Jumat, 01 Februari 2013

KONFLIK PEDAGANG PASAR RAYA PADANG INPRES II, III DAN IV DENGAN PEMKO PADANG PASCAGEMPA 2009


Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi. Akan tetapi, jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, maka perubahan tersebut dapat memicu terjadinya penolakan. Penolakan itu kerap kali berujung konflik (pertentangan kepentingan). Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antarkelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Konflik adalah aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.[1]
Pertentangan kepentingan dapat terjadi dimana-mana, tak terkecuali di pasar yang merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi. Sebab, menurut Stewart & Logan, konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi.[2] Ada banyak pihak yang berinteraksi satu sama lain di pasar dan pihak itu menggantungkan matapencahariannya dari sana, seperti pedagang tetap, tukang parkir, warung makanan dan minuman, sopir angkot, tukang ojek, petugas kebersihan, buruh angkut, dan sebagainya. Selain dimanfaatkan oleh masyarakat umum, keberadaan pasar yang merupakan salah satu aset pemerintah daerah merupakan sumber yang dapat mendatangkan pendapatan asli daerah yakni melalui sewa toko dan retribusi pasar.
Peranan pasar yang demikian penting jika dinilai dari aspek ekonomi, seringkali memunculkan pertentangan kepentingan. Terlebih ketika diterapkannya kebijakan baru oleh pemerintah yang sering menuai pro dan kontra dari masyarakat dan warga pasar. Pada kasus di Indonesia, tercatat beberapa konflik pasar yang melibatkan pemerintah daerah dan pedagang pasar sejak 2005 hingga akhir 2011. Diantaranya, konflik antara Pedagang Pasar Tanah Abang dengan Pemko DKI Jakarta terkait rencana pembangunan Pasar Tanah Abang. Sekitar 5000 pedagang Pasar Tanah Abang menolak pembangunan kembali bangunan di Blok B, C, D, dan E.  Konflik juga tak terelakkan di Pasar Dinoyo, Malang. Pada Agustus 2005 terjadi perseteruan antara pihak Pasar Dinoyo dan pihak  Pemerintah Kota Malang mengenai pembangunan gedung pasar yang baru. Konflik bermula dari rencana Pemko Malang untuk merubah pasar tradisional Dinoyo menjadi pasar modern atau mall. Sampai saat ini  belum ditemukan win-win solution bagi kedua belah pihak.[3]
Konflik juga sempat terjadi antara Pedagang Pasar Kencong (P3K) dengan Pemda Subang pada Agustus 2005. Pemindahan para pedagang  yang biasa berjualan di Pasar Panjang, Pasar Belakang Candra serta Pasar GOR Mingguan ke pasar tradisional oleh pemda ditentang para pedagang dengan alasan di pasar baru itu sepi pembeli sehingga mereka tidak mau berjualan di Pasar Baru itu. Di sisi lain, lokasi di Pasar Baru tidak layak untuk berdagang karena sarana dan prasarana tidak memadai. Persatuan Pedagang Pasar Kencong (P3K) menuntut agar pembangunan pasar baru di atas lahan PT Perkebunan Nusantara XI dihentikan. Sebab, nyaris terjadi bentrokan saat selamatan pembangunan pasar kembali. Bahkan, para pedagang pasar mengancam tidak mampu mengantisipasi munculnya bentrokan kalau pembangunan pasar tetap diteruskan. Sebab, ada 699 pedagang yang tidak menyetujui pembangunan Pasar Kencong di lahan baru. Seperti rencana Pemkab Subang, Pasar Kencong yang terbakar 16 Agustus 2005 lalu itu direncanakan Pemkab Jember akan dibangun kembali di atas lahan baru. Namun, rencana ini ditolak pedagang pasar kencong dan DPRD Jember. Mereka bersikukuh pasar harus dibangun di lokasi lama dengan dana APBD. Persoalan lainnya, pedagang mengkhawatirkan pembangunan pasar itu akan dijadikan lahan bisnis bagi Pemkab Jember. Ada informasi yang mengungkapkan pasar akan dijual dengan harga tinggi, sehingga tentu saja pedagang yang baru saja terkena musibah akan kesusahan membeli lapak-lapak tersebut. Konflik Pasar Kencong ini pun masih berjalan hingga akhir 2011 ini.[4]
Bentrok juga tak terelakkan di Bekasi pada Februari 2007. Rencana revitalisasi pasar menuai penolakan dari pedagang. Sekitar 80 pedagang pasar tradisional Pondok Gede bentrok dengan aparat Pemerintah Daerah Kota Bekasi. Pemerintah setempat membongkar kios di pasar itu karena pasar akan direvitalisi.[5] Sementara itu, konflik juga terjadi di Pasar Raya Padang yang merupakan pusat perdagangan dan perekonomian di Sumbar.
Seperti diketahui, bahwa pascagempa Padang 2009 lalu sarana dan prasarana Pasar Raya Padang khususnya gedung pasar inpres I rubuh akibat gempa. Sementara itu, Inpres II, III dan IV juga dalam kondisi rusak parah. Bahkan berdasarkan riset dari empat sumber yakni Universitas Andalas, Universitas Bung Hatta, Dinas Prasaranan Jalan Tataruang dan Permukiman (Disprasjaltarkim) Sumbar dan Dinas Pekerjaan Umum Kota Padang dinyatakan bahwa gedung inpres II, III dan IV tidak layak untuk ditempati dan direkomendasikan untuk di rekonstruksi sama halnya dengan Inpres I.[6]
Konflik antara Pemko Padang dan Pedagang Pasar Raya Padang bermula pada Selasa, 10 November 2009. Ketika itu, Kepala Dinas Pasar melalui surat Nomor : 900.1699.XI/PS-09 10 November 2009 memberitahukan agar Pedagang di Gedung Inpres I yang gedung mereka mengalami rubuh dan pedagang Gedung Inpres II, III, dan IV mengosongkan petak toko/kios untuk pindah ke kios penampungan sampai batas waktu 13 November 2009. Hal tersebut ditolak sebagian besar pedagang Inpres II, III, dan IV karena menurut penelitian visual Gapeksindo Kota Padang tanggal 28 Oktober dan 2 November 2009 Gedung Pasar Inpres II dan III hanya perlu rehabilitasi. Menanggapi Surat Pemberitahuan Dinas Pasar tersebut, Rabu 11 November 2009, Aliansi Pedagang Pasar Raya (APPR) menggelar aksi damai dengan melibatkan 2000 pedagang ke DPRD Kota Padang. Atas hal tersebut DPRD Kota Padang lalu mengeluarkan Rekomendasi Nomor: 175/057/DPRD-Pdg/2009 tertanggal 11 November 2009 yang ditandatangani oleh Wakil Ketua DPRD Kota Padang yaitu Budiman, meminta Pemko Padang agar membongkar kios/los penampungan dan membicarakan/duduk bersama dengan DPRD serta perwakilan pedagang dalam pelaksanaan rekomendasi ini.
Kemudian, Senin 15 November 2009, melalui Surat Nomor: 511.2.1728.XI/Ps-2009 bermaterai Rp. 6000, Kepala Dinas Pasar Drs. H. Deno Indra Firmansyah, MM sebagai pihak pertama menandatangani Berita Acara Serah Terima 500 buah kios dan 600 los kepada Usman Gumanti dan Joni Syofyan pegawai Dinas Pasar sebagai pihak kedua untuk mendistribusikan 500 kios dan 600 los kepada Pedagang Inpres I, II, III, IV. Setelah itu, Rabu tanggal 10 Februari 2010 pedagang Pasar Raya Padang melakukan aksi tutup toko dan bersama Forum Warga Kota (FWK) Padang serta korban tindakan Walikota Padang kurang lebih 3.000 massa melakukan unjuk rasa ke rumah dinas Walikota Padang sesuai STTP No. STTP/9/II/2010/Intelkam. Gagal bertemu Walikota Padang, massa terpancing emosi dan bentrok dengan polisi.
Pada level kebijakan, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas publik mengalami pertentangan dari masyarakat korban bencana dalam bentuk protes. Protes kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi muncul karena kebijakan dan dampak pelaksanaannya yang sejak awal sudah menuai masalah dan mendapat penolakan dari warga kota yang menjadi korban bencana sejak masa tanggap darurat.[7] Penolakan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi kemudian menuai konflik vertikal berkepanjangan antara masyarakat dengan Pemerintah Kota Padang. Konflik kemudian menjadi manifes dan memunculkan banyak protes dari korban bencana dengan massa yang luas. Sebagai bentuk penolakan oleh korban bencana, protes dalam berbagai bentuk dan skala besar terus bereskalasi dan sampai menyeret konflik lama yang bersifat laten. Eskalasi konflik terus terjadi dan melahirkan demonstrasi-demonstrasi menentang kebijakan penanggulangan bencana yang terutama dimotori oleh konflik rehabilitasi dan rekonstruksi Pasar Raya Padang.
Dalam upaya pengosongan lahan ini, terjadi pertentangan kepentingan antara pedagang dan pemko Padang. Jika pemko Padang tetap ngotot untuk membangun kembali gedung tersebut karena dinilai sudah tidak layak huni, tapi pedagang pasar justru menolak mentah-mentah. Mereka menilai pembangunan pasar belum tepat karena gedung pasar inpres itu masih layak huni. Pedagang menilai, cukup dilakukan rehabilitasi untuk lantai II sementara untuk lantai I masih bisa ditempati. Upaya Pemko Padang dalam merekonstruksi bangunan inpres II, III dan IV memang tidaklah mulus. Ketegangan pendapat antara pemerintah dengan pedagang terus berlangsung selama 2 tahun. Rencana pembangunan dirancang Pemko Padang terus mendapat perlawanan dari pedagang. Keinginan pedagang untuk membangun pasar seperti semula dinilai Pemko tidak mungkin karena pasar harus memberikan rasa nyaman dan aman bagi pengguna Pasar Raya Padang, baik pedagang maupun pembeli.

Versi Pemko Padang, desain konstruksi tahan gempa ditambah adanya shelter tentunya akan menimbulkan perubahan. Pemko ingin pasar sekaligus menjadi shelter bagi warga kalau tsunami memang melanda Padang seperti yang diprediksi banyak ahli gempa dunia. Pertentangan pendapat antara Pemko dan Pedagang pun akhirnya tidak menemui titik kesesuaian paham. Kemudian Pemko Padang mengiming-imingi akan mengakomodasi tuntutan pedagang dan berjanji lantai satu pasar inpres dijadikan tempat berdagang sampai sebelum membangun pasar inpres II, III dan IV harus dilakukan uji forensik total.

Meski bersikukuh untuk tidak memberikan kios gratis pada pedagang Pasar Raya Inpres II, III dan IV, namun Pemko Padang sempat beberapa kali berupaya mengakomodasi tuntutan pedagang. Pada awalnya, Pemko mengeluarkan kebijakan pengalihfungsian lantai satu pasar inpres yang awalnya akan dijadikan terminal angkutan umum menjadi tempat berdagang. Akan tetapi, meskipun Pemko telah mengklaim bahwa mereka terbuka dengan dialog, namun pedagang pasar tetap saja menolak pembongkaran inpres II, III dan IV dan bersikukuh bahwa bangunan pasar layak huni sesuai dengan riset dari Gapeksindo.
Puncaknya, 31 Agustus 2011 lalu, Pemko memagari gedung Inpres II, III dan IV yang menimbulkan perlawanan dari para pedagang. Belum lagi ditemukan penyelesaian konflik Pemko dan Pedagang Pasar Raya Padang, muncul aksi pemagaran pasar inpres II, III dan IV oleh Pemko Padang. Aksi ini memicu perlawanan pedagang. Para pedagang kecewa karena janji pemko untuk membuka pintu dialog dengan pedagang dan berharap pedagang bisa mengerti dan memahami apa yang dilakukan Pemko serta berniat menyelesaikan persoalan ini secara baik dan musyawarah hanya janji manis. Pemerintah Kota Padang dinilai sengaja memanfaatkan momentum hari raya idul fitri untuk melakukan pembongkaran kios di Pasar Inpres II, III, dan IV di jalan Sandang Pangan, Pasar Raya Padang, Sumatera Barat, Rabu (31/8/2011). Dari berbagai informasi, Pemko Padang menilai para pedagang banyak yang menutup kiosnya saat Idul Fitri, sehingga pembongkaran kios mudah dilakukan. Tapi ternyata, para pedagang bersama mahasiswa telah mengendus rencana pembongkaran tersebut. Akibatnya, bentrokan antara aparat gabungan, TNI, Polisi, Satuan Polisi Pamong Praja, Pemadam Kebakaran, dan Dinas Perhubungan dengan para pedagang tak bisa terhindarkan. Pedagang mencoba mempertahankan kiosnya yang telah mereka tempati sejak tahun 2009. Sejumlah pedagang pun menjadi korban kekerasan aparat keamanan. Setidaknya 14 orang harus dilarikan ke Rumah sakit karena terkena pukulan benda tumpul. [1]
Sementara itu, ada 4 orang telah diamankan oleh petugas kepolisian karena dianggap sebagai provokator. Keempatnya berasal dari kalangan pedagang dan mahasiswa. Baku hantam ini terjadi disinyalir akibat pertentangan kepentingan antara Pemko Padang dan Pedagang Pasar Raya yang belum usai. Pemko Padang berkeinginan menggusur kios darurat yang dibangun sejak tahun 2009 tersebut untuk dibangun kembali pasar inpres. Namun pedagang tetap bertahan, karena pemerintah tak memberikan lokasi lain untuk berjualan.
Meskipun masih menuai kontra atas rencana rekonstruksi Pasar Raya Inpres II, III dan IV, namun Pemko Padang tetap menjalankan rencana tersebut. Sebagai aksi awal, Pemko terlebih dahulu dilakukan pembangunan kios darurat. Setelah semua kios darurat selesai dibangun, Pemko menginstruksikan pedagang untuk pindah karena pembongkaran gedung akan segera dilakukan. Tapi pada kenyataannya, deretan kios di Jalan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan kantor Balaikota Padang yang dibangun sebanyak 478 kios di ruas jalan itu tetap saja tidak dilirik pedagang. Meski pemko Padang telah menggratiskan kios darurat tersebut, pedagang tetap tidak bersedia dipindahkan dari lokasinya berjualan saat ini. Pedagang Pasar Inpres II, III dan IV masih memilih berjualan di bawah reruntuhan bangunan. Mereka tetap bertahan ditempat itu, dikarenakan pedagang merasa telah diabaikan pemerintah. Sedikitnya 23 bangunan kios darurat di depan RTH telah mengalami kerusakan. Padalah untuk pembangunan asset daerah itu, pemko telah menggelontorkan dana sebesar Rp 1,1 Miliar.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar para pedagang bersedia untuk pindah ke kios darurat, namun tetap saja pedagang bersikukuh dengan pendiriannya. Ada kekhawatiran pedagang yang mengaku sering dikecewakan oleh janji pemerintah. Pedagang menilai, pemko gagal dalam melakukan pengelolaan pasar. Sebab sejauh ini, pedagang tidak berjualan dalam kondisi yang nyaman. Pedagang kerap dimintai uang yang melebihi retribusi yang telah ditetapkan pemerintah. Oleh sebab itulah mereka enggan untuk dipindahkan ke kios darurat Mereka tidak akan bersedia pindah jika bangunan yang mereka tempati masih berdiri kokoh diruntuhkan dan selanjutnya pedagang harus membeli lagi kios dari pemerintah. Disinilah, diperlukan regulasi dari pemerintah dalam menetapkan harga kios dengan pedagang inpres II lantai 1 dan pedagang inpres II lantai 2. Seyogyanya, pemerintah harus melakukan kebijakan klasifikasi dalam penentuan harga kios.
Persoalan konflik Pasar Raya Padang yang cukup pelik itu telah mengalami beberapa kali mediasi, hanya saja masih belum terlihat kesepakatan antara pihak yang bertikai. Dinas Pasar selaku Pemko Padang mengklaim telah melakukan sosialisasi berulangkali pada pedagang guna menyelesaikan persoalan ini secara baik dan musyawarah. Pemko juga memberikan dispensasi bagi pedagang yang telah mengantongi kartu kuning dan kartu penunjukan. Kendati sudah diberikan beberapa kemudahan oleh Pemko Padang, tapi Pedagang tetap beranggapan bahwa Pemko belum menampung aspirasinya. Pedagang menuntut penggratisan kios baru, sementara Pemko menolaknya dengan alasan dana bantuan pusat sebesar Rp 64,5 tidak mencukupi untuk membangunan Pasar Inpres II,III dan IV.[2]
Tuntutan pedagang Pasar Raya Padang tidak dapat diakomodir. Pemerintah hanya akan memberikan dispensasi pada pedagang yang telah mengantongi kartu kuning dan surat penunjukan tanpa membedakan apakah bangunan pemilik kartu kuning masih layak pakai atau telah runtuh akibat gempa. Tidak adanya kesamaan sudut pandang dari pedagang dan pemerintah dalam melihat persoalan pasar ini membuat persoalan di Pasar Raya tidak kunjung selesai. Mengenai konflik yang terjadi antara pedagang pasar raya Padang dengan pemerintah, belum ada tindak lanjut secara tepat dan tegas untuk penyelesaiannya. Meski dari awal pemerintah sudah mempersiapkan mekanisme peraturan dalam hal penempatan bagi para pedagang yang belum punya wadah tempat berdagang.
Menyimak konflik yang terjadi antara Pedagang Pasar Raya Inpres II, III dan IV  dengan Pemko Padang yang terus bereskalasi hampir 3 tahun, maka menarik untuk dilakukan penelitian dan menganalisis penyebab konflik antara pedagang Pasar Raya Inpres II, III dan IV dengan Pemko Padang pascagempa 2009 dan upaya penyelesaiannya. (Bersambung)


[1] www.kompas.com/ Lebaran, Pedagang Bentrok dengan Aparat Keamanan. Diunduh tanggal 12 

    Desember 2011

[2] Padang Ekspres. Pemko Padang Beri Kompensasi Kios Pasar Raya. April 2011


[1] Miall, Hugh,et.al Contemporary Conflict Resolution. 2002,7-8

[2] Ibid
[3] www.bataviase.co.id. Pedagang Tanah Abang Tolak Pembangunan. Diunduh 28 November 2011
[4] www.kissfmjember.com. Pasar Kencong Terbakar, Pedagang Tolak Pindah Lokasi Baru.
   Diunduh 15 September 2011.
[5] Rakyat Merdeka. Pedagang Pondok Gede Bentrok dengan Pemko Bekasi. Diunduh 15
   November 2011.
[6] Padang Ekspres, Empat Lembaga Nyatakan Pasar Raya Tidak Layak.  4 April 2010
[7] www.antaranews.com. Pedagang Pasar Raya Tolak Rekonstruksi. Diunduh 28 Februari 2011

Cinta Lama Belum Kelar (CLBK)

Hari itu, matahari bersinar terik, panasnya serasa hendak membakar kulit. Jumat siang itu memang terasa sangat panas.  Langitpun tampak biru tanpa ada awan yang menghiasi, pantas saja jika mentari begitu garang. Untungnya masih ada angin yang berhembus sepoi. Setidaknya, cukup menjadi penyejuk bagi tubuh yang tersengat matahari. Begitu panasnya hari ini, aku pun enggan melepas payung yang sejak tadi melindungi tubuhku dari panas langsung matahari.
Jika biasanya aku berjalan gontai dari kampus menuju kos, tidak begitu hari ini. Ku percepat langkah kakiku, bermaksud agar sampai lebih cepat. Sudah terbayang segarnya AC di kamar yang akan serta merta mendinginkan tubuhku. Tentunya akan lebih menyenangkan pula menikmati segelas capucino dingin sambil menonton televisi di kamar seorang diri. Semakin aku membayangkan betapa nikmatnya berleha-leha di kamar, semakin terasa jauh jarak kampus dan kos yang  sebenarnya hanya berjarak 300 meter itu.
Kini, aku tak lagi berjalan cepat, boleh dibilang sudah setengah berlari. Jika bukan karena matakuliah Statistik Sosial, enggan rasanya untuk ke kampus tadi pagi. Sebab, sejak pukul 10.00 WIB tadi, matahari sudah menyengat dan siang ini semakin menyengat. Jika saja bukan Prof. Alimi yang mengajar hari ini, tentunya pagi tadi aku tidak datang kuliah. Karena, guru besar itu terkenal galak dan mudah memberikan nilai gagal pada mahasiswa jika tidak menghadiri perkuliahan. Tentunya aku tak begitu gila hingga harus melewatkan kelas Prof. Alimi untuk kedua kalinya. Cukup tahun lalu aku dihadiahi nilai E karena ketahuan titip absen.
“Kalau nggak gara-gara professor botak itu, nggak akan kepanasan kayak gini nih. Sial banget siang terik begini mesti panas-panasan,” umpatku dalam hati.
Baru saja mengumpat, tiba-tiba sebuah mobil jazz kuning menyerempat dari arah belakang. Serta merta tubuhku terseok ke sebelah kiri. Memang tidak begitu sakit, tapi karena kecerobohan si pengemudi aku berniat untuk memaki-makinya. Pikirku, ini kesempatan melampiaskan kekesalanku pada sang supir. Lumayan juga punya kesempatan memaki.
“Eh, turun. Lo pikir ini jalanan milik keluarga lo, sembarangan bawa mobil. Bisa nyetir nggak sih? Mana KTP dan STNK lo, jangan-jangan nembak nih,” maki ku sambil menggedor kaca mobil si pengemudi.
Si empunya mobil membuka kaca mobilnya. Seorang cowok berhidung bangir, berkulit sawo matang dan mengenakan kacamata hitam tampak duduk dibelakang stir. Ku pikir dia model atau bintang film terkenal, parasnya ganteng dan tubuhnya wangi. Tapi tak mungkin ada artis ke kota Padang sendirian. Kalau toh ada, tentu dia bersama manajer atau promotor yang mengundang mereka. Lagi pula, aku melihat ada id card karyawan salah satu televise swasta di kota ini tersemat di saku kemejanya.
“Annisa ya?,” sapa si cowok keren itu sambil membuka kacamatanya.
“Astaga, aku kenal lelaki ini. Tapi apa yang dia lakukan disini?,” gumamku.
“Ingat kan sama aku?,” tanyanya hendak memastikan.
Bagaimana mungkin aku tidak mengingat Radhi, tetanggaku saat di Surabaya dulu. Kami pernah dekat, seperti sahabat. Kemana-mana selalu berdua hingga sering digosipkan pacaran. Dia empat tahun lebih tua dari ku, tapi dia berbeda dari orang seusianya. Dia tidak enggan bermain dengan orang yang lebih muda darinya. Karena itulah kami sempat dekat, sebelum akhirnya Radhi kuliah ke Jakarta dan hampir tak pernah pulang.
Karena Radhi pula lah aku kuliah di kota bingkuang ini. Begitu frustasinya aku ditinggalkan Radhi, akhirnya aku putuskan untuk kuliah di kampung halaman ibuku. Meskipun harus kos, tidak mengapa asal bisa jauh dari kota kenanganku dengan Radhi. Tapi kini, kenapa malah kita bertemu di kota ini setelah bertahun-tahun tidak  ada komunikasi. Pertemuan itu pun tak biasa, aku dan dia bertemu secara tak sengaja.
“Apakah ini pertanda jodoh ya? Atau dia sengaja mencariku ke kota ini setelah tamat kuliah dulu?,” beragam pertanyaan muncul dibenakku.
Akhirnya, aku dan Radhi mencari tempat santai untuk bercengkrama. Kebetulan, siang itu Radhi memang sedang mencari tempat makan siang, jadi dia punya cukup waktu untuk temu ramah dengan ku. Ada hal yang paling aku suka dari Radhi, sorot matanya yang tajam saat memandangku itu begitu indah. Barangkali itu sorot mata paling indah yang pernah ku temui.
Baru aku tahu, dia sempat beberapa kali pulang saat libur kuliah namun tak pernah bertemu dengan ku. Di saat yang sama, aku pergi liburan bersama kawan-kawan sehingga tak pernah menemui Radhi. Sebelumnya, ku pikir dia memang tak pernah pulang ke Surabaya karena sudah terpaut hati pada gadis Jakarta. Syukurlah dia masih mengingatku.
“Jadi, sekarang kamu kuliah disini. Hmm..sudah semester berapa,” tutur Radhi.
“Iya, semester 2,” jawabku pendek.
“Kamu lebih pendiam ya sekarang,ndut. Kenapa?,” Tanya Radhi.
Aku tak bergeming. Aku begitu bahagia Radhi masih ingat panggilan sayangnya padaku. Awalnya sih aku sebel dipanggil Ndut, tapi karena itu panggilan akrab lalu mau apalagi. Sewaktu dulu, aku memang sedikit gendut, pipiku bulat kayak bakpao. Karena itulah, dia leluasa memanggilu Ndut. Untungnya, dia hanya memakai panggilan itu ketika kami sedang berdua, kalau didepan teman-temanku dia tetap panggil aku Icha.
Ku pandangi cowok keren yang kini sudah berubah jadi pria tampan itu lekat-lekat. Dia semakin tampan, penampilannya pun semakin menarik. Di wajahnya tampak kedewasaan dan dari sikapnya tampak kebijaksanaan. Pastinya banyak wanita yang tergila-gila pada Radhi, sama halnya saat di Surabaya dulu. Cewek-cewek genit itu setiap waktu mencoba menggoda Radhi, tapi sayang Radhi tak menanggapi perasaan mereka.
“Pastinya, kan Radhi cuma sayang sama aku,” pikir ku.
Usai makan siang, Radhi mengantarku ke kos. Dia berjanji akan mengajakku jalan-jalan ke Bukittinggi dan Batusangkar untuk rekreasi. Katanya, dua tempat itu merupakan salah satu daerah pariwisata andalan Sumbar. Aku menurut saja, toh ini kesempatan bagiku untuk lebih dekat dengan Radhi. Moment ini akan jadi kenangan kami dan barangkali disana Radhi akan menyatakan cintanya padaku.
Benar saja, Sabtu pagi Radhi sudah nongol di depan kos ku. Kami pun menuju Bukittinggi dan menyaksikan jam gadang yang sebenarnya tidak begitu besar itu. Entah kenapa diberi nama jam gadang dan tulisan huruf empat pada jam gadang itu ditulis dengan IIII bukan IV. Tapi, itu tak penting. Sekarang aku harus pikirkan cara memancing Radhi untuk ungkapkan cinta. Ku pikir, lebih cepat akan lebih baik bagi kami. Karena aku sudah menunggu Radhi sejak 4 tahun silam.
Setelah selesai rekreasi di Bukitttinggi, Radhi mengajakku ke Istana Pagaruyuang di kabupaten Tanah Datar. Ternyata istana yang pernah terbakar beberapa tahun silam itu sekarang sudah berdiri “rancak” kembali. Konon kata Radhi, istana itu merupakan istana legenda nenek moyang orang Minangkabau. Ada banyak sejarah di Istana Pagaruyuang itu dan belum lengkap rasanya jika ke Sumbar tidak mengabadikan gambar disini.
“Jadi, kapan Mas Radhi terakhir mudik?,” tanyaku.
“Libur kemarin aku mudik kok, tapi emang 3 hari aja. Soalne disini aku banyak kerjaan,” tutur Radhi.
“Kok bisa nyampe Padang sih? Kenapa nggak kerja di Jakarta atau di Surabaya aja?,” tanyaku penasaran.
“Nanti kamu juga tahu. Aku bakal ceritain kalau udah sampai di air terjun ya,” ucapnya.
Semakin penasaran saja aku dibuatnya. Pahal masih banyak hal yang ingin ku tanyakan, tapi dia sepertinya tak ingin diusik dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tampak sibuk mengambil gambar rumah gadang dan sekelilingnya. Niatku untuk memancing Radhi nembak pun ku putuskan untuk ditunda dulu hingga air terjun.
Sabtu sore kami sampai di air terjun,Padang Panjang. Ada banyak turis local yang asik mengabadikan momentnya dengan berfoto. Tempat inilah yang sempat longsor setahun yang lalu, aku pernah membaca beritanya di Koran lokal. Tempat ini cukup romantis, meskipun tidak seindah air terjun Niagara tapi setidaknya akan menjadi lebih indah jika ditempat ini aku menyatakan perasaanku pada Radhi. Toh, sudah tak jamannya lagi perempuan hanya menunggu hingga lelaki menyatakan cinta.
“Mas, aku pengen ngomong. Sebenarnya aku kuliah kesini karena aku sebel sama kamu yang nggak pulang-pulang ke Surabaya,” tuturku mulai membuka pembicaraan.
“Nah itu orangnya, sebentar ya, Ndut. Aku jemput dia dulu, kamu tunggu disini,” tutur Radhi.
“Sopo cewek cantik iku? Temane Mas Radhi kali yo,” pikirku tanpa melepaskan pandangan dari dua orang yang berjalan menuju ke arahku itu.
“Nah, ini yang pengen aku ceritakan sama kamu,Ndut. Kenalin, dia Soraya istri aku,” jelas Radhi.
Bagai disambar petir rasanya mengetahui gadis cantik berambut sebahu itu adalah istri Radhi. Selama dua hari bersama, Radhi tak pernah cerita soal gadis manapun apalagi soal istrinya. Lantas, jika sudah begini aku harus bagaimana lagi. Radhi sudah menikah, sementara aku masih sangat mencintai dia. Apa aku maki-maki mereka berdua aja.
“ Annisa, temannya Mas Radhi di Surabaya,” sahutku sambil menyalami Soraya (*) (Marisa Elsera)