstrasi sebagai bentuk protes digelar di tanah air, tak sedikit
pula yang masih membela kebijakan yang diambil oleh orang nomor satu di
Indonesia tersebut. Ada yang bisa menerima alasan kenaikan, banyak pula yang
merasa kebijakan itu tidak pro-rakyat. Lantas bagaimana dinamikanya?
Bahan
Bakar Minyak (BBM) sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Mobilitas
tergantung pada BBM. Di Indonesia, ada dua jenis BBM, yakni BBM bersubsidi dan
BBM tidak bersubsidi. Kebijakan menaikkan BBM bersubsidi yang ditetapkan pada
17 November 2014 lalu menjadi biang keladi
dari “kisruh” yang terjadi baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Pro
dan kontra ini tak jarang membuat kedua kubu (pro-kontra) bersitegang, disamping
itu ada juga yang memancing gelak tawa dari perdebatan tersebut.
Saya
tak mau latah untuk menghakimi pemerintahan Jokowi-JK, tak pula ingin bersitegang
urat untuk membela kebijakan yang diambil pasangan presiden dan wakil presiden
RI tersebut. Saya ingin memandang kebijakan menaikkan BBM dari angle yang
berbeda, dari perspektif yang jauh dari
bidang ekonomi apalagi politik. Beragam reaksi masyarakat dalam
“menyambut” kenaikan BBM bersubsidi juga menjadi issue yang tak kalah seksi
dengan issue yang memperdebatkan keberpihakan pro-rakyat ala pemerintahan
Jokowi-JK.
Bagaimana
tidak, baru beberapa menit setelah pengumuman BBM bersubsidi dinaikkan, kendaraan
bermotor sudah mengantri panjang. Ini merupakan pemandangan rutin setiap kali
kenaikan BBM bersubsidi terjadi di Indonesia. Bahkan pada pertengahan tahun ini
saja, ketika issue kenaikan BBM di jaman SBY-Budiono berhembus, antrian sudah
meng-ular. Kejadian ini selalu terjadi setiap kali issue BBM bersubsidi naik,
seolah sudah menjadi tradisi masyarakat setiap kali BBM bersubsidi naik maka
serentak SPBU diserbu. Lantas kenapa itu bisa terjadi?.
Kejadian
ini bisa dijelaskan dengan alasan rasional dan irasional. Alasan yang rasional
adalah kenaikan BBM bersubsidi yang akan terjadi (biasanya) sehari setelah
diumumkannya kenaikan membuat masyarakat merasa masih ada waktu untuk melakukan
penghematan. Dengan mengisi tangki kendaraannya hingga penuh, setidaknya dia
bisa menghemat sekian rupiah untuk sekian liter. Hitung-hitungan anak TK saja,
dengan kenaikan minyak Rp 2000 per liter jika mengisi motor hingga 3 liter maka
bisa menghemat Rp 6000. Keuntungan lebih besar didapatkan oleh pengendara
mobil. Jika mengisi 15 liter saja, bisa hemat hingga Rp 30.000.
Alasan
di atas tentu tidak masuk akal jika dibandingkan dengan pengorbanan antre
hingga berjam-jam. Namun fenomena antre yang meng-ular hingga 1 km memang
terjadi tidak hanya dengan alasan rasional
tapi juga irasional. Alasan-alasan
yang tidak bisa dimatematiskan, seperti alasan kepanikan masyarakat “menyambut”
kenaikan BBM bersubsidi esok hari. Informasi kenaikan BBM bersubsidi tak pelak
memancing kepanikan masyarakat dari semua golongan, mulai dari lower class, middle class hingga upper
class. Kepanikan itu membuat masyarakat tak ragu untuk mengantre di SPBU
terdekat meskipun harus menunggu hingga berjam-jam. Antre panjang di SPBU
(mungkin) merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat memang belum bisa
menerima kebijakan kenaikan BBM bersubsidi.
