Hari itu,
matahari bersinar terik, panasnya serasa hendak membakar kulit. Jumat siang itu
memang terasa sangat panas. Langitpun
tampak biru tanpa ada awan yang menghiasi, pantas saja jika mentari begitu
garang. Untungnya masih ada angin yang berhembus sepoi. Setidaknya, cukup
menjadi penyejuk bagi tubuh yang tersengat matahari. Begitu panasnya hari ini,
aku pun enggan melepas payung yang sejak tadi melindungi tubuhku dari panas
langsung matahari.
Jika biasanya
aku berjalan gontai dari kampus menuju kos, tidak begitu hari ini. Ku percepat
langkah kakiku, bermaksud agar sampai lebih cepat. Sudah terbayang segarnya AC
di kamar yang akan serta merta mendinginkan tubuhku. Tentunya akan lebih
menyenangkan pula menikmati segelas capucino dingin sambil menonton televisi di
kamar seorang diri. Semakin aku membayangkan betapa nikmatnya berleha-leha di
kamar, semakin terasa jauh jarak kampus dan kos yang sebenarnya hanya berjarak 300 meter itu.
Kini, aku tak
lagi berjalan cepat, boleh dibilang sudah setengah berlari. Jika bukan karena
matakuliah Statistik Sosial, enggan rasanya untuk ke kampus tadi pagi. Sebab,
sejak pukul 10.00 WIB tadi, matahari sudah menyengat dan siang ini semakin
menyengat. Jika saja bukan Prof. Alimi yang mengajar hari ini, tentunya pagi
tadi aku tidak datang kuliah. Karena, guru besar itu terkenal galak dan mudah
memberikan nilai gagal pada mahasiswa jika tidak menghadiri perkuliahan.
Tentunya aku tak begitu gila hingga harus melewatkan kelas Prof. Alimi untuk
kedua kalinya. Cukup tahun lalu aku dihadiahi nilai E karena ketahuan titip
absen.
“Kalau nggak
gara-gara professor botak itu, nggak akan kepanasan kayak gini nih. Sial banget
siang terik begini mesti panas-panasan,” umpatku dalam hati.
Baru saja
mengumpat, tiba-tiba sebuah mobil jazz kuning menyerempat dari arah belakang.
Serta merta tubuhku terseok ke sebelah kiri. Memang tidak begitu sakit, tapi
karena kecerobohan si pengemudi aku berniat untuk memaki-makinya. Pikirku, ini
kesempatan melampiaskan kekesalanku pada sang supir. Lumayan juga punya
kesempatan memaki.
“Eh, turun. Lo
pikir ini jalanan milik keluarga lo, sembarangan bawa mobil. Bisa nyetir nggak
sih? Mana KTP dan STNK lo, jangan-jangan nembak nih,” maki ku sambil menggedor
kaca mobil si pengemudi.
Si empunya mobil
membuka kaca mobilnya. Seorang cowok berhidung bangir, berkulit sawo matang dan
mengenakan kacamata hitam tampak duduk dibelakang stir. Ku pikir dia model atau
bintang film terkenal, parasnya ganteng dan tubuhnya wangi. Tapi tak mungkin
ada artis ke kota Padang sendirian. Kalau toh ada, tentu dia
bersama manajer atau promotor yang mengundang mereka. Lagi pula, aku melihat
ada id card karyawan salah satu televise swasta di kota ini tersemat di saku kemejanya.
“Annisa ya?,”
sapa si cowok keren itu sambil membuka kacamatanya.
“Astaga, aku
kenal lelaki ini. Tapi apa yang dia lakukan disini?,” gumamku.
“Ingat kan sama aku?,” tanyanya
hendak memastikan.
Bagaimana
mungkin aku tidak mengingat Radhi, tetanggaku saat di Surabaya dulu. Kami pernah dekat, seperti
sahabat. Kemana-mana selalu berdua hingga sering digosipkan pacaran. Dia empat
tahun lebih tua dari ku, tapi dia berbeda dari orang seusianya. Dia tidak
enggan bermain dengan orang yang lebih muda darinya. Karena itulah kami sempat
dekat, sebelum akhirnya Radhi kuliah ke Jakarta
dan hampir tak pernah pulang.
Karena Radhi
pula lah aku kuliah di kota
bingkuang ini. Begitu frustasinya aku ditinggalkan Radhi, akhirnya aku putuskan
untuk kuliah di kampung halaman ibuku. Meskipun harus kos, tidak mengapa asal
bisa jauh dari kota
kenanganku dengan Radhi. Tapi kini, kenapa malah kita bertemu di kota ini setelah
bertahun-tahun tidak ada komunikasi.
Pertemuan itu pun tak biasa, aku dan dia bertemu secara tak sengaja.
“Apakah ini
pertanda jodoh ya? Atau dia sengaja mencariku ke kota ini setelah tamat kuliah dulu?,” beragam
pertanyaan muncul dibenakku.
Akhirnya, aku
dan Radhi mencari tempat santai untuk bercengkrama. Kebetulan, siang itu Radhi
memang sedang mencari tempat makan siang, jadi dia punya cukup waktu untuk temu
ramah dengan ku. Ada
hal yang paling aku suka dari Radhi, sorot matanya yang tajam saat memandangku
itu begitu indah. Barangkali itu sorot mata paling indah yang pernah ku temui.
Baru aku tahu,
dia sempat beberapa kali pulang saat libur kuliah namun tak pernah bertemu
dengan ku. Di saat yang sama, aku pergi liburan bersama kawan-kawan sehingga
tak pernah menemui Radhi. Sebelumnya, ku pikir dia memang tak pernah pulang ke Surabaya karena sudah terpaut hati pada gadis Jakarta. Syukurlah dia
masih mengingatku.
“Jadi, sekarang
kamu kuliah disini. Hmm..sudah semester berapa,” tutur Radhi.
“Iya, semester
2,” jawabku pendek.
“Kamu lebih
pendiam ya sekarang,ndut. Kenapa?,” Tanya Radhi.
Aku tak
bergeming. Aku begitu bahagia Radhi masih ingat panggilan sayangnya padaku.
Awalnya sih aku sebel dipanggil Ndut, tapi karena itu panggilan akrab lalu mau
apalagi. Sewaktu dulu, aku memang sedikit gendut, pipiku bulat kayak bakpao.
Karena itulah, dia leluasa memanggilu Ndut. Untungnya, dia hanya memakai
panggilan itu ketika kami sedang berdua, kalau didepan teman-temanku dia tetap
panggil aku Icha.
Ku pandangi
cowok keren yang kini sudah berubah jadi pria tampan itu lekat-lekat. Dia
semakin tampan, penampilannya pun semakin menarik. Di wajahnya tampak
kedewasaan dan dari sikapnya tampak kebijaksanaan. Pastinya banyak wanita yang
tergila-gila pada Radhi, sama halnya saat di Surabaya dulu. Cewek-cewek genit itu setiap
waktu mencoba menggoda Radhi, tapi sayang Radhi tak menanggapi perasaan mereka.
“Pastinya, kan Radhi cuma sayang
sama aku,” pikir ku.
Usai makan
siang, Radhi mengantarku ke kos. Dia berjanji akan mengajakku jalan-jalan ke
Bukittinggi dan Batusangkar untuk rekreasi. Katanya, dua tempat itu merupakan
salah satu daerah pariwisata andalan Sumbar. Aku menurut saja, toh ini
kesempatan bagiku untuk lebih dekat dengan Radhi. Moment ini akan jadi kenangan
kami dan barangkali disana Radhi akan menyatakan cintanya padaku.
Benar saja,
Sabtu pagi Radhi sudah nongol di depan kos ku. Kami pun menuju Bukittinggi dan
menyaksikan jam gadang yang sebenarnya tidak begitu besar itu. Entah kenapa
diberi nama jam gadang dan tulisan huruf empat pada jam gadang itu ditulis
dengan IIII bukan IV. Tapi, itu tak penting. Sekarang aku harus pikirkan cara
memancing Radhi untuk ungkapkan cinta. Ku pikir, lebih cepat akan lebih baik
bagi kami. Karena aku sudah menunggu Radhi sejak 4 tahun silam.
Setelah selesai
rekreasi di Bukitttinggi, Radhi mengajakku ke Istana Pagaruyuang di kabupaten
Tanah Datar. Ternyata istana yang pernah terbakar beberapa tahun silam itu
sekarang sudah berdiri “rancak” kembali. Konon kata Radhi, istana itu merupakan
istana legenda nenek moyang orang Minangkabau. Ada banyak sejarah di Istana Pagaruyuang itu
dan belum lengkap rasanya jika ke Sumbar tidak mengabadikan gambar disini.
“Jadi, kapan Mas
Radhi terakhir mudik?,” tanyaku.
“Libur kemarin
aku mudik kok, tapi emang 3 hari aja. Soalne disini aku banyak kerjaan,” tutur
Radhi.
“Kok bisa nyampe
Padang sih?
Kenapa nggak kerja di Jakarta atau di Surabaya aja?,” tanyaku
penasaran.
“Nanti kamu juga
tahu. Aku bakal ceritain kalau udah sampai di air terjun ya,” ucapnya.
Semakin
penasaran saja aku dibuatnya. Pahal masih banyak hal yang ingin ku tanyakan,
tapi dia sepertinya tak ingin diusik dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia
tampak sibuk mengambil gambar rumah gadang dan sekelilingnya. Niatku untuk
memancing Radhi nembak pun ku putuskan untuk ditunda dulu hingga air terjun.
Sabtu sore kami
sampai di air terjun,Padang Panjang. Ada
banyak turis local yang asik mengabadikan momentnya dengan berfoto. Tempat
inilah yang sempat longsor setahun yang lalu, aku pernah membaca beritanya di
Koran lokal. Tempat ini cukup romantis, meskipun tidak seindah air terjun Niagara tapi setidaknya akan menjadi lebih indah jika
ditempat ini aku menyatakan perasaanku pada Radhi. Toh, sudah tak jamannya lagi
perempuan hanya menunggu hingga lelaki menyatakan cinta.
“Mas, aku pengen
ngomong. Sebenarnya aku kuliah kesini karena aku sebel sama kamu yang nggak
pulang-pulang ke Surabaya,”
tuturku mulai membuka pembicaraan.
“Nah itu
orangnya, sebentar ya, Ndut. Aku jemput dia dulu, kamu tunggu disini,” tutur Radhi.
“Sopo cewek
cantik iku? Temane Mas Radhi kali yo,” pikirku tanpa melepaskan pandangan dari
dua orang yang berjalan menuju ke arahku itu.
“Nah, ini yang
pengen aku ceritakan sama kamu,Ndut. Kenalin, dia Soraya istri aku,” jelas
Radhi.
Bagai disambar
petir rasanya mengetahui gadis cantik berambut sebahu itu adalah istri Radhi.
Selama dua hari bersama, Radhi tak pernah cerita soal gadis manapun apalagi
soal istrinya. Lantas, jika sudah begini aku harus bagaimana lagi. Radhi sudah
menikah, sementara aku masih sangat mencintai dia. Apa aku maki-maki mereka
berdua aja.
“ Annisa,
temannya Mas Radhi di Surabaya,” sahutku sambil menyalami Soraya (*) (Marisa
Elsera)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar