Sabtu, 25 Februari 2012

DI BALIK RENCANA PEMBANGUNAN TERMINAL

Padang Perlu Bercermin

Hampir semua kota yang terbentuk secara alamiah mengalami persoalan trans­portasi. Persoalan ini tak terkecuali dialami oleh Kota Padang. Ketiadaan terminal, kerap dijadikan alasan marak­nya pungutan liar (pungli) dan premanisme yang dialami supir angkutan kota (angkot) seperti yang diberitakan Ha­rian Haluan, Rabu (22/2). Lantas, benarkah untuk me­nga­tasi pungli, Kota Padang harus memiliki terminal?


Pengadaan terminal untuk angkutan kota memang di­perlukan oleh sebuah kota modern guna menciptakan suasana tertib dan nyaman berlalulintas. Maka dari itu, setiap kota haruslah memiliki terminal untuk angkot dan bus antarprovinsi. Untuk itulah, rencana pembangunan ter­minal seperti yang di­ung­kapkan DPRD Kota Padang patut didukung. Akan tetapi, jangan hanya membangun terminal secara fisik saja dan abai terhadap aspek sosial dan budaya masyarakat lokal. Jika tidak, pembangunan tidak akan dapat ter­man­faatkan dengan baik sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.

Untuk itu, marilah berkaca pada pembangunan yang telah lampau. Beberapa tahun lalu Pemko Padang juga sudah membangun terminal Aie Pacah, tapi nyatanya terminal ini tidak dapat berfungsi dengan baik. Bahkan, terminal ini sudah ditinggalkan oleh angkutan umum yang tidak lagi mau nge-term disana. Maka dari tahun ke tahun terminal Aie Pacah hanya jadi bangunan lapuk tak ter­manfaatkan sebelum akhirnya Pemko Padang memutuskan untuk pindah kesana pasca­gempa 2009 yang menye­babkan gedung perkantoran rusak parah.

Tidak termanfaatkannya terminal Aie Pacah harusnya menjadi pelajaran berharga bagi Pemko Padang untuk merancang pembangunan kota kedepan. Persoalan letak, akses dan sarana prasarana di terminal harus menjadi perhatian utama bagi pemko disamping pembangunan fisik terminal tentunya. Harusnya, Pemko sudah mengevaluasi kegagalan sebelumnya agar tidak terjadi kegagalan yang sama dikemudian hari.

Mengenai pembangunan terminal yang diungkapkan DPRD Kota Padang dapat mengatasi pungli sebaiknya patut dikaji kembali. Barang­kali kita semua perlu belajar dari kasus di kota-kota di Indonesia yang masih ber­masalah dengan pungli mes­kipun mereka telah memiliki terminal angkutan kota. Se­dikit­nya ada dua  Terminal Segog, Kecamatan Tenjolaya, Bogor, Jawa Barat dan Ter­minal Tirtonadi, Solo baru-baru ini menjadi sorotan publik karena pungli yang meresahkan masyarakat. Bahkan pungli itu disebut-sebut dilakukan oleh kepala terminalnya dengan dalih untuk fasilitas terminal.

Kondisi terminal di dua kota ini patut dijadikan cerminan untuk pembangunan kota Padang kedepan. Sudah menjadi rahasia umum jika­lau terminal menjadi salah satu lahan empuk untuk mendulang keuntungan dari penarikan pungutan tak resmi ini. Terminal memang adalah tempat yang cukup mem­berikan peluang terjadinya transaksi ekonomi “dibawah tangan” yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Terminal adalah lahan basah untuk peluang pungli di Indonesia.

Pemko dan DPRD Kota perlu mendudukan tujuan pembangunan terlebih dahulu. Tentunya tujuan pembangunan itu haruslah mengutamakan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan kelompok tertentu. Pembangunan bukan hanya persoalan pendirian bangunan tempat perhentian bus dan angkot, tapi disana juga tempat terjadinya inte­raksi hingga perdagangan. Sebab itu, untuk membangun terminal jangan hanya me­mikirkan teknisnya tapi juga aspek sosial, sarana dan prasarana, fungsi terminal,  letaknya yang harus didaerah strategis dan fasilitas pe­nunjang lainnya.

Adapun fasilitas penunjang yang dimaksud berupa jalur - jalur yang sudah disiapkan bagi angkutan umum yang selama ini mempergunakan terminal sebagai tempat naik maupun turunnya penumpang, WC umum, halte tempat duduk dan juga fasilitas lainnya bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) sehingga terlihat rapi.

