Selasa, 26 April 2011

Rapor Otoda Sumbar 2011

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) secara resmi merilis hasil evaluasi kinerja dan penyelenggaran pemerintahan daerah (EKPPD). Hasilnya, dari EKPPD yang diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaran Pemda itu, menempatkan Sumbar di posisi kedelapan.

Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan, saat mengumumkan peringkat kinerja Pemda di Balai Kota Bogor bersamaan dengan peringatan Hari Otonomi Daerah (Otda) ke-15, Senin (25/4), mengungkapkan, terdapat 173 indikator penilaian berdasarkan evaluasi laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah tahun 2009, seperti kesejahteraan masyarakat, good governance, pelayanan publik, dan daya saing. Sedangkan daerah yang dievaluasi adalah 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota.

Dari 33 provinsi, peringkat pertama diraih Sulawesi Utara. Sedangkan ranking kedua adalah Sulawesi Selatan, dan ketiga adalah Jawa Tengah. Sedangkan posisi Sumbar sendiri, untuk kawasan Sumatera terbaik keempat setelah Sumatera Selatan (4), Lampung (5) dan Riau (6). Selengkapnya lihat grafis.

Sedangkan dari 398 kabupaten, hanya 343 dievaluasi. Pemkab yang masuk 10 besar sesuai ranking adalah Jombang, Bojonegoro, Sragen, Pacitan, Boalemo, Enrekang, Buleleng, Luwu Utara, Karanganyar dan Lulon Progo. Dari 343 Pemkab yang dievaluasi, 269 Pemkab masuk kategori tinggi. Jombang berada di peringkat pertama dengan skor 2,8711.

Sedangkan di posisi sedang, ada 70 Pemkab. Sisanya, lima Pemkab yang masuk kategori rendah adalah Parigi Moutong, Halmahera Utara, Supriori, Tolikara dan Seram Bagian Timur. Pemkab Seram berada di urutan terendah dengan skor 0,3764. Untuk Pemko, dari 93 Pemko hanya 86 yang dievaluasi. Sebanyak 82 Pemko berkinerja tinggi. Pemko yang masuk 10 besar sesuai ranking adalah Surakarta, Semarang, Banjar, Yogyakarta, Cimahi, Sawahlunto, Probolinggo, Mojokerto, Sukabumi dan Bogor. Surakarta berada di urutan pertama dengan 2,9346. Sedangkan Pemko yang masuk kategori sedang sesuai ranking adalah Tomohon, Singkawang, Palu dan Kupang. Kupang berada di urutan buncit dengan skor 1,3947.

Wakil Presiden Boediono yang hadir dalam acara itu mengatakan, pengumuman hasil evaluasi itu bukan sekadar pemeringkatan. ”Tapi ini adalah pengakuan bagi daerah yang baik dalam melayani masyarakatnya. Kalau yang berprestasi tidak dicatat, itu biasa. Tapi kalau yang buruk-buruk, catatannya banyak sekali,” ujar Wapres.

Meski demikian, Wapres juga mengingatkan agar daerah yang prestasinya masih pas-pasan ataupun rendah bisa memacu diri. ”Tingkatkan lagi gemanya bagi yang belum mendapat pengakuan. Tidak ada istilah tidak berhasil,” ucapnya. Mantan Menteri Keuangan itu menambahkan, salah satu bentuk prestasi pemda adalah dalam hal pengelolaan keuangan. Ia mengingatkan agar pejabat Pemda tak mudah terpeleset dengan uang yang jelas-jelas milik negara. ”Uang itu licin, akan ada tarik menarik kalau sudah soal uang. Orang sering lupa. Jadi pengelolaan keuangan daerah harus dengan setertib mungkin,” tandasnya.

Dikatakan pula, selayaknya pemda yang berprestasi mendapat insentif. Pasalnya, banyak kendala daerah yang berinovasi di tengah keterbatasan lantaran terikat dengan aturan yang ketat. ”Saya optimistis dengan inovasi yang dikeluarkan. Di tengah terpasungnya oleh aturan yang tak bisa dilepaskan, masih bisa mencoba ide-ide baru. Saya minta Mendagri agar bisa memberi insentif. Insentif kan tidak harus berbentuk uang,” pungkasnya.

Sedangkan Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, hendaknya pemeringkatan tersebut semakin memacu kinerja daerah. ”Terutama fungsinya dalam melayani masyarakat,” ucapnya sebelum membagikan penghargaan kepada para kepala daerah yang dianggap berprestasi. ”Ini adalah amanah PP Nomor 5/2008 tentang EKPPD. Hasilnya ini untuk pembinaan dan kapasatias daerah ke depan,” imbuhnya.
Djohermansayh Djohan mengakui bahwa ada beberapa daerah skornya terpaksa dikurangi lantaran kepala daerahnya ataupun pejabat daerahnya terseret dengan kasus hukum. ”Akuntabilitas dan transparansi itu merupakan indikator. Kalau ada yang terlibat kasus hukum, itu mengurangi skor,” ucapnya.

Pedomani Regulasi

Di Sumbar, peringatan HUT Otda dilaksanakan dengan upacara HUT Otda di lapangan Kantor Gubernur, kemarin (25/4). Pelaksana Tugas Sekprov Sumbar Mahmuda Rivai selaku inspektur upacara ketika membacakan amanat Mendagri mengatakan, sepuluh tahun belakangan ini telah terjadi penambahan 205 daerah otonom baru terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Pada satu sisi peningkatan jumlah daerah otonom ini menunjukkan adanya kemajuan dalam pelaksanaan politik desentralisasi di Indonesia, namun pertumbuhan jumlah tersebut tentunya harus diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan publik di masing-masing daerah.

”Untuk itu pemerintahan daerah diharapkan dapat mempedomani berbagai regulasi yang telah disusun antara lain PP No 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk meminimalisir tumpang tindih tugas dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan daerah,” tuturnya.
Pemerintah daerah, jelas Mahmuda, juga perlu memahami dan melaksanakan PP No 65 /2006 tentang Pedoman Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Serta, menjaga kualitas pelayanan publik dengan menerapkan standar pelayanan minimal sebagai parameter kinerja pelayanan dasar. Sehingga, dapat memberikan kepastian kualitas pelayanan bagi masyarakat serta memberikan ruang bagi mereka untuk berpartisipasi.

”Pusat saat ini tengah menyusun desain besar penataan otonomi daerah yang diharapkan dapat menjadi pedoman bagi semua pihak dalam melakukan pemekaran daerah agar lebih terencana,” jelas Mahmuda.

Dalam amanat itu, Gamawan juga menyebutkan pemerintah sedang menyempurnakan sistem pemilihan umum kepala daerah yang selama ini tidak efisien karena mahalnya ongkos penyelenggaraan pilkada yang membebani APBD. Serta, penyalahgunaan wewenang oleh calon incumbent, politisasi aparatur birokrasi serta munculnya kepemimpinan pemerintahan daerah yang kurang efektif karena harus menanggung beban pembiayaan pilkada yang mahal. Saat ini tengah dilakukan finalisasi pembuatan UU Pilkada. (mr)

11 Daerah belum Realisasikan DAK

Padang, Padek—Sebagian besar kabupaten/kota di Sumbar belum merealisasikan dana alokasi khusus (DAK) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebelas daerah di antaranya, realisasi DAK masih nol persen. Proses tender, perubahan pengalokasian dana APBN, lambannya pengesahan APBD 2011, belum diterimanya Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) dan petunjuk teknis (juknis) pendidikan serta perubahan SOTK dan mutasi besar-besaran diklaim sebagai penyebab keterlambatan realisasi.

Tak hanya kabupaten/kota yang berulah, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov Sumbar juga menunjukkan kinerja yang buruk. Dari 15 dinas, hanya Dinas Peternakan Sumbar yang realisasi fisiknya mencapai 10,55 persen dan Dinas Perkebunan realisasi keuangannya mencapai 20,37 persen.
Kabiro Administrasi Pembangunan dan Kerja Sama Rantau Pemprov Sumbar, Suhermanto Raza mengklaim tidak ada keterlambatan yang fatal atas realisasi APBN 2011.

Daerah dan SKPD yang belum mencapai target realisasi masih dapat dimaklumi karena berbagai alasan. Misalnya, Kabupaten Limapuluh Kota yang baru saja mengalami perubahan SKPD dan nomenklatur, mutasi untuk semua pejabat eselon III serta belum dilantiknya pejabat eselon II membuat kinerja kabupaten itu sedikit lamban.

Begitu juga pelaksanaan tender dan lelang yang belum kelar hingga kini. Bahkan, Pemko Padangpanjang mengklaim belum menerima DIPA sebelum mengeceknya ke KPKN. Kurangnya koordinasi itulah yang menyebabkan keterlambatan pencairan dana sehingga realisasi jalan di tempat.  

Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno telah mewanti-wanti daerah dan SKPD secepatnya merealisasikan program APBN. Bahkan, akhir Desember lalu, ke-19 kepala daerah dan kepala SKPD setuju mendukung percepatan realisasi APBN. Sayangnya, tak semua daerah dan SKPD mampu melakukannya sesuai target.

Hingga triwulan kedua ini, masih banyak SKPD provinsi dan kabupaten/kota yang belum mengirimkan laporan. Persoalan lainnya, belum optimalnya koordinasi antara pemerintah pusat  dengan pemerintah daerah. Padahal, hasil kesepakatan Surat Gubernur Nomor 902/145/P.I/BAPKR-2009 ditetapkan kategori perkiraan pencapaian target realisasi kegiatan sampai akhir tahun anggaran akhir triwulan pertama, yakni 10 persen, triwulan kedua 30 persen, triwulan ketiga 75 persen dan di akhir tahun 100 persen.

Realitanya, untuk dana dekonsentrasi/TP, Urusan Bersama (UB) yang dikelola SKPD provinsi yang dialokasikan Rp 1,7 triliun, baru terealisasi fisik dan keuangan masing-masing 3,34 persen. Sementara untuk DAK yang dikelola SKPD senilai Rp 40,7 miliar serta DAK oleh SKPD kabupaten Rp 603,5 miliar dan DAK SKPD kota Rp 183,2 miliar belum terealisasi.

Alasan lainnya, ada beberapa kementerian terkait yang terlambat mengeluarkan juknis sehingga pelaksanaan kegiatan APBN terlambat. Selain itu, tidak sinkronnya antara alokasi dana anggaran tahun 2011 yang ditetapkan dalam  DIPA per tanggal 30/2010  dengan dana yang ditransfer ke daerah.

Solusi agar realisasi APBN bisa dikejar akhir triwulan kedua menjadi 30 persen, tutur Suhermanto, maka SKPD pengelola kegiatan segera menetapkan DED, schedule kegiatan, Rencana Anggaran Biaya (RAB) sesuai dengan ketentuan. Percepat kegiatan administrasi/fisik/proses tender. Limitnya, akhir April tender dan lelang sudah diselesaikan.

”Setelah itu, langsung laksanakan kegiatannya secepatnya sehingga progres realisasi fisik dan realisasi keuangan kegiatan APBN dapat terus dipacu sesuai target,” jelas mantan Kabiro Humas dan Protokol Setprov Sumbar itu.

SKPD pengelola kegiatan dana APBN diimbau berkoordinasi sehingga adanya sinkronisasi monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan. Sebab, dalam mempercepat kegiatan, SKPD perlu berkoordinasi dengan Kanwil Perbendaharaan Provinsi Sumatera Barat/KPN atau DPKD setempat. Sehingga masalah revisi, pencairan dana dan administrasi lainnya dapat segera diselesaikan dan tidak menghambat pelaksanaan kegiatan. (mr)

Senin, 25 April 2011

Disdik Buat Soal Khusus Murid IQ Terbatas

Padang, Padek—Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Sumbar siap menggelar ujian sekolah bagi siswa berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensia sangat terbatas. Sedikitnya, ada 10 siswa dari Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang akan memperoleh fasilitas khusus seperti tambahan waktu hingga pendamping ujian.

Kasi Kurikulum Bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK-PLK) Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Sumbar, Irman mengungkapkan, 10 siswa itu akan menjalani ujian di PPLB YPAC Padang usai UN 2011 untuk siswa normal digelar.

Pembuatan soalnya menyesuaikan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 70/2009 tentang Ujian untuk Anak Berkebutuhan Khusus dan Bakat Istimewa. ”Jadi, kepada orangtua yang intelegensia anaknya sangat terbatas tidak perlu khawatir. Karena soal US dibuat sesuai kemampuan mereka,” kata Irman.

Bagi siswa berkebutuhan khusus yang terdaftar dalam program inklusi akan tetap menjalani ujian nasional (UN) serentak sesuai tingkatan sekolah. Tercatat sebanyak 78 peserta UN yang berkebutuhan khusus untuk tingkat SMA, SMK, SMPLB dan SDLB. UN tahun ini, jelas Irman, siswa penyandang cacat juga mengikuti ujian yang sama dengan siswa normal lainnya. Hanya saja, khusus untuk UN listening comprehension bagi tunarungu diganti dengan reading comprehension.

Pelaksanaan UN untuk siswa SMA/SMK dan MAN 2011 lalu sukses, tanpa masalah berarti. ”Program ini berjalan baik, bahkan ada beberapa siswa inklusi yang menjadi juara kelas, bahkan juara umum di sekolah umum,” jelas Irman di kantornya, Kamis (21/4).

Untuk siswa SMA dan sederajat, program inklusi tercatat ada 15 siswa. Satu siswa SMAN 2 Bukittinggi dan satu siswa MAN 2 Payakumbuh merupakan tunanetra. Ada juga 2 siswa dari SMKN 7 Padang menyandang tunanetra dan tunarungu. Sementara terbanyak, 10 siswa bersekolah di SMK 8 Padang untuk jurusan teknik komputer dan jaringan serta jurusan tata busana.

Untuk pendidikan setingkat SMP dan SD, Sumbar masih menggelar SMPLB dan SDLB. Ada 16 siswa berkebutuhan khusus yang menjalani UN 2011 dan 47 peserta UN setingkat SDLB. Total siswa SDLB di Sumbar 4.004 siswa. Sementara SMPLB tercatat 248 siswa dan SMALB sebanyak 63 siswa. Khusus bagi siswa berkebutuhan khusus yang tidak mampu, mendapatkan beasiswa Rp 50 ribu per bulannya dari APBN. (mr)

Pelayanan Kesehatan Tak Merata

Padang, Padek—Ketersediaan bidan di Sumbar masih kurang dari kebutuhan. Saat ini, dari 2.908 desa atau nagari, belum semuanya memiliki bidan yang berjumlah 4.060 orang. Rinciannya, 2.486 bidan berstatus PNS dan 1.364 bidan berstatus pegawai tidak tetap (PTT), belum tersebar di setiap nagari.

Dinas Kesehatan Sumbar mencatat ada empat kabupaten yang belum memenuhi standar minimal pelayanan kesehatan 1 desa 1 bidan. Yakni Kabupaten Limapuluh Kota, Solok, Sijunjung dan Dharmasraya. Untuk 15 kabupaten/kota lainnya, sudah memenuhi standar minimal, meski masih ada bidan yang bertumpuk di pusat kota saja.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Sumbar, Rosnini Safitri, Limapuluh Kota dengan 401 nagari, hanya memiliki 243 bidan PNS dan 142 bidan PTT. Sementara Kabupaten Solok yang punya 243 nagari, hanya memiliki 103 bidan PNS dan 76 bidan PTT.

Begitupun Dharmasraya, dengan 253 nagari hanya memiliki 117 bidan PNS dan 39 bidan PTT. Yang terparah di Solsel, 152 nagari hanya ada 26 bidan PNS dan 23 bidan PTT. ”Kekurangan bidan ini menjadi pekerjaan rumah (PR) kita pada tahun 2011 dan ke depannya. Bagaimana mendapatkan bidan yang mau dan mampu ditempatkan hingga ke desa terpencil,” tutur Rosnini ditemui di aula Gubenuran, beberapa waktu lalu.

Untuk Mentawai, hanya ada 51 bidan yang terdiri dari 39 bidan PNS dan 12 bidan PTT. Sedangkan Padang, justru 4 kali lebih banyak jumlah bidan dibandingkan total kelurahan yang ada. Dari 101 kelurahan, Padang punya 454 tenaga bidan yang terdiri dari 152 bidan PNS dan 92 bidan PTT.
Asisten II Setprov Sumbar, Syafrial mengungkapkan, persoalan kesehatan masyarakat Sumbar lainnya adalah belum tercapainya target angka kunjungan ke puskesmas 1,8 persen di tahun 2010. Sebab, angka kunjungan untuk Sumbar masih di posisi 2 persen. Bahkan lima daerah, Bukittinggi, Padangpanjang, Pariaman, Padangpariaman dan Limapuluh Kota masih berada di atas angka kunjungan rata-rata Sumbar.

”Indikator kesehatan masyarakat yang ditargetkan belum tercapai. Ini pekerjaan lanjutan untuk kami di tahun 2011 ini. Dengan tingginya angka kunjungan ke puskesmas, artinya tingkat kesehatan masyarakat masih rendah. Inilah yang perlu ditekan, tentunya dengan program kesehatan yang menjangkau hingga ke pelosok desa,” tuturnya.

Dari pemetaan permasalahan pelayanan kesehatan 2010, kata Syafrial, pemanfaatan rumah sakit di Sumbar yang ditargetkan 60,85 persen di tahun 2010, juga masih di atas target itu, yakni 70,4 persen.

Begitu juga tingkat kunjungan posyandu cukup tinggi. Meski belum seratus persen masyarakat yang memiliki anak dan balita mengunjungi posyandu, setidaknya angka 67,8 persen kunjungan telah melampaui target 65 persen.
Yang membanggakan, angka K4 (ibu hamil yang diperiksa), 2010 lalu tercatat 91 persen ibu hamil telah rutin memeriksa kehamilan ke tenaga kesehatan. Begitu juga persalinan yang menggunakan jasa tenaga kesehatan mencapai 90,8 persen. Artinya, pemanfaatan tenaga kesehatan cukup baik, bahkan melampaui target 2010 yang hanya 90 persen.

Yang menjadi persoalan adalah  pemberian ASI eksklusif masih minim. Hanya 65 persen ibu yang menyusui anaknya secara eksklusif. Ada 8 kabupaten/kota yang masih rendah pemberian ASI eksklusif, yakni Padangpariaman, Tanahdatar, Solok, Dharmasraya, Padang, Payakumbuh Padangpanjang dan Kota Solok.
Begitu juga dengan angka gizi kurang di Sumbar, cukup tinggi di 8 kabupaten/kota. Seperti, Padangpariaman, Pariaman, Pasaman, Kabupaten Solok, Sijunjung, Dharmasraya, Pesisir Selatan dan Mentawai di atas target 2010 lalu, 11,4 persen.

Syafrial menyadari peningkatan kesehatan perlu digenjot setiap tahun. Menurutnya, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan memadai, sedianya diimbangi peningkatan pelayanan kesehatan. Hingga 2011, tercatat 60 rumah sakit (RS) yang terdiri dari 21 RS pemerintah, 35 RS swasta dan 4 RS TNI/Polri di Sumbar.

Total tempat tidur untuk RS pelat merah sebanyak 2.938 kamar (63,4 persen) dan RS swasta 1.696 persen (36,6 persen). Keberadaan RS juga disokong oleh puskesmas di Sumbar sebanyak 250 unit. 87 unit di antaranya menyediakan rawat inap. Sementara itu, ada 907 puskesmas pembantu, 256 puskesmas kelurahan, 1.761 polindes, 7.021 posyandu dan 2.379 poskesdes.

Fokuskan Pembangunan ke Pedesaan

Padang, Padek—Program peningkatan kesejahteraan masyarakat Sumbar di pedesaan harus ditingkatkan. Pasalnya, sepanjang 2010, terjadi peningkatan angka kemiskinan di pedesaan disertai penurunan distribusi pengeluaran masyarakat di Sumbar. Ini berbanding terbalik dengan klaim kesuksesan pemerintah di Sumbar dalam melaksanakan agenda pembangunan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar, kondisi perekonomian di Sumbar tahun 2010 menunjukkan adanya perbaikan yang digambarkan dari peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini berbanding terbalik dengan distribusi pengeluaran penduduk yang umumnya memburuk dibandingkan 2009. Penduduk yang termasuk 40 persen berpengeluaran rendah, mengalami penurunan pengeluaran dari 23,26 persen tahun 2009 menjadi 20,55 persen.

Begitu juga kelompok 40 persen berpengeluaran sedang, yakni dari 39,38 persen menjadi 39,24 persen. Sementara, pengeluaran kelompok 20 persen berpengeluaran tinggi meningkat dari 37,36 persen menjadi 40,22 persen. Kondisi ini tentunya membuat indeks gini (distribusi pendapatan) Sumbar meningkat dari 0,30 persen menjadi 0,33 persen.
Kondisi itu tidak bermanfaat maksimal bagi peningkatan kesejahtaeraan penduduk jika terjadi ketimpangan pendapatan penduduk. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2009 dan Susenas Panel 2010 menunjukkan, ada kecenderungan ketimpangan pendapatan di Sumbar dari 2009 ke 2010. Indikasinya dari persentase pengeluaran penduduk pada golongan pengeluaran tertinggi makin meningkat, sedangkan pada golongan menengah ke bawah cenderung menurun.

Kepala BPS Sumbar, Muchsin Ayub dalam jawaban pertanyaan kunjungan kerja DPR RI tahun 2011 mengungkapkan, terjadi penurunan persentase penduduk miskin di Sumbar sejak 2 tahun terakhir. Namun, peningkatan kesejahteraan penduduk masih perlu mendapat perhatian khusus. Sebab, kemiskinan masih terkonsentrasi di pedesaan di Sumbar. Selain itu, secara absolut penduduk miskin meningkat dari 2009 lalu.

”Tahun 2010 lalu, gap antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan mengalami peningkatan, khususnya diperdesaan. Masyarakat miskin di perdesaan semakin terpuruk karena pendapatan dengan data pengeluaran semakin jauh dari garis kemiskinan,” jelasnya.

Berdasarkan data Susenas, jumlah penduduk miskin di Sumbar tahun 2010 untuk perkotaan mencapai 106.181 jiwa (6,84 persen) atau menurun dari tahun 2009 lalu, yakni 115.780 jiwa (7,5 persen). Sementara itu untuk penduduk di perdesaan justru meningkat dari 313.480 jiwa (10,6 persen) menjadi 323.843 jiwa (10,88 persen).

Penurunan distribusi pengeluaran dan peningkatan kemiskinan, jelas Kabid Ekonomi Bappeda Sumbar, Reti Wafda merupakan imbas dari gempa 2009 lalu. Sejak saat itu, kondisi perekonomian Sumbar sempat tak bergairah. Laju pertumbuhan ekonomi (PE) pun merosot tajam dari 2008, yakni 6,37 persen menjadi 4,5 persen dan akhirnya di tahun 2010 makin menurun menjadi 4,16 persen. Artinya, terjadi penurunan PE sebanyak 2,21 persen. Kondisi ini tentunya berbeda jauh dari target yang hendak dicapai Pemprov, yakni 6,5 persen.

Menurunnya laju PE, kata Reti, disebabkan krisis global yang ditandai terjadi penurunan nilai ekspor, impor dan rencahnya konsumsi pemerintah dan konsumsi masyarakat (rumah tangga). Bagaimana tidak, dengan volume ekspor yang sama di tahun sebelumnya, nilai ekspor Sumbar jatuh drastis. Harga sawit dan olahan karet yang menjadi primadona ekspor harus turun hingga 46 persen dari normal.

”Belum lagi dengan ikut menurunnya konsumsi rumah tangga, maka laju pertumbuhan pun semakin menurun. Saat ini, laju konsumsi rumah tangga berkurang 12,7 persen. Ini berdampak pada laju PE,” tutur wanita berjilbab itu.

Salah satu program yang berjalan kurang efektif adalah penyediaan kredit mikro nagari (KMN) 2010. Program yang digagas Pemprov Sumbar melalui Bappeda untuk percepatan penanggulangan kemiskinan (PPK) terkendala dana sharing dari kabupaten/kota. Pemprov telah menyediakan Rp 25 miliar untuk program, tapi hanya Rp 19 miliar yang diserap ke-15 kabupaten kota.

Kepala Bappeda Sumbar, Rahmat Syahni mengungkapkan, ketidakmampuan daerah menyediakan dana pendamping berdampak pada Pemprov tidak bisa menurunkan dana KMN seutuhnya. Dana yang dialokasikan Pemprov sebanyak Rp300 juta per nagari itu, nyatanya tidak bisa terealisasi sesuai rencana di awal tahun 2010 lalu.
”Ada beberapa daerah yang tidak menyerap seutuhnya dana KMN ini. Di antaranya Mentawai, Kabupaten Solok, Solok Selatan dan Sawahlunto,” tutur Rahmat saat ditemui usai rapat pengesahan APBD Sumbar 2011 di DPRD Sumbar.

Program KMN yang memberi stimulasi tambahan modal bagi keluarga miskin di tingkat nagari/desa guna mengembangkan usaha mandiri dan berkelanjutan itu tak berjalan sesuai rencana. Sehingga, peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui pemberdayaan sosial dan ekonomi belum terwujud karena lemahnya dukungan dari kabupaten. (mr)
[ Red/Redaksi_ILS ]

Minggu, 24 April 2011

Sumbar Berpeluang WDP 2011


Padang,Padek—Kapok diberi nilai disclaimer, Pemprov Sumbar menggenjot usaha guna memperbaiki buruknya sistem administrasi keuangan dan pencatatan asset. Jika sebelumnya Badan Pengawas Keuangan (BPK) menemukan adanya 23 poin yang mengakibatkan rapor merah untuk pemprov Sumbar, maka sejak Agustus 2010 lalu Pemprov telah berhasil merunut kesalahan itu hingga menjadi 4 poin saja.

Kepala BPK perwakilan Sumbar, Betty Ratna Nuraeni mengungkapkan pekerjaan rumah (PR) pemprov Sumbar menyelesaikan problema pencatatan asset dan administrasi keuangan masih ada. Setidaknya, tercatat 5 pencatatan asset yang dinilai masih belum duduk, yakni kasus PT Balairung, dua kasus di Padang industry Park, Gor Agus Salim yang kini ditempati BNI, Lahan di Tunggul Hitam.

“Kalau lima kasus ini bisa diselesaikan, bisa saja Sumbar menyandang wajar tanpa pengecualian. Tapi ternyata masih ada yang belum terselesaikan soal kasus,” tegas Betty dalam jamuan kunjungan rombongan anggota DPR RI komisi XI, di auditorium gubenuran, Senin (11/4).

Lebih lanjut Betty mengungkapkan, ada baiknya pemprov menerima tawaran BPK yang menyarankan agar dua kasus yakni Lahan di Tunggul Hitam dan Gor ditukar gulingkan. Namun tentunya kasus ini harus dirundingkan dulu dengan DPRD Sumbar. Sementara untuk kasus PT Balairung, sebaiknya asset diserahkan ke Balairung.

Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno mengungkapkan pihaknya telah berupaya menyelesaikan persoalan pencatatan asset dan administrasi keuangan selama 7 bulan kepemimpinannya. Alhasil, meski belum tuntas menyelesaikan kesalahan pencatatan namun Irwan telah menyelesaikan 18 kasus dalam waktu satu semester.

“Kita bertahap dulu lah. Kalau emang sekarang belum bisa WTP, setidaknya tahun ini kita sudah WDP (wajar dengan pengecualian,red). Itu kan prestasi cukup bagus, dari disclaimer jadi WDP nantinya,” tutur Irwan.

Lebih lanjut Irwan mengurai asset pemprov di Gor, ditaksir bernilai Rp 1,2 miliar dengan luas tanah 33,804 meter persegi. Kasus ini sudah menahun, tepatnya 24 tahun yang lalu. Tapi baru terkuak 2009 lalu. Pemprov telah berupaya melakukan koordinasi dengan BNI agar melepas tanah itu yang kini sudah dipindah pakai ke pihak lain. Pemprov juga telah berkoordinasi dengan DPRD agar memberikan izin untuk tukar guling ataupun penghapusan untuk asset yang masih bermasalah.   

Sementara itu, Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) Sumbar, Agus Setianto mengungkapkan setidaknya ada 672 kejadian yang telah dilaporkan ke BPKP terhadap 10 Kementerian/LPND di instansi pemerintah pusat dan dana dekonsentrasi maupun tugas perbantuan sejak 2008 hingga 31 Marert 2011 ini didapatkan nilai temuan Rp 6,5 miliar. Telah ditindak lanjuti sebanyak 470 kejadian senilai Rp 5,1 miliar. Sehingga total temuan yang belum ditindak sebanyak 200 kejadian dengan Rp 1,3 miliar.

“Kami memberikan bantuan pada Pemprov Sumbar untuk melakukan pencatatan keuangan yang benar. Agar, nantinya ketika diperiksa oleh BPK tidak ditemukan kejanggalan,” jelasnya.

Mengenai saldo temuan yang belum ditindak lanjuti umumnya terkendala oleh kurangnya komitmen dari instansi yang bersangkutan untuk menindak lanjuti hasil pemeriksaan. Usaha yang dilakukan dari BKP untuk mempercepat tindak lanjut hasil pemeriksaan yakni dengan membuat surat penegasan dan melakukan monitoring langsung ke obyek pemeriksaan.

Untuk itu, BPKP Sumbar juga mengirimkan beberapa petugasnya menempati tempat strategis yang berperan sebagai pengawas administrasi keuangan dilingkungan pemprov Sumbar. Salah satunya, yakni Zainal yang dijadikan sebagai staff ahli setprov Sumbar beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Ketua Komisi XI, Emir Moeis mengungkapkan harapannya atas perubahan nilai asset dan keuangan pemrpov Sumbar dari BPK. Jika tahun 2009 lalu berstatus disclaimer maka tahun 2011 nanti diharapkan bisa WTP sesuai dengan harapan mantan anggota DPR RI Komisi X, Irwan Prayitno.

“Tapi saya optimis hal ini bisa dicapai Sumbar jika memang kinerja pejabatnya terus digenjot,” tutupnya. (mr)

Tingkat Konsumsi Ikan Sumbar Rendah


Padang,Padek—Produksi ikan Sumbar rendah, ini merupakan implikasi dari tidak optimalnya teknik dan alat penangkapan ikan. Akibatnya, harga ikan pun mahal sehingga masyarakat Sumbar harus berpikir berulangkali untuk mengkonsumsi ikan. Tak mengherankan jika tingkat konsumsi ikan Sumbar sangat rendah. Hingga kini, konsumsi ikan Sumbar baru mencapai 25,86 kg/kapita/tahun. Angka itu jauh dibawah target nasional yakni 30,47 kg/kapita/tahunnya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbar, Yosmeri mengungkapkan produksi ikan Sumbar memang masih rendah. Misalnya untuk produksi ikan air tawar hanya 105.000 juta ton per tahun sementara untuk produksi ikan laut 191.000 juta ton per tahunnya. Kurangnya suplay akan berimbas pada tingginya harga produksi ikan, sementara daya beli masyarakat Sumbar tidak begitu tinggi.

“Akibatnya, konsumsi ikan sangat minim. Inilah yang ingin kita siasati. Bagaimana caranya agar produksi meningkat dan harga ikan bisa ditekan. Jadi, konsumsi ikan pun akan meningkat. Terlebih jika kita juga sosialisasikan makanan olahan dari ikan, tentu cara ini akan memancing peningkatan konsumsi,”jelas Yosmeri ditemui usai rapat koordinasi pembentukan Forum Peningkatan Konsumsi Ikan Daerah (Forikan) Sumbar, Rabu (20/4).

Lebih lanjut Yosmeri pada Padang Ekspres mengungkapkan kebiasaan mengkonsumsi ikan pada masyarakat Sumbar harus ditingkatkan demi kesejahteraan nelayan. Tak hanya segi ekonomis, mengkonsumsi ikan juga baik untuk kesehatan. Sebab, ikan merupakan sumber protein utama, yakni berkisar antara 20 hingga 35 persen.

“Kebiasaan mengonsumsi ikan dapat meningkatkan umur harapan hidup rata-rata penduduk Jepang yang saat ini menempati posisi tertinggi di dunia, yakni mencapai 76,3 tahun untuk pria dan 82,5 tahun untuk wanita,"jelasnya.

Namun untuk meningkatkan konsumsi ikan, perlu peningkatan teknik dan peralatan penangkapan ikan guna meningkatkan produksi ikan. Jika harga ikan dapat ditekan, maka pengusaha pengolaahan makanan dari ikan akan berkembang. Alhasil, angka konsumsi ikan di Sumbar pun akan meningkat. Sebab, jika dibandingkan dengan konsumsi ikan di Jepang yakni 100 kg per kapita per tahunnya, Sumbar tertinggal jauh.

Sementara itu, perwakilan Dinas Kesehatan Sumbar, Yulia mengungkapkan dalam sosialisasi konsumsi ikan, perlu juga memperhatikan kualitas ikan yang hendak dimasak. Pasalnya, setiap tahun di bulan Agustus hingga Oktober sering terjadi keracunan makanan yang disebabkan oleh ikan tongkol. Misalnya, untuk tahun 2010 lalu, ada 15 kasus yang tercatat keracunan. Separuh diantaranya diakibatkan konsumsi tongkol.

“Makanya kalau disosialisasikan untuk konsumsi ikan, ada baiknya juga sekalian sosialisasikan bagaimana cara pengolahan ikan dan ajarkan ikan mana yang baik dan tidak baik untuk dimakan,”tuturnya.

Persoalan yang juga mengemuka dari rakor Forikan ini, yakni keluhan pengusaha pengolah makanan dari ikan akibat harga bahan mentah yang mahal. Jika harga ikan sudah mahal, tentunya biaya pengolahan akan membengkak. Kalaupun dijual dengan harga yang sepadan, konsumen pun akan berpikir ulang untuk membeli ikan.

Akibatnya, industri pengolahan makanan dari ikan banyak yang gulung tikar karena tidak mampu menghadapi tingginya harga ikan di Sumbar. Bahkan, harga ikan dari perairan Sumbar jauh lebih tinggi dibandingkan harga ikan import seperti ikan Thailand. Maka tak jarang, ikan import pun mengambil alih pemasaran ikan di Sumbar. (mr)




Refleksi Hari Kartini 2011

Bias jender dalam pendidikan di Sumbar masih terjadi. Daerah yang menganut sistem matrilineal ini ternyata belum sepenuhnya mengakomodir hak perempuan dalam mengenyam pendidikan. Pihak keluarga, terutama yang berpendidikan rendah, masih memprioritaskan pendidikan untuk kaum laki-laki.

Nuraeni,  44, warga Purus, yang sehari-hari berdagang sayur di Pasar Raya, Padang, tak punya cukup uang menyekolahkan anak perempuannya hingga ke bangku kuliah. Dia masih membiayai sekolah 5 anaknya yang lain.
Menurutnya, pendidikan bagi perempuan memang penting, namun menamatkan sekolah hingga SMA pun sudah jauh lebih baik. ”Yo harus dikorbanan ciek. Si Anna (begitu ia biasa memanggil anak perempuan sulungnya) pun lah satuju kalau indak lanjut kuliah,” tuturnya.

Anak keduanya, Rio yang baru saja menjalani Ujian Nasional 2011, akan melanjutkan kuliah ke peguruan tinggi negeri di Padang. Meski masih ada tanggungan, tapi Nuraeni tak bisa menolak keinginan Rio kuliah.
Padahal, ketika Anna menyampaikan keinginan kuliah 3 tahun lalu, Nuraeni dengan tegas menolaknya. ”Kalau Rio kan ka jadi kepala rumah tangga. Kalau ndak sikolah tinggi, payah cari karajo. Kalau inyo dapek karajo rancak, kan bisa membiayai adiak-adiaknyo juo,” kilah Nuraeni.

Dalam benak wanita berambut putih ini, tanpa melanjutkan kuliah pun Anna tetap bisa hidup berkecukupan. Sebab, Anna dinikahkan dengan pedagang pecah belah di Pasar Raya yang hidup berkecukupan. Beda dengan Rio, jika tidak dikuliahkan, akan sulit mendapatkan jodoh. Sebab, perempuan akan memilih pria yang mapan dan berpendidikan tinggi.

Data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Sumbar, saat ini ada 2,7 persen perempuan di Sumbar mengalami buta huruf.
Angka itu, dua kali lebih banyak dibandingkan buta huruf laki-laki, yakni 1,3 persen.
Jumlah penduduk buta aksara itu, merupakan persentase penduduk berusia 15 hingga 46 tahun.

Penduduk wanita yang paling banyak buta huruf  terdapat di Mentawai. Pada 2008 lalu, sekitar 11,8 persen perempuan belum mengecap bangku sekolah. Sementara laki-laki hanya 6 persen. Begitu juga 2009, perempuan yang masih buta huruf  6,38 persen, laki-laki 4 persen.

Jaminan pendidikan pada anak-anak merupakan salah satu upaya penting untuk menghentikan bertambahnya pekerja anak di tengah situasi krisis yang masih melanda dunia. Jaminan itu terutama mesti difokuskan pada anak-anak perempuan yang rentan dikorbankan dari bangku sekolah untuk membantu ekonomi keluarga. Mendidik anak perempuan akan berdampak jangka panjang pada peningkatan kesehatan, nutrisi, pekerjaan, dan pertumbuhan.

Sejak zaman penjajahan, anak perempuan memang kerap dikorbankan. Misalnya, jika dikaitkan dengan budaya, banyak keluarga yang memilih untuk mempertahankan anak laki-laki di sekolah daripada anak perempuan dalam kondisi krisis ekonomi. Banyak anak perempuan yang tidak punya akses untuk ke sekolah dan bekerja. Kondisi kesehatan, keamaan dan moral mereka berada dalam kondisi membahayakan.
Untuk mengatasi pekerja anak, pendekatan yang terintegrasi perlu dilakukan dengan mengurangi kemiskinan, menyediakan pendidikan bagi semua dan meningkatkan pengembangan ekonomi dan sosial. Penekanan yang penting terutama pada pendidikan sebagai salah satu perlindungan terbaik menghentikan pekerja anak.

Lain Nuraeni lain pula Etiriati. Ibu tiga anak yang berprofesi sebagai penjemur ikan di Pasia Nan Tigo itu berprinsip tak ada perbedaan dalam memberikan pendidikan terhadap anak lelaki maupun perempuan. Sebab, pendidikan merupakan masa depan anak. Jadi, tak adil jika anak perempuan harus dimarjinalkan dari pendidikan.

”Den yo harus manguliahan anak. Ndak padusi, ndak kilaki samo sado e. Kini dek tamat sekolah rakyat, den cuma bisa jadi tukang jamua ikan. Dek tu den harok ka anak-anak ko bisa jadi urang,” ungkap Eti.
Dua dari tiga anaknya memang telah menginjak bangku kuliah. Anak pertama, Deni kuliah di semester 6, sementara adiknya Dewi semester 4. Keduanya merupakan mahasiswa Unand dan UNP.

Eti memang tak ingin membedakan perlakuan terhadap anak-anaknya hanya karena jenis kelamin. Sebab, pengalaman masa lalunya membuat Eti sadar bahwa pendidikan terhadap anak perempuan pun penting. Terlebih untuk menjadikan anak perempuan sosok yang mandiri, tegar dan mampu mencari nafkah sendiri.

Sosiolog dari Unand, Damsar mengungkapkan, masih tingginya jurang pemisah antara tingkat pendidikan pria dan wanita di Sumbar menunjukkan belum meratanya pendidikan di Ranah Minang. Ini disebabkan pandangan konvensional orang awak yang masih berharap tinggi pada peran mamak.

Mamak dalam Minangkabau, diharapkan bisa menjaga anak kemenakannya. Sebab itu, mamak haruslah orang yang berpendidikan dan cerdas. Sehingga, ia dapat menjaga keluarga batih-nya. Anak laki-laki merupakan calon mamak di masa mendatang. Karena itu, anak laki-laki perlu mendapatkan pendidikan tinggi.

Tak mengherankan, jika dalam keluarga kurang mampu, anak laki-laki menjadi prioritas mendapatkan pendidikan dibanding anak perempuan. Meski demikian, pendidikan wanita Minangkabau jauh lebih baik dibandingkah wanita di daerah lainnya sebagai dampak dari sistem matrilineal di Minangkabau. ”Sejak zaman Belanda dulu, pendidikan wanita Minangkabau menduduki posisi dua teratas setelah wanita Minahasa,” jelasnya.(mr)

Pemerintah Gratiskan Biaya Bersalin

Padang, Padek—Ini kabar gembira ibu hamil dan melahirkan. Terhitung April ini, pemerintah menanggung segala biaya cek kandungan, persalinan hingga pascamelahirkan lewat Program Jaminan Persalinan (Jampersal). Keluarga tidak mampu akan mendapatkan pengobatan dan biaya persalinan gratis di seluruh rumah sakit (RS) pemerintah.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumbar Rosnini Savitri mengungkapkan ada juga rumah sakit swasta dan bidan desa yang menyediakan persalinan gratis kelas III. Tapi, hanya bisa dilakukan rumah sakit swasta dan bidan yang telah menandatangani MoU dengan Dinkes Sumbar.

”Kematian ibu dan bayi selama ini terjadi disebabkan karena proses persalinan dilakukan tenaga nonmedis. Melalui pelayanan Jampersal, kita memberikan pelayanan persalinan melalui tenaga medis, bagi masyarakat yang tidak mampu, khusus untuk kelas III,” ungkap Kepala Rosnini Savitri, kepada Padang Ekspres, di Auditorium Gubenuran Rabu (20/4).

Pelayanan Jampersal mencakup pemeriksaan sebelum kelahiran yang dilaksanakan selama empat kali, proses persalinan dan pemeriksaan pascakelahiran selama tiga kali. Semuanya dilakukan secara gratis. Bagi tenaga bidan yang melakukan pelayanan ini, Dinkes akan memberikan reward Rp420 ribu/persalinan.

Khusus RS swasta yang ingin memberikan pelayanan Jampersal, harus menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan Dinkes kabupaten/kota. Bidan yang memiliki klinik persalinan, juga dapat melakukan pelayanan ini. Namun dengan ketentuan klinik yang dimiliki telah memenuhi standar persalinan.

”Saat ini, baru RS Siti Hawa, yang telah melakukan MoU dengan Dinas Kesehatan Kota Padang. Saya berharap, RS swasta dapat mendukung program ini,” harap wanita berjilbab itu.
Pelaksanaan program Jampersal masih dihadapkan pada berbagai persoalan. Salah satunya keterbatasan tenaga bidan. Dinkes masih membutuhkan 20 persen tenaga bidan untuk mendukung pelayanan persalinan. Caranya, dengan mengurangi dan memindahkan tenaga bidan yang berada di puskesmas ke bidan desa. Pasalnya, kebutuhan ideal terhadap bidan desa, adalah masing-masing satu desa harus memiliki satu bidan.

Dalam upaya meningkatkan SDM tenaga bidan, Dinkes Sumbar juga telah melakukan uji kompetensi terhadap 1300 tenaga bidan. Namun, dari hasil uji kompetensi, terdapat 30 persen tenaga bidan yang tidak lulus. Rosnini berharap, program Jampersal dapat berjalan baik, minimal, dapat meringankan 60 persen beban ibu melahirkan. Jika rata-rata ibu melahirkan di Sumbar berkisar 1.015 orang, maka diharapkan 60 persen di antaranya dapat di-cover dari biaya Jampersal.

Sekadar diketahui, Kemenkes telah membebaskan seluruh biaya persalinan bagi pasien melahirkan kelas III mulai tahun 2011 ini dengan menganggarkan dana Rp 1,45 triliun. Pembebasan biaya persalinan berlaku umum, tanpa memandang status ekonomi pasien. Rosnini mengimbau seluruh rumah sakit umum dan daerah di Sumbar yang telah diinstruksikan untuk membebaskan biaya persalinan kelas III, tidak lagi memungut biaya untuk kelas II meliputi normal, caesar, maupun yang mengalami komplikasi ketika melahirkan.

Pembebasan biaya persalinan tersebut tidak dibatasi untuk anak ke berapa setiap pasangan. Untuk memperoleh biaya persalinan gratis, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ibu hamil, yakni ibu hamil harus sering melakukan kunjungan atau pemeriksaan rutin ke puskesmas, bidan, rumah sakit maupun dokter. Melakukan imunisasi dan mengikuti program keluarga berencana (KB).

”Pembebasan biaya persalinan tidak boleh mengurangi pelayanan kesehatan oleh rumah sakit, bidan dan poliklinik desa. Karena itu, Dinkes akan terus memonitoring jalannya program dan menginstruksikan rumah sakit untuk mengatur kembali penugasan dokter dalam menangani persalinan,” ungkapnya.

Kendati pembebasan biaya persalinan diberikan secara cuma-cuma, sebaiknya masyarakat tetap merencanakan kehamilan. Jangan karena persalinan ditanggung pemerintah maka perencanaan kehamilan tidak diperhitungkan sehingga pasangan suami istri memiliki anak banyak. Sebab, mereka yang memiliki anak hingga lima atau enam anak tetap menyimpan risiko bersalin tinggi. (mr)

Lagi, Pencairan BOS Lamban



Padang,Padek—Perubahan sistem pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah memang tak mampu diimbangi oleh kabupaten/kota. Sejak tri wulan pertama pencairan dana BOS 2011 lalu hingga tri wulan kedua ini selalu terjadi keterlambatan pencairan dana. Meskipun Kementerian Pendidikan mengultimatum akan merekomendasikan pemotongan anggaran proyek pembangunan untuk kabupaten/kota yang lalai tapi hal itu tidak membuat daerah jera.

Buktinya, hingga kemarin baru Kota Padang yang sudah melakukan penyerapan dana BOS. Sementara 18 kabupaten/kota lainnya entah masih terkejut dengan perubahan penyederhanaan penyaluran dana pendidikan BOS atau memang lalai dalam bekerja sehingga penyerapan dana BOS terus terlambat dua triwulan berturut-turut.

Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Sumbar, Samsurizal tak menampik masih ada18 kabupaten/kota lain yang berkutat dalam revisi Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS). Umumnya, mereka mengaku kesulitan dalam pembukuan rekening dan revisi RKPPS yang belum kelar. Sebab itulah, pencairan dana BOS oleh sekolah-sekolah di Sumbar lamban.

“Kita harapkan akhir April ini seluruh kabupaten/kota sudah bisa menyerap dana BOS. Untuk itu saya akan koordinasikan dengan daerah agar mempercepat penyerapan dana BOS sehingga bisa segera didistribusikan ke sekolah-sekolah,” tutur mantan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Padang Pariaman itu, Rabu (20/4) di Auditorium Gubenuran.

Sejak aliran dana BOS tidak lagi melalui Kementerian Pendidikan Nasional tapi dipindahkan ke Kementerian Keuangan disalurkan langsung ke pemerintah kabupaten/kota dan selanjutnya ke sekolah. Idealnya pelaksanaan penyaluran akan lebih sederhana dibandingkan periode 2005-2010. Tapi jika pemko dan pemkab tidak siap dengan sistem baru ini, maka pencairan dana BOS akan menjadi masalah baru.

Penyederhanaan prosedur tersebut, kata dia, merupakan upaya pemerintah untuk mempercepat penerimaan dana BOS di sekolah sehingga bisa segera digunakan untuk kepentingan anak-anak sekolah. Selain itu, penyederhanaan distribusi ini juga untuk mengurangi adanya keterlambatan penerimaan dana BOS di pemerintah kabupaten/kota dan sekolah.

Dana BOS mulai 2011 telah tercantum dalam APBD kabupaten/kota dengan total dana yang dialokasikan sebesar 385,5 miliar. Adapun besaran dana BOS untuk jenjang sekolah dasar di kota sebesar Rp 400 ribu per siswa per tahun, dan Rp 397 ribu per siswa per tahun untuk di kabupaten kota. Sedangkan untuk jenjang sekolah menengah sebesar Rp 575 per siswa per tahun di kota dan Rp 570 per siswa per tahun di kabupaten.

Penyerahan dana BOS langsung ke kas daerah menurut Samsulrizal sebenarnya lebih rumit karena ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Misalnya ketentuan yang menyebutkan dana BOS yang diterima harus dalam bentuk uang tunai. Uang itu harus digunakan sesuai prinsip school base management.

Mekanisme baru ini harus benar-benar disosialisasikan khususnya kepada para kepala sekolah. Para kepala sekolah harus memiliki pemahaman sesuai ketentuan mekanisme yang baru oleh karena itu harus ada 'capacity building'. Prinsip dasar penyaluran dana BOS 2011 yaitu harus tepat waktu, tepat jumlah dan tepat penggunaan. Penggunaan dana BOS juga sudah ada petunjuk teknisnya.

Dalam mekanisme baru ini, sekolah diharapkan sudah memiliki perencanaan sejak awal untuk penggunaan dana BOS. Pelaksanaan penggunaannya juga harus dilaporkan secara transparan oleh manajemen BOS di daerah maupun di pusat. Karena langsung masuk ke kas kabupaten/kota, maka kewenangan Disdikpora atau Pemprov Sumbar tidak lagi sebagi penyalur tapi hanya mengkoordinir saja. Penyaluran dan evaluasi dana merupakan kewenangan Disdik kabupaten/kota, sedangkan penggunaan dana BOS menjadi kewenangan sekolah beserta komite sekolah. (mr)