Kamis, 20 Juni 2013

Teori Penjatuhan hukuman



Terdapat beberapa teori-teori mengenai pembebanan penjatuhan hukuman tersebut. Ada tiga teori, yakni; teori absolut, teori relatif dan teori gabungan dan relatif.  Dari segi teori absolut, dengan aspek pembalasannya dan unsur membinasakan dalam pengertian khusus teori absolut, bahwa pidana mati bukanlah pembalasan, melainkan refleksi dari sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka nestapa yuridis berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga keseimbangan dalam tertib hukum. Teori relatif dengana aspek menakutkan (menjerakan) bertujuan melindungi masyarakat umum dan menakuti niat jahat calon penjahat yang secara potensial berbuat jahat. Teori relatif mengandung aspek menakutkan, tetapi lebih cenderung ke segi proses paksaan psikologis, dengan maksud si penjahat menjadi jera, atau upaya menakuti bagi mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat. Teori gabungan absolut dan relatif, melihat bahwa tujuan penjatuhan pidana adalah tidak sekedar bertujuan semata-mata hanya pembalasan tetapi juga untuk menakutkan.

Sehubungan dengan ketiga teori tersebut diatas, menarik untuk dikemukakan pendapat J.E. Sahetapy, yang menyatakan bahwa sebaiknya teori-teori tersebut jika ingin dipakai hanya sebagai referensi saja. Sebab teori-teori tersebut yang didasarkan atas pemikiran secara transcendental atau secara “Conceptual Abstraction” belum dapat memberi jawaban yang memuaskan. Lebih lanjut dikemukakannya, bahwa tujuan pidana bukanlah untuk membalas perbuatan jahat dari si pelaku. Sebab bagaimanapun perbuatannya itu sudah terjadi dan tidak perlu lagi disesali. Pernyataan ini ditunjang dengan asumsi bahwa si pelaku menganggap pidana baginya bukan suatu penderitaan, karena bagimanapun juga si pelaku merasa puas dan senang bahwa lawannya (si korban) telah memperoleh suatu imbalan penderitaan. Ini berarti, bahwa kejahatan sebagai tingkah laku bersifat simptomatik, tidak hanya si pelaku, melainkan juga dalam hubungan antara si pelaku dan si korban, oleh karena seringkali si korban juga memiliki sifat-sifat yang menimbulkan kecenderungan untuk dijadikan mangsa dan dengan demikian ikut bertanggung jawab juga. Oleh karena itu, pembalasan dalam bentuk apapun tidak akan membawa suatu keseimbangan kembali, kecuali memuaskan nafsu bahwa sipelaku telah memperoleh imbalan penderitaan. Demikian juga, pidana jangan hanya untuk menakut-nakuti semata-mata. Tidak ada jaminan bahwa si pelaku akan menjadi takut dan si pelaku tidak akan berbuat lagi.

Dalam prespektif sosiologis, hukuman mempunyai arti sosial yang tertentu oleh karena kekuatan suatu sanksi tergantung pada persepsi manusia mengenai sanksi/hukuman tersebut. Durkheim, mengkaitkan jenis sanksi dengan jenis solidaritas sosial masyarakat. Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran bersama. Pada masyarakat dengan solidaritas organis yang didasarkan pada deferensiasi antara individu, maka sanksi/hukumannya bersifat restitutif. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah hukuman yang bersifat akomodatif, sifatnya adalah menjaga perbedaan-perbedaan itu agar tidak menjadi disintegratif. Selain dari persepsi orang terhadap sanksi, manusia juga mempunyai taraf toleransi yang berbeda-beda terhadap penderitaan sebagai akibat pelanggaran. Kedudukan sosio – ekonomi juga berpengaruh pada penjatuhan hukuman mati bagi seseorang. Seperti yang diungkapkan dalam kajian di Amerika, disebutkan bahwa hukuman mati akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap warga masyarakat yang miskin dan minoritas, apabila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari golongan kulit putih. Hal ini terkait dengan bantuan hukum bagi terdakwa. Mereka juga lebih banyak dihukum mati jika dibantu oleh pengacara yang diitunjuk pengadilan dibandingkan dengan jika didampingi oleh pengacara pribadi.

Salah satu bentuk hukuman pidana yang berat adalah hukuman mati. Secara medis, kematian diindikasikan dengan kematian fisik, namun kematian yang mungkin terjadi sesungguhnya tidak hanya kematian fisik, tetapi juga kematian sosial. Dari sudut pandang sosiologis, seseorang bisa disebut masih hidup secara fisik, tetapi sekaligus mengalami kematian sosial. Hal tersebut terjadi di saat sesorang berada dalam kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga kebebasannya untuk melakukan aktifitas social dirampas habis. Kematian sosial bisa menjadi suatu alternatif penting dalam bentuk sanksi pidana untuk menggantikan pidana mati. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang yang dijatuhi hukuman dua kali seumur hidup tanpa kemungkinan keringanan, secara fisik ia hidup tetapi mungkin penderitaan yang dialaminya adalah lebih berat dan panjang, terutama dari segi penderitaan sosial. Terpidana ini terisolasi dari rutinitas kehidupan sosialnya dan hal ini merupakan pukulan yang sangat berat, terlebih harus dipisahkan dari keluarga dekatnya selama ini.

Menurut Satjipto, dalam hukum sesungguhnya telah dikenal istilah “kematian perdata”. Konon kematian seperti ini pernah menimpa sejumlah orang pada masa pemerintahan orde baru lalu. Karena dianggap membahayakan penguasa, maka tanpa melalui proses peradilan, mereka dimatikan secara perdata. Orang yang terkena kematian perdata itu masih hidup segar bugar, tetapi jaringan kehidupan sosialnya banyak dimatikan, misalnya ia tidak dapat lagi melakukan usaha bisnisnya seperti biasa dan demikian juga dengan pembatasan terhadap berbagai aktifitas sosialnya. Pidana kematian sosial ini pada dasarnya dapat memberikan efek jera yang luar biasa sekaligus menjadi suatu evaluasi tepat terhadap suatu vonis hukuman, apakah vonis hukuman yang dijatuhkan pengadilan itu memang benar atau justru keliru dan berbanding terbalik dengan fakta kebenaran yang ada. Bagi orang yang telah dijatuhi pidana mati dan eksekusi sudah dilaksanakan, maka tidak ada sesuatu apapun yang dapat diperbaiki.
Apabila ternyata dibelakang hari terjadi kekeliruan terpidana tetap akan mati, sekalipun ternyata bukan dia yang melakukan perbuatan yang didakwakan. Ia tidak dapat lagi dihidupkan, meskipun nama baiknya dapat dipulihkan. Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran bersama.

Hukum dan Hukuman Menurut Emile Durkheim

Karya Emile Durkheim yang paling influensial dalam dunia sosiologi hukum ialah The Division of Labor in Society (Pembagian Kerja Dalam Masyarakat –terj).ada dua tipe solidaritas masyarakat: tipe mekanikal dan tipe organik. Solidaritas mekanikal relatif hubungannya lebih sederhana dan masyarakat yang homogen dimana persatuan ditunjukkan dengan kedekatan ikatan interpersonal, kebiasaan, ide, dan sifat yang sama. Tipe organik ditandai dengan kelompok masyakarat modern yang heterogen dan terbagi-bagi ke dalam  pembagian kerja yang kompleks. Dasar hubungan solidaritas saling ketergantungan dari orang-orang dan grup yang luas dengan fungsi yang beraneka ragam.
 
 
Sebagai korespondensi atas kedua tipe solidaritas ada dua tipe hukum yakni hukum represif dan hukum restitutif. Solidaritas mekanik diasosiasikan oeh Durkheim dengan hukum yang represif dan sanksi pidana. Dalam masyarakat homogen, masyarakat tidak terdiferensiasi atau tidak terbagi-bagi, sebuah tindakan kriminal dianggap menyerang kesadaran masyarakat secara kolektif, dan hukuman digunakan sebagai upaya auntuk melindungi dan mengutamakan solidaritas sosial. Hukuman adalah rekasi mekanikal. Pelaku tindak pidana dihukum sebagai contoh kepada komunitas masyarakat bahwa penyimpangan tidak mendapat toleransi. Tidak ada sama sekali kepedulian terhadap upaya rehabilitasi untuk pihak pelaku kesalahan.
Di dalam masyarakat modern yang heterogen, hukuman yang bersifat represif malah memberikan upaya untuk hukum yang restitutif dengan penekanan kepada kompensasi. Hukuman berkaitan dengan upaya restitusi dan pemberian kesembuhan atas tindakan penyimpangan yang diderita oleh korban. Tindak kejahatan dianggap sebagai tindakan yang menyerang orang lain dan bukan merupakan pelanggaran terhadap kesadaran kolektif dalam masyarakat. Hukuman dievaluasi sebagai pola untuk menentukan hukuman apa yang paling baik dijatuhkan kepada pelanggar dan dapat digunakan sebagai upaya rehabilitasi pelanggar.
Hal terpenting dalam hukum modern, manusia membagi mereka ke dalam hubungan tak terhitung banyaknya dan kompleksitas hubungan. Kontrak dan hukum kontrak adalah titik pusat dari masyarakat modern dan pengaruh dari perkembangan masyarakat melalui hubungan-hubungan dari regulasi yang dibuat. Meskipun kepedulian Durkheim tidak kepada elaborasi secara kerangka kerja general atau metodologi dari sosiologi analisa dari hukum, ketertarikannya akepada hukum, menurut Hunt, “di dalam lingkungan sekolah Durkheim mengajar menghasilkan keterkaitan perkembangan kesadaran dari studi hukum sebagai proses sosial”. Ide-ide Durkheim tentang hukum juga menyediakan sebuah latar belakang yang penting terhadap diskusi selanjutnya berkaitan dengan sifat alamiah dari hukum primitif dan asal dari tindak kejahatan. Sekalipun tanggapan Gurvitch ini dapat dipertanyakan kalau menurutnya “Durkheim membuat kontribusi yang serius terhadap perkembangan dari sosiologi sistematika hukum”. Durkheim memang membuat kontribusi yang penting terhadap pemahaman kita terhadap hubungan antara solidaritas sosial dengan hukum.

sumber:www.jandimukianto.blogspot.com

Pemikiran para sosiolog hukum

A. Tokoh Eropa barat
1.      Karl Marx (1818-1883)
Menurut Mark, hukum dan kekuasaan politik itu merupakan sarana kapitalis yang berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggengkan kegunaan harta kekayaan sebagai sarana produksi dan sarana ekploitasi. Menurut Marx hukum bukan saja berlaku sebagai fungsi politik saja, melainkan sebagai fungsi ekonomi. Pokok pemikiran Marx dalam sosiologi hukum dalah sebagai berikut:[1]
a.       Hukum adalah alat yang menyebabkan timbulnya konflik dan perpecahan. Hukum tidak berfungsi untuk melindungi. Hukum hanya melindungi kelompok-kelompok yang dominan. 
b.    Hukum bukan merupakan alat integrasi tetapi merupakan pendukung ketidaksamaan dan ketidakseimbangan yang dapat membentuk perpecahan kelas. 
c.     Hukum dan kekuasaan merupakan sarana dari kaum kapitalis yang berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggengkan kekuasaan
d.    Hukum bukanlah model idealis dari moral masyarakat atau setidak-tidaknya masyarakat bukanlah manisfestasi normatif dari apa yang telah dihukumkan.
Marx, dapat kita sebut sebagai seorang sosiologi hukum. Pada saat mengemukakan pendapatnya tentang pencurian kayu pada tahun 184201843, marx mengatakan bahwa hukum adalah tatanan peraturan yang memenuhi kepentingan kelas orang yang punya dalam masyarakat. Marx memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonis. Dalam pandangannya watak dasar seperti ini ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas sosial yang kepentingan-kepentingannya saling bertentangan dan tak dapat didamaikan karena perbedaan kedudukan mereka dalam tatanan ekonomi.
 
2.      Henri S Maine (1882-1888)
Pemikiran Maine dalam bidang sosiologi hukum adalah sebagai berikut :
a.       Masyarakat bukanlah masyarakat yang serba laten melainkan yang bersifat Contigent. Dari sinilah ia dicetuskan sebagai bapak teori Evolusi klasik. Teori ini mengatakan bahwa masyarakat yang progresif adalah masyarakat yang bergerak dari status ke kontrak.
b.      Dalam mayarakat terdapat askripsi-askripsi tertentu, yang sesungguhnya merupakan penganugerahan atribut dan kapasitas kepada warga masyarakat yang bersangkutan, dengan posisi masing-masing didalam tatanan status yang telah diradisikan dalam masyarakat.
c.       Kenyataan dalam masyarakat akan berubah tatkala msayarakat melakukan transisi ke situasi-situasi baru, yang berhubungan dengan membeasrnya agregasi dalam kehiduan. Juga kian meningkatnya interdepedensi antara segmen-segmen sosial dalam kehidupan ekonomi.
 
Pemikiran maine tersebut didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat bukan sebagai suatu tipe ideal yang permanen, melainkan sebagai suatu sistem variabel yang tak pernah bias terbebas dari berlakunya dinamika proses. Oleh karena itu, ia megatakan bahwa masyarakat bukanlah yang serba laten.
 
3.    Emile Durkheim (1858-1917)
Ia adalah seorang ahli sosiologi yang sejak semula mempunyai perhatian yang sangat tinggi terhadap hukum. Sebagai seorang sosiolog, ia amat terikat pada penggunaan metodologi empiris. Dalam mengungkap idenya tentang hukum, Durkheim bertolak dari penemuan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan metode empirisnya, ia melihat jenis-jenis hukum dengan tipe solidaritas dalam masyarakat. Ia membuat perbedaan antara hukum yang menindak dengan hukum yang mengganti, atau Repressive dengan Restitutive. Menurut Durkheim, hukum dirumuskan sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya suatu sanksi tergantung kepada suatu pelanggaran dan anggapan masyarakat sendiri tentang sanksi tersebut.
Durkheim mengajukan tipologi yang membedakan secara dikotomis dua tipe solidaritas yaitu mekanis dan organis. Masyarakat berkembang dari tipe mekanis ke tipe organis. Adapun rinciannya sebagai berikut :
1.    Hukum dan Solidaritas Mekanis
Dikatakan oleh Dukheim, ketika masyarakat masih berada pada tahap diferensiasi  segmental, masyarakat tampak sebagai himpunan sekian banyak satuan pilihan, yang masing-masing berformat kecil dan anatara satu dengan yang lain seragam. Dalam solidaritas ini, seorang warga masyarakat secara langsung terikat kepada masyarakat. Hal ini dapat terjadi dengan indikasi cita-citabersama dari masyarakat yang bersangkutan secara kolektif lebih kuat serta lebih insentif daripada cita-cita masing-masing warga secara individual.

2.    Hukum dan Solidaritas Organis
Hukum yang menidak mencerminkan masyarakat yang bersifat kolektif, sedangkan hukum yang mengganti merupakan cerminan masyarakat yang telah terdiferensiasi dan terspesialisasi ke dalam fungsi-fungsi.  Keadaan ini menciptakan perbedaan-perbedaan dalam pengalaman dan pandangan. Tipe inilah yang dinamakan oleh Durkheim dengan tipe solidaritas organis. Dalam masyarakat yang berkembang secara modern, heterogen dan penuh dengan diferensiasi, solidaritas organik dapat mengatasi solidaritas mekanis. Hukum represif tak lagi berfungsi secara dominan. Hukum represif akan digantikan oleh hukum restitutif, yang lebih menekankan arti pentingnya restitusi atau pemulihan serta kompensasi untuk menjaga kelestarian masyarakat. Hukum ini konkritnya adalah tampak dalam hukum pidana. Hukum seperti ini menurut Durkheim, berfungsi untuk menanggulangi apa yang disebut dengan nurani kolektif.
 