Fenomena
lainnya adalah komentar masyarakat di dunia maya, yakni melalui jejaring
sosial. Beragam komentar bermunculan, mulai dari dukungan hingga penolakan atas
kebijakan tersebut. Tak jarang pula komentar-komentar menggelitik muncul dari
media sosial semacam facebook, twitter, status BBM (BlackBerry Messenger), blog
dan lain-lain.
Pihak
yang pro pemerintah setuju pada pernyataan presiden yang menyatakan tidak menaikkan
harga BBM namun hanya menyebut subsidi BBM akan dialihkan kepada subsidi yang
lebih produktif, misalnya untuk pendidikan, kesehatan, usaha dll. Lagi pula
dengan kenaikan harga yang “hanya” Rp 2000 dianggap tidak begitu memberatkan
masyarakat yang selama ini sudah cukup “dimanjakan” dengan subsidi besar dari
negara. Mempermasalahkan kenaikan BBM bersubsidi, menurut mereka yang pro
merupakan sebuah cara bagi pendukung lawan politik Jokowi-JK untuk kembali
menghujat pasangan tersebut.
Sementara
itu, pihak yang kontra pada kebijakan tersebut menganggap bahwa Jokowi-JK perlu
memikirkan kembali kebijakan yang lebih pro-rakyat seperti yang dijanjikan
mereka saat masa kampanye. Menaikkan harga BBM bersubsidi bukan kebijakan yang
pro-rakyat tapi malah menyengsarakan masyarakat. Tidak ada alasan bagi orang
nomor satu di Indonesia itu untuk menaikkan harga BBM bersubsidi disaat harga
minyak dunia turun. Mengenaikan kenaikan harga yang disebut pendukung
pemerintah “hanya” Rp 2000 menjadi sangat bernilai bagi masyarakat dengan
ekonomi lemah. Tidak hanya jasa angkutan umum yang akan naik, harga sembako pun
akan melejit. Tentunya ini akan berdampak pada kesengsaraan masyarakat dari
lapisan bawah.
Tak
hanya komentar masyarakat dunia maya yang menarik, meme lucu dan nyelekit
tentang kenaikan BBM bersubsidi pun bermunculan. Mulai dari jargonnya Jokowi-JK
pada masa kampanye, salam dua jari diganti dengan “salam gigit jari” dan “salam
dua ribu” serta banyak lagi yang lainnya. Meme tersebut merupakan cara
masyarakat menyampaikan pendapatnya tentang kenaikan harga BBM bersubsidi di
era Jokowi-JK.
Fenomena
menarik lainnya bisa kita lihat dari pemberitaan media massa, baik lokal maupun
nasional. Stasiun Televisi “biru” dan “merah” , (begitu istilah yang digunakan
masyarakat untuk menggambarkan dua diantara banyak televisi swasta terbesar di
Indonesia) memiliki perspektif berbeda dalam memandang kenaikan harga BBM
bersubsidi. Kejadian ini seperti sequel dari kampanye pilpres lalu. TV biru
mati-matian mendukung kebijakan pemerintah, TV merah juga tak kalah menyentil
kebijakan yang disebutnya tidak pro-rakyat. Tak hanya stasiun tv, media massa
cetak dan portal juga melakukan hal yang sama.
Berdasarkan
fenomena di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ada beragam pendapat mengenai
kenaikan harga BBM di masyarakat. Mereka yang pro dan yang kontra sama-sama
memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan argumennya. Meskipun begitu,
argumen saja tidak cukup untuk membuktikan siapa yang memiliki solusi tepat
menghadapi persoalan negara khususnya dalam sektor migas.
Konflik
Realistis dan Non-Realistis
Kebijakan
kenaikan BBM Bersubsidi tidak ayal mengundang pertentangan kepentingan yang di dalam
ilmu Sosiologi dikenal dengan istilah konflik. Pemerintah RI memiliki
kepentingan yang bertentangan dengan sebagian masyarakat Indonesia. Kepentingan
pemerintah untuk menghemat anggaran negara yang katanya terserap sangat besar
untuk subsidi BBM “mengharuskan” elit untuk mengambil kebijakan menaikkan harga
BBM bersubsidi (walaupun Jokowi lebih memilih menggunakan istilah pengalihan
subsidi BBM kepada subsidi yang lebih produktif). Dilain pihak sebagian
(mungkin mayoritas) masyarakat Indonesia memiliki kepentingan untuk menolak
kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi agar biaya hidup mereka tidak ikut
melejit. Pertentangan kepentingan ini akhirnya membuat pemerintah dan sebagaian
(mungkin mayoritas) masyarakat Indonesia terlibat dalam konflik.
Bicara
tentang konflik, Sosiolog Coser membedakannya kedalam dua bentuk, yakni konflik
yang realistis dan tidak realistis. Kedua bentuk konflik tersebut kiranya dapat
menganalisis pertentangan kepentingan antara pemerintah dan sebagian masyarakat
Indonesia. Dikatakan konflik realistis ketika berasal dari kekecewaan terhadap
tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan partisipan dan ditujukan pada obyek yang dianggap
mengecewakan. Sebagian (mungkin mayoritas) masyarakat kecewa dengan kebijakan
yang diambil pemerintah dalam menaikkan BBM bersubsidi.
Sementara
itu, konflik non-realistis juga terjadi ketika pemerintah menunjukkan prasangka
terhadap masyarakat Indonesia yang telah memakai BBM bersubsidi melebihi
persediaan. Karena stock BBM bersubsidi sudah habis jauh sebelum akhir tahun,
maka pemerintah menjadikah hal itu sebagai salah satu alasan untuk menaikkan
BBM. Padahal sebagian besar subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kaum kaya
yang masih saja menggunakan BBM bersubsidi untuk kendaraan mereka, pabrik-pabrik
yang curang dengan membeli BBM bersubsidi untuk kebutuhan operasional serta
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) migas yang dilakukan elit. Inilah
yang disebut Cosser sebagai konflik yang tidak realistis itu, dimana
pertentangan kepentingan tersebut bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang
antagonistis tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak
dari salah satu pihak.
Selesaikan
Persoalan dari Hulu ke Hilir
Kebijakan
kenaikan BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang hanya bersifat menyelesaikan
persoalan hilir. Padahal, persoalan lebih besar bisa diselesaikan dengan
mengusut dari hulu. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan
kebijakan yang baru sebatas menyumbat hilir tapi tidak menyelesaikan masalah di
hulu. Maksudnya, pemerintah sebaiknya menata
ulang kebijakan energi yang sarat tendensinya dengan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Bukan rahasia lagi jika RI tengah mengalami persoalan energi.
Tidak hanya dari segi SDA tapi juga dari kebijakan energi yang diambil pemangku
kekuasaan.
Pemerintah sebaiknya
mencari terobosan kebijakan yang bisa menarikkan taraf hidup masyarakat kelas
bawah di Indonesia tanpa harus menaikkan BBM. Sebab, dengan kenaikan harga BBM
bersubsidi saat ini sangat berdampak pada kehidupan masyarakat menengah ke
bawah meskipun janjinya presiden akan mengalihkan subsidi untuk kemudian
dialokasikan pada anggaran produktif.
Sudah saatnya
pemerintah membuktikan janjinya untuk mendukung, membangun dan mengembangkan
energi alternatif. Banyak anak bangsa yang sudah mulai memikirkan dan
mengembangkan energi alternatif pengganti BBM seperti anngin, laut dll.
Pemerintah tinggal memberikan support berupa bantuan dana dan beasiswa kepada
mereka yang memang berkompeten dan memiliki perhatian lebih terhadap energi
alternatif. Kemudian, perlu untuk memikirkan pembangunan infrastruktur energi.
Jika hal-hal diatas dapat dilakukan, bukan tidak mungkin persoalan energi yang
kini menimpa Indonesia dapat diselesaikan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar