Jumat, 01 Februari 2013

Cinta Lama Belum Kelar (CLBK)

Hari itu, matahari bersinar terik, panasnya serasa hendak membakar kulit. Jumat siang itu memang terasa sangat panas.  Langitpun tampak biru tanpa ada awan yang menghiasi, pantas saja jika mentari begitu garang. Untungnya masih ada angin yang berhembus sepoi. Setidaknya, cukup menjadi penyejuk bagi tubuh yang tersengat matahari. Begitu panasnya hari ini, aku pun enggan melepas payung yang sejak tadi melindungi tubuhku dari panas langsung matahari.
Jika biasanya aku berjalan gontai dari kampus menuju kos, tidak begitu hari ini. Ku percepat langkah kakiku, bermaksud agar sampai lebih cepat. Sudah terbayang segarnya AC di kamar yang akan serta merta mendinginkan tubuhku. Tentunya akan lebih menyenangkan pula menikmati segelas capucino dingin sambil menonton televisi di kamar seorang diri. Semakin aku membayangkan betapa nikmatnya berleha-leha di kamar, semakin terasa jauh jarak kampus dan kos yang  sebenarnya hanya berjarak 300 meter itu.
Kini, aku tak lagi berjalan cepat, boleh dibilang sudah setengah berlari. Jika bukan karena matakuliah Statistik Sosial, enggan rasanya untuk ke kampus tadi pagi. Sebab, sejak pukul 10.00 WIB tadi, matahari sudah menyengat dan siang ini semakin menyengat. Jika saja bukan Prof. Alimi yang mengajar hari ini, tentunya pagi tadi aku tidak datang kuliah. Karena, guru besar itu terkenal galak dan mudah memberikan nilai gagal pada mahasiswa jika tidak menghadiri perkuliahan. Tentunya aku tak begitu gila hingga harus melewatkan kelas Prof. Alimi untuk kedua kalinya. Cukup tahun lalu aku dihadiahi nilai E karena ketahuan titip absen.
“Kalau nggak gara-gara professor botak itu, nggak akan kepanasan kayak gini nih. Sial banget siang terik begini mesti panas-panasan,” umpatku dalam hati.
Baru saja mengumpat, tiba-tiba sebuah mobil jazz kuning menyerempat dari arah belakang. Serta merta tubuhku terseok ke sebelah kiri. Memang tidak begitu sakit, tapi karena kecerobohan si pengemudi aku berniat untuk memaki-makinya. Pikirku, ini kesempatan melampiaskan kekesalanku pada sang supir. Lumayan juga punya kesempatan memaki.
“Eh, turun. Lo pikir ini jalanan milik keluarga lo, sembarangan bawa mobil. Bisa nyetir nggak sih? Mana KTP dan STNK lo, jangan-jangan nembak nih,” maki ku sambil menggedor kaca mobil si pengemudi.
Si empunya mobil membuka kaca mobilnya. Seorang cowok berhidung bangir, berkulit sawo matang dan mengenakan kacamata hitam tampak duduk dibelakang stir. Ku pikir dia model atau bintang film terkenal, parasnya ganteng dan tubuhnya wangi. Tapi tak mungkin ada artis ke kota Padang sendirian. Kalau toh ada, tentu dia bersama manajer atau promotor yang mengundang mereka. Lagi pula, aku melihat ada id card karyawan salah satu televise swasta di kota ini tersemat di saku kemejanya.
“Annisa ya?,” sapa si cowok keren itu sambil membuka kacamatanya.
“Astaga, aku kenal lelaki ini. Tapi apa yang dia lakukan disini?,” gumamku.
“Ingat kan sama aku?,” tanyanya hendak memastikan.
Bagaimana mungkin aku tidak mengingat Radhi, tetanggaku saat di Surabaya dulu. Kami pernah dekat, seperti sahabat. Kemana-mana selalu berdua hingga sering digosipkan pacaran. Dia empat tahun lebih tua dari ku, tapi dia berbeda dari orang seusianya. Dia tidak enggan bermain dengan orang yang lebih muda darinya. Karena itulah kami sempat dekat, sebelum akhirnya Radhi kuliah ke Jakarta dan hampir tak pernah pulang.
Karena Radhi pula lah aku kuliah di kota bingkuang ini. Begitu frustasinya aku ditinggalkan Radhi, akhirnya aku putuskan untuk kuliah di kampung halaman ibuku. Meskipun harus kos, tidak mengapa asal bisa jauh dari kota kenanganku dengan Radhi. Tapi kini, kenapa malah kita bertemu di kota ini setelah bertahun-tahun tidak  ada komunikasi. Pertemuan itu pun tak biasa, aku dan dia bertemu secara tak sengaja.
“Apakah ini pertanda jodoh ya? Atau dia sengaja mencariku ke kota ini setelah tamat kuliah dulu?,” beragam pertanyaan muncul dibenakku.
Akhirnya, aku dan Radhi mencari tempat santai untuk bercengkrama. Kebetulan, siang itu Radhi memang sedang mencari tempat makan siang, jadi dia punya cukup waktu untuk temu ramah dengan ku. Ada hal yang paling aku suka dari Radhi, sorot matanya yang tajam saat memandangku itu begitu indah. Barangkali itu sorot mata paling indah yang pernah ku temui.
Baru aku tahu, dia sempat beberapa kali pulang saat libur kuliah namun tak pernah bertemu dengan ku. Di saat yang sama, aku pergi liburan bersama kawan-kawan sehingga tak pernah menemui Radhi. Sebelumnya, ku pikir dia memang tak pernah pulang ke Surabaya karena sudah terpaut hati pada gadis Jakarta. Syukurlah dia masih mengingatku.
“Jadi, sekarang kamu kuliah disini. Hmm..sudah semester berapa,” tutur Radhi.
“Iya, semester 2,” jawabku pendek.
“Kamu lebih pendiam ya sekarang,ndut. Kenapa?,” Tanya Radhi.
Aku tak bergeming. Aku begitu bahagia Radhi masih ingat panggilan sayangnya padaku. Awalnya sih aku sebel dipanggil Ndut, tapi karena itu panggilan akrab lalu mau apalagi. Sewaktu dulu, aku memang sedikit gendut, pipiku bulat kayak bakpao. Karena itulah, dia leluasa memanggilu Ndut. Untungnya, dia hanya memakai panggilan itu ketika kami sedang berdua, kalau didepan teman-temanku dia tetap panggil aku Icha.
Ku pandangi cowok keren yang kini sudah berubah jadi pria tampan itu lekat-lekat. Dia semakin tampan, penampilannya pun semakin menarik. Di wajahnya tampak kedewasaan dan dari sikapnya tampak kebijaksanaan. Pastinya banyak wanita yang tergila-gila pada Radhi, sama halnya saat di Surabaya dulu. Cewek-cewek genit itu setiap waktu mencoba menggoda Radhi, tapi sayang Radhi tak menanggapi perasaan mereka.
“Pastinya, kan Radhi cuma sayang sama aku,” pikir ku.
Usai makan siang, Radhi mengantarku ke kos. Dia berjanji akan mengajakku jalan-jalan ke Bukittinggi dan Batusangkar untuk rekreasi. Katanya, dua tempat itu merupakan salah satu daerah pariwisata andalan Sumbar. Aku menurut saja, toh ini kesempatan bagiku untuk lebih dekat dengan Radhi. Moment ini akan jadi kenangan kami dan barangkali disana Radhi akan menyatakan cintanya padaku.
Benar saja, Sabtu pagi Radhi sudah nongol di depan kos ku. Kami pun menuju Bukittinggi dan menyaksikan jam gadang yang sebenarnya tidak begitu besar itu. Entah kenapa diberi nama jam gadang dan tulisan huruf empat pada jam gadang itu ditulis dengan IIII bukan IV. Tapi, itu tak penting. Sekarang aku harus pikirkan cara memancing Radhi untuk ungkapkan cinta. Ku pikir, lebih cepat akan lebih baik bagi kami. Karena aku sudah menunggu Radhi sejak 4 tahun silam.
Setelah selesai rekreasi di Bukitttinggi, Radhi mengajakku ke Istana Pagaruyuang di kabupaten Tanah Datar. Ternyata istana yang pernah terbakar beberapa tahun silam itu sekarang sudah berdiri “rancak” kembali. Konon kata Radhi, istana itu merupakan istana legenda nenek moyang orang Minangkabau. Ada banyak sejarah di Istana Pagaruyuang itu dan belum lengkap rasanya jika ke Sumbar tidak mengabadikan gambar disini.
“Jadi, kapan Mas Radhi terakhir mudik?,” tanyaku.
“Libur kemarin aku mudik kok, tapi emang 3 hari aja. Soalne disini aku banyak kerjaan,” tutur Radhi.
“Kok bisa nyampe Padang sih? Kenapa nggak kerja di Jakarta atau di Surabaya aja?,” tanyaku penasaran.
“Nanti kamu juga tahu. Aku bakal ceritain kalau udah sampai di air terjun ya,” ucapnya.
Semakin penasaran saja aku dibuatnya. Pahal masih banyak hal yang ingin ku tanyakan, tapi dia sepertinya tak ingin diusik dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tampak sibuk mengambil gambar rumah gadang dan sekelilingnya. Niatku untuk memancing Radhi nembak pun ku putuskan untuk ditunda dulu hingga air terjun.
Sabtu sore kami sampai di air terjun,Padang Panjang. Ada banyak turis local yang asik mengabadikan momentnya dengan berfoto. Tempat inilah yang sempat longsor setahun yang lalu, aku pernah membaca beritanya di Koran lokal. Tempat ini cukup romantis, meskipun tidak seindah air terjun Niagara tapi setidaknya akan menjadi lebih indah jika ditempat ini aku menyatakan perasaanku pada Radhi. Toh, sudah tak jamannya lagi perempuan hanya menunggu hingga lelaki menyatakan cinta.
“Mas, aku pengen ngomong. Sebenarnya aku kuliah kesini karena aku sebel sama kamu yang nggak pulang-pulang ke Surabaya,” tuturku mulai membuka pembicaraan.
“Nah itu orangnya, sebentar ya, Ndut. Aku jemput dia dulu, kamu tunggu disini,” tutur Radhi.
“Sopo cewek cantik iku? Temane Mas Radhi kali yo,” pikirku tanpa melepaskan pandangan dari dua orang yang berjalan menuju ke arahku itu.
“Nah, ini yang pengen aku ceritakan sama kamu,Ndut. Kenalin, dia Soraya istri aku,” jelas Radhi.
Bagai disambar petir rasanya mengetahui gadis cantik berambut sebahu itu adalah istri Radhi. Selama dua hari bersama, Radhi tak pernah cerita soal gadis manapun apalagi soal istrinya. Lantas, jika sudah begini aku harus bagaimana lagi. Radhi sudah menikah, sementara aku masih sangat mencintai dia. Apa aku maki-maki mereka berdua aja.
“ Annisa, temannya Mas Radhi di Surabaya,” sahutku sambil menyalami Soraya (*) (Marisa Elsera)  

Tidak ada komentar: