Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi. Akan tetapi, jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, maka perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya penolakan. Penolakan itu kerap kali berujung
konflik (pertentangan kepentingan). Konflik akibat perbedaan kepentingan ini
dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Begitu pula dapat terjadi antarkelompok atau antara kelompok dengan individu,
misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena
perbedaan kepentingan di antara keduanya. Konflik adalah aspek intrinsik dan
tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah sebuah
ekspresi heterogenitas kepentingan nilai dan keyakinan yang muncul sebagai
formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang bertentangan dengan
hambatan yang diwariskan.[1]
Pertentangan
kepentingan dapat terjadi dimana-mana, tak terkecuali di pasar yang merupakan
tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi. Sebab,
menurut Stewart & Logan, konflik terjadi karena
adanya interaksi yang disebut komunikasi.[2] Ada banyak pihak yang berinteraksi satu sama lain di
pasar dan pihak itu menggantungkan matapencahariannya dari sana, seperti
pedagang tetap, tukang parkir, warung makanan dan minuman, sopir angkot, tukang
ojek, petugas kebersihan, buruh angkut, dan sebagainya. Selain
dimanfaatkan oleh masyarakat umum, keberadaan pasar yang merupakan salah satu
aset pemerintah daerah merupakan sumber yang dapat mendatangkan pendapatan asli
daerah yakni melalui sewa toko dan retribusi pasar.
Peranan
pasar yang demikian penting jika dinilai dari aspek ekonomi, seringkali
memunculkan pertentangan kepentingan. Terlebih ketika diterapkannya kebijakan
baru oleh pemerintah yang sering menuai pro dan kontra dari masyarakat dan
warga pasar. Pada kasus di Indonesia, tercatat beberapa konflik pasar yang
melibatkan pemerintah daerah dan pedagang pasar sejak 2005 hingga akhir 2011.
Diantaranya, konflik antara Pedagang Pasar Tanah Abang dengan
Pemko DKI Jakarta terkait rencana pembangunan Pasar Tanah Abang. Sekitar 5000
pedagang Pasar Tanah Abang menolak pembangunan kembali bangunan di Blok B, C,
D, dan E. Konflik juga tak terelakkan di Pasar Dinoyo,
Malang. Pada Agustus 2005 terjadi perseteruan antara pihak
Pasar Dinoyo dan pihak Pemerintah Kota Malang mengenai pembangunan gedung
pasar yang baru. Konflik bermula dari rencana Pemko Malang untuk merubah pasar
tradisional Dinoyo menjadi pasar modern atau mall. Sampai saat
ini belum ditemukan win-win solution
bagi kedua belah pihak.[3]
Konflik
juga sempat terjadi antara Pedagang Pasar Kencong (P3K) dengan Pemda Subang
pada Agustus 2005. Pemindahan para pedagang yang biasa berjualan di Pasar Panjang, Pasar Belakang
Candra serta Pasar GOR Mingguan ke pasar tradisional oleh pemda ditentang para
pedagang dengan alasan di pasar baru itu sepi pembeli sehingga mereka tidak mau
berjualan di Pasar Baru itu. Di sisi lain, lokasi di Pasar Baru tidak layak
untuk berdagang karena sarana dan prasarana tidak memadai.
Persatuan Pedagang Pasar Kencong
(P3K) menuntut agar pembangunan pasar baru di atas lahan PT Perkebunan
Nusantara XI dihentikan. Sebab, nyaris terjadi bentrokan saat selamatan
pembangunan pasar kembali. Bahkan, para pedagang pasar mengancam tidak mampu
mengantisipasi munculnya bentrokan kalau pembangunan pasar tetap diteruskan.
Sebab, ada 699 pedagang yang tidak menyetujui pembangunan Pasar Kencong di lahan baru. Seperti rencana Pemkab
Subang, Pasar Kencong yang terbakar 16 Agustus 2005 lalu itu direncanakan
Pemkab Jember akan dibangun kembali di atas lahan baru. Namun, rencana ini
ditolak pedagang pasar kencong dan DPRD Jember. Mereka bersikukuh pasar harus
dibangun di lokasi lama dengan dana APBD. Persoalan lainnya, pedagang
mengkhawatirkan pembangunan pasar itu akan dijadikan lahan bisnis bagi Pemkab
Jember. Ada informasi yang mengungkapkan pasar akan dijual dengan harga tinggi, sehingga tentu saja pedagang yang baru saja terkena
musibah akan kesusahan membeli lapak-lapak tersebut. Konflik Pasar Kencong ini
pun masih berjalan hingga akhir 2011 ini.[4]
Bentrok juga tak terelakkan di Bekasi pada Februari 2007. Rencana
revitalisasi pasar menuai penolakan dari pedagang. Sekitar 80 pedagang pasar
tradisional Pondok Gede bentrok dengan aparat Pemerintah Daerah Kota Bekasi.
Pemerintah setempat membongkar kios di pasar itu karena pasar akan
direvitalisi.[5] Sementara itu, konflik juga terjadi di Pasar Raya
Padang yang merupakan pusat perdagangan dan perekonomian di Sumbar.
Seperti
diketahui, bahwa pascagempa Padang 2009 lalu sarana dan prasarana Pasar Raya
Padang khususnya gedung pasar inpres I rubuh akibat gempa. Sementara itu,
Inpres II, III dan IV juga dalam kondisi rusak parah. Bahkan berdasarkan riset
dari empat sumber yakni Universitas Andalas, Universitas Bung Hatta, Dinas
Prasaranan Jalan Tataruang dan Permukiman (Disprasjaltarkim) Sumbar dan Dinas
Pekerjaan Umum Kota Padang dinyatakan bahwa gedung inpres II, III dan IV tidak
layak untuk ditempati dan direkomendasikan untuk di rekonstruksi sama halnya
dengan Inpres I.[6]
Konflik
antara Pemko Padang dan Pedagang Pasar Raya Padang bermula pada Selasa, 10
November 2009. Ketika itu, Kepala Dinas Pasar melalui surat Nomor
: 900.1699.XI/PS-09 10 November 2009 memberitahukan agar Pedagang di Gedung Inpres I yang gedung mereka mengalami rubuh dan pedagang Gedung Inpres II, III,
dan IV mengosongkan petak toko/kios untuk pindah ke kios penampungan sampai
batas waktu 13 November 2009. Hal tersebut ditolak sebagian besar pedagang Inpres II, III,
dan IV karena menurut penelitian visual Gapeksindo Kota Padang tanggal 28
Oktober dan 2 November 2009 Gedung Pasar Inpres II dan III
hanya perlu rehabilitasi. Menanggapi Surat Pemberitahuan Dinas Pasar tersebut,
Rabu 11 November 2009, Aliansi
Pedagang Pasar Raya (APPR)
menggelar aksi damai dengan melibatkan 2000 pedagang ke DPRD Kota Padang. Atas hal tersebut DPRD Kota Padang lalu mengeluarkan Rekomendasi Nomor:
175/057/DPRD-Pdg/2009 tertanggal 11 November 2009 yang ditandatangani oleh
Wakil Ketua DPRD Kota Padang yaitu Budiman,
meminta Pemko Padang agar membongkar kios/los
penampungan dan membicarakan/duduk bersama dengan DPRD serta perwakilan
pedagang dalam pelaksanaan rekomendasi ini.
Kemudian,
Senin 15
November 2009, melalui Surat Nomor: 511.2.1728.XI/Ps-2009 bermaterai Rp. 6000,
Kepala Dinas Pasar Drs. H. Deno Indra Firmansyah, MM sebagai pihak pertama
menandatangani Berita Acara Serah Terima 500 buah kios dan 600 los kepada Usman
Gumanti dan Joni Syofyan pegawai Dinas Pasar sebagai pihak kedua untuk
mendistribusikan 500 kios dan 600 los kepada Pedagang Inpres I, II, III, IV. Setelah itu, Rabu tanggal 10 Februari 2010 pedagang Pasar Raya Padang melakukan aksi
tutup toko dan bersama Forum Warga Kota (FWK)
Padang serta korban tindakan Walikota Padang kurang lebih 3.000 massa
melakukan unjuk rasa ke rumah dinas Walikota Padang sesuai STTP No.
STTP/9/II/2010/Intelkam. Gagal bertemu Walikota
Padang, massa terpancing emosi dan bentrok dengan polisi.
Pada
level kebijakan, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas publik
mengalami pertentangan dari masyarakat korban bencana dalam bentuk protes.
Protes kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi muncul karena kebijakan dan
dampak pelaksanaannya yang sejak awal sudah menuai masalah dan mendapat penolakan
dari warga kota yang menjadi korban bencana sejak masa tanggap darurat.[7]
Penolakan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi kemudian menuai konflik
vertikal berkepanjangan antara masyarakat dengan Pemerintah Kota Padang.
Konflik kemudian menjadi manifes dan memunculkan banyak protes dari korban
bencana dengan massa yang luas. Sebagai bentuk penolakan oleh korban bencana,
protes dalam berbagai bentuk dan skala besar terus bereskalasi dan sampai
menyeret konflik lama yang bersifat laten. Eskalasi konflik terus terjadi dan
melahirkan demonstrasi-demonstrasi menentang kebijakan penanggulangan bencana yang terutama
dimotori oleh konflik rehabilitasi dan rekonstruksi Pasar Raya Padang.
Dalam
upaya pengosongan lahan ini, terjadi pertentangan kepentingan antara pedagang
dan pemko Padang. Jika pemko Padang tetap ngotot untuk membangun kembali gedung
tersebut karena dinilai sudah tidak layak huni, tapi pedagang pasar justru
menolak mentah-mentah. Mereka menilai pembangunan pasar belum tepat karena
gedung pasar inpres itu masih layak huni. Pedagang menilai, cukup dilakukan rehabilitasi
untuk lantai II sementara untuk lantai I masih bisa ditempati. Upaya Pemko Padang dalam merekonstruksi bangunan
inpres II, III dan IV memang tidaklah mulus. Ketegangan pendapat antara
pemerintah dengan pedagang terus berlangsung selama 2 tahun. Rencana
pembangunan dirancang Pemko Padang terus mendapat perlawanan dari pedagang.
Keinginan pedagang untuk membangun pasar seperti semula dinilai Pemko tidak
mungkin karena pasar harus memberikan rasa nyaman dan aman bagi pengguna Pasar Raya
Padang, baik pedagang maupun pembeli.
Versi
Pemko Padang, desain konstruksi tahan gempa ditambah adanya shelter
tentunya akan menimbulkan perubahan. Pemko ingin pasar sekaligus menjadi shelter
bagi warga kalau tsunami memang melanda Padang seperti yang diprediksi banyak
ahli gempa dunia. Pertentangan pendapat antara Pemko dan Pedagang pun akhirnya tidak
menemui titik kesesuaian paham. Kemudian Pemko Padang mengiming-imingi akan
mengakomodasi tuntutan pedagang dan berjanji lantai satu pasar inpres dijadikan
tempat berdagang sampai sebelum membangun pasar inpres II, III dan IV harus
dilakukan uji forensik total.
Meski
bersikukuh untuk tidak memberikan kios gratis pada pedagang Pasar Raya Inpres
II, III dan IV, namun Pemko Padang sempat beberapa kali berupaya mengakomodasi
tuntutan pedagang. Pada awalnya, Pemko mengeluarkan kebijakan pengalihfungsian
lantai satu pasar inpres yang awalnya akan dijadikan terminal angkutan umum
menjadi tempat berdagang. Akan tetapi, meskipun Pemko telah mengklaim bahwa
mereka terbuka dengan dialog, namun pedagang pasar tetap saja menolak
pembongkaran inpres II, III dan IV dan bersikukuh bahwa bangunan pasar layak
huni sesuai dengan riset dari Gapeksindo.
Puncaknya, 31 Agustus 2011 lalu, Pemko memagari
gedung Inpres II, III dan IV yang menimbulkan perlawanan dari para pedagang.
Belum lagi ditemukan penyelesaian konflik Pemko dan Pedagang Pasar Raya Padang,
muncul aksi pemagaran pasar inpres II, III dan IV oleh Pemko Padang. Aksi ini
memicu perlawanan pedagang. Para pedagang kecewa karena janji pemko untuk membuka pintu dialog dengan pedagang
dan berharap pedagang bisa mengerti dan
memahami apa yang dilakukan
Pemko serta berniat menyelesaikan persoalan ini secara baik dan musyawarah
hanya janji manis. Pemerintah Kota Padang dinilai sengaja memanfaatkan momentum
hari raya idul fitri untuk melakukan pembongkaran kios di Pasar Inpres II, III,
dan IV di jalan Sandang Pangan, Pasar Raya Padang, Sumatera Barat, Rabu
(31/8/2011). Dari berbagai informasi, Pemko Padang menilai para pedagang banyak
yang menutup kiosnya saat Idul Fitri, sehingga pembongkaran kios mudah
dilakukan. Tapi ternyata, para pedagang bersama mahasiswa telah mengendus rencana
pembongkaran tersebut. Akibatnya, bentrokan antara aparat gabungan, TNI,
Polisi, Satuan Polisi Pamong Praja, Pemadam Kebakaran, dan Dinas Perhubungan
dengan para pedagang tak bisa terhindarkan. Pedagang mencoba mempertahankan
kiosnya yang telah mereka tempati sejak tahun 2009. Sejumlah pedagang pun
menjadi korban kekerasan aparat keamanan. Setidaknya 14 orang harus dilarikan
ke Rumah sakit karena terkena pukulan benda tumpul. [1]
Sementara itu, ada 4
orang telah diamankan oleh petugas kepolisian karena dianggap sebagai
provokator. Keempatnya berasal dari kalangan pedagang dan mahasiswa. Baku
hantam ini terjadi disinyalir akibat pertentangan kepentingan antara Pemko
Padang dan Pedagang Pasar Raya yang belum usai. Pemko Padang berkeinginan
menggusur kios darurat yang dibangun sejak tahun 2009 tersebut untuk dibangun
kembali pasar inpres. Namun pedagang tetap bertahan, karena pemerintah tak
memberikan lokasi lain untuk berjualan.
Meskipun masih menuai
kontra atas rencana rekonstruksi Pasar Raya Inpres II, III dan IV, namun Pemko
Padang tetap menjalankan rencana tersebut. Sebagai aksi awal, Pemko terlebih
dahulu dilakukan pembangunan kios darurat. Setelah semua kios darurat selesai
dibangun, Pemko menginstruksikan pedagang untuk pindah karena pembongkaran
gedung akan segera dilakukan. Tapi pada kenyataannya, deretan kios di Jalan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan kantor Balaikota Padang yang dibangun sebanyak
478 kios di ruas jalan itu tetap saja tidak dilirik pedagang. Meski pemko
Padang telah menggratiskan kios darurat tersebut, pedagang tetap tidak bersedia
dipindahkan dari lokasinya berjualan saat ini. Pedagang Pasar Inpres II, III
dan IV masih memilih berjualan di bawah reruntuhan bangunan. Mereka tetap
bertahan ditempat itu, dikarenakan pedagang merasa telah diabaikan pemerintah.
Sedikitnya 23 bangunan kios darurat di depan RTH telah mengalami kerusakan.
Padalah untuk pembangunan asset daerah itu, pemko telah menggelontorkan dana
sebesar Rp 1,1 Miliar.
Berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah agar para pedagang bersedia untuk pindah ke kios darurat,
namun tetap saja pedagang bersikukuh dengan pendiriannya. Ada kekhawatiran
pedagang yang mengaku sering dikecewakan oleh janji pemerintah. Pedagang
menilai, pemko gagal dalam melakukan pengelolaan pasar. Sebab sejauh ini,
pedagang tidak berjualan dalam kondisi yang nyaman. Pedagang kerap dimintai
uang yang melebihi retribusi yang telah ditetapkan pemerintah. Oleh sebab
itulah mereka enggan untuk dipindahkan ke kios darurat Mereka tidak akan
bersedia pindah jika bangunan yang mereka tempati masih berdiri kokoh
diruntuhkan dan selanjutnya pedagang harus membeli lagi kios dari pemerintah.
Disinilah, diperlukan regulasi dari pemerintah dalam menetapkan harga kios
dengan pedagang inpres II lantai 1 dan pedagang inpres II lantai 2. Seyogyanya,
pemerintah harus melakukan kebijakan klasifikasi dalam penentuan harga kios.
Persoalan konflik Pasar
Raya Padang yang cukup pelik itu telah mengalami beberapa kali mediasi, hanya
saja masih belum terlihat kesepakatan antara pihak yang bertikai. Dinas Pasar
selaku Pemko Padang mengklaim telah
melakukan sosialisasi berulangkali pada pedagang guna menyelesaikan persoalan ini secara baik dan musyawarah. Pemko
juga memberikan dispensasi bagi pedagang
yang telah mengantongi kartu kuning dan kartu penunjukan. Kendati
sudah diberikan beberapa kemudahan oleh Pemko Padang, tapi Pedagang tetap
beranggapan bahwa Pemko belum menampung aspirasinya. Pedagang menuntut
penggratisan kios baru, sementara Pemko menolaknya dengan alasan dana bantuan pusat sebesar Rp 64,5 tidak mencukupi untuk
membangunan Pasar Inpres II,III dan IV.[2]
Tuntutan pedagang Pasar
Raya Padang tidak dapat diakomodir. Pemerintah hanya akan memberikan dispensasi
pada pedagang yang telah mengantongi kartu kuning dan surat penunjukan tanpa
membedakan apakah bangunan pemilik kartu kuning masih layak pakai atau telah
runtuh akibat gempa. Tidak adanya kesamaan sudut pandang dari pedagang dan
pemerintah dalam melihat persoalan pasar ini membuat persoalan di Pasar Raya
tidak kunjung selesai. Mengenai
konflik yang terjadi antara pedagang pasar raya Padang dengan pemerintah, belum
ada tindak lanjut secara tepat dan tegas untuk penyelesaiannya. Meski
dari awal pemerintah sudah mempersiapkan mekanisme peraturan dalam hal
penempatan bagi para pedagang yang belum punya wadah tempat berdagang.
Menyimak konflik yang
terjadi antara Pedagang Pasar Raya Inpres II, III dan IV dengan Pemko Padang yang terus bereskalasi hampir
3 tahun, maka menarik untuk dilakukan penelitian dan menganalisis penyebab konflik antara pedagang Pasar Raya Inpres II, III dan IV dengan
Pemko Padang pascagempa 2009 dan upaya penyelesaiannya. (Bersambung)
[1] www.kompas.com/ Lebaran, Pedagang Bentrok dengan Aparat Keamanan. Diunduh tanggal 12
Desember 2011
[2] Padang
Ekspres. Pemko Padang Beri Kompensasi Kios Pasar Raya. April 2011
[1] Miall, Hugh,et.al Contemporary Conflict Resolution. 2002,7-8
[2]
Ibid
[3] www.bataviase.co.id. Pedagang Tanah
Abang Tolak Pembangunan. Diunduh 28 November 2011
[4] www.kissfmjember.com. Pasar Kencong Terbakar, Pedagang Tolak Pindah
Lokasi Baru.
Diunduh 15 September 2011.
[5] Rakyat
Merdeka. Pedagang Pondok Gede Bentrok dengan Pemko Bekasi.
Diunduh 15
November 2011.
[6]
Padang Ekspres, Empat Lembaga Nyatakan Pasar Raya Tidak Layak. 4 April 2010
[7] www.antaranews.com. Pedagang Pasar
Raya Tolak Rekonstruksi. Diunduh 28 Februari 2011