Seiring kemajuan zaman, semakin kompleks pula persoalan yang dialami masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya persoalan yang tengah membelit masyarakat dari berbagai elemen. Khusus bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, maka persoalan kemiskinan menjadi salah satu masalah yang tengah mengakar selama ini.
Seperti halnya
faktor penyebab kemiskinan yang beragam, maka faktor penyebab kegagalan
strategi pengentasan kemiskinan pun beragam. Namun uniknya, meski program
pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah belum cukup mampu mengurangi
kemiskinan yang membelenggu kalangan bawah, nyatanya pemerintah terus ngotot
bahwa kemiskinan menurun dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari perbedaan
angka dan saling lempar statmen antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Asian
Development Bank (ADB).
Berdasarkan data
dari ADB, penduduk miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7 juta orang sejak
2008 hingga 2010. Pada 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 40,4
juta orang, dan pada 2010 menjadi 43,1 juta. Survey ini menobatkan Indonesia
sebagai satu-satunya negara di Asia yang meningkat angka kemiskinannya.
Sementara itu, BPS mengklaim bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia turun
sekitar 4 juta orang sejak 2008 hingga 2010 (dari 35 juta menjadi 31 juta
orang) nyatanya secara kasat mata dapat kita lihat bagaimana masyarakat miskin
di sekeliling kita menjadi makin melarat karena tidak mampu memenuhi kebutuhan
hariannya.
Kendati angka
kemiskinan masih terus diperdebatkan dan masyarakat miskin pun semakin melarat,
bukan berarti pemerintah Indonesia tidak melakukan upaya apapun untuk mengatasi
krisis ini. Pemerintah telah menerapkan berbagai strategi pengentasan
kemiskinan hanya saja masih belum mencapai hasil yang maksimal. Bahkan, ada
banyak program yang hanya dicopy paste dari program kurang berhasil sebelumnya
kemudian diganti dengan nama yang berbeda. Alhasil, sudah dapat ditebak bahwa
gol (tujuan) pembangunan tidak
dapat mensejahterakan masyarakat.
Persoalan
kemiskinan di Indonesia tidak hanya melanda masyarakat di perkotaan saja
seperti yang sering disebut-sebut para ahli sosial karena disebabkan oleh
urbanisasi. Kemiskinan juga melanda perdesaan bahkan kemiskinan pun tak pernah
luput dari daerah agraris sekalipun. Artinya, persoalan kemiskinan sudah
menjadi persoalan universal bagi masyarakat Indonesia.
Tanpa
mengecilkan upaya pemerintah dan elemen lainnya untuk pengentasan kemiskinan,
toh pada kenyataanya strategi pengentasan kemiskinan belum lagi mujarab untuk
menarik penduduk melewati garis kemiskinan. Sejak Indonesia merdeka 66 tahun
yang lalu, pemerintah dan pihak swasta sudah berupaya mengimplementasikan
program pengentasan kemiskinan ini. Tapi hasilnya, kemiskinan masih
membayang-bayangi masyarakat.
Bila
dilihat dari sudut pandang para ekonom Indonesia yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi penduduk miskin
sangatlah bertolak belakang jika dibanding dengan data yang diperoleh dari
Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyebutkan bahwa Presentase penduduk miskin
di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yakni sebesar 17,5 persen atau
34,5 juta orang. Jomplangnya data yang dipublish tersebut, disebabkan
oleh pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Maksudnya, ekonomi yang tumbuh di
Indonesia beberapa tahun terakhir ini hanya meningkat untuk pengusaha kelas
atas, sementara para pengusaha kecil atau industry rumah tangga tidak mengalami
pertumbuhan yang menggembirakan.
Tak hanya para
ekonom yang menemukan konsep kemiskinan
kemudian mengusulkan strategi pengentaskan kemiskinan di Indonesia, para
ahli sosial seperti sosiolog pun tak mau ketinggalan untuk melakukan penelitian
tentang kemiskinan ini. Perbedaan perspektif dalam memandang kemiskinan
menyebabkan strategi pengentasan kemiskinan yang dilakukan menjadi beragam
pula.
Sebenarnya, pemerintah sudah memiliki
kebijakan dan rencana kerja baik untuk penanganan kemiskinan ini. Terbukti
dengan banyaknya program-program pengentasan kemiskinan di masing-masing
kementrian dan lembaga. Namun, implementasinya memang kurang optimal. Tidak sedikit program
pengentasan kemiskinan tidak tepat sasaran sehingga masih banyak warga miskin
yang tidak terpenuhi hak sosial dan ekonominya. Bahkan berdasarkan laporan BPK Semester
I tahun 2011, ada dana bantuan sosial sebesar Rp 2,2 triliun yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak tepat sasaran.
Sejak masa orde baru hingga masa
reformasi beragam program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia cenderung memberikan bantuan semata. Pemberian BLT, JPS,
PPK, sampai PNPM memperlihatkan bahwa program hanyalah memberikan bantuan tanpa
menciptakan wirausahawan sosial yang menyertainya. Akibatnya, bantuan tak dapat mengatasi persoalan kemiskinan karena
tida membawa perubahan dalam masyarakat yang signifikan. Demikian juga
dengan perusahaan baik itu BUMN maupun swasta dengan program CSR maupun PKBL
lebih cenderung untuk memenuhi ketentuan UU.
Upaya Pengentasan Kemiskinan
Belajar dari program pengentasan
kemiskinan yang dilakukan pemerintah mulai dari Jaminan Pengaman Sosial (JPS)
hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT) maka dapat dijelaskan kekurangan dari
pelaksanaan program tersebut. Salah satunya, karena program tidak melibatkan
masyarakat. Progra-program tersebut hanya digerakkan oleh pemerintah sementara
masyarakat tidak diikut sertakan. Program itu tidak berupaya untuk membangun
kesadaran masyarakat untuk mengatasi pengentasan kemiskinan.
Seharusnya, pemerintah mencoba
mebangkitkan kesadaran masyarakat akan masalah yang dihadapinya serta mencoba
memberikan solusi
dengan mengucurkan kredit tanpa agunan maupun syarat yang memberatkan. Selama ini, program pengentasan
kemiskinan justru berupa sedekah. Hal ini malah merampas insentif orang miskin,
mengerdilkan kreatvitasnya dan merampas harga diri mereka. Maka dari itu, masyarakat miskin tidak boleh diberi bantuan
materi semata, akan tetapi juga harus disadarkan bahwa mereka berada dalam
masalah, serta memberikan solusi utnuk mengatasi masalah kemiskinan.
Penyebab Kemiskinan
Sedikitnya ada dua jenis kemiskinan,
yakni kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural (budaya). Nah, untuk
kemiskinan structural ini (kemiskinan yang hadir dan muncul bukan karena
takdir, kemalasan, atau keturanan) timbul dari suatu usaha
pemiskinan yang dilakukan oleh sistem Negara. Maksudnya, kemiskinan terjadi akibat kebijakan negara dan
pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, dimana orang yang termarjinalkan
semakin termarjinalkan.
Sementara kemiskinan cultural
disebabkan oleh kebodohan, kemalasan dan keinginan berprestasi yang rendah. Kemiskinan dan
keterbelakangan ditentukan oleh kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan
fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya. Dalam konteks kesadaran,
kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik
dan menyerah pada takdir. Orang-orang
ini meyakini hal yang
menimpanya sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima. Sehingga, tak ada usaha manusia yang
bisa mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak.
Kemiskinan structural dan cultural
sama-sama sulit untuk dientaskan. Pengentasan kemiskinan ini pun harus sesuai
dengan tipe kemiskinannya. Jika kemiskinan itu disebabkan oleh structural, maka
kebijakan pemerintah harus dirubah lebih pro rakyat. Sementara itu, untuk
kemiskinan cultural, maka budaya yang ada di masyarakat itu harus dirubah.
Caranya, yakni dengan sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Empat Model Jaminan Sosial
Untuk mengentaskan persoalan kemiskinan
di berbagai negara, menurut analis pembangunan, Edi Suharto dapat dilihat dalam
4 model, yakni model universal, institusional, residual dan minimal. Model
universal, misalnya
yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark
dan Finlandia, pemerintah
menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan
merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total
belanja negara.
Model kedua, institusional
yang dianut oleh Jerman dan Austria, jaminan sosial dilaksanakan secara
melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan
sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia
usaha dan pekerja (buruh). Kemudian ada pula model residual yang
dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru yang memberikan jaminan sosial dari
pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat
dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi
sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi
sosial “swasta”. Terakkhir,
yakni model minimal yang dianut oleh Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis,
Itali, Korsel, Filipina dan Srilanka. Anggaran
negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total
pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis,
temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan
swasta yang mampu mengiur. (*)
Oleh:Djasman St Batuah