Faktanya, mayoritas ter­minal di Indonesia justru tidak mampu memberikan fasilitas yang baik terhadap terminal. Maka tak mengherankan melihat kondisi semrawut sebuah terminal. Idealnya, seluruh kendaraan angkutan berawal dan berakhir atau menaikkan dan menurunkan penumpang di terminal. Tapi yang terjadi sekarang, kota menjadi sumpek sebab bus mangkal di kota. Supir angkot tidak mau menggunakan terminal sebab sistem yang ada tidak mendukung. Maka­nya mesti ada penindakan, semua pihak mesti duduk bersama dan tidak saling lempar tanggung jawab. Harus dipikirkan bagaimana solusi dan mau diapakan terminal dan terminal bayangan.

Sebenarnya, jika aparatur Negara mampu bersikap tegas tentu pungli dan aksi pre­manisme ini dapat ditekan. Jadi, meskipun tidak adanya terminal, pungli tetap dapat diminimalisir.  Namun se­balik­nya waalaupun terminal telah dibangun, kalau tidak ada pengawasan dari aparatur Negara dengan baik maka pelaku pungutan liar ber­kedok menjual tisu, air mi­neral hingga pengharum angkot akan semakin tumbuh subur. Bah­kan parahnya, aparat Negara pun dapat memanfaatkan peluang pungli ini seperti yang dilakukan oleh Kepala Ter­minal Tirtonadi, Solo.

Maka dari itu, perlu ada­nya pembenahan mentalitas aparatur Negara dan pem­benahan terhadap sistem transportasi di Kota Padang. Sistem transportasi dan men­tal aparatur Negara meru­pakan dua hal yang saling berikatan. Sistem transportasi yang canggih sekalipun masih dapat dibobol jika perilaku aparat dalam menindak pungli asal-asalan. Pembenahan mental aparat dapat di­lakukan dengan pendekatan preventif seperti memberikan reward dan keteladanan pimpinan hingga pendekatan represif yakni seperti pem­berian punishment (sanksi) yang tegas terhadap pelaku pungli.


Kerja Keras Menata Transportasi

Kota Padang sejak be­berapa tahun silam memang sudah tidak memiliki terminal angkutan kota. Terminal angkot di Pasar Raya berubah fungsi jadi pusat perbelanjaan. Setelah terminal tergusur, angkot akhirnya terpaksa nge-tem di depan Masjid Muham­madiyah yang berimplikasi pada kesemrawutan lalu lintas.

Kemacetan tak bisa dihindari. Kesemrawutan transportasi di Kota Padang memang menuntut kerja keras aparatur Negara untuk me­ngem­balikan kondisi kota menjadi tertib dan aman seperti sedia kala. Sebuah kota dikatakan modern tidak saja dilihat dari indicator pembangunanan fisik saja, tapi juga dari perilaku masya­rakatanya.  Memang sudah menjadi problema sebuah kota besar dengan kesemrawutan yang mengakibatkan kema­cetan lalu lintas yang di­sebab­kan oleh ketidak teraturan manusia dalam berkendara (reflesi budaya).

Maka dari itu, peran ma­sya­rakat sangat menentukan berhasil tidaknya pem­bangu­nan teknologi transportasi. Masyarakat mempraktikkan dan mengkonsumsi teknologi dan dalam mempraktikkan teknologi itu ada nilai-sosial budaya yang mempengaruhi­nya. Nilai-nilai itu antara lain, kebiasaan, budaya dan ideo­logi tentang keselamatan, ke­nya­­manan dan keamanan.

Guna menciptakan kota masa depan yang memberikan pelayanan bagi perpindahan manusia dan barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan cepat, murah, aman dan minim polusi diper­lu­kan penanganan per­masa­lahan transportasi secara komprehensif melalui pem­bangunan sistem transportai massal. Untuk itu, tidak hanya perencanaan pembangu­nan fisik saja yang perlu ditata tapi juga pembangunan sosialnya. Dengan kata lain, Kota Padang membutuhkan pembangunan berkelanjutan.