              4.    Max Weber (1864-1920)
Weber memandang hukum sebagai suatu kumpulan norma-norma atau aturan-aturan yang dikelompokkan dan dikombinasikan dengan  consensus, menggunakan alat kekerasan sebagai daya paksaan. Ia menganggap bahwa hukum adalah kespakatan yang valid dalam suatu kelompok tertentu. Weber disebut sebagai bapak sosilogi hukum modern, yang menggarap hukum secara komprehensif dengan metode sosiologis. Usaha Weber untuk menyingkap ciri yang menonjol dari masyarakat barat, membawanya kepada rasionalitas sebagai kuncinya.
Tipologinya yang disusun melalui sumbu formal-subtantif dan sumbu Irasional-Rasional, yaitu sebagai berikut :
1.      Menyangkut perbedaan bagaimana suatu sistem hukum itu disusun, sehingga merupakan suatu sistem yang mampu menentukan sendiri peraturan dan prosedur yang dipakai untuk mengambil suatu keputusan.
2.      Subtantif, bersifat eksternal dan merujuk kepada ukuran di luarnya, terutama kepada niali-nilai agama, etika serta politik.
Weber berpendapat, hukum memiliki rasionalitasnya yang subtantif ketika subtansi hukum itu memang terdiri dari aturan-aturan umum In Abstracto, yang siap didedukasikan guna menangani kasus konkrit. Ada tiga tipe dalam penyelenggaran dalam pengadilan menurut Weber yaitu :
a.       Tipe perdilan kadi atau peradilan dengan fungsi perdamaian atas dasar kerifan dan kebijaksanaan sang pengadil.
b.      Tipe perdailan empiris, dan
c.       Tipe peradilan yang rasional
Peradilan Kadi, menurut Weber adalah perdilan yangsangat arbiter dan karenanya dinilai sebagai pengadilan yang tidak rasional. Keputusan peradilan ini dipercayakan sepenuhnya kepada sang pengadil, tanpa diperlukan adanya kontrol oleh system lainnya. Tipe empiris adalah tipe pradilan yang lebih rasional, sekalipun belum sepenuhnya. Dalam peradilan empiris ini, sang hakim memutuskan perkara-perkara sepenuhnya dengan cara beranalogi. Peradilan ini dilakukan oleh mereka yang bernaung di bawah filsafat positivisme.
 
      B.     Tokoh Amerika serikat
1.      Oliver Wendell Holmes (1841-1935)
Holmes yang dikenal dengan revolusi sosiologi dalam ilmu hukum di Amerika Serikat. Holmes menolak dengan tegas mazhab analitis maupun mazhab historis. Pikiran utama Holmes dalam sosiologi hukum ini adalah bahwa setiap hakim bertanggungjawab memformulasi hukum lewat keputusan-keputusannya. Hakim harus selalu sadar dan yakin bahwa hukum itu adalah bukan suatu hal yang Omnipressnt in the sky, melainkan sesuatu yang senantiasa hadir dalam situasi-situasi konkrit To meet the social need. Ia menuliskan the life of law is not logic : it has been experience, bahwa kehidupan hukum tidak pernah berdasarkan logika, melainkan merupakan pengalaman yang isinya harus dilukiskan oleh sosiologi hukum.[2]
Menurut Holmes, hukum bukan saja dilihat dari definisi yurisprudensi tetapi ramalan-ramalan yang akan diputuskan oleh pegadilan. Pendekatan yang digunakan oleh Holmes adalah pragmatis. Hakim harus benar-benar memperhatikan pembuatan keputusan hukum dan bagi Holmes hukum merupakan hal yang aktual bagi hukum.
2.      Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)
Ia adalah seorang hakim yang bertolak dari perenungan tentang perlunya memperbaharuai teknik hkum yang aktual. Menurutnya, dalam setiap praktik peradilan terdapat suatu ketidakpastian yang semakin besar yang diakibatkan oleh keputusan pengadilan. Adalah suatu manifestasi yang tidak dapat dicegah dari kenyataan bahwa proses peradilan bukanlah penemuan hukum, melainkan penciptaan hukum. Ide pemikiran hukum Cardozo ini dapat ditemukan dalam bukunya, The nature of judicial Process.
Pemikiran Cardozo adalah sebagai berikut :
a.       Hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan suatu perkara tetapi batasannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan hukum.
b.      Berbagai kehiduipan sosial seperti logika, rakyat, sejarah dan standar moralitas yang disepakati bersama-sama dalam kehidupan, merupakan instrument kea rah terciptanya hukum.
c.       Hukum harus tetap sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial.
3.      Roscoe Pound (1870-1964)
Pandangan Roscoe Pound adalah hukum diselenggarakan untuk memaksimalkan pemuasan kebutuhan dan kepentingan interest. Ia lebih cenderung melihat kepentingan (bukan etika dan moral) dalam kehidupan hukum. Ia mengatakan bahwa hukum ini diperlukan karena adanya berbagai kepentingan dalam setiap bidang kehidupan. Adapun pokok pikiran Pound adalah sebagai berikut:
a.       Ia lebih menelaah akibat-akibat sosial yang actual dari adanya lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum (lebih pada fungsi hukum daripada isi abstraknya).
b.      Mengajukan studi sosiologis untuk mempersiapkan perundang-undangan dan menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana dalam menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutka dan membimbing usaha-usaha yang seperti itu.
c.       Untuk menciptakan efektivitas cara dalam membuat peraturan perundang-undangan dan member tekanan kepada hukum untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (tidak ditekankan kepada sanksi).
Pound lebih memandang hukum sebagai proses rekayasa sosial. Hukum adalah sarana untuk dapat mengontrol masyarakat.

      C.    Positivisme Hukum dan masalahnya
Hukum seringkali dikatakan sebagai memiliki karakter beraspek ganda yang dapat diekspresikan dalam berbagai macam cara. Sehingga hukum terdiri dari beberapa preskripsi, dalil-dalil harus yang menentukan cara subyek-subyek hukum harus berjalan. Namun , pada saat yang sama ia membangun sebuah fenomena sosial yang hanya ada apabila petunjuk pelaksanaan benar-benar memiliki pengaruh pada cara orang berfikir atau bertingkah laku.[3] Ia merupakan sollen dan sein, harus dan ada. Ia dipandang sebagai mengajukan masalah untuk dianalisis karena, meskipun hukum itu merupakan norma preskriptif sekaligus fakta empiris, kedua kategori ini saling meniadakan satu sama lain secara logis. Pendekatan ini, yang merupakan sebuah konsepsi filosofis dari apa yang menciptakan pengetahuan yang valid dan bagaimana ia diperoleh, telah menyebar luas ke dalam teori hukum maupun sains sosial dan dikenal sebagai positivisme.
Pada intinya positivisme adalah sebuah posisi filosofis yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah yang berasal dari observasi terhadap data dari pengalaman dan bukan spekulasi yang berusaha untuk melihat ke balik fakta-fakta yang di observasi untuk mengetahui sebab utama makna ataupun esensi. Dalam versi positivisme yang paling kuat ia sama sekali tidak membangun pengetahuan. Sehingga fakta dan nilai dipisahkan secara kaku. Ia sendirinya tidak boleh membuat penilaian subyektif terhadap apa yang diobservasinya dan ia tidak boleh melakukan penyelidikan ke dalam makna atau signifikan utama dari nilai-nilai yang dipegang oleh orang-orang yang diobservasinya. Pengujian yang dengannya positivisme hukum dapat mengenali eksistensi hukum atau hukum-hukum tertentu adalah pengujian yang analog dengan pengujian yang digunakan para ilmuan untuk dapat mengenali kehadiran unsure kimiawi tertentu.
Positivisme hukum berusaha mencari pengujian hukum yang memungkinnya untuk mengidentifikasi data hukum sejauh mungkin tanpa melihat ke balik peraturan-peraturan legislatif tersebut, yakni kepada proses pembentukannya, dan tanpa mempertimbangkan sikap-sikap atau nilai-nilai yudisial. Positivisme adalah sebuah pondasi filosofis modern utama dari pengetahuan hukum professional, sebuah bentuk pengetahuan yang akan dipertimbangkan dari sudut pandang sosiologis. Sebagai sebuah filsafat hukum, positivisme mendapat serangan yang sangat kuat khususnya dari kalangan yang berkaitan secara tidak langsung dengan upaya mempertahankan struktur professional tertentu dalam prkatik hukum. Ia dianggap telah mengabaikan peran niali-nilai atau setidaknya prinsip-prinsip sebagai sebuah komponen hukum. Bahwa dalam memperlakukan pengaturan sebagai data hukum yang tersedia ia mengasumsikan kepastian dan kejelasan di dalam perturan yang sama sekali tidak jelas, dan bahwa ia tidak bias menanggulangi masalah hubungan yang kompleks antara peraturan dan kekuasaan diskresioner dari kalangan pejabat pemebntuk regulasi hukum di dalam masyarakat kontemporer yang kompleks.



[1] Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Grasindo, Jakarta, 2008, hlm. 133
[2] Ibid, hlm, 142.
[3] Roger Cotterrel, Sosiologi Hukum (The Sosiologi Of  Law), Nusa Media, Bandung, 2012, hlm. 11.
[4]www.junaidimaulana.blogspot.com