Kebutuhan sistem tran­spor­tasi di kota Padang yang lebih aman dan nyaman sudah sangat mendesak.  Sebab dengan  sistem transportasi yang lebih baik lagi, hal itu akan  memiliki efek positif ke berbagai sektor. Ekonomi akan lebih efisien dan bisa ber­kembang lebih cepat serta  investor akan teratrik mena­namkan modalnya. Sistem transportasi yang teratur mencerminkan kondisi ke­hidupan kota.
Kota Padang Butuh Terminal
Kendati diawal penulis menegaskan bahwa pem­bangunan terminal tidak otomatis dapat mengatasi persoalan pungli di Kota Padang, bukan berarti penulis tidak menghendaki pem­bangunan terminal. Sebuah kota modern membutuhkan terminal tempat menaikkan dan menurunkan penumpang guna mengurangi kemacetan akibat terbentuknya terminal bayangan. Keberadaan ter­minal mampu mengurai kema­cetan yang disebabkan banyak­nya angkot mangkal di sekitar pasar. Jika ada terminal, angkot-angkot yang ada bisa dilokalisir perputarannya di terminal itu. Sehingga tidak ada lagi angkot yang memutar di jalan dan pusat keramaian kendraan.

Menurut Budi (2005: 182-183) dalam buku Pembangu­nan Kota Tinjauan Regional dan Lokasi Terminal, setidak­nya ada 3 fungsi terminal yakni menyediakan tempat dan kemudahan perpindahan moda transportasi, menyedia­kan sarana untuk simpul lalu lintas serta menyediakan tempat utuk menyiapkan kendaraan. Maka dari itu, setiap kota di dunia perlu memiliki terminal untuk mencapai tujuan pembangu­nan nasional yakni penerapan system transportasi terpadu. Hanya saja, perencanaan pembangunan kota harus lebih matang agar dapat dimanfaat­kan oleh masyarakat.


MARISA ELSERA
(Mahasiswa Pascasarjana Unand)

Jumat, 17 Februari 2012

The Deputy Governor Called The Head Health West Sumatra Related information was closed casualties suspect bird flu

Nggak sengaja nemu beritaku dalam versi Bahasa Inggris dari www.newfluwiki2.com
Padang Express
Thursday, 10/03/2011 - 08:47 of WIB
Marisa Elsera 

The Vice-Governor (Wagub) West Sumatra, Muslim Kasim will immediately call Section Head Health Service (Dinkes) West Sumatra related was closed the information matter of the handling of casualties suspect bird flu as well as prevention efforts spread him the deadly virus in West Sumatra. His article, was based on UU of openness of the public's information, then the community entitled knew the latest condition that was caused by the virus H5N1 that.
 
"We will call the Kadis [Department Head]. This will have been explained in UU KIP, so did not have the reason for making giving of information more difficult in public. The community must know this plague so that they more are on the alert," he explained. 

Concerning ridigity the bureaucracy in Dinkes West Sumatra, where information only came from Kadinkes [Health Department Head] and was not represented by the other spokesperson when Kadis had not been there also was regretted by the former regent Padang Pariaman. Because, in this alert condition, ought not to the information was made more difficult. Increasingly was closed, then information will increasingly be unreasonable and the community will be increasingly restless.
 
He made a plea in the Health Service and the Service of Livestock West Sumatra to help the handling of the problem of bird flu in the regency/the city. Because, the problem of this plague no longer responsibility regency/the city but became the problem of the province. Only, the Provincial Government could not immediately intervene in the handling of this problem.
 
"If being needed, the Provincial Government will descend. But if not, yes we did not want it was considered to intervene. It was most important, we this this problem fast was controlled and we also budgeted for the fund was not expected from APBD the province for the handling of this problem," stressed Muslim. 

About the community that must lose his livestock because of must be eradicated as the condition for bird flu SOP, then the Regional/City Government had an obligation to replace the loss (compensation) the poultry that was eradicated so that this activity does not cause a loss to the community. Because, many communities that livelihood as the poultry breeder will lose capital of efforts resulting from the eradication of the poultry. 

Muslim added had the provisions of the control of matter information of the plague spread so that the community is not restless and concerned. However, not meant to have to close information access so as the community became increasingly restless. Dinkes West Sumatra, must explain the reason of information reticence like that was published by several medias so as to not emerge the askew news concerning the closing of information access that was carried out by Dinkes in the past two days. 

Contacted separately, the Head of Dinkes West Sumatra, Rosnini Savitri said Dinkes did not close access, but only made information from one door in order to not happen information confusion that eventually even will have an impact on the community's unrest.
 
Rosnini did not reject that matter information of bird flu could be only accessed through one door that is from the Head of Dinkes West Sumatra. The reason, no one even the officials RS M. Djamil wanted to give matter information of this deadly virus because of being instructed beforehand. That was done so that information that was obtained by the media not crisscrosses and spreads everywhere.

"Our responsibility only carried out counselling would the bird flu danger and the act of the control as well as his prevention. If having the poultry that died suddenly, don't have direct contact with the poultry, avoided the place of the maintenance of the poultry. If the fever, immediately to the health service," he